2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Lobster Air Tawar Capit Merah (Cherax quadricarinatus) Lobster air tawar capit merah (Cherax quadricarinatus) termasuk ke dalam Keluarga Parasticidae.
Klasifikasi lobster air tawar capit merah menurut
Sukmajaya dan Suharjo (2003) sebagai berikut: Filum
: Arthropoda
Subfilum
: Crustacea
Kelas
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Famili
: Parastacidae
Genus
: Cherax
Spesies
: Cherax quadricarinatus
Gambar 1 Lobster air tawar capit merah (Cherax quadricarinatus) (Sumber: dokumentasi pribadi) Tubuh lobster terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian depan yang terdiri dari kepala dan dada yang disebut chepalothorax. Sementara bagian belakang terdiri dari badan dan ekor yang disebut abdomen. Kepala ditutupi oleh kulit atau cangkang kepala (carapace).
Kelopak kepala bagian depan disebut rostrum.
Bentuknya meruncing dan bergerigi. Kepala lobster terdiri dari enam bagian ruas. Pada ruas pertama terdapat sepasang mata yang bertangkai dan bisa digerakgerakan. Pada ruas kedua dan ketiga terdapat sepasang sungut kecil (antennula) dan sungut besar (antenna). Pada ruas keempat, kelima dan keenam terdapat
5
rahang (mandibula), maxilla I, dan maxilla II. Ketiga bagian ini berfungsi sebagai alat makan. Pada bagian kepala terdapat lima pasang kaki (periopod). Kaki pertama, kedua, ketiga mengalami perubahan bentuk dan fungsi menjadi capit. Capit pertama berfungsi sebagai senjata untuk menghadapi lawan. Capit kedua dan ketiga digunakan sebagai alat yang berfungsi seperti tangan. Sementara dua pasang kaki lainnya digunakan sebagai alat gerak atau sebagai kaki jalan. Di bagian abdomen terdapat empat pasang kaki renang yang terletak dimasingmasing ruas. Kaki-kaki tersebut berfungsi sebagai kaki renang. Sementara bagian ekor terdiri dari dua bagian, yaitu ekor kipas (uropoda) dan ujung ekor (telson) (Hartono dan Wiyanto 2006). Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) sangat cocok hidup di lingkungan dengan suhu air optimal pada kisaran 20-24 °C, pH 7-8, dan kesadahan air 10-20 odH. Panjang tubuh red claw dewasa dapat mencapai 50 cm dengan bobot berat sekitar 800-1000 g per ekor. Lobster memiliki sifat kanibal, yaitu sifat yang suka memangsa jenisnya sendiri. Dalam keadaan lemah, lobster yang mengalami moulting akan dimangsa oleh lobster lainnya.
Untuk
menghindari kanibalisme, biasanya lobster yang sedang moulting mencari tempat persembunyian (Hartono dan Wiyanto 2006).
2.2 Anestesi dengan Arus Listrik Anestesi ialah suatu kondisi dimana tubuh atau bagian tubuh kehilangan kemampuan untuk merasa (insensibility).
Anestesi dapat disebabkan oleh
senyawa kimia, suhu rendah, dan arus listrik (Albani et al. 2008). Imotilisasi atau anestesi pada lobster air tawar dilakukan untuk menekan aktivitas lobster sehingga pada saat lobster dikemas tidak mencapit dan mudah ditangani, selain itu juga dapat menekan proses metabolisme selama transportasi (Suryaningrum et al. 2007). Penggunaan arus listrik sebagai pembius ikan atau lobster masih terbilang baru, namun telah ada beberapa kajian mengenai hal tersebut.
Yustiningsih
(2002) dan Achmadi (2005) menjelaskan bahwa penggunaan sistem elektrik dapat digunakan sebagai media pemingsanan dan pembugaran ikan. Penggunaan arus listrik dalam anestesi dapat terjadi dikarenakan adanya kejutan arus listrik yang
6
dapat menyebabkan terganggunya kesetimbangan kationik yang mengakibatkan lobster mati rasa (pingsan) akibat sistem syaraf yang tidak berfungsi. Menurut Kiranadi (2005) diacu dalam Achmadi (2005), adanya gangguan berupa sengatan listrik dapat mengganggu permeabilitas membran sel syaraf yang mengakibatkan keluarnya sejumlah kation (K+) dan masuknya sejumlah anion (Cl-) sehingga potensial membran menjadi negatif. Dalam keadaan demikian lobster kehilangan kesadarannya (insensible).
Selain itu, diketahui bahwa adanya gangguan
keseimbangan ionik dalam otak yang disebabkan sengatan listrik dapat mempengaruhi sistem kerja syaraf motorik dan pernapasan lobster. Kuschinsky dan Lullman (1973) menyatakan bahwa gangguan keseimbangan ionik dalam otak ikan menyebabkan insang tidak dapat berfungsi secara normal dan proses distribusi oksigen yang terlarut dalam air ke dalam sel-sel darah dan insang tergangggu sehingga kadar oksigen terlarut juga sangat rendah. Hilangnya kesadaran atau turunnya metabolisme basal berkolerasi dengan tegangan, kuat arus, dan daya listrik serta ukuran dan jenis ikan. Pada tegangan arus yang tepat ikan dapat pingsan bila diberi kejutan oleh arus listrik, tetapi tegangan arus listrik yang terlalu besar dapat menyebabkan kematian dan untuk tegangan arus yang kecil dapat ditoleransi ikan (Albani et al. 2008). Tanda-tanda kejut listrik yang efektif adalah kejangnya anggota tubuh, opistotonus (melengkungnya anggota badan dan pengejangan tubuh), bola mata merotasi ke bawah, dan kejang tonik berubah menjadi kejang klonik dengan akhirnya otot keadaan normal (Close et al. 1996). Sementara ICFAW (2010) menambahkan bahwa tanda-tanda pingsan meliputi menurunnya gerakan tubuh dan pernapasan (menurunnya aktivitas operculum), menurunnya respon secara visual, dan menurunnya refleks vestibulo-ocular (VOR, pergerakan mata). Perlakuan penggunaan arus listrik pada ikan akan menimbulkan suatu efek stimulan yang dapat mengganggu keseimbangan pada otak ikan.
Ikan akan
menjadi mati rasa dan lama-kelamaan akan pingsan. Menurut Mc Farland (1959), kondisi ikan pingsan dapat dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu pingsan ringan (light sedation), pingsan berat (deep sedation), kehilangan keseimbangan serta gerak reflek tidak ada, dan roboh (modullary collapse). Fase pingsan berat (deep sedation) merupakan fase yang sangat dianjurkan untuk pengangkutan ikan,
7
karena pada fase ini aktivitas ikan relatif terhenti. Ikan tidak terpengaruh oleh ganggungan luar serta keseimbangan posisi tubuhnya tetap terjaga. Pada fase ini konsumsi oksigen dari ikan berada pada kadar dasar (basal rate) yang dibutuhkan untuk ikan tersebut agar tetap hidup (Mc Farland 1959).
2.3 Transportasi Lobster Hidup Sistem Kering Salah satu kelebihan dari lobster air tawar dibandingkan dengan lobster air laut adalah kemampuan hidup di luar media air dalam lingkungan yang lembab dalam waktu yang lebih lama. Oleh karena itu, lobster air tawar diperdagangkan dalam keadaan hidup dan transportasi dilakukan dalam sistem kering. Transportasi sistem kering menggunakan prinsip hibemasi. Hibernasi merupakan usaha untuk menekan metabolisme suatu organisme sehingga dalam kondisi lingkungan yang minimum organisme tersebut mampu bertahan (Junianto 2003). Transportasi lobster hidup tanpa media air (sistem kering) merupakan sistem pengangkutan lobster hidup dengan media pengangkutan bukan air. Oleh karena itu, pada sistem ini lobster dibuat dalam kondisi tenang atau aktivitas respirasi dan metabolismenya rendah. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam transportasi biota perairan hidup sistem kering antara lain suhu lingkungan, kadar oksigen, dan proses metabolisme (Andasuryani 2003) serta tingkat kepadatan dalam kemasan (Suryaningrum et al. 2008). Media yang digunakan untuk transportasi harus bersifat lembab dengan suhu di dalam kemasan dipertahankan berkisar antara 12,9 – 25,4 oC.
Pada kondisi tersebut transportasi lobster lebih lama dan
kelulusan hidupnya tinggi (Suryaningrum et al. 2007). Stabilitas suhu dalam kemasan juga memegang peranan yang sangat penting, karena perubahan suhu yang tajam dapat mengakibatkan kematian ikan (Nitibaskara et al. 2006). Suhu lingkungan yang tinggi akan menyebabkan terjadinya peningkatan kecepatan metabolisme. Keadaan ini menyebabkan lobster memerlukan banyak oksigen untuk respirasinya, sementara ketersediaan oksigen dalam sistem kering terbatas. Oleh karena itu, dalam transportasi sistem kering suhu media diatur sedemikian rupa sehingga tetap rendah guna mempertahankan lobster berada pada kondisi metabolisme basal (Suryaningrum et al. 2005). Selain itu, biota perairan yang
8
dikemas dengan kepadatan yang lebih tinggi akan memiliki tingkat kelulusan hidup yang lebih rendah (Ning 2009). Pada transportasi lobster hidup sistem kering, semakin lama waktu penyimpanan/pengangkutan maka suhu yang dibutuhkan juga semakin rendah. Hubungan waktu penyimpanan dengan suhu penyimpanan pada transportasi lobster hidup sistem kering disajikan pada tabel 1. Tabel 1 Hubungan waktu penyimpanan dengan suhu penyimpanan Waktu pengangkutan (jam) 12-15 15-20 20-80 30-50 50-90
Suhu penyimpanan (oC) 16-14 14-12 12-10 10-6 6-4
(Sumber: Rahman dan Srikirishnadhas 1994)
Lobster yang akan ditransportasikan harus dalam keadaan bugar, sehat, antena dan kaki harus lengkap, kaki tidak boleh patah, tidak sedang ganti kulit (mouting), dan sebaiknya tidak sedang bertelur (Suryaningrum et al. 2005). Selama transportasi lobster mengalami penyusutan berat, semakin lama transportasi semakin besar penyusutannya. Idealnya dalam pemasaran lobster penurunan bobot tidak boleh lebih dari 5%, karena akan berdampak langsung terhadap menurunnya harga jual lobster (Suryaningrum et al. 2007).
Hasil
penelitian terhadap Cherax tenuimanusi menunjukkan bahwa bobot lobster setelah ditransportasikan selama 24 jam turun sebesar 3,9% dan setelah lebih dari 24 jam menjadi 4,3%. Demikian juga dengan populasinya, semakin padat semakin besar penurunan bobotnya (Morrissy et al. 2001). Pada dasarnya lobster dapat bertahan tanpa diberi pakan selama 7 hari, sehingga lobster dapat ditransportasikan sampai 7 hari. Namun, semakin lama waktu transportasi resiko kematian lobster semakin tinggi dan penyusutan semakin besar (Suryaningrum et al. 2007). Pada saat lobster ditransportasikan dalam keadaan tanpa air, rongga karapasnya masih mengandung air yang dapat digunakan oleh lobster untuk menyerap kandungan oksigennya. Selain itu, tingginya kemampuan hidup lobster di luar media air dalam lingkungan yang lembab dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, sistem transportasi kering/tanpa media air dapat diterapkan pada lobster (Suryaningrum et al. 2005; 2007).
9
2.4 Media Pengisi Kemasan Pada pengangkutan sistem kering diperlukan media pengisi sebagai pengganti air. Menurut Herodian et al. (2004) yang dimaksud dengan media pengisi adalah bahan yang dapat ditempatkan diantara udang hidup dalam kemasan untuk menahan atau mencekal udang dalam posisinya. Bahan pengisi memiliki fungsi antara lain mampu menahan ikan tidak bergerser dalam kemasan, menjaga lingkungan suhu rendah agar ikan tetap imotil serta memberi lingkungan udara dan kelembaban yang memadai untuk kelangsungan hidupnya (Wibowo dan Soekarto 1993; Junianto 2003). Syarat media pengisi yang baik adalah memiliki sifat berongga, memiliki sifat mencekal biota perairan dalam kemasan, tidak mudah rusak atau menimbulkan bau, dan memiliki nilai ekonomis yang rendah ditinjau dari harga bahan (Prasetiyo 1993). Selain itu, media pengisi yang digunakan memiliki daya serap air yang tinggi, mampu mempertahankan suhu rendah dalam waktu relatif lama, dan kondisi media harus stabil (Suryaningrum et al. 2007). Jenis media yang dapat digunakan untuk transportasi krustasea hidup dengan sistem kering adalah serbuk gergaji, kertas koran, serutan kayu, rumput laut, dan karung goni. Serbuk gergaji adalah media pengisi kemasan yang paling efektif dan efisien untuk pengemasan ikan hidup. Serbuk gergaji juga merupakan jenis media pengisi yang paling sering digunakan pada transportasi udang hidup tanpa media air. Hal tersebut disebabkan karena teksturnya yang baik (seragam) dan nilai ekonomisnya rendah. Selain itu, Serbuk gergaji dapat digunakan sebagai media pengisi karena mempunyai panas jenis yang lebih besar daripada sekam atau serutan kayu (Junianto 2003). Serbuk gergaji yang digunakan dipilih dari jenis kayu yang tidak menghasilkan racun, tidak berbau tajam, dan bersih. Dalam transportasi biota perairan hidup sistem kering, kestabilan suhu media pengisi kemasan harus diperhatikan. Suhu media kemasan yang optimum untuk transportasi lobster sistem kering sebaiknya berkisar antara 15-20 oC. Pada suhu ini lobster dalam kondisi tenang sehingga aktivitas lobster tidak banyak bergerak.
Suhu kemasan juga tidak boleh terlalu dingin atau kurang dari
o
12 C, jika lobster berada pada suhu terlalu dingin dalam jangka waktu yang lama maka lobster akan mengalami eklamsia yang dapat menyebabkan kematian
10
(Suryaningrum et al. 2007). Suhu media kemasan yang tetap rendah berperan dalam mempertahankan tingkat terbiusnya biota perairan selama pengangkutan sehingga ikut mempertahankan ketahanan hidup biota perairan dalam media bukan air (Junianto 2003). Selain itu, kelembaban pada media pengisi kemasan juga sangat penting dalam transportasi udang tanpa media air (Ahdiyah 2011). Media pengisi yang digunakan
dalam
transportasi
udang/lobster
hidup
sebaiknya
memiliki
kelembaban 70-100% untuk mencegah dehidrasi pada udang/lobster dan mengurangi mortalitas selama transportasi karena jika udara di sekitar memiliki kelembaban kurang dari 70% maka oksigen di udara menjadi kering dan hal ini tidak baik bagi lobster (Mohamed dan Devaraj 1997).
Sufianto (2008)
menambahkan bahwa pertukaran gas secara difusi pada ikan terjadi pada kondisi media pengisi yang lembab dan dingin.
Hal tersebut memungkinkan karena
media bukan air yang lembab memberi suasana yang lembab dan basah di daerah sekitar insang sehingga titik air yang menempel pada insang menjadi media pertukaran gas secara difusi dengan lingkungan sekitar.
Hal ini mendukung
lobster untuk dapat bertahan hidup lebih lama di luar media air dalam lingkungan yang lembab.
2.5 Pengemasan Pengemasan berperan penting untuk mencegah atau mengurangi kerusakan bahan yang dikemas. Selain itu, pengemasan juga berfungsi untuk mempermudah penyimpanan, pengangkutan, dan distribusi hasil pertanian (Herodian et al. 2004). Teknik pengemasan sangat penting untuk transportasi lobster hidup sistem kering. Pengemasan lobster hidup sistem kering menggunakan kotak styrofoam sebagai kemasan primer dan kotak karton sebagai kemasan sekunder.
Kotak karton
kardus yang digunakan sebaiknya berdinding ganda yang dilapisi dengan lapisan lilin. Lapisan lilin dimaksudkan untuk mencegah kerusakan kotak karton kardus karena kelembaban yang tinggi selama pengemasan. Adapun kotak styrofoam berfungsi sebagai isolator panas untuk mencegah panas yang masuk dalam kemasan (Junianto 2003). Selain itu, kotak styrofoam dipilih karena memilki daya insulasi tinggi (Herodian et al. 2003).
11
Pengemasan lobster air tawar dilakukan dengan mengemas lobster dalam kotak styrofoam yang berisi media pengisi kemasan berupa serbuk gergaji dengan ditambahkan es pada bagian bawah media kemasan, lalu kotak styrofoam dilekatkan dengan menggunakan lakban.
Hal yang perlu diperhatikan dalam
pengemasan lobster adalah penggunaan es untuk mempertahankan suhu media kemasan. Kemasan yang tidak diberi es pada bagian dasar media pengisi kemasan berisiko pada tingkat mortalitas udang selama ditransportasikan karena suhu yang terus meningkat (Suryaningrum et al. 1999). Namun, penggunaan es di dasar media pengisi kemasan juga tidak mampu mempertahankan suhu kemasan selama penyimpanan pada suhu kamar. Suhu akan mengalami peningkatan yang dapat mempengaruhi kelulusan hidup udang (Herodian et al. 2004). Peningkatan suhu ini terjadi karena penetrasi udara luar yang lebih tinggi ke dalam kemasan sehingga dapat meningkatkan suhu media serbuk gergaji (Kumum 2006). Pola suhu kemasan sangat dipengaruhi oleh suhu awal bahan pengisi dan suhu lingkungan. Jika suhu awal bahan pengisi dan suhu lingkungan luar terlalu tinggi maka kenaikan suhu kemasan akan lebih cepat terjadi (Nitibaskara et al. 2006).
2.6 Arus Listrik Arus listrik adalah sesuatu yang dapat menimbulkan aliran listrik dan medan listrik. Selain itu, arus listrik didefinisikan sebagai laju aliran muatan listrik yang melalui suatu luasan penampang lintang.
Arus pada kawat penghantar
ditimbulkan oleh bergeraknya elektron-elektron bebas bermuatan negatif dalam satu arah akivalen dengan aliran muatan positif yang arah geraknya berlawanan (Tipler 2001). Arus listrik dapat dianggap sebagai aliran elektron yang membawa aliran negatif melalui suatu pengantar. Perpindahan muatan ini terjadi karena adanya perbedaan potensial antara dua tempat tersebut.
Arus listrik akan
mengalir dari tempat yang potensialnya tinggi ke tempat potensialnya rendah (Wibowo 2010). Setiap benda yang dialiri arus listrik akan menimbulkan suatu medan listrik yang dapat mempengaruhi benda atau lingkungan yang ada disekitarnya. Dalam media air yang dialiri arus listrik, ion dalam konduktor bergerak karena pengaruh medan listrik. Kandungan ion-ion inilah yang membawa muatan listrik dalam
12
medium air. Semakin besar kadar ionik larutan maka akan semakin besar daya hantar listriknya.
Daya hantar listrik itu sendiri merupakan fungsi antara
temperatur, jenis ion-ion terlarut, dan konsentrasi ion terlarut.
Peningkatan
ion-ion yang terlarut menyebabkan nilai daya hantar listrik air juga meningkat. Sehingga dapat dikatakan nilai daya hantar listrik yang terukur merefleksikan konsentrasi ion yang terlarut pada air (Puradimaja dan Irawan 2009). Kamil (2012) menambahkan bahwa berdasarkan sifat daya hantar listriknya, larutan dibagi menjadi dua yaitu larutan elektrolit dan larutan non elektrolit.
Sifat
elektrolit dan non elektrolit didasarkan pada keberadaan ion dalam larutan yang akan mengalirkan arus listrik.
Jika dalam larutan terdapat ion, larutan
tersebut bersifat elektrolit. Jika dalam larutan tersebut tidak terdapat ion larutan tersebut bersifat nonelektrolit.
Larutan elektrolit adalah larutan yang dapat
menghantarkan arus listrik. Larutan nonelektrolit adalah larutan yang tidak dapat menghantarkan arus listrik. Beberapa faktor yang mempengaruhi konduktivitas dari daya hantar listrik dalam air tawar adalah temperatur, banyaknya partikel tersuspensi, dan jenis kotoran atau zat-zat terlarut yang terdapat pada perairan tersebut.
Jika suhu
mengalami kenaikan, maka daya hantar listrik juga akan semakin besar. Daya hantar listrik dari tubuh ikan lebih besar dari daya hantar listrik air tawar dan lebih kecil dari daya hantar listrik air laut. Daya hantar listrik air laut rata-rata adalah 500 kali lebih besar daripada air tawar. Menurut Halsband (1959) diacu dalam Arnaya (1980), hal tersebut menyebabkan garis-garis potensial di air tawar didistrosi dengan arah mengumpul pada tubuh ikan sehingga ikan terpengaruh dengan baik oleh medan listrik. Bila suatu substansi elektrolit dicairkan dalam air, maka substansi tersebut akan berpecah menjadi molekul-molekul (ion) yang mengandung muatan listrik yang saling berlawanan. Ion positif disebut dengan kation dan ion negatif disebut dengan anion (Puspitawati 1999). Nikonorov (1975) menjelaskan bahwa asumsi yang ada tentang mekanisme yang mempengaruhi ikan akibat adanya arus listrik adalah: 1. Polarisasi ion-ion yang terdapat pada sel-sel ikan yang terletak pada medan listrik
13
2. Ikan sebagai sumber arus. Menurut Vibert (1967) diacu dalam Arnaya (1980), tipe-tipe reaksi ikan pada medan listrik adalah: 1. Reaksi pertama (frieghtening effect), yaitu ikan melarikan diri dari elektroda karena adanya arus listrik (ikan terkejut). 2. Elektrotaksis, yaitu ikan bergerak mendekati elektroda karena gerak renang ikan yang diinduksi oleh adanya arus listrik. 3. Elektronarkosis, yaitu pergerakan ikan yang mulai melambat karena otot ikan yang sudah lemas. Sebagian reaksi tingkah laku ikan akibat pengaruh medan listrik tergantung pada mekanisme eksitasi catalectronus dan inhibition analectronus.
Eksitasi
catalectronus adalah pengejutan yang disebabkan adanya peningkatan rangsangan syaraf pada sisi katoda, adapun inhibition analectronus adalah penghambatan gerakan yang disebabkan oleh penurunan rangsangan syaraf pada sisi anoda (Halsband 1959 diacu dalam Arnaya 1980). Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi ikan yang berada pada suatu medan listrik adalah kuat arus listrik, spesies, panjang ikan, metabolisme, kematangan sex, komposisi kimia, dan konduktivitas. Selain itu, jaringan dengan cairan yang tinggi dan konten elektrolit menghantarkan listrik lebih baik. Jaringan syaraf adalah yang paling tahan dan bersama-sama dengan pembuluh darah, otot, dan selaput lendir menawarkan jalan resistansi rendah untuk listrik (Dzhokic et al. 2008).