5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi, Ciri Morfologis dan Daerah Penyebaran Ikan Kuro Ikan kuro diklasifikasikan dalam filum Chordata, subfilum Vertebrata, superkelas Osteichthyes, kelas Actinopterygii, subkelas Neopterygii, infrakelas Teleostei, superordo Acanthopterygii, ordo Perciformes, subordo Percoidei, famili Polynemidae, genus Eleutheronema, dan spesies Eleutheronema tetradactylum (Shaw 1804) (www.fishbase.org) (Gambar 2).
(a)
(b)
Gambar 2. Ikan kuro (Eleutheronema tetradactylum) Sumber: (a) dokumentasi pribadi; (b) www.daff.qld.gov.au
Ikan kuro memiliki nama umum fourfinger threadfin dengan nama lokal yang berbeda di setiap daerah. Di pantai timur Sumatera dikenal dengan nama ikan senangin dan di pantai utara Jawa dikenal dengan ikan kuro (Genisa 2001). Ikan kuro memiliki tubuh yang memanjang dan agak pipih. Mata ditutupi oleh membran gelap. Bentuk mulut sangat besar dan tidak mempunyai bibir, kecuali bibir bagian bawah yang terdapat pada sudut mulut (Weber & Beaufort 1922 dalam Fahmi 2000). Sirip dada terdiri atas dua bagian, bagian atas dengan satu buah duri keras dan jari-jari sirip lemah berjumlah 17; sedangkan bagian bawah terdiri atas tiga atau empat buah sirip berfilamen dengan bagian paling atas memiliki filamen yang paling panjang hingga mencapai dasar sirip perut.
Filamen ini berfungsi
sebagai alat peraba yang memungkinkan ikan mencari makanan di air yang berlumpur (Motomura 2004). Ikan kuro dicirikan dengan tubuh yang berwarna hijau keperakan di bagian dorsal dan bagian ventral berwarna putih kecoklatan. Sirip punggung dan ekor berwarna abu-abu dan sedikit gelap pada bagian pinggirnya. Sirip ventral dan anal berwarna orange; sedangkan sirip pektoral berfilamen berwarna putih (Motomura 2004).
6
Ikan kuro tergolong ke dalam ikan hermafrodit protandri yang dicirikan pada saat ikan kuro kecil atau remaja berjenis kelamin jantan dan hidup di daerah payau; sedangkan saat dewasa ikan kuro berkelamin betina dan hidup di perairan laut (Motomura 2004). Siklus hidup ikan kuro tergolong panjang (Gambar 3). Ikan kuro akan mengalami perubahan jenis kelamin menjadi betina ketika ikan kuro memiliki panjang lebih dari 400 mm dan berumur sekitar dua tahun. Ikan kuro sendiri dapat mencapai ukuran 2000 mm, tetapi ukuran yang biasa ditemukan antara 450-500 mm (Department of Fisheries, Western Australia 2010). 1,48 mm
1,75 mm
1,54 mm
2 mm
1100 mm
2,5 mm
400 mm ± 250 mm
4,1 mm
5,9 mm 7,3 mm
Gambar 3. Siklus hidup ikan kuro (E. tetradactylum). (1-3) tahap perkembangan telur; (4-11) tahap perkembangan larva; (12) ikan kuro remaja; (13) ikan kuro berumur dua tahun dan pada ukuran tersebut terjadi perubahan jenis kelamin menjadi betina; (14) ikan kuro dewasa berumur ≥ empat tahun dan berjenis kelamin betina. Sumber : Kowtal 1965; Motomura 2004; Department of Fisheries, Western Australia 2010
Daerah penyebaran ikan kuro di dunia meliputi Indonesia, Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja, Hong Kong, India, Korea, Iran, Kuwait, Malaysia, Myanmar, Oman, Pakistan, Papua, Philipina, Singapura, Sri Lanka, Taiwan, Thailand, Vietnam, dan Australia (www.fishbase.org).
Sebaran ikan kuro di Indonesia
meliputi perairan pantai Laut Jawa, Sumatera bagian timur, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Arafuru. Ikan ini juga ditemukan di Teluk Benggal, Teluk Siam, Pantai Laut Cina Selatan, dan Queensland (Australia) (Genisa 1999).
7
2.2. Hubungan Panjang-Bobot dan Faktor Kondisi Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Namun, hubungan yang terdapat pada ikan sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbeda-beda. Hubungan panjang bobot dapat menduga pola pertumbuhan yang dialami oleh ikan tersebut apakah montok atau tidak (Effendie 1997). Hubungan panjang bobot ikan kuro yang ditemukan di daerah Muara Sungai Musi (Djamali et al. 1988) dan di Perairan Utara Australia (Ballagh et al. 2012) bersifat allometrik positif yang artinya pertumbuhan bobotnya lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan panjangnya. Faktor kondisi atau sering juga disebut sebagai faktor K adalah kondisi yang menunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk kelangsungan hidup dan reproduksi. Ditinjau dari sudut pandang komersial, faktor kondisi adalah kualitas dan kuantitas daging ikan yang tersedia untuk dapat dikonsumsi (Effendie 1997). 2.3. Variasi Makanan dan Kebiasaan Makan Kebiasaan makanan adalah kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan oleh ikan (Effendie 1997). Ketersedian makanan di alam seperti jumlah dan kualitas makanan yang tersedia, mudahnya makanan ditemukan, dan lama masa pengambilan makanan oleh ikan akan berpengaruh kepada besarnya populasi ikan di dalam suatu perairan. Kebiasaan makanan juga sering dikaitkan dengan bentuk tubuh tertentu dan morfologi fungsional dari tengkorak, rahang, dan saluran pencernaan (Barrington et al. 1957 dalam Weatherley 1987). Pada masa larva tingkat mortalitas ikan sangat tinggi karena sulitnya ikan untuk dapat menemukan makanan yang cocok dengan ukuran mulutnya sehingga terjadi kelaparan dan kehabisan tenaga yang berujung pada kematian ikan tersebut. Sebaliknya, bagi ikan yang telah menemukan makanan yang sesuai dengan bukaan mulutnya maka ikan itu akan bertahan hidup dan jika telah dewasa akan merubah makanannya, baik dalam ukuran maupun kualitasnya mengikuti pola kebiasaan makan induknya (Effendie 1997). Berdasarkan kebiasaan makanannya, ikan dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu pemakan plankton (planktivora), pemakan tanaman (herbivora), pemakan dasar, pemakan detritus (detritivora), pemakan
ikan (piscivora), dan pemakan
8
campuran. Namun, berdasarkan jumlah variasi makanannya, ikan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu euryphagic, stenophagic, dan monophagic. Euryphagic adalah ikan yang memakan berbagai jenis makanan; Stenophagic adalah ikan yang memakan sedikit jenis makanan; dan Monophagic adalah ikan yang hanya memakan satu jenis makan saja (Effendie 1997). Persentase bagian terbesar makanan dalam urutan kebiasaan makanan ikan dibagi menjadi empat kategori yang terdiri atas makanan utama yaitu makanan yang biasanya dimakan dalam jumlah yang besar, makanan sekunder yaitu makanan yang sering ditemukan dalam saluran pencernaan ikan dalam jumlah yang sedikit, makanan insidental yaitu makanan yang terdapat pada saluran pencernaan dalam jumlah yang sangat sedikit, dan makanan pengganti yaitu makanan yang hanya dikonsumsi jika makanan utama tidak ada (Nikolsky 1963 dalam Simanjuntak 2002). Jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh suatu jenis ikan biasanya bergantung kepada umur ikan, ketersediaan makanan dan waktu (Effendie 1979), sehingga walaupun ikan tersebut satu spesies,namun jika umurnya berbeda maka makanannya pun akan berbeda. Selain itu, perbedaan ketersedian dan kelimpahan organisme makanan akan bervariasi berdasarkan musim dan akhirnya akan mengakibatkan perbedaan komposisi makanan suatu jenis ikan antara musim yang satu dengan musim yang lain (Rahadjo 2007 dalam Rahadjo et al. 2011). Komposisi makanan jenis ikan berukuran kecil akan berbeda dengan ikan yang berukuran lebih besar. Beberapa penyebab perbedaan ini terkait dengan adanya perbedaan dalam lebar bukaan mulut dan juga perbedaan dalam kemampuan ikan mendapatkan makanan (Rahardjo et al. 2011). Ikan kuro pada umumnya adalah pemakan krustasea kecil dan juga ikan. Saat kecil ikan ini memakan plankton, namun seiring dengan bertambahnya ukuran tubuhnya, makanan ikan kuro pun berubah menjadi krustasea kecil dan ikan. Selain itu, ikan kuro juga termasuk ikan demersal yang hidup di dasar perairan yang dangkal dan berlumpur, di daerah pantai, dan terkadang masuk ke perairan tawar (Motomura 2004). Ikan kuro merupakan ikan yang aktif pada kondisi gelap atau pada malam hari (nokturnal) karena ikan ini memiliki ciri khusus yaitu memiliki sungut yang berfungsi untuk meraba makanan pada kondisi gelap.
9
Perubahan jenis makanan seiring dengan perubahan ukuran tubuh ikan ditemukan pada beberapa jenis ikan diantaranya Deuterodon langei di Selatan Brazil (Vitule et al. 2008), Agonostomus monticola dan Brycon behreae (Ribeiro & Urena 2009), Coris gaimard di Selatan Jepang (Shibuno et al. 1994), ikan baji-baji (Grammoplites scaber) di perairan Pantai Mayangan, Subang, Jawa Barat (Simanjuntak & Zahid 2009), dan Lophius americanus di Pantai Selatan Inggris (Armstrong et al. 1996). 2.4. Luas Relung dan Tumpang Tindih Relung Makanan Luas relung habitat atau makanan mencerminkan adanya selektivitas suatu jenis ikan antar spesies maupun antar individu dalam suatu spesies yang sama terhadap sumber daya makanan pada habitat tertentu (Krebs 1989).
Ikan yang
memiliki luas relung makanan kecil atau sempit menunjukkan bahwa ikan tersebut melakukan seleksi terhadap sumber daya yang tersedia di perairan. Luas relung akan tinggi jika suatu organisme memakan jenis makanan yang beragam dan masing-masing jenis berjumlah sama. Sebaliknya luas relung akan rendah jika suatu organisme hanya memanfaatkan satu jenis makanan (Levins 1968 dalam Krebs 1989). Menurut Effendie (1997), ikan yang kecil memiliki luas relung yang kecil dan semakin besar ukurannya maka pola makannya juga akan berubah serta akan memiliki luas relung yang besar. Variasi makanan yang besar tidak menjamin akan memberikan kisaran luas relung yang besar karena nilai luas relung juga ditentukan oleh seberapa besar ikan tersebut dapat memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Tumpang tindih relung makanan adalah penggunaan bersama atas seluruh sumber daya makanan oleh dua spesies atau lebih (Colwell & Futuyama 1971). Nilai tumpang tindih relung makanan dapat terjadi bila ada kesamaan jenis makanan yang dimanfaatkan oleh dua atau lebih kelompok ikan. Kesamaan pemanfaatan makanan atau habitat mencerminkan adanya penggunaan bersama sumber daya habitat atau makanan yang ada oleh dua kelompok ukuran ikan atau lebih, interspesifik, atau intraspesifik (Krebs 1989). Bila nilai tumpang tindih yang diperoleh berkisar satu maka kedua kelompok yang dibandingkan mempunyai jenis makanan yang sama. Sebaliknya, bila nilai tumpang tindih yang diperoleh sama dengan nol maka tidak ada jenis makanan yang sama antara kedua kelompok yang dibandingkan.
Besarnya nilai tumpang tindih relung makanan mengindikasikan
10
terjadinya kompetisi.
Nilai tumpang tindih yang tinggi dapat diakibatkan oleh
kelimpahan jenis organisme yang dominan di perairan (Colwell & Futuyama 1971). Ikan karnivora di perairan sekitar mangrove (misalnya ikan giligan (Panna microdon) (Rambe 2004) dan ikan lundu (Arius maculatus) (Fauziah 2004)) memiliki nilai luas relung makanan yang cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya ukuran tubuh; sedangkan jika dilihat dari tumpang tindih makannya, maka peluang terjadinya kompetisi antar kelompok ukuran dalam memanfaatkan makanan yang tersedia cukup tinggi.