TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa (Hystrix javanica) Landak jawa atau sunda porcupine (Gambar 1) merupakan binatang liar yang asli endemik dari Indonesia. Landak jawa telah diidentifikasi dan secara taksonomi termasuk kedalam kingdom: Animalia, filum: Chordata, kelas: Mammalia, ordo: Rodentia, familia: Hystricidae, genus: Hystrix spesies: Hystrix javanica (IUCN, 2008).
Gambar 1. Landak Jawa Sumber: Dokumen Pribadi (2011)
Morfologi Landak jawa (Hystrix javanica) atau dalam bahasa Inggris disebut sunda porcupine adalah nama untuk sejenis mamalia berwarna coklat kehitaman dengan rambut keras (biasa disebut duri) yang menutupi tubuh bagian atas, rambut landak berfungsi sebagai alat pertahanan diri (Safrudin, 2010). Landak jawa merupakan rodentia yang berukuran besar, panjang tubuhnya 37-47 cm, panjang ekor 23-36 cm, dengan berat badan 13-27 kg, tubuh landak tertutup oleh rambut yang keras di bagian separuh badan ke muka dan bagian bawah, sedangkan di bagian punggung belakang sampai ekor tampak rambut (Safrudin, 2010). Ekor pendek landak terdiri dari dua tipe duri, yaitu pertama adalah duri lancip, panjang, berwarna hitam dan putih; kedua adalah duri yang menggerincing, yang didalamnya berlubang, ujungnya terbuka dan berbentuk silinder (Suwelo et al., 1978). Menurut Safrudin, (2010), landak jawa mempunyai mata sempit berwarna hitam dan bentuk telinga seperti kepingan uang logam. Landak jawa mampu bertahan hidup hingga 27 tahun (Safrudin, 2010). Morfologi landak jawa berbeda dengan landak raya (Hystrix brachyura). Menurut Yong (2008), landak raya mempunyai panjang tubuh antara 63-80 cm
3
dengan panjang ekor antara 10,5-13 cm. Landak raya mempunyai berat antara 5-6 kg, bentuk tubuhnya agak bulat dan bergeraknya lambat. Landak raya berwarna lebih cerah dibandingkan landak jawa. Habitat Landak
termasuk
keluarga
Hystricidae dan
Erethizontidae.
Landak
Hystricidae hidup di area terestrial, sedangkan Erethizontidae sebagian besar hidup di daerah arboreal. Landak hidup secara nokturnal dan merupakan binatang herbivora. Landak di Amerika Utara hidup dalam iklim tropis dan sub tropis dengan suhu berkisar 21-27 ˚C. Menurut Bartos (2004), landak yang hidup di daerah tropis dapat hidup pada kelembaban 35% dengan kelembaban terbaik sekitar 45%-60%. Perubahan udara yang direkomendasikan bergantung kepada ukuran kandang dan jumlah landak (Bartos, 2004). Menurut Kingdon (1984), semua landak aktif di malam hari dan landak yang dikandangkan mempunyai siklus cahaya yang aktif 13-14 jam pada siang hari dan 10-11 jam pada malam hari. Meskipun landak termasuk hewan nokturnal, landak dapat didorong untuk aktif pada siang hari dengan cara menyembunyikan pakan landak untuk mendorongnya mencari makan. Landak umumnya ditemukan di semua tipe hutan, perkebunan, area, berbatuan, padang rumput, gunung, padang pasir dan tempat yang mempunyai ketinggian 3500 meter di atas permukaan laut (Nowak, 1999). Landak raya merupakan hewan terestial dan memerlukan area horisontal yang luas (Bartos, 2004). Pada musim dingin landak mengkonsumsi daun cemara jarum, lapisan kambium dan kulit pohon. Selama musim semi dan musim panas landak mengkonsumsi tunas, ranting tender, akar, batang, daun bunga, biji, buah, kacangkacangan dan vegetasi lainnya. Landak juga menyukai garam dan sisa tulang atau tanduk karena kandungan mineralnya yang tinggi (Banfield, 1974). Landak biasanya hidup dalam suatu koloni yang terdiri dari 6-8 individu (Nowak dan Paradiso, 1991). Landak Amerika Utara cenderung memiliki wilayah individu. Landak betina memiliki wilayah eksklusif dibandingkan landak jantan. Menurut Roze (1989), landak keluarga Hystricidae memiliki ciri hidup secara soliter (individu), sedangkan landak keluarga Erethizontidae dan Hystrix africaeaustralis hidup secara monogami (hidup dengan satu pasangan). 4
Reproduksi Landak hidup berkelompok, dapat mencapai 20 ekor setiap kelompok (Kingdon, 1984). Landak jantan dan betina memiliki berat yang hampir sama sekitar 12-18 kg saat dewasa (Van Aarde, 1987). Ciri-ciri landak mengalami dewasa kelamin satu sampai dua tahun pertama (Van Aarde dan Skinner, 1986), monogami (Morris dan Van Aarde, 1985) dan kawin pada musim penghujan. Landak betina bunting setiap satu tahun sekali dengan panjang gestasi = 93 hari, anoestrus laktasional = 101 ± 37,8 hari dan periode steril = 90-210 hari (Van Aarde, 1985). Landak memiliki siklus estrus rata-rata 30-35 hari, dengan periode bunting mulai 93-110 hari. Landak yang baru lahir memiliki berat 3% dari berat tubuh induknya. Menurut Nowak dan Paradiso (1991), landak betina mencapai dewasa seksual pada umur 9-16 bulan, sedangkan jantan 8-18 bulan. Satu ekor landak ratarata dapat menghasilkan 3 ekor anak per tahun dalam satu kali kelahiran. Dengan panjang gestasi 100-110 hari. Landak yang baru dilahirkan dapat mengkonsumsi pakan secara normal setelah berumur 2-3 minggu (Nowak dan Paradiso, 1991). Landak yang berasal dari Amerika Utara berkembang biak pada musim gugur atau awal musim dingin. Landak betina yang tidak mengalami pembuahan akan mengalami siklus pembentukan ovarium pada hari ke 25-30 selama 8-12 jam. Masa bunting pada landak yang berasal dari Amerika Utara adalah 205-217 hari dan biasanya akan lahir pada bulan April sampai Juni. Lama laktasi pada landak rata-rata berlangsung selama 127 hari. Landak Amerika Utara akan mengalami kematangan seksual pada umur 2,5 tahun (Nowak dan Paradiso, 1991). Landak jantan mempunyai skrotum sejati yang dapat teraba dengan tekanan dari arah belakang (Roze, 1989). Landak betina tidak agresif terhadap landak jantan, namun lebih agresif pada orang asing. Landak jantan kawin melalui pendekatan ke betina, namun betina mundur perlahan dan mengeluarkan suara mencicit. Ketika siap untuk kawin landak betina akan meratakan duri dan menaikkan ekornya. Setelah kawin, kopulasi yang dilakukan landak jantan menyebabkan terjadinya gel yang terbentuk dari semen segar (Roze, 1989). Terjadi perbedaan dengan landak dari Afrika, landak yang berasal dari Amerika Utara biasanya hidup soliter dan proses kawin terjadi dengan cara landak betina yang mengalami estrus membuka membran vagina kemudian lendir yang tebal dikeluarkan sebagai sinyal penciuman bagi landak
5
jantan (Roze, 1989). Landak jantan kemudian mendekati landak betina dan berdiri dengan menggunakan kaki belakang dan mendengus dan menghujani landak betina dengan urinnya. Landak jantan akan meringkuk di bagian punggung landak betina. Senggama biasanya berlangsung 1-5 menit, namun dapat berulang beberapa jam. Semen yang dikeluarkan landak jantan pada saat kawin akan menempel pada vagina, sehingga mengurangi kesempatan landak betina kawin dengan landak jantan yang lain. Testis pada landak jantan berada di perut dan akan turun ke dalam skrotum selama musim kawin (Bartos, 2004). Sistem Pencernaan Herbivora adalah mamalia yang memakan tumbuhan dengan badan yang besar dengan usus halus yang panjang (Anon, 1971). Menurut Landry (1970), banyak ahli zoologi yang menyatakan bahwa herbivora adalah mamalia yang memakan tumbuhan, bukan hewan yang memakan daging atau campuran antara daging dan tumbuhan. Herbivora nonruminan meliputi kuda nil, hamster, kanguru, kukang dan beberapa primata lainnya yang mempunyai perut kotak atau berkantung yang digunakan untuk aktivitas mikroba (Hintz et al., 1978). Herbivora nonruminansia bergantung kepada usus belakang yang digunakan sebagai lokasi fermentasi. Kelompok hewan herbivora nonruminan dibagi menjadi dua: 1) hewan yang melakukan fermentasi utama di sekum dan menggunakan metode coprophagy, dan 2) hewan yang melakukan fermentasi di sekum dan kolon, namun tidak melakukan metode coprophagy; contoh tipe hewan pertama adalah kelinci, sedangkan contoh tipe hewan kedua adalah kuda (Hintz et al., 1978). Kelinci mempunyai kemampuan memproduksi soft faeces dan hard faeces, soft faeces merupakan hasil fermentasi pakan di sekum yang mengandung nutrisi tinggi dan akan dicerna kembali, sedangkan hard faeces adalah sampah yang harus dikeluarkan (Marounek et al., 2005). Kuda mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mencerna dan menyerap pati (McDonald et al., 2002). Menurut McDonald et al. (2002), pati difermentasi di usus besar untuk menghasilkan asam laktat, sehingga menurunkan pH dan kemudian diserap di pra-sekum yang merupakan tempat utama penyerapan pati. Herbivora nonruminan mempunyai kerugian karena pencernaan serat tidak efisien dibandingkan dengan ruminansia dan fermentasi berada di ujung usus yang
6
merupakan tempat utama penyerapan dan pencernaan. Pencernaan serat pada hewan hindgut bergantung pada pencernaan mikroba, tetapi biasanya efisiensinya lebih rendah pada hewan nonruminansia dalam mencerna serat. Misalnya rata-rata pencernaan serat rumput pada kuda kira-kira efisiensinya 2/3 dari efisiensi sapi (Hintz, 1969). Namun herbivora nonruminan juga mempunyai keuntungan yaitu lebih efisien memanfaatkan karbohidrat yang mudah larut, herbivora tersebut dapat langsung menyerap gula tanpa mengubah menjadi Volatile Fatty Acid (VFA) terlebih dahulu dan dapat secara langsung memanfaatkan protein berkualitas tinggi. Laju perjalanan digesta lebih cepat dibanding ruminansia meskipun pencernaan serat lebih lambat. Pencernaan hindgut merupakan adaptasi yang bagus dalam pencernaan serat rumput, asalkan pakan yang dimakan tidak dibatasi jumlahnya (Hintz et al., 1978). Sekum dan kolon landak mengandung protozoa dan bakteri yang sama dengan ruminan, terdiri dari 30% pencerna protein, 75%-85% pencerna karbohidrat dan 15%-30% pencerna karbohidrat larut (McDonald et al., 2002). Jumlah spesies bakteri tergantung pada keragaman nutrien, kompetisi antar substrat dan proses metabolik dalam saluran pencernaan (Mackie dan McSweeney, 1991). Saluran pencernaan pada landak terdiri atas usus halus 41% dari total saluran pencernaan secara keseluruhan dan distal kolon 38% (Gambar 1). Landak tidak mempunyai kelenjar cardiogastric dan bukan
merupakan hewan
coprophagy
(Vispo dan Hume, 1995). Sebagian besar pencernaan serat pada landak terjadi di dalam sekum termasuk fermentasi dan produksi VFA. Sedangkan usus halus dan kolon mempunyai sedikit peran dalam proses pencernaan serat pada landak. Di dalam sekum juga terdapat akumulasi sodium sebesar 76% (Grant, 2011). Landak mempunyai kemampuan mengunyah makanan menjadi partikel yang lebih kecil, sehingga meningkatkan area permukaan untuk fermentasi. Pada musim semi landak menghasilkan feses yang basah, hal ini diakibatkan kurangnya kalium dalam bahan pakannya (Weeks dan Kirkpatrick, 1978). Bahan pakan utama yang biasa dikonsumsi landak adalah umbi, akar, batang, kulit kayu, ranting dan daun-daunan (Haim et al., 1992). Feses yang dihasilkan akan berbentuk cair yang berhubungan dengan perubahan pakan yang tidak biasa dimakan oleh landak. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan antara adaptasi populasi mikroba terhadap serat yang dicerna. Jenis pakan baru yang diberikan pada landak,
7
harus diberikan dalam persentase kecil dahulu karena dapat mempengaruhi populasi mikroba yang terdapat di dalam proses pencernaan.
Keterangan: 1. Lambung, 2. Usus Halus, 3. Sekum, 4. Ascending Colon, 5. Transverse Colon, 6. Descending Colon
Gambar 2. Pencernaan Hewan Landak Sumber: Van Jaarsveld (1983)
Sekum landak merupakan tempat fermentasi dan produksi asam lemak terbang (VFA) (Johnson dan McBee, 1967). Absorbsi VFA secara langsung terjadi di sekum dan di kolon bagian proksimal. Produksi VFA sebanyak 83% terjadi di sekum dan langsung diserap oleh darah dan sisanya diserap di usus besar (Johnson dan McBee, 1967). Kandungan utama VFA di sekum adalah asam asetat sebanyak 72,2%, asam butirat 13,8% dan asam propionat 12% (Vispo dan Hume, 1995), selain itu VFA rantai cabang, yaitu isobutirat dan isovalerat juga ditemukan di bagian cardiac perut. Absorbsi butirat dan propionat lebih cepat daripada asetat. Fermentasi di sekum menghasilkan 18%-19% energi yang dibutuhkan oleh landak (Vispo dan Hume, 1995). Menurut Johnson dan McBee (1967) dalam Hintz et al. (1978), energi yang digunakan landak 16% berasal dari VFA. Pada ruminansia VFA hasil fermentasi menghasilkan asam asetat 63%, asam propionat 22% dan asam butirat 15% (Hungate, 1988). Hasil fermentasi VFA pada ruminansia diserap melalui kedua dinding rumen yang digunakan sebagai sumber energi sekitar 55%-65% (Parakkasi, 1999). Penyerapan VFA pada ruminansia 8
melalui vili-vili dinding rumen 75%, abomasum 20% dan usus halus 5% (McDonald et al., 2002). Asetat merupakan produk utama dari VFA pada semua spesies yang diikuti oleh propionat dan butirat; namun, pada kelinci, landak dan berang-berang, kandungan butirat pada VFA lebih tinggi daripada propionat (Hintz et al., 1978). Kandungan VFA dalam cairan sekum landak adalah 74% asetat, 12% propionat dan 14% butirat (Hintz et al., 1978) dan pada kelinci 62,8% asetat, 10,1% propionat dan 22,7% butirat (Marounek et al., 2005). Pada Cyopus yang merupakan rodentia air mempunyai kadar propionat yang lebih tinggi dibandingkan dengan butirat, yaitu 73,9% asetat, 18,6% propionat dan 7,4% butirat (Marounek et al., 2005). Kontribusi VFA untuk energi bergantung kepada tipe serat, kira-kira berkisar antara 15%-30% untuk masing-masing spesies (Hintz et al., 1978). Perbedaan konsentrasi VFA parsial pada setiap spesies disebabkan perbedaan habitat, kemampuan mencerna pakan, morfologi saluran pencernaan yang berbeda dan mikroorganisme di dalam sekum yang berbeda (Marounek et al., 2005). Penyerapan amonia pada hewan herbivora nonruminasia terdapat pada sekum dan kolon dan penyerapan asam amino terjadi pada kolon, namun pada kuda tidak terjadi karena mikroorganisme yang mensintesis asam amino tidak dimanfaatkan. Landak mempunyai kemampuan mencerna serat yang baik, karena mempunyai sekum dan kolon yang besar, sehingga dapat mensuplai 16% kebutuhan energi basal (Johnson dan McBee, 1967) dan distal kolon landak empat kali lebih besar daripada berang-berang (Vispo dan Hume 1995). Di dalam sekum landak juga terdapat fungi anaerobik yang dapat membantu mencerna dinding sel bahan pakan (Theodorou et al., 1988). Pencernaan N pada landak dipengaruhi oleh kandungan tannin dalam bahan pakan. Namun hewan marsupialia mempunyai kemampuan menurunkan kandungan tannin dalam bahan pakan karena aktivitas mikroba pada ceca, sehingga hewan marsupialia rodensia dapat menurunkan ikatan protein-tannin melalui urin (McArthur dan Sanson, 1991). Jenis Pakan Pada penelitian Farida dan Ridwan (2011), landak Hystrix javanica yang ditangkarkan diberi pakan kontrol berupa jagung manis, ubi jalar, kelapa, mentimun, bengkuang, kunyit, kangkung, daun kitengis dan talas, dan dibandingkan dengan
9
pakan kontrol dengan tambahan pelet. Bengkuang, mentimun, talas dan pelet merupakan bahan pakan yang dikonsumsi dalam jumlah yang tinggi (Farida dan Ridwan, 2011). Prayudi (data yang belum dipublikasikan; Tabel 1 dan Tabel 2) memberikan pakan kontrol berupa daun jaat hutan, bengkuang, talas belitung, tomat, pisang siam, dan jagung manis, dan pakan tambahan yang digunakan adalah pelet koi; konsumsi BK bengkuang dan total dari pakan kontrol menurun (P<0,05) dengan penambahan pelet koi ke dalam perlakuan pakan kontrol. Tabel 1. Komposisi Kimia Pakan Penelitian (100% BK) BK (% Segar)
Abu
Bahan Pakan
PK
LK
Daun Jaat Hutan
20,00
24,13
35,29
3,99
Bengkuang
12,32
10,79
8,49
Talas Belitung
7,88
24,49
Tomat
6,93
Pisang Siam
SK
BETN
GE (Kal/g)
25,69
10,90
5039
1,04
9,69
69,99
4527
0,00
0,90
54,37
20,24
3831
9,60
16,98
1,59
16,08
55,74
4133
46,23
3,80
3,08
0,86
3,44
88,81
3393
Jagung Manis
35,53
3,28
15,33
7,75
1,75
71,88
4776
Pelet Koi
94,52
18,48
25,05
5,77
10,22
40,48
4745
-----------------------------(%)-----------------------
Keterangan : Hasil analisa laboratorium Ilmu Nutrisi, LIPI Cibinong, Kabupaten Bogor. Sumber : Prayudi (data belum dipublikasikan)
Tabel 2. Rataan Hasil Konsumsi Bahan Kering Perlakuan Pakan
Pakan Kontrol
Kontrol + Pellet (g/ekor/hari) Daun jaat hutan 8,435±0,713 6,045±0,845 Bengkuang 36,044±1,192a 28,073±1,413b Talas Belitung 12,992±1,651 10,153±1,958 Tomat 6,030±0,327 5,195±0,388 Pisang Siam 71,244±0,231 71,0,92±0,274 Jagung manis 91,047±2,703 82,017±3,206 Total Konsumsi Pakan Kontrol 225,792±2,871a 202,575±3,405b Pelet koi 45,178±5,826 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan data yang berbeda nyata (P<0,05) Sumber: Prayudi (data belum dipublikasikan)
10
Daun Jaat Hutan (Phaselous sp.) Daun jaat hutan (Phaselous sp.) (Gambar 3) merupakan suku polongpolongan dan satu famili dengan kacang buncis (Phaseolus. vulgaris). Daun Phaselous sp. mempunyai kandungan protein yang tinggi sekitar 30,92 % (Apriyani, 2010) sehingga sangat baik jika digunakan sebagai pakan. Menurut Farida (2007), di dalam suku ini banyak tanaman penting dengan bermacam-macam kegunaan, sebagai bahan makanan, minuman, bumbu masak, zat pewarna, pupuk hijau, pakan ternak dan bahan pengobatan.
Gambar 3. Daun Jaat Hutan Sumber: Apriyanti (2010)
Bengkuang (Pachyrrizus erosus) Tanaman bengkuang (Pachyrrizus erosus) menghasilkan buah bengkuang yang berupa umbi (Gambar 4). Buah ini mempunyai ciri kulit berwarna putih kecoklatan, daging buah berwarna putih, dan kadar air buah yang tinggi. Bengkuang terdiri dari 33,07% BK; 3,24% abu; 5,25% protein kasar; 0,96 lemak kasar; 5,66% serat kasar dan 84,89% nitrogen bebas berdasarkan % BK (Farida dan Ridwan, 2011). Bengkuang mempunyai total energi 3,739 kal/g dengan kandungan Ca 0,65% dan P 0,29%. Menurut Nusifera dan Kurniawan (2009), bengkuang hanya dimanfaatkan sebagai bahan konsumsi segar, padahal sebenarnya bengkuang mempunyai potensi industri yang cukup besar. Bengkuang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif bahan tepung yang kaya akan akan protein (Nusifera dan Kurniawan, 2009).
11
Gambar 4. Bengkuang Sumber: Wikipedia (2012)
Talas belitung (Xanthosoma sagitifolium) Talas belitung (Xanthosoma sagitifolium) atau biasanya disebut kimpul (Gambar 5) termasuk famili Areacea dan merupakan tumbuhan menahun yang mempunyai umbi batang maupun batang palsu yang sebenarnya adalah tangkai daun. Kandungan talas belitung 70,92% BK; 8,23% abu; 13,60% protein kasar; 2,43% lemak kasar; 13,11% serat kasar dan 62,63% nitrogen bebas berdasarkan % BK. Kandungan energi total pada talas belitung 3,990 kal/g dengan kandungan Ca 1,14% dan P 0,32% (Farida dan Ridwan, 2011) Pada umumnya tanaman ini diusahakan petani di pekarangan sekitar rumah dan di kebun-kebun. Rataan produksi per rumpun berkisar antara 0,25-20 kg (Palupi, 2012). Tanaman talas belitung mempunyai perbedaan dengan talas bogor yaitu daun talas bogor yang berbentuk hati dengan ujung pelepah daunnya tertancap agak ketengah helai daun sebelah bawah (Palupi, 2012).
Gambar 5. Talas Belitung Sumber: Departemen Pertanian (2009)
Jagung Manis (Zea mays var. saccharata Sturt) Jagung manis merupakan jagung yang popular saat ini. Jagung manis berbeda dengan jagung biasanya. Jagung manis mempunyai biji yang lebih tertata rapi dibandingkan dengan jagung lainnya (Gambar 6). Jagung manis memiliki nama latin (Zea mays var. saccharata Sturt). Menurut Farida dan Ridwan (2011), jagung manis 12
mempunyai komposisi kimia 20,67% BK; 3,03% abu; 14,16% protein kasar; 7,16% lemak kasar; 1,62% serat kasar dan 74,03% nitrogen bebas berdasarkan 100% BK. Jagung manis juga mengandung 4,411 kal/g energi total dan mengandung 0,08% Ca dan 0,50% P (Farida dan Ridwan, 2011). Kadar gula pada endosperm jagung manis sebesar 5%-6%, gula yang disimpan dalam biji jagung manis adalah sukrosa yang dapat mencapai 11% dan kadar pati 10%–11%, sedangkan jagung biasa kadar gulanya hanya 2%–3% atau setengah dari kadar gula jagung manis (Irianto, 2007).
Gambar 6. Tipe bulir dari kiri ke kanan pod corn, soft corn ,pop corn, sweet corn, flint corn, den corn. Sumber: Morisson (1961)
Pisang Siam (Musa paradisica var. sapientum L.) Pisang siam (Musa paradisica var. sapientum L.) juga termasuk jenis pisang buah yang masih satu marga dengan jenis pisang yang lain, yaitu Musaceae. Pisang siam mempunyai KA 72,25%; abu 1,72%; protein 1,52%; lemak 0,78%; serat 4,75%; 18,98% karbohidrat (Endra, 2006). Pisang ini memiliki beberapa macam keunggulan spesifik bila dibandingkan dengan pisang lain yang masih satu marga. Pisang siam apabila dikonsumsi harus dimasak terlebih dahulu, berbeda dengan pisang ambon, raja, mas dan cavendish yang dapat dikonsumsi langsung setelah masak pohon. Pisang mentah memiliki senyawa utama karbohidrat masih berupa pati, sedangkan pada pisang yang masak terdiri dari gula-gula penyusun yang pada setiap tingkat pemasakan secara garis besarnya terdapat rasio glukosa, fruktosa, dan sukrosa 20:15:65 (Endra, 2006). Total kandungan gula pada pisang siam sekitar 5,83% (Endra, 2006). Jenis gula lain yang ditemukan dalam jumlah sedikit adalah maltosa 13
dalam kultivar gros michel dan trigliserida serta fruktosil sukrosa dalam kultivar cavendish (Endra, 2006). Jenis karbohidrat lain yang ditemukan dalam daging buah pisang adalah serat kasar dan pektin. Kandungan serat kasar terdiri dari 60% lignin, 25% selulosa, dan 15% hemiselulosa (Endra, 2006). Tomat (Lycopersicum esculentum) Tomat (Lycopersicum esculentum) (Gambar 7) sekitar 50% dari berat keringnya terdiri dari gula-gula pereduksi (terutama glukosa dan fruktosa), sisanya asam-asam organik mineral, pigmen, vitamin dan lipid (Maulida dan Zulkarnaen, 2010). Tomat mengandung lemak dan kalori dalam jumlah rendah, bebas kolesterol, dan merupakan sumber serat dan protein yang baik. Selain itu, tomat kaya akan vitamin A dan C, beta-karoten, kalium dan antioksidan likopen (Kailaku et al., 2007). Sebanyak 100 g, buah tomat mengandung KA 93,76 g, abu 0,42 g; protein 0,85 g; lemak 0,33 g; serat 1,1 g dan karbohidrat 4,64 g (Kailaku et al., 2007).
Gambar 7. Buah Tomat Sumber: Rayya (2009)
Pelet Koi Pelet koi
merupakan pakan yang diberikan kepada ikan hias dan
mengandung bahan wheat flour, bungkil kedelai, polard, tepung ikan, choline chloride, vitamin dan mineral. Komposisi nutrisi pelet koi: 98,39% BK; 4,86% abu; 25,84% protein kasar; 4,67% lemak kasar; 3,86% serat kasar dan 60,77% nitrogen bebas dalam 100% BK. Pelet koi mengandung 4900 kal/g total energy dan mineral Ca 0,51% dan P 0,51% (Farida dan Ridwan, 2011). Kandungan karbohidrat mudah dicerna pelet koi cukup tinggi, namun kandungan serat kasar rendah dan mineral Ca dan P yang seimbang (Farida dan Ridwan, 2011). Pelet koi dapat digunakan sebagai pakan alternatif bagi landak Hystrix brachyura yang ditangkarkan (Farida, 2007). 14