4 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Rajungan (Portunus pelagicus) Jenis kepiting dan rajungan diperkirakan sebanyak 234 jenis yang ada di Indo Pasifik Barat, di Indonesia ada sekitar 124 jenis (Moosa et al. 1980 in Firman 2008), lebih lanjut dijelaskan empat jenis di antaranya dapat dimakan (edible crab), yaitu rajungan (Portunus pelagicus), rajungan bintang (Portunus sanguinolentus), rajungan karang (Charybdis feriatus), dan rajungan angin (Podopthalmus vigil). Jika dibandingkan
dengan
tiga
spesies rajungan
yang
lainnya,
jenis Portunus
pelagicus paling banyak dipasarkan di pasar internasional seperti Asia Tenggara. Harga pasaran rajungan tersebut berkisar antara US$ 3-5/kg untuk rajungan segar, sedangkan rajungan hidup harga jualnya berkisar antara US$ 5-8/kg (Pasisingi 2011). Berikut adalah klasifikasi rajungan menurut Kangas (2000): Filum
: Arthropoda
Kelas
: Crustacea
Sub kelas
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Famili
: Portunidae
Genus
: Portunus
Spesies
: Portunus pelagicus (Linnaeus 1766)
Nama lokal
: Rajungan
Nama FAO
: Blue swimmer crab, blue manna crab, sand crab, blue crab
Gambar 2. Rajungan (Portunus pelagicus) (Dokumentasi Pribadi 2012)
5 Rajungan
termasuk hewan perenang aktif, tetapi saat tidak aktif, hewan
tersebut mengubur diri dalam sedimen menyisakan mata, antena di permukaan dasar laut dan ruang insang terbuka (Fish 2001 in Firman 2008). Menurut Muslim (2000) in Firman (2008) pada umumnya udang dan kepiting keluar pada waktu malam untuk mencari makan. Binatang ini keluar dari tempat-tempat persembunyiannya dan bergerak menuju tempat yang banyak makanan. Lovett (1981) in Hermanto (2004) mengatakan bahwa morfologi rajungan (Portunus pelgicus) hampir sama dengan kepiting. Perbedaan dicirikan dari duri akhir karapas pada rajungan yang relatif lebih panjang dan lebih runcing. Karapas rajungan berbentuk bulat pipih dengan warna cerah putih kebiruan. Rajungan dapat berjalan sangat baik sepanjang dasar perairan dan daerah interdal berlumpur yang lembab dan juga perenang yang baik. Tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus) dipengaruhi faktor alami dan buatan. Faktor alami diantaranya perkembangan hidup, kebiasaan makan, pengaruh siklus bulan dan reproduksi. Sedangkan faktor buatan utama yang mempengaruhi tingkah laku rajungan adalah penggunaan umpan pada penangkapan rajungan dengan menggunakan crab poots (Fish 2000 in Pasisingi 2011). Sumberdaya rajungan banyak ditangkap oleh nelayan dengan menggunakan perangkap buatan, trawl, pukat pantai dan jaring lingkar. Rajungan ditangkap dalam jumlah yang sangat banyak untuk dijual dalam bentuk segar dan beku di pasaran lokal. Adapula yang diolah di industri pengolahan dan pengalengan rajungan untuk tujuan ekspor (Pasisingi 2011). Negara Singapura, Hongkong, Jepang, Malaysia, Taiwan, dan Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor rajungan (Adam et al. 2006) Susilo (1993) in Suadela (2004) menyebutkan bahwa perbedaan fase bulan memberikan
pengaruh
pelagicus), yaitu
ruaya
nyata dan
terhadap
tingkah
laku
rajungan
(Portunus
makan. Pada fase bulan gelap, rajungan tidak
melakukan aktivitas ruaya, dan berkurangnya aktifitas pemangsaan. Hal tersebut ditunjukkan dengan perbedaan jumlah hasil tangkapan antara fase bulan gelap dan bulan terang. Rajungan cenderung lebih banyak tertangkap saat fase bulan terang dibandingkan dengan pada fase bulan gelap. Oleh sebab itu waktu yang paling baik untuk menangkap binatang tersebut ialah malam hari saat fase bulan terang (Firman 2008).
6 Rajungan menjadi dewasa sekitar usia satu tahun. Perkiraan umur rata-rata rajungan dari lebar karapas tertentu dapat bervariasi. Pada umur 12 bulan, lebar karapas rata-rata rajungan adalah 90mm. Rajungan jantan dan betina umumnya mencapai kematangan seksual pada ukuran lebar karapas 7 hingga 9 cm. Rajungan pada ukuran tersebut berumur sekitar satu tahun. (Kumar et al. 2000 in Firman 2008). Adapun yang mempunyai nilai ekonomis setelah mempunyai lebar karapas antara 95-228 mm (Rounsenfell 1975 in Setriana 2011).
2.2. Model Surplus Produksi Model sangat penting untuk menduga konsekuensi dari bentuk pengelolaan dan dapat digunakan untuk membentuk dan memantau kebijakan (Beattie, et al. 2002). Produksi surplus dihitung sebagai jumlah dari pertumbuhan dalam berat dari individu-individu dalam populasi, dikurangi penurunan biomassa dari binatang yang mati karena mortalitas alami (Widodo dan Suadi 2008). Fungsi surplus produksi dapat dituliskan sebagai berikut: ...........…………………………............................(2.2.1) merupakan biomassa pada tahun tertentu, sebelumnya ditambahkan dengan ( dikurangi (
adalah biomassa tahun
) produksi surplus tahun sebelumnya
) dengan tangkapan tahun sebelumnya (Masters 2007).
Widodo dan Suadi (2008) mengemukakan bahwa pertambahan netto dalam ukuran populasi akan kecil, baik pada tingkat populasi tinggi maupun rendah. Karena itu sebagai konsekuensinya pertambahan tersebut akan mencapai maksimum pada tingkat populasi intermediate. Hukum umum dari pertumbuhan populasi dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan deferensial sebagai berikut : ………………………………………………............................(2.2.2) dimana B merupakan biomassa populasi. Hukum pertumbuhan populasi ini dipergunakan untuk menggambarkan banyak organisme. Suatu fungsi yang telah terbukti sangat cocok untuk berbagai data eksperimen yaitu: ……………………………………………..................(2.2.3) dimana r dan K adalah konstanta. Ini dikenal dengan persamaan pertumbuhan logistik Verhultst-Pearl. Paramter r adalah laju pertumbuhan intrinsik, karena untuk
7 B kecil, maka laju pertumbuhan kira-kira sama dengan r. Adapun K adalah daya dukung lingkungan dan mewakili populasi maksimum yang dapat ditopang oleh lingkungan. Fungsi ini bersifat parabolik yang simetrik dengan laju pertumbuhan maksimum pada tingkat K. Kurva selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3. dB/dt = f(B) Maksimum
0
B MSY
B∞
B
Gambar 3. Hubungan antara biomassa tangkapan (B) dengan turunan pertama biomassa (Widodo dan Suadi 2008) Beberapa asumsi yang mendasari hukum umum pertumbuhan populasi pada Gambar 3 dapat dikemukakan sebagai berikut: a) Setiap populasi dan ekosistem tertentu akan tumbuh dalam berat sampai mendekati daya dukung maskimum dari ekosistem (terutama dalam kaitannya dengan ketersediaan makanan). Kenaikan dalam berat total perlahan-lahan berhenti manakala ukuran stok semakin mendekati, secara asimtotik, daya dukung dari lingkungan K secara asimtotik. b) Nilai K kira-kira berkaitan erat dengan nilai biomassa dari stok perawan atau yang belum dimanfaatkan (virgin stock). c) Pertumbuhan menurut waktu dari biomassa populasi dapat dilukiskan dengan suatu kurva logistik, turunan pertama dari kurva ini mencapai maksimum. d) Upaya penangkapan yang menurunkan K sampai dengan setengah dari nilai originalnya akan menghasilkan pertumbuhan netto yang tertinggi dari stok, yakni produksi surplus maksimum (maximum surplus yield) yang tersedia dalam suatu populasi e) Surplus produksi maksimum pada butir (d) akan dipertahankan secara lestari (di sinilah berawal yang disebut maximum sustainable yield, MSY) manakala biomassa dari stok yang dieksploitasi dipertahankan pada tingkat K/2
8 Terdapat beberapa alasan biologi yang membuat beberapa asumsi tersebut masuk akal. Beberapa alasan tentang rendahnya produksi surplus pada tingkat ukuran stok lebih besar antara lain dikemukakan oleh Ricker (1975) in Widodo dan Suadi (2008) sebagai berikut: a) Dekat densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi dan kadang-kadang jumlah aktual dari rekrut, lebih rendah dari pada densitas stok ikan yang lebih kecil.
Meningkatkan
rekruitmen
dapat
dicapai
melalui
pengurangan
penangkapan stok ikan. b) Bila suplai makanan terbatas, makanan kurang dikonversikan ke dalam bentuk daging ikan oleh stok yang besar dibandingkan dengan stok yang kecil. Masing-masing individu pada stok ikan besar akan mengkonversi makanan untuk biomassa dalam jumlah sedikit karena makanan akan digunakan untuk bertahan hidup, sedangkan stok ikan kecil memanfaatkan makanan untuk pertumbuhan. c) Suatu stok yang belum dieksploitasi secara relatif akan terdiri dari individuindividu berumur tua dibandingkan dengan stok yang telah dieksploitasi. Hal ini akan menyebabkan produksi menurun, paling tidak melalui dua cara. Pertama, ikan yang lebih besar cenderung makan banyak, konsekuensinya adalah menurunnya efisiensi pemanfaatan dari produsen dasar makanan dalam piramida makanan. Kedua, ikan yang lebih tua akan mengkonversikan makanan yang mereka makan ke dalam bentuk daging baru (berat badan yang lebih tinggi) dalam jumlah yang lebih kecil, sebab ikan yang matang gonad akan memanfaatkan makanan untuk pertumbuhan telur dan sperma. Konsep surplus produksi merupakan konsep dasar dalam ilmu perikanan. Schaefer (1954) in Widodo dan Suadi (2008) menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menduga stok didasarkan pada model surplus produksi logistik. Dasar pemikirannya adalah bahwa peningkatan (increment) populasi ikan akan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang dihasilkan setiap tahun, sedang penurunan dari populasi tersebut (decrement) merupakan akibat dari mortalitas baik karena faktor alam (predasi, penyakit dan lain lain) maupun mortalitas yang disebabkan eksploitasi oleh manusia. Oleh karena itu, populasi akan berada dalam keadaan ekuilibrium bila increment sama dengan decrement .
9 Sparre dan Venema (1999) mengemukakan bahwa model surplus produksi berkaitan dengan suatu stok secara keseluruhan, upaya total dan hasil tangkapan total yang diperoleh dari stok tanpa memasukkan secara rinci beberapa hal seperti parameter pertumbuhan dan mortalitas atau pengaruh ukuran mata jaring terhadap umur ikan yang tertangkap. Model-model holistik lebih sederhana bila dibandingkan dengan model analitik, karena data yang diperlukan juga menjadi lebih sedikit. Sebagai contoh, model-model ini tidak perlu menentukan kelas umur, sehingga dengan demikian tidak perlu melakukan perhitungan penentuan umur. Hal ini merupakan salah satu alasan model surplus produksi banyak digunakan di dalam mengkaji stok ikan di perairan tropis. Model surplus produksi dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total dan hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) berdasarkan spesies serta upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup.
2.3. Model Schaefer (1954) Model Schaefer merupakan formulasi matematika sederhana yang mampu menangkap banyak dari elemen-elemen dinamika populasi stok ikan nyata di dunia (Anderson dan Juan, 2010). Model Schaefer juga menyatakan bahwa pertumbuhan dari suatu stok merupakan suatu fungsi dari besarnya stok tersebut. Jelas bahwa asumsi suatu stok bereaksi seketika terhadap perubahan besarnya stok tidaklah realistik. Oleh karena itu dipergunakan konsep ekuilibrium, dan ini mengacu pada keadaan yang timbul bila suatu mortalitas penangkapan tertentu telah ditanamkan cukup lama ke dalam suatu stok, sehingga memungkinkan stok tersebut menyesuaikan ukuran serta laju pertumbuhannya sedemikian rupa sehingga persamaan yang dikemukakan oleh Schaefer terpenuhi (Suadi dan Widodo 2006). Tinungki (2005) menyatakan pula bahwa perluasan pertama penggunaan model yang dikembangkan oleh Schaefer (1954) didasarkan pada pekerjaan terdahulu Graham (1935). Model Schaefer dapat dirumuskan sebagai berikut: “Misalkan B menyatakan biomassa stok (ukuran berat dari populasi ikan dalam ton), r dinyatakan sebagai laju pertumbuhan alami dari populasi (intrinsic growth rate) dan K adalah daya dukung lingkungan (environmental carrying
10 capacity) atau keseimbangan alamiah dari ukuran stok. Ini didefenisikan sebagai tingkat stok maksimum dari perairan dan lingkungan yang dapat didukung” Schaefer (1954) in Anderson dan Juan (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan (dalam berat biomassa) dari suatu populasi (Bt) dari waktu ke waktu merupakan fungsi dari populasi awal. Schaefer dalam mengembangkan konsepnya mengasumsikan bahwa stok perikanan bersifat homogeni, fungsi pertumbuhannya adalah fungsi logistik dengan area terbatas. Menurut Widodo dan Suadi (2008), asumsi-asumsi model Schaefer adalah: a) Terdapat batas tertinggi dari biomassa (K) b) Laju pertumbuhan adalah relatif dan merupakan fungsi linear dari biomassa c) Stok dalam keadaan seimbang (equilibrium condition) d) Kematian akibat penangkapan (Ct) sebanding dengan upaya (ft) dan koefisien penangkapan (q) e) Meramalkan MSY adalah 50% dari tingkat populasi maksimum Metode keseimbangan sebagai dasar analisis model Schaefer dalam keseimbangan atau steady state. Metode keseimbangan berdasarkan pada asumsi perubahan upaya sedikit demi sedikit sehingga ukuran stok selalu menuju keseimbangan. Itu merupakan kondisi ekologis yang stabil dan hubungan biologi. Dengan asumsi ini, laju pertumbuhan populasi
akan menuju nol. Dalam hal ini
perlu memperoleh bentuk yang paling sederhana untuk model hasil surplus dari prinsip-prinsip awal. Tingkat perubahan biomassa dalam populasi yang terkait, diberikan oleh f(B), fungsi biomassa apapun yang sesuai. Dalam keadaan tidak ada aktivitas penangkapan laju perubahan stok sepanjang waktu dimodelkan sebagai: ……………..…………………..….………...…..................... (2.3.1) f(B) adalah fungsi pertumbuhan dan kematian. Laju pertumbuhan populasi ikan dapat terjadi secara eksponensial, namun karena keterbatasan daya dukung lingkungan terdapat titik maksimum sehingga laju pertumbuhan akan menurun bahkan berhenti. Adapun dalam model kuadratik (logistik), dapat diasumsikan bahwa laju pertumbuhan populasi ikan adalah proporsi perbedaan antara daya dukung lingkungan dan populasi. Salah satu fungsi pertumbuhan yang sering digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik. Menangkap ikan di populasi tertentu
11 akan mengurangi f(B) dengan fungsi usaha penangkapan ikan, yang akan dinyatakan pada persamaan berikut: .........………………..…….…...................... (2.3.2) Apabila jumlah populasi relatif kecil dibandingkan dengan luas wilayahnya maka dapat diasumsikan bahwa populasi ikan tersebut tumbuh secara proporsional terhadap populasi asal, atau secara matematis mengacu dalam Anderson dan Juan, 2010 dapat ditulis sebagai: ……………………………….................................... (2.3.3) Persamaan secara grafik persamaan (2.3.3) dapat dilihat pada Gambar 4: dBt/dt = f(B)
Bt
Gambar 4. Kurva hubungan kuadratik antara biomassa (Bt) dengan turunan pertama biomassa terhadap waktu (dBt/dt = f(B)) (Widodo dan Suadi 2008) Wu, et al. (2010) menyatakan bahwa tangkapan maksimum lestari (MSY), upaya penangkapan untuk mencapai MSY (FMSY) dan biomassa MSY dapat diduga dengan mengasumsikan laju perubahan biomassa adalah nol sepanjang tahun. Gambar 3 di atas memperlihatkan pada saat pertumbuhan f(B) = 0, saat mengakibatkan Bt = K, namun pada saat K cukup besar maka
. Laju
pertumbuhan alami merupakan pertumbuhan alamiah, atau biasa juga disebut sebagai laju pertumbuhan tercepat yang dimiliki oleh suatu jenis ikan. Pertumbuhan biomassa ikan di atas diasumsikan berlaku tanpa adanya gangguan atau penangkapan oleh manusia. Jika kemudian produksi perikanan diasumsikan tergantung dari input (upaya, Ft) dan jumlah biomassa ikan yang tersedia Bt serta
12 kemampuan teknologi yang digunakan q (yang disebut koefisian penangkapan), maka hasil tangkapan adalah sebagai berikut: ……………....…....…………………...…...........……….…. (2.3.4) Persamaan (2.3.4) umumnya digunakan sebagai fungsi produksi panen ikan. Menyelesaikan model produksi surplus, diperlukan bentuk yang layak untuk dua fungsi yang cocok dengan data yang tersedia. Jika penangkapan Ct dimasukkan ke dalam model, dan diasumsikan bahwa penangkapan berkorelasi linear terhadap biomassa (Bt) dan input atau effort (Ft), maka laju pertumbuhan biomassa menjadi
………………...….…...........................….. (2.3.5) Asumsi keseimbangan dimana laju pertumbuhan mendekati nol, dalam hal ini masalah yang dihadapi oleh pengelola perikanan adanya peubah biomassa yang teramati, dimana hanya data produksi Ct dan jumlah input Ft yang digunakan seperti jumlah kapal, jumlah trip atau hari melaut. Sehingga persamaan (2.3.5) dapat dipecahkan untuk mencari nilai biomassa B diperoleh hubungan antara hasil tangkapan lestari dan input digunakan sebagai berikut: ………………………….................................…..….. (2.3.6) dengan mensubsitusi persamaan (6) ke dalam persamaan (4) diperoleh:
………………..…..................................….…..... (2.3.7) Persamaan (2.3.7) dengan q sebuah konstanta, disebut sebagai koefisien penangkapan. Bagaimana ukuran penangkapannya (atau peluang tertangkap satu unit dari stok) per unit dari stok akan berubah jika upaya berubah satu satuan. Ft adalah variabel upaya penangkapan. Persamaan (2.3.7) dapat juga digunakan untuk menyatakan hubungan antara penangkapan per satuan upaya (CPUE) dan level stok. Persamaan (2.4.7) akan menjadi linear jika dibagi dengan Ft: …………………..………..........................……...….. (2.3.8) …………………….…………..............................….... (2.3.9)
13
Jika
…..……...................….
, maka
(2.3.10) Persamaan (2.3.10) merupakan asumsi model Schaefer, pada hubungan keseimbangan antara CPUEt (catcth per unit effort) dan Ft (effort) adalah linear. Persamaan ini dapat dituliskan sebagai berikut: ……………………….………...…….....…..... (2.3.11) Sehingga hubungan antara effort ( ) dan catch ( ) dapat dinyatakan sebagai berikut: ………...……………..……..............................…….…. (2.3.12) Upaya optimum (fopt) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama tangkapan per satuan upaya (CPUE) sama dengan nol: …………………………..................…(2.3.13) .….……………...……….……..……...……...................... (2.3.14) Nilai tangkapan optimum atau jumlah tangkapan maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan mensubsitusi nilai upaya optimum perasamaan (2.3.14) ke dalam persamaan (2.3.12):
………………………...........................................… (2.3.15) Penggunaan satu persamaan ini dapat menduga parameter-parameter fungsi produksi surplus dengan meregresikan data runtun waktu (time series) jumlah tangkapan (catch) dan upaya (effort). Tinungki (2005) menyebutkan bahwa salah satu keuntungan model Schaefer adalah dapat digunakan dengan tidak tergantung pada adanya data kelimpahan stok. Jika data runtun waktu untuk data penangkapan dan upaya tersedia, maka pendugaan parameter-parameter dengan menggunakan metode regresi linear sederhana dapat dilakukan. Model Schaefer mengasumsikan populasi pertumbuhan logistik yakni tangkapan meningkat secara cepat di awal, namun kemudian laju perubahannya
14 melambat dengan peningkatan upaya (Coppola dan Pascoe 1998). Model ini menetapkan dua hasil dasar, yaitu: a) Upaya penangkapan adalah suatu fungsi linear dari ukuran populasi (atau tangkapan per satuan upaya) b) Jumlah tangkapan adalah suatu fungsi parabola dari upaya penangkapan (Widodo 1986 in Pasisingi 2011)
2.4. Model Fox (1970) Model Fox (1970) in Pasisingi (2011) memiliki karakter bahwa pertumbuhan biomassa mengikuti model pertumbuhan Gompertz, dan penurunan tangkapan per satuan upaya (CPUEt) terhadap upaya penangkapan (Ft) mengikuti pola eksponensial negatif, yang lebih masuk akal dibandingkan dengan pola regresi linier. Asumsi yang digunakan dalam model Fox (1970) adalah: a) Populasi dianggap tidak akan punah b) Populasi sebagai jumlah dari individu ikan Model ini memperlihatkan grafik lengkung bila terhadap upaya ft akan tetapi bila
secara langsung diplot
diplot dalam bentuk logaritma terhadap upaya,
maka akan menghasilkan garis lurus:
....................................................................... (2.4.1) Model tersebut mengikuti asumsi bahwa
menurun dengan meningkatnya
upaya. Model Fox dan Schaefer berbeda dalam hal dimana model Schaefer menyatakan satu tingkatan upaya dapat dicapai pada nilai sedangkan pada model Fox,
= 0 yaitu bila
adalah selalu lebih besar dari nol untuk seluruh nilai
. Bila
diplotkan terhadap ft akan menghasilkan garis lurus, pada model
Schaefer, namun menghasilkan lengkung yang mendekati nol hanya pada tingkatan
15 upaya yang tinggi, tanpa pernah menyentuh sumbu
pada model Fox. Gambar 5
memperlihatkan perbandingan antara kurva model Schaefer dan model Fox.
Gambar 5. Kurva model Schaefer (--------) dan Fox (--------) Fox menyatakan bahwa hubungan antara effort (ft) dan catch (Ct) adalah bentuk eksponensial dengan kurva yang tidak simetris, dan dinyatakan bahwa hubungan antara effort (ft) dan catch per unit effort (CPUEt) adalah sebagai berikut: ...................................................................... (2.4.2) Hubungan antara effort dan catch adalah: .......................................................................................... (2.4.3) Upaya optimum (fopt) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama catch (Ct) terhadap effort (ft) sama dengan nol: .................................................... (2.4.4) sehingga: ............................................................................................... (2.4.5) Produksi maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan mensubsitusikan nilai upaya optimum ke dalam persamaan (2.4.3) sehingga: ........................................................................(2.4.6) besarnya parameter a dan b secara sistematis dapat dicari dengan mempergunakan persamaan regresi. Rumus-rumus untuk model produksi surplus ini hanya berlaku bila parameter slope (b) bernilai negatif, artinya penambahan jumlah effort akan
16 menyebabkan penurunan CPUE. Bila dalam perhitungan diperoleh nilai b positif maka tidak dapat dilakukan pendugaan stok maksimum maupun besarnya effort minimum, tetapi hanya dapat disimpulkan bahwa penambahan jumlah effort masih menambah hasil tangkapan. Penelitian komponen-komponen sumberdaya perikanan dan potensinya dilakukan terhadap kondisi perikanan yang sekarang ada. Informasi ini diperlukan untuk perencanaan pengembangan perikanan masa yang akan datang (Tinungki 2005).
2.5. Model Walter Hilborn (1976) Model Walter Hilborn (1976) merupakan model yang dapat memberikan dugaan masing-masing untuk parameter fungsi produksi surplus r, q dan K dari tiga koefisien regresi. Persamaan model ini sebagai berikut: ……………............................................. (2.5.1) Prosedur model Walter-Hilborn adalah sebagai berikut:
.................................................................................................. (2.5.2)
Jika maka:
yang menyatakan CPUE (catch per unit effort) Persamaan dasar model produksi surplus dapat diformlasikan kembali sebagai berikut: .................................... (2.5.3) Penyusunan kembali persamaan (2.5.3) dengan memindahkan kiri dan mengalikan persamaan dengan
ke sisi
sehingga diperoleh persamaan:
............................................... (2.5.4) Persamaan di atas diregresikan dengan laju perubahan biomassa sebagai peubah tidak bebas dan upaya penangkapan sebagai peubah bebas. Persamaan regresinya menjadi:
17 ..................................................................... (2.5.5)
Keterangan rumus (2.5.5):
2.6. Model Schnute (1977) Schnute mengetengahkan versi lain dari model surplus produksi yang bersifat dinamik, discrete in time, serta deterministik dari cara Graham-Schaefer. Di sisi lain, memberikan model waktu dinamis, stokastik, dan khusus untuk model produksi surplus yang bertentangan dengan model statis, deterministik, dan kontinyu dari model Graham-Schaefer yang lain. Model Schnute dipandang sebagai modifikasi model Schaefer dalam bentuk diskrit (Roff 1983 in Tinungki 2005). Dasar dari model Schnute adalah: ............................................................................ (2.6.1) Pada rumus (2.6.1),
sehingga:
........................................................................ (2.6.2) jika persamaan (2.6.2) diintegrasikan dan dilakukan satu langkah setahun ke depan diperoleh: ....................................................... (2.6.3) pada rumus (2.6.3),
dan
Persamaan (2.6.3), selanjutnya disederhanakan dimana CPUE dan f masingmasing adalah rata-rata catch per unit effort dan rata-rata upaya penangkapan per tahun. Ini memberikan persamaan: ........................................................... (2.6.4)
18 Beberapa manipulasi aljabar persamaan (2.6.4) dimodifikasi, sehingga Schnute (1977) in Masters (2007) menunjukkan bahwa persamaan produksi surplus Schaefer dapat ditransformasi ke dalam bentuk linear berganda sebagai berikut: .........................................................................(2.6.5)
Persamaan ini dapat menduga parameter-parameter q, K dan r sebagai berikut:
Keuntungan dari model Schnute disamping secara teori lebih masuk akal. Model ini juga mempunyai beberapa keuntungan praktis. Salah satu keuntungan adalah untuk data tangkapan dan upaya yang nilainya dimulai dari periode tahun tertentu dapat digunakan untuk memprediksi tangkapan dan upaya optimum periode tahun yang akan datang dari data yang periode sebelumnya.
2.7. Model Clarke Yoshimoto Pooley (1992) Mengestimasi parameter biologi dari model produksi surplus adalah melalui pendugaan koefisien yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley. Parameter-parameter r (laju pertumbuhan alami), q (koefisien kemampuan penangkapan), dan K (daya dukung lingkungan) yang dapat menggunakan model Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) menurut Tinungki, et al. (2005) dinyatakan sebagai berikut: ............ (2.7.1) sehingga persamaan (2.7.1) dapat ditulis dalam bentuk persamaan linear berganda sebagai berikut: ........................... (2.7.2) dengan:
19 Perhitungan parameter r, q, dan K akan didapatkan kesulitan sehingga dibuat algoritma (Fauzi 2002 in Pasisingi 2011). Koefisien regresi a, b, c diperlukan dalam menentukan: .................................................................................................. (2.7.3) .......................................................................................... (2.7.4) ........................................................................................ (2.7.5) nilai Q diperlukan dalam menghitung nilai K ........................................................................................ (2.7.6)
2.8. Analisis Bioekonomi Perikanan Menurut Fauzi dan Anna (2005) dasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga. Terkandung dua makna dari pernyataan tersebut yaitu makna ekonomi dan makna konservasi atau biologi. Dengan demikian pemanfaatan optimal sumberdaya ikan harus mengakomodasi kedua ilmu tersebut. Oleh karena itu, pendekatan bioekonomi dalam pengelolaan sumberdaya ikan merupakan hal yang harus dipahami oleh setiap pelaku yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Istilah bioekonomi diperkenalkan oleh Scott Gordon, seorang ahli ekonomi dari Kanada yang pertama kali menggunakan pendekatan ekonomi untuk menganalisis pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal (Fauzi dan Anna 2005). Pendekatan bioekonomi diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karena selama ini permasalahan perikanan hanya terfokus pada maksimalisasi penangkapan dengan mengabaikan faktor produksi dan biaya yang dipergunakan dalam usaha perikanan. Dengan permasalahan tersebut maka Gordon melakukan analisis berdasarkan konsep produksi biologi yang kemudian dikembangkan oleh Schaefer (1957), kemudian konsep dasar bioekonomi ini dikenal dengan teori Gordon-Schaefer (Nabunome 2007). Konsep MSY didasarkan atas suatu model yang sangat sederhana dari suatu populasi ikan yang dianggap sebagai unit tunggal.
20 Konsep ini dikembangkan dari kurva biologi yang menggambarkan yield sebagai fungsi dari effort dengan suatu nilai maksimum yang jelas, terutama bentuk parabola dari model Schaefer yang paling sederhana (Widodo dan Suadi 2008). Konsep MSY ini memiliki beberapa keuntungan diantaranya konsep MSY ini dapat ditentukan dengan ukuran fisik yang sederhana yaitu berat atau jumah ikan yang tertangkap sehingga tentunya dapat menghindarkan perbedaan-perbedaaan dalam wilayah suatu negara bila dibandingkan dengan kriteria lainnya, misalnya: harga hasil tangkapan atau penurunan biaya operasi (Widodo dan Suadi 2008). Selain terdapat beberapa keuntungan, konsep MSY juga memilki beberapa kelemahan diantaranya banyak stok ikan yang dinamikanya tidak dapat dilukiskan hanya dengan gambaran yang sesederhana itu sehingga akan sulit menentukan letak MSY dari sumberdaya tersebut. Konsep MSY juga tidak dapat menampung berbagai interaksi populasi dengan populasi lainnya, adanya struktur umur dalam populasi, dan adanya recruitment (Widodo dan Suadi 2008). Menurut Conrad dan Clark (1987) in Fauzi 2010 kelemahan pendekatan MSY antara lain : (1) bersifat tidak stabil karena perkiraan stok yang meleset dapat mengakibatkan pada pengurasan stok; (2) hanya didasarkan pada kondisi steady state (keseimbangan); (3) tidak dapat diterapkan pada perikanan yang multispesies; (4) tidak memperhitungkan nilai ekonomis jika stok ikan tidak dipanen; dan (5) mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya. Menyadari kelemahan dari kurva MSY, Gordon (1954) in Fauzi 2010 mengembangkan aspek ekonomi pengelolaan perikanan yang dikenal dengan istilah model biologi Gordon-Schaefer. Adapun asumsi yang mendasari adanya model ini ialah sebagai berikut : 1. Harga persatuan output (P) (Rp/kg) diasumsikan konstan 2. Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan 3. Bersifat single species 4. Struktur pasar bersifat kompetitif 5. Nelayan bersifat price taker yang artinya tidak dapat menentukan harga 6. Hanya faktor penangkapan yang dihitung sedangkan faktor lainnya seperti pasca panen tidak ikut diperhitungkan
21 Pada asumsi model Gordon-Schaefer, manfaat ekonomi (economic rent) dapat diperoleh dari selisih antara penerimaan total (total revenue) atau biasa disebut TR dengan biaya yang dikeluarkan. Nilai TR diperoleh dari perkalian antara harga per satuan ikan yang dijual (Rp/kg) dengan produksi lestari sebagaimana ditulis pada persamaan berikut : TR = ph (E) = pqKE
……................................................……….(2.8.1)
Persamaan (2.8.1) merupakan persamaan kuadratik terhadap effort dengan konstanta p, q, r, dan K. Persamaan di atas bisa ditulis menjadi lebih sederhana dalam bentuk TR =
dimana
=pqK sementara
= (p
K)/r sehingga plot
kurva TR akan berbentuk parabolik. Gordon (1954) mengasumsikan bahwa TC (total cost) bersifat linier terhadap input (effort) atau dapat ditulis : TC = cE……….......................................................................................(2.8.2) Konstanta c selain menggambarkan biaya per unit input juga menggambarkan biaya yang dikorbankan dari input (effort) yang digunakan. Sebagaimana yang telah dikemukakan, manfaat ekonomi dapat digabungkan antara persamaan (2.8.1) dan (2.8.2) sehingga manfaat atau rente ekonomi dari penangkapan ikan dapat ditulis menjadi :
= pqKE
– cE……………............................................………(2.8.3)
Dapat dilihat bahwa terdapat dua kesimbangan utama yang mendasari efisiensi pengelolaan perikanan yaitu manakala kurva TR dengan kurva TC bersinggungan pada titik A. Adapun titik ini terjadi pada tingkat input (effort) sebesar E (Gambar 6).
Gambar 6. Keseimbangan Ekonomi Model Gordon-Schaefer (Fauzi 2010)
22 Pada kondisi perikanan yang terbuka, rente ekonomi yang positif akan menimbulkan daya tarik dari armada lain untuk ikut berpartisipasi dalam perikanan diantarnya adanya penambahan input seperti peningkatan ukuran kapal, penambahan tenaga kerja. Secara agregart input (effort) akan bertambah ditunjukkan oleh arah panah ke kanan yang dapat dikatakan sebagai proses entry dalam akses terbuka. Hal ini terus berlangsung sampai rente ekonomi terkuras. Sebaliknya, jika terjadi defisit rente ekonomi dimana biaya lebih besar dari penerimaan (TC
TR) akan terjadi
pengurangan input (exit yang ditunjukkan oleh arah panah ke kiri. Hal ini akan berlangsung secara terus menerus sampai rente ekonomi tekuras habis dengan sendirinya. Hanya pada titik E = E∞, proses exit dan entry akan berhenti dan titik ini disebut sebagai titik keseimbangan terbuka. Gordon juga melihat jika ditarik garis sejajar antara total biaya dan slope kurva penerimaan atau kurva TR akan diperoleh jarak tertinggi (rent) antara penerimaan dan biaya. Jarak tersebut merupakan manfaat ekonomi yang maksimum. Tingkat input pada keseimbangan ini terjadi pada E0. Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa input yang dibutuhkan pada kondisi akses terbuka dengan rente ekonomi yang nol jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan pada keuntungan yang maksimum sehingga Gordon menyebutkan bahwa keseimbangan akses terbuka tidak optimal secara sosial karena biaya korbanan yang terlalu besar. Pengelolaan yang optimal dan efisien dalam perspektif model Gordon-Schaefer ini secara sosial ada pada titik E0 yang dikenal dengan titik MEY (maximum economic yield). Titik MEY ini bisa diperoleh jika perikanan dikendalikan dengan kepemilikan yang jelas atau disebut dengan istilah “sole owner” (Fauzi 2010). Menurut Anderson (2010) bahwa maxsimum economic yield (MEY) dapat dicapai apabila kurva penerimaan marginal memotong kurva biaya marginal, sedangkan produksi open access terjadi bila penerimaan total seimbang dengan biaya total sehingga laba upaya penangkapan sama dengan nol. Effort yang dibutuhkan pada kondisi open access dengan rente ekonomi nol, jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan pada keuntungan maksimum yaitu pada kondisi rezim MEY. Gordon in Fauzi 2010 menyebutkan bahwa keseimbangan open access tidak optimal secara sosial karena biaya korbanan yang terlalu besar. Oleh karena itu untuk memperoleh keuntungan secara fisik (biologi) dan ekonomis untuk kelestarian
23 sumberdaya ikan maka input dalam usaha perikanan yang ideal berada pada titik MEY. Titik keseimbangan yang ketiga yakni ketika kurva TR mencapai titik maksimum yang berhubungan dengan titk input sebesar Emsy. Meskipun kurva TR mencapai titik maksimum, namun jarak dengan kurva TC bukanlah jarak terbesar atau dapat dikatakan tidak dihasilkan rente ekonomi yang maksimum, sehingga input pada Emsy tidak dapat dikatakan sebagai input yang optimal secara sosial (Fauzi 2010).
2.9. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan perikanan meliputi banyak aspek termasuk dalam aspek sumberdaya ikan, habitat. manusia, serta berbagai faktor eksternal lainnya. Seperti yang telah diuraikan oleh FAO (1997), pengelolaan peikanan merupakan proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuat keputusan, alokasi sumberdaya,dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang perikanan dalam rangka menjamin keberlangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya (Widodo dan Suadi 2008). Berdasarkan hal tersebut, pengelolaan perikanan membutuhkan bukti-bukti ilmiah terbaik, proses diskusi melalui konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder), dan penetapan berbagai tujuan dan strategi pengelolaan melalui pembuat keputusan, alokasi sumber daya dan implementasi aturan mainnya (Widodo dan Suadi 2008). Pengelolaan perikanan saat ini harus diperhatikan dikarenakan (1) semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan, dan (2) meningkatnya kesadaran dan kepedulian umum untuk memanfaatkan lingkungan secara bijaksana dan berbagai upaya yang berkelanjutan (Widodo dan Suadi 2008).