LAPORAN MAGANG IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAMAN INANG YANG BERPOTENSI UNTUK DIGUNAKAN SEBAGAI TANAMAN PERANGKAP IMAGO DAN TELUR Bemisia tabaci
Niky Elfa Amanatillah A34140070
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
i
PRAKATA Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis mampu menyelesaikan laporan magang ini dengan baik dan tepat waktu. Penelitian yang berjudul “Identifikasi Jenis-Jenis Tanaman Inang yang Berpotensi untuk Digunakan sebagai Tanaman Perangkap Imago dan Telur Bemisia tabaci” ini dilaksanakan pada Juli 2016 hingga Agustus 2016 di Laboratorium Biologi, Hama Penyakit Tanaman, Balai Penelitian Aneka Kacang dan Umbi, Kendalpayak, Malang, Jawa Timur. Ucapan terima kasih yang tulus penulis berikan kepada orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan dan doa terbaik kepada penulis untuk melaksanakan kegiatan magang ini. Terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan kegiatan magang ini.Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Suryo Wiyono, Msc.Agr selaku Ketua Departemen Proteksi Tanaman yang telah memberikan izin untuk kegiatan magang ini. Terima kasih untuk Bapak Dr. Ir. Bonny P.W. Soekarno, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan izin serta motivasi untuk melaksanakan kegiatan magang ini. Terima kasih untuk Bapak Drs. Bedjo. MP selaku peneliti pembimbing (penyelia) atas arahan, bimbingan, serta kepercayaan yang diberikan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan laporan ini. Terima kasih kepada Ibu Ir. Wedanimbi Tengkano MS. yang telah banyak memberikan masukan dan saran selama magang. Terima kasih kepada Bapak Hari Atim Pujianto selaku teknisi laboratorium atas arahannya selama magang. Terima kasih kepada Novi, Melky, dan Hendrik selaku mahasiswa magang di laboratorium yang sama atas bantuannya dalam penelitian ini. Terima ksih kepada teman-teman penulis Desy Eka Putri dan Amanda Ertiara yang telah memberikan dukungan dan bantuan moril selama pelaksanaan magang. Terima kasih juga penulis ucapkan untuk semua pegawai dan teman-teman magang maupun PKL di lingkungan Balitkabi pada umumnya dan di Laboratorium HPT khususnya atas keramahannya selama penulis melaksanakan magang. Semoga temuan yang dihasilkan dalam penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu di bidang pertanian, khususnya untuk hama dan penyakit tanaman.
Malang, Agustus 2016
Niky Elfa Amanatillah
ii
ABSTRAK Setiap spesies tanaman dengan serangga hamanya memiliki hubungan yang spesifik. Hubungan tersebut mempengaruhi populasi Bemisia tabaci pada setiap spesies tanaman yang diamati. Faktor-faktor jumlah, panjang dan penataan ruang trikoma daun, luas daun, dan tebal lamina tampak mempengaruhi kepadatan populasi kutu kebul pada tanaman yang berbeda. Luas daun, daun tebal lamina dan panjang trikoma memiliki efek positif pada tahap hidup kutu kebul, sudut trikoma memiliki efek negative. Trikoma lebih pendek cenderung ‘melakukan’ perlawanan terhadap B. tabaci. Jumlah rambut daun pada beberapa tanaman memiliki korelasi positif, namun pada beberapa tanaman lain diketahui memiliki korelasi negatif. Pada tanaman labu contohnya terdapat korelasi negatif yang signifikan antara jumlah rambut daun per satuan luas dengan jumlah kebul, namun pubesens yang tinggi pada kapas berkorelasi positif dengan oviposisi B. tabaci biotipe B. Adanya perbedaan dalam preferensi oviposisi dari B. tabaci mungkin karena variasi dalam spesies genotipe yang berbeda dari tanaman. Mekanisme lainyang menentukan preferensi B. tabaci dari tanaman untuk perkembangannya dipengaruhi berbagai hal Hal-hal tersebut antara lain termasuk warna tanaman, tekstur, metabolit pada sap, dan status gizi, Diduga terdapat hubungan antara suhu dan kelembaban pada lapisan batas pada permukaan daun terhadap kecenderungan distribusi Bemisia tabaci. Hubungan interspesifik juga mempengaruhi distribusi populasi B. tabaci. Selain itu penelitian pada kompetisi menyimpulkan bahwa aktivitas makan sebelumnya oleh salah satu spesies menyebabkan perubahan nutrisi dan alelokimia tanaman yang mempengaruhi kinerja pengambilan nutrisi oleh spesies lain yang makan kemudian pada inang yang sama. Pada delapan spesies tanaman yang diamati tidak ada korelasi yang nyata antara kepadatan trikoma dan preferensi oviposisi.
Kata kunci: kutu kebul, Bemisia tabaci, daun, trikoma, preferensi, oviposisi, makan.
iii
DAFTAR ISI PRAKATA ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN UMUM INSTANSI TINJAUAN PUSTAKA BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan Metode Penelitian Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
i ii iii iii iv 1 1 2 3 4 9 15 15 15 15 15 16 25 25 25 26 37
Daftar Gambar 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Struktur organisasi BALITKABI 6 Laboratorium hama dan penyakit 7 Kebun percobaan ubi jalar di Kendalpayak BALITKABI 8 Perpustakaan BALITKABI tampak bagian dalam 8 Grafik rata-rata jumlah trikoma daun yang teramati pada delapan spesies tanaman pada bagian adaksial daun 16 Grafik rata-rata jumlah trikoma daun yang teramati pada delapan spesies tanaman pada bagian abaksial daun 16 Grafik jumlah Bemisia tabaci yang teramati pada delapan spesies tanaman pada bagian adaksial daun 17 Grafik jumlah Bemisia tabaci yang teramati pada delapan spesies tanaman pada bagian abaksial daun 18 Grafik luasan daun pada delapan spesies tanaman yang diamati 19
iv
DAFTAR LAMPIRAN 1. Tabel jumlah trikoma daun per 25 mm2 37 2. 2 Jumlah kutu kebul per daun 39 3. Tabel jumlah trikoma per adaksial daun 41 4. Tabel jumlah trikoma per abaksial daun 41 5. Foto daun labu merah; daun tua, daun sedang, daun muda 42 6. Foto daun kedelai; daun atas, daun tengah, daun bawah 42 7. Foto daun kacang hijau; daun atas, daun tengah, daun bawah 42 8. Foto daun singkong; daun atas, daun tengah, daun bawah 43 9. Foto daun kacang tanah; daun atas, daun tengah, daun bawah 43 10. Foto daun mentimun; daun atas, daun tengah, daun bawah 43 11. Foto daun ubi jalar; daun atas, daun tengah, daun bawah 44 12. Foto daun terong; daun atas, daun tengah, daun bawah 44 13. Foto contoh penampang mikroskopis daun labu merah berumur muda bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 44 14. Foto contoh penampang mikroskopis daun labu merah berumur sedang bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 45 15. Foto contoh penampang mikroskopis daun labu merah berumur tua bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 45 16. Foto contoh penampang mikroskopis daun kedelai posisi atas bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 45 17. Foto contoh penampang mikroskopis daun kedelai posisi tengah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 46 18. Foto contoh penampang mikroskopis daun kedelai posisi bawah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 46 19. Foto contoh penampang mikroskopis daun ubi jalar posisi atas bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 46 20. Foto contoh penampang mikroskopis daun ubi jalar posisi tengah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 47 21. Foto contoh penampang mikroskopis daun ubi jalar posisi bawah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 47 22. Foto contoh penampang mikroskopis daun mentimun posisi tengah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 47 23. Foto contoh penampang mikroskopis daun singkong posisi atas bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 48 24. Foto contoh penampang mikroskopis daun singkong posisi tengah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 48 25. Foto contoh penampang mikroskopis daun singkong posisi bawah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 48 26. Foto contoh penampang mikroskopis daun kacang tanah posisi atas bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 49
v
27. Foto contoh penampang mikroskopis daun kacang tanah posisi tengah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 49 28. Foto contoh penampang mikroskopis daun kacang tanah posisi bawah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 49 29. Foto contoh penampang mikroskopis daun terong posisi atas bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 50 30. Foto contoh penampang mikroskopis daun terong posisi tengah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 50 31. Foto contoh penampang mikroskopis daun terong posisi bawah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 50 32. Foto contoh penampang mikroskopis daun kacang hijau posisi atas bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 51 33. Foto contoh penampang mikroskopis daun kacang hijau posisi tengah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 51 34. Foto contoh penampang mikroskopis daun kacang hijau posisi bawah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan) 51 35. Foto contoh telur (kiri) dan imago (kanan) kutu kebul pada daun labu merah 52 36. Foto contoh telur (kiri), nimfa (tengah), dan imago (kanan) kutu kebul pada daun mentimun 52 37. Foto contoh telur dan imago (kiri) dan nimfa (kanan) kutu kebul pada daun terong 52
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kutu kebul (Bemisia tabaci) merupakan salah satu hama penting pertanian di Indonesia. Hama ini pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1938 pada tanaman tembakau (Kalshoven 1981). Kutu kebul tergolong sebagai serangga polifag dan tersebar luas di daerah subtropik dan tropik (Hill 1987). Hama ini umumnya menyerang berbagai macam tanaman sayuran. B. tabaci diketahui menyerang lebih dari 600 spesies tumbuhan (Oliveira et.al 2001). Kutu kebul dapat menyebabkan kerusakan langsung pada tanaman dan sebagai media penular (vektor) penyakit tanaman. Serangan yang disebabkan oleh B. tabaci dibagi atas 3 tipe: (1) kerusakan langsung, (2) kerusakan tidak langsung, dan (3) penularan virus (Berlinger 1986). Kerusakan langsung pada tanaman disebabkan oleh imago dan nimfa yang menghisap cairan daun (Nasution 2010) mengakibatkan daun tanaman mengalami klorosis, layu, gugur daun dan mati (Mau dan Kessing 2007). Kerusakan langsung pada tanaman disebabkan oleh imago dan nimfa yang mengisap cairan daun, berupa gejala becak nekrotik pada daun akibat rusaknya sel - sel dan jaringan daun. Ekskresi kutu putih menghasilkan madu yang merupakan media yang baik untuk tempat tumbuhnya embun jelaga yang berwarna hitam. Hal ini menyebabkan proses fotosintesis tidak berlangsung normal (Ditlin Hortikultura 2007). Bemisia tabaci menghasilkan ekskresi berupa madu yang merupakan media yang baik untuk pertumbuhan embun jelaga yang berwarna hitam yang menyebabkan proses fotosintesis tidak berjalan dengan normal. Imago betina B. tabaci menghasilkan embun jelaga yang lebih banyak selama siklus hidup mereka (Sanderson 2007). Kerusakan yang disebabkan oleh penyakit virus yang ditularkannya sering lebih merugikan dibandingkan dengan kerusakan yang disebabkan oleh hama kutukebul sendiri. Sampai saat ini tercatat 100 jenis virus yang dapat ditularkan oleh B. tabaci, antara lain geminivirus (virus kuning), closterovirus, nepovirus, carlavirus, potyvirus, dan rod-shape DNA virus (Byrne dan Bellows 1990, Markham et.al 1994). Sebagai contoh penularan virus gemini oleh kutukebul, dapat menyebabkan kegagalan panen hampir 100%. Persentase infeksi virus gemini berkorelasi positif dengan populasi serangga vektor, terutama serangga yang viruliferus (Hidayat et.al 2004). Helai daun yang mengalami vein clearing mulai dari daun pucuk berkembang menjadi warna kuning yang jelas, tulang daun menebal dan daun menggulung ke atas (cupping). Infeksi lanjut mengakibatkan daun mengecil dan berwarna kuning terang tanaman kerdil dan tidak berubah (Nasution 2010). Kerusakan karena serangan penyakit virus kuning sangat berat dengan kerugian ekonomi yang tinggi. Berdasarkan hasil wawancara (Setiawati et.al 2007) dengan petani cabai, kehilangan hasil akibat serangan B. tabaci dan virus kuning berkisar antara 20-100%. Di sentra produksi sayuran di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, dan NTB, kerusakan akibat serangan penyakit virus kuning sangat berat sehingga kerugian ekonomi dapat mencapai 20-100% (Setiawati dan Udiarto 2005, Brown dan Bird 1992 dalam Setiawati et.al 2008). Permasalahan hama B. tabaci tidak terbatas hanya di kawasan
2
Indonesia saja, karena hama ini juga menyerang berbagai tanaman di beberapa Negara lain seperti Australia, India, Sudan, Iran, El Savador, Mexico, Brazil, Turki, Israel, Thailand, Arizona, California (Horowitz 1986), Eropa, Jepang (Ohto 1990), dan USA (Perring et.al 1993). Perkembangbiakan dan penyebaran hama tersebut sangat cepat, dalam kurun waktu 1 tahun, hama tersebut dapat menghasilkan 15 generasi (Brown 1994). Kehilangan hasil karena serangan virus kuning pada tanaman tomat di India dapat mencapai 93,3% (Sastry dan Singh 1979). Walaupun tidak separah pada tanaman cabai dan tomat, B. tabaci juga menyerang berbagai jenis sayuran lainnya seperti kentang, kubis, terung, mentimun, kacang merah, dan sebagainya (Mohamad Roff et al. 2005). Serangan berat hama tersebut pada tanaman sayuran di Amerika dan Eropa menyebabkan kerugian sebesar US$ 500 juta (Perring et.al 1993) - US $ 1,00 milyar. Di Pakistan ribuan hektar kapas terserang B. tabaci (Mansoor et.al 1993). Beberapa cara pengendalian hama kutu kebul yang umum dilakukan yaitu (1) penggunaan tanaman yang toleran/resisten (Greathead 1991), (2) tumpangsari antara tanaman utama dengan tanaman sela (Heather 2002), dan (3) pengendalian secara kimia dengan penyemprotan insektisida. Dalam batas-batas tertentu, penggunaan insektisida mungkin praktis meskipun relative mahal. Upaya pengendalian kutu kebul pada cabai dengan penggunaan insektisida misalnya, diaplikasikan dengan frekuensi aplikasi 2-3 kali per minggu. Namun demikian, tindakan tersebut sering tidak mampu menurunkan tingkat serangan, karena B. tabaci yang menyebar ini diduga berasal dari populasi yang telah resisten (Johnson et al. 1992 dalam Mau dan Kessing 2007) dan karena semua stadia B. tabaci berada di bawah permukaan daun sehingga terlindung dari pengaruh insektisida (Coudriet et al. 1985). Selain itu yang sangat dikhawatirkan adalah bahaya residu bahan beracun bagi konsumen. Untuk itu diperlukan upaya pengendalian yang akrab lingkungan, aman bagi pemakai dan konsumen, relatif murah, tetapi juga efektif terhadap hama B. tabaci. Pengendalian ramah lingkungan yang murah dan efektif antara lain dengan penerapan metode tumpang sari dalam kultur teknis dan penggunaan tanaman perangkap. Penerapan metode tumpang sari contohnya cabai merah dengan kubis dan cabai merah dengan tomat (Setiawati et.al 2008) terbukti dapat menekan populasi hama ini. Penggunaan tanaman perangkap juga telah banyak dilakukan untuk mengendalikan berbagai jenis serangga hama, terutama serangga yang dapat berperan menjadi vector virus yang bersifat non persisten. Tanaman perangkap berfungsi sebagai tanaman inang alternatif yang lebih disukai oleh serangga hama untuk meletakkan telur dan melakukan aktivitas makan dibandingkan dengan tanaman utama. Penelitian ini bertujuan mengetahui berbagai jenis komoditas tanaman yang dapat digunakan sebagai tanaman perangkap Bemisia tabaci dengan melihat hubungannya dengan jumlah trikoma daun pada tanaman komoditas-komoditas tersebut sebagai pengendalian hama kutu kebul yang ramah lingkungan. Tujuan Penelitian ini bertujuan mengetahui potensi delapan komoditas tanaman (labu merah, mentimun, terong, ubi kayu, ubi jalar, kacang hijau, kacang tanah,
3
dan kedelai) sebagai tanaman perangkap kutu kebul (Bemisia tabaci) berdasarkan jumlah trikoma daun pada tanaman-tanaman tersebut. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang potensi delapan komoditas tersebut sebagai tanaman perangkap kutu kebul yang dapat digunakan sebagai salah satu cara pengandalian kutu kebul yang murah, mudah, dan ramah lingkungan.
4
TINJAUAN UMUM INSTANSI
Sejarah BALITKABI Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (BALITKABI) berawal dari keberadaan kebun percobaan yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1900 an. Kebun percobaan (KP) tersebut terdiri dari 6 kebun yakni KP. Kendalpayak dan KP. Jambegede (di Malang), KP. Muneng (di Probolinggo), KP. Genteng (di Banyuwangi), KP. Mojosari (di Mojokerto), dan KP. Ngale (di Ngawi). Tahun 1968 kebun-kebun yang berada di wilayah Jawa Timur diintegrasikan dan menjadi bagian dari Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) yang berpusat di Bogor dengan nama LP3 Perwakilan Jawa Timur, saat itu LP3 perwakilan Jawa Timur berfokus pada komoditas berupa Padi, Palawija dan Hortikultura (BALITKABI 2014). Tahun 1974 LP3 perwakilan Jawa Timur bergabung dengan seluruh lembaga penelitian lainnya dan bernaung di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. LP3 yang berpusat di Bogor berganti nama pada tahun 1980 menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangtan) dan LP3 Perwakilan Jawa Timur juga ikut berganti nama menjadi Balai Penelitian Tanaman Pangan (Balittan) Malang. Sejak tanggal 13 Desember 1994, melalui SK Mentan No. 789/Kpts/ OT.210/12/94, institusi ini berubah menjadi Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi). Mandat penelitian yang sebelumnya mencangkup komoditas padi dan palawija, menjadi lebih fokus pada tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian. Tahun 2013 Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian diubah menjadi Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (BALITKABI 2014). Unit dan Program Kerja a. Tugas dan Fungsi Tugas Balitkabi berdasarkan Permentan Nomor:23/Permentan/OT.140/3/2013 adalah membuat strategi dan melaksanakan penelitian tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian. Fungsi balitkabi antara lain adalah 1. Melaksanakan penyusunan program, rencana kerja, anggaran, evaluasi, dan laporan penelitian tanaman aneka kacang dan umbi. 2. Melaksanakan penelitian genetika, pemulian, perbenihan dan pemanfaatan plasma nutfah tanaman aneka kacang dan umbi. 3. Melaksanakan penelitian morfologi, fisiologi, ekologi, entomologi dan fitopatologi tanaman aneka kacang dan umbi. 4. Melaksanakan penelitian komponen teknologi sistem dan usaha agribisnis tanaman aneka kacang dan umbi. 5. Melaksanakan penelitian penanganan hasil tanaman aneka kacang dan umbi. 6. Memberikan pelayanan teknis penelitian tanaman aneka kacang dan umbi. 7. Menyiapkan kerja sama, informasi dan dokumentasi serta penyebarluasan dan pendayagunaan hasil penelitian tanaman aneka kacang dan umbi.
5
8.
Melaksanakan urusan kepegawaian, perlengkapan Balitkabi.
b.
Visi dan Misi
keuangan,
rumah
tangga
dan
Visi Balitkabi yakni menjadi lembaga rujukan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sumber inovasi teknologi tanaman aneka kacang dan umbi yang bermanfaat sesuai kebutuhan pengguna. Misi Balitkabi antara lain yaitu 1. Menghasilkan dan menyediakan iptek tinggi, strategis dan unggul tanaman aneka kacang dan umbi sesuai kebutuhan pengguna. 2. Melaksanakan diseminasi inovasi teknologi secara cepat dan efektif kepada pengguna. 3. Mengembangkan kerjasama nasional dan internasional dalam rangka peningkatan profesionalisme dalam penguasaan iptek, serta peran Balitkabi dalam pengembangan teknologi dan pembangunan pertanian. 4. Memperbaiki sumberdaya penelitian guna meningkatkan kapasitas Balai agar semakin profesional dalam melakukan penelitian, serta meningkatkan kemampuannya dalam menghasilkan dan mendiseminasi inovasi teknologi. 5. Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya untuk penelitian dan pengembangan, serta mendorong keterkaitan fungsional antar pemangku kepentingan dan pengguna teknologi. c. Program Penelitian 1. Mendukung visi dan misi Presiden RI maka program penelitian Balitkabi periode tahun 2015-2019 diarahkan pada program penciptaan teknologi dan inovasi pertanian bioindustri berkelanjutan. 2. Program penciptaan teknologi dan inovasi pertanian bioindustri berkelanjutan diimplementasikan dalam bentuk kegiatan penelitian peningkatan potensi komoditas secara integratif mencakup peningkatan potensi genetik, teknik produksi, pasca panen primer dan analisis komoditas untuk agroekosistem target.
6
Struktur Organisasi
Gambar 1 Struktur Organisasi BALITKABI
Organisasi Kegiatan Koordinator Program Ketua Program Penelitian Koordinator Komoditas Kedelai Koordinator Kacang- kacangan non kedelai Koordinator Umbi-umbian Koordinator Sumberdaya Genetik Koordinator Diseminasi
: Dr. Gatot Wahyu Anggoro S : Prof. Dr. Marwoto : Ir. Trustinah,MS : Prof. Dr. Nasir Saleh : Prof. Dr. Astanto Kasno : Ir. Abdulah Taufiq, MP
Kelompok Peneliti (Kelti) Pemuliaan dan Plasma nutfah Ekofisiologi Tanaman Hama dan Penyakit
: Dr. Rudi Iswanto : Dr. Andy Wijanarko : Ir. Sri Wahyuni Indiati, MS
7
SDM ( Sumber Daya Manusia) BALITKABI didukung karyawan sejumlah 226 orang terdiri dari 23 orang doktor, 31 orang master, 57 orang sarjana, 8 orang diploma, 65 orang SLTA, 18 orang SLTP dan 19 orang SD. Termasuk didalamnya terdapat tenaga peneliti fungsional, yaitu 6 profesor riset, 20 orang peneliti utama, 16 orang peneliti madya, 12 peneliti muda, 8 orang peneliti pertama dan 18 orang non kelas. Selain tenaga fungsional peneliti juga terdapat tenaga fungsional non peneliti yaitu 5 orang teknisi litkayasa dan 2 orang pustakawan.
SDM Peneliti SDM fungsional BALITKABI terdiri dari fungsional peneliti, Teknisi Litkayasa, Pustakawan, dan SDM non kelas. SDM peneliti Balitkabi pada bulan September tahun 2013 tercatat sebanyak 69 orang peneliti dengan status pendidikan S3 (23 orang), S2 (31 orang) dan S1 (20 orang).
Fasilitas dan Layanan 1. Laboratorium Keberadaan laboratorium sangat penting dan strategis dalam rangka meningkatkan dan menunjang kegiatan penelitian baik untuk mendukung penelitian lapang maupun untuk penelitian skala laboratorium. Laboratorium harus mampu memberikan jaminan mutu terhadap hasil-hasil penelitian dan pengembangannya, serta mendapatkan pengakuan secara nasional dan internasional melalui proses akreditasi/sertifikasi. Jaminan mutu dan pengakuan akreditasi/sertifikasi tersebut hanya dapat dicapai apabila laboratorium dapat menerapkan Good Laboratory Practices (GLP) dan Quality Management System (QMS) dalam melaksanakan semua kegiatannya. GLP dan QMS tersebut dapat dilaksanakan melalui implementasi sistem akreditasi/sertifikasi dengan dasar acuan ISO/IEC 17025:2005 (GLP) dan ISO 9001: 2008 (QMS). Balitkabi memiliki 7 laboratorium dan didukung oleh tenaga laboratorium yang handal, yaitu: Laboratorium Pemuliaan, Laboratorium Agronomi, Laboratorium Analisis Tanaman dan Tanah, Laboratorium Entomologi, Laboratorium Fitopatologi dan Laboratorium Kimia dan Teknologi Pangan. Tiga laboratorium yang dimiliki Balitkabi telah terakreditasi KAN (LP518-IDN, 25 Mei 2011), yaitu Gambar 2 Laboratorium hama Laboratorium Tanah dan Tanaman, dan penyakit
8
Laboratorium Kimia Pangan dan Laboratorium Pemuliaan. Peran yang sangat strategis laboratorium dapat mendukung kegiatan penelitian untuk menghasilkan inovasi teknologi tinggi sistem produksi & agroindustri aneka kacang dan umbi. 2. Kebun Percobaan Kebun Percobaan (KP) mempunyai peran penting dalam penyelenggaraan kegiatan penelitian. Kebun Percobaan dapat digunakan sebagai tempat untuk konservasi plasma nutfah dan sebagai bank sumber daya genetic (SDG). Penyediaan materi genetik menunjang kegiatan penelitian pemuliaan untuk mendapatkan varietas unggul baru yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Selain itu kebun percobaan juga dapat digunakan untuk perbanyakan kegiatan UPBS. Balitkabi mengelola lima kebun percobaan (KP) dengan agroekologi pada berbagai tipe iklim dan jenis tanah terutama untuk tanaman palawija. Kelima kebun percobaan tersebut berada di Provinsi Jawa Timur yaitu: KP Kendalpayak (Malang), KP Jambegede (Kepanjen - Malang), KP Muneng Gambar 3 Kebun percobaan ubi (Probolinggo), KP Ngale (Ngawi), dan jalar di Kendalpayak KP Genteng (Banyuwangi).
3. Perpustakaan Perpustakaan Balitkabi saat ini memiliki koleksi meliputi sebanyak 6.400 buku teks, artikel aneka tanaman kacang dan umbi sebanyak 13.903 judul, dan jurnal internasional sebanyak 82 dan jurnal Indonesia sebanyak 112 . Selain itu perpustakaan Balitkabi memiliki bibliografi tahunan, seperti prosiding hasil penelitian tanaman aneka kacang dan umbi dan abstrak hasil penelitian tanaman aneka tanaman kacang dan umbi. Ruangan ber AC yang cukup nyaman sangat mendukung bagi para peneliti untuk mendapatkan referensi dengan koleksi buku dan jurnal bidang pertanian yang cukup banyak. Perpustakaan Balitkabi Gambar 4 Perpustakaan BALITKABI tampak menyediakan tiga personal komputer. bagian dalam
9
TINJAUAN PUSTAKA Kutu kebul (Bemisia ;tabaci) Bemisia tabaci pertama kali ditemukan sebagai hama tanaman tembakau pada tahun 1889, di Yunani (Hirano et.al 2007). B. tabaci juga mampu membentuk biotipe baru dan menyebarkan virus (Henneberry dan Castel 2001). Saat ini telah tercatat 24 biotip B. tabaci yang tersebar di dunia (Carabali et.al 2007). B. tabaci memiliki penyebaran yang luas, di Asia tercatat B. tabaci tersebar di 37 negara, Afrika 39 negara, Eropa 26 negara, Amerika 30 negara dan Oceania 14 negara (Deptan 2007 dalam Nasution 2010). Hama kutu putih (Bemisia tabaci Genn.) termasuk serangga ordo Hemiptera, famili Aleyrodidae dan genus Bemisia Telur yang baru diletakkan berwarna putih mutiara dan berubah kecoklatan menjelang menetas. Telur akan menetas setelah 5 hari diletakkan dengan kisaran suhu 32,5oC, sedangkan pada suhu 17 oC telur menetas setelah 23 hari. Telur diletakkan di bawah permukaan daun pucuk pada pukul 08.00 - 12.00 (Henneberry dan Castle 2001). Imago dapat meletakkan telur sebanyak 28 - 300 butir telur, tergantung inang dan suhu (Mau dan Kessing 2007) Pada tanaman kapas dengan kisaran suhu 9,4 - 42 oC imago menghasilkan 28 - 160 butir telur, pada tembakau dengan suhu 9,4 - 34,4 oC menghasilkan 44 - 47 butir telur, sedangkan pada tanaman kentang dengan suhu 31,9 - 38,0 oC mampu menghasilkan 38 - 394 butir telur (Henneberry dan Castle 2001). Nimfa yang baru menetas berukuran 0,3 mm, nimfa instar ke - 1 berbentuk bulat telur dan pipih, berwarna kuning kehijauan, dan bertungkai yang berfungsi untuk merangkak. Nimfa instar ke - 2 sampai ke - 4 tidak bertungkai dan berukuran 0,4 - 0,8 mm (Hirano et.al 2007). Nimfa terdiri dari 4 instar, masa instar pertama 3 - 5 hari, instar ke - II 2 - 6 hari, instar ke - III 2 - 4 hari dan stadia terakhir 2 - 5 hari (Henneberry dan Castle 2001). Total masa nimfa 2 - 4 minggu. Selama masa pertumbuhan nimfa hanya berada di daun (Hirano et.al 1993). Setelah menusuk daun, nimfa akan berpindah tempat. Nimfa aktif makan pada instar 1 – 3 (Bohmflak et.al 2007). Imago berukuran ± 1 mm dengan sayap berwarna putih dan ditutupi tepung seperti lilin (Hirano et.al 2007). Imago yang berumur 1 - 4 hari dapat langsung menghasilkan telur tanpa melakukan perkawinan (Sanderson 2007). Serangga ini bersifat parthenogenesis, telur yang tidak dibuahi akan menghasilkan turunan jantan (Henneberry dan Castle 2001). Imago betina mampu menghasilkan 7 butir telur/ hari (Bohmflak et.al 2007). Umur imago betina lebih panjang daripada imago jantan. Betina berumur 13 - 62 hari dan jantan 4 - 12 hari, pada suhu 14 - 32 oC (Henneberry dan Castle 2001). Imago aktif antara pukul 06.00 10.00. Waktu terbang maksimum pada pukul 06.00 - 10.00. Imago jantan mampu terbang lebih lama dibandingkan betina (Henneberry dan Castle 2001). Imago akan berpindah setiap 48 jam sekali. Perilaku terbang B. tabaci terbagi dua, yaitu terbang jarak jauh (long flight distance) dan terbang jarak dekat (short flight distance). Terbang jarak dekat imago hanya terbang di bawah kanopi tanaman sedangkan terbang jarak jauh bila terbang dari satu tanaman ke tanaman lain (Carabali et.al 2007). Kemampuan terbang imago kurang dari 4,6 m (Mau dan
10
Kessing 2004) dengan ketinggian kurang dari 4 m. Angin dapat membantu penyebaran B. tabaci secara pasif (Deptan 2007 dalam Nasution 2010).
Labu Merah Cucurbita moschata Durch memiliki nama umum labu merah/ Labu kuning/ waluh/ labu kastela (Melayu), Butternut, Pumpkin (Inggris), merupakan tanaman tahunan yang bersifat menjalar atau merambat dengan perantara alat pemegang yang berbentuk pipih. Batangnya cukup kuat dan panjang serta dipermukaan batangnya terdapat bulu-bulu yang agak tajam. Pucuk daun dan daun muda dapat digunakan bahan sayuan yang lezat, bisa dimakan sebagai sayuran bersantan, oseng- oseng, atau gado-gado. Selain daun bagian, bagian dari tanaman ini yang memiliki nilai ekonomis dan zat gizi terpenting adalah buahnya. Buah labu kuning berbentuk bulat pipih, lonjong atau panjang dengan banyak alur (15-30 alur). Ukuran pertumbuhannya cepat sekali, mencapai 350 gram per hari. Buah besar dan warnanya bervariasi (buah muda berwarna hijau, sedangkan yang lebih tua berwarna kuning pucat). Daging buah tebalnya sekitar 3 cm dan rasanya agak manis. Bobot buah labu kuning rata-rata 3-5 kg, untuk labu ukuran besar beratnya dapat mencapai 20 kg per buah. Buah labu kuning mempunyai kulit yang sangat tebal dan keras, sehingga dapat bertindak sebagai penghalang laju respirasi, keluarnya air melalui proses penguapan, maupun masukknya udara penyebab proses oksidasi. , jenis tanaman yang merumpun antara lain timun, semangka, melon, blewah, pare, kecipir, labu siam dan sebagainya (Heliyani 2012).
Ubi Kayu Ubi kayu (Manihot utilissima) mempunyai banyak nama daerah, di antaranya adalah ketela pohon, singkong, ubi jenderal, ubi inggris, telo puhung, kasape, bodin, telo jenderal (Jawa), sampeu, huwi jenderal (Sunda), kasbek (Ambon), dan ubi Perancis (Padang). Batang tanaman ubi kayu berkayu, beruasruas, dan panjang yang ketinggiannya dapat mencapai 3 meter atau lebih. Warna batang bervariasi tergantung kulit luar tetapi batang yang masih muda pada umumnya berwarna hijau dan setelah tua berubah menjadi keputih-putihan, kelabu, hijau kelabu, atau cokelat kelabu. Empulur batang berwarna putih, lunak dan strukturnya empuk seperti gabus. Daun ubi kayu mempunyai susunan berurat menjari dengan canggap 5-9 helai. Daun ubi kayu biasanya mengandung racun asam sianida atau asam biru, terutama daun yang masih muda (pucuk). Ubi yang terbentuk merupakan akar yang berubah bentuk dan fungsinya sebagai tempat penyimpanan makanan cadangan. Bentuk ubi biasanya bulat memanjang, daging ubi mengandung zat pati, berwarna putih gelap atau kuning gelap dan tiap tanaman dapat menghasilkan 5-10 ubi. Bunga dalam tandan yang tidak rapat, 3-5 terkumpul pada ujung batang, pada pangkal dengan bunga betina, lebih atas dengan bunga jantan. Tenda bunga tunggal, panjang 1 cm. Bunga jantan: tenda bunga bentuk lonceng, bertaju 5, benang sari 10, berseling panjang dan pendek, tertancap sekitar penebalan dasar bunga yang kuning dan berlekuk. Bunga betina: tenda bunga berbagi 5, bakal buah dikelilingi oleh tonjolan penebalan dasar bunga
11
yang kuning, berbentuk cincin, tangkai putik bersatu, pendek dengan kepala putik yang lebar berwarna mentega dan berlekuk banyak (Rukmana 1997).
Ubi Jalar Secara morfologi tumbuhan ubi jalar (Ipomoea batatas L) adalah tumbuhan merambat yang bercabang, batang gundul atau berambut, kadangkadang membelit dan bergetah. Panjang batang sampai lima meter. Warna batang hijau tua dan ada juga yang berwarna keunguan. tangkai daun 4-20 cm, helai daun lebar, mulai bentuk telur sampai membulat dengan pangkal yang berbentuk jantung atau terpancung rata, bersudut sampai berlekuk. Daun biasanya memiliki warna hiaju tua dan juga kekuning-kuningan . Karangan bunga diketiak daun, bentuk payung. Daun pelindung kecil dan rontok. Daun kelopak memanjang bulat telur dan runcing. Mahkota terluar paling kecil berbentuk lonjong sampai bentuk terompet. Warna bunga ungu muda, panjang 3-4 cm. Tersusun dengan lima helai daun mahkota , lima helai dauan bunga dan satu helai putik . Mahkota bunga berwarna putih , Benang sari tertanam tidaksama panjangnya. Tangkai putik bentuk benang, kepala putik bentuk bola rangkap. Buah kotak bentuk telur. Ditanam pada ketinggian 2-2.000 m di atas permukaan laut. Kadang-kadang menjadi liar. Pada tumbuhan ubi jalar cadangan makanan disimpan terutama didalam umbi. Memiliki bentuk umbian yang bulat tidak rata dan kadang juga berbentuk lonjong. Berat ubi yang ideal yaitu 200 – 300 gram per ubi, berwarna putih , kuning dan keunguan, dan memiliki kulit yang sangat tipis (Rukmana 1997).
Kacang Hijau Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan tanaman kacang-kacangan ketiga yang banyak dibudidayakan setelah kedelai dan kacang tanah Purwono dan Hartono (2005) .Kacang hijau (Vigna radiata L.) memiliki sistem perakaran yang bercabang banyak dan membentuk bintil-bintil (nodula) akar. Nodul atau bintil akar merupakan bentuk simbiosis mutualisme antara bakteri nitrogen dengan tanaman kacang-kacangan sehingga tanaman mampu mengikat nitrogen bebas dari udara. Makin banyak nodul akar, makin tinggi kandungan nitrogen (N) yang diikat dari udara sehingga meningkatkan kesuburan tanah. Kacang hijau memiliki ukuran batang yang kecil, berbulu, berwarna hijau kecoklat-coklatan atau kemerah-merahan. Batang tumbuh tegak mencapai ketinggian 30 cm – 110 cm dan bercabang menyebar ke semua arah. Daun kacang hijau adalah daun majemuk, dengan tiga helai anak daun per tangkai. Helai daun berbentuk oval dengan ujung lancip dan berwarna hijau Bunga kacang hijau berkelamin sempurna atau hermaphrodite, berbentuk kupu-kupu, dan berwarna kuning (Rukmana 1997). Purwono dan Hartono (2005) menyebutkan proses penyerbukan bunga kacang hijau (Vigna radiata L.) terjadi pada malam hari, pada pagi hari bunga akan mekar dan menjadi layu pada sore hari. Buah kacang hijau berbentuk polong dengan panjang antara 6 cm – 15 cm. Tiap polong berisi 6 -16 butir biji.
12
Biji kacang hijau berbentuk bulat kecil dengan bobot (berat) tiap butir 0,5 mg – 0,8 mg atau berat per 1000 butir antara 36 g – 78 g (Rukmana 1997). Biji umumnya berwarna hijau kusam atau hijau mengkilap, namun adapula yang berwarna kuning dan coklat (Fachruddin 2000).
Mentimun Mentimun (Cucumis sativus L.) termasuk tanaman semusim (annual) yang bersifat menjalar atau memanjat dengan perantaraan pemegang yang berbentuk pilin (spiral). Batang mentimun berupa batang lunak dan berair, berbentuk pipih, berambut halus, berbuku-buku, dan berwarna hijau segar. Panjang atau tinggi tanaman dapat mencapai 50 ―250 cm, bercabang dan bersulur yang tumbuh di sisi tangkai daun. Batang utama dapat menumbuhkan cabang anakan, ruas batang atau buku-buku batang berukuran 7―10 cm dan berdiameter 10―15 mm. Diameter cabang anakan lebih kecil dari batang utama, pucuk batang aktif memanjang (Imdad dan Nawangsih 2001). Mentimun memiliki daun tunggal, letaknya berseling, bertangkai panjang dan berwarna hijau. Bentuk daun bulat lebar, bersegi mirip jantung, dan bagian ujungnya meruncing tepi bergerigi. Panjang 7―18 cm dan lebar 7―15 cm. Daun ini tumbuh berselang-seking keluar dari buku-buku (ruas) batang. Perakaran mentimun yaitu akar tunggang dan memiliki rambu-rambut akar, tetapi daya tembus relatif dangkal, pada kedalaman sekitar 30―60 cm. Oleh karena itu, tanaman mentimun termasuk peka terhadap kekurangan dan kelebihan air. Tanaman mentimun membutuhkan banyak air, terutama waktu berbunga, tetapi tidak sampai menggenang (Sunarjono 2005). Mentimun (Cucumis sativus L.) diklasifikasikan sebagai tanaman berumah satu, dimana bunga jantan dan betina terdapat dalam satu tanaman. Pada dasarnya tanaman mentimun berbunga sempurna (hermaphrodite), tetapi pada perkembangan evolusinya salah satu jenis kelaminnya mengalami degenerasi, sehingga tinggal salah satu jenis kelaminnya yang berkembang menjadi bunga secara normal. Letak bunga jantan dan bunga betina terpisah tetapi masih dalam satu tanaman (monoecious). Bunga mentimun mirip terompet dengan mahkota bunga berwarna putih atau kuning cerah. Bunga jantan dicirikan tidak mempunyai bagian yang membengkak di bawah mahkota bunga, jumlahnya lebih banyak dan keluarnya beberapa hari lebih dulu dibandingkan bunga betina. Sedangkan bunga betina mempunyai bakal buah yang membengkak terletak di bawah mahkota bunga dan umumnya baru muncul pada ruas ke-6 setelah bunga jantan, bunga betina mampu berkembang menjadi buah. Buah mentimun letaknya menggantung dari ketiak antara daun dan batang. Bentuk dan ukurannya bermacam-macam, tetapi umumnya bulat panjang atau bulat pendek. Kulit buah ada yang berbintilbintil, ada pula yang halus. Warna kulit buah antara hijau keputih-putihan, hijau muda, dan hijau gelap. Biji mentimun berjumlah banyak dengan bentuk lonjong meruncing (pipih) atau putih kekuning-kuningan sampai cokelat. Biji ini dapat digunakan sebagai alat perbanyakan tanaman.
13
Terong Menurut Rukmana (2006), terong (Solanum melongena L.) termasuk tanaman setahun yang berbentuk perdu. Batang terung ungu rendah (pendek), berkayu dan bercabang. Tinggi batang tanaman bervariasi antara 50-150 cm tergantung pada jenis varietasnya. Permukaan kulit batang, cabang, ataupun daun tertutup oleh bulu-bulu halus. Bentuk buah beragam yaitu silindris, lonjong, oval atau bulat. Warna kulit ungu hingga ungu mengilap. Terung ungu merupakan buah sejati tunggal, berdaging tebal, lunak, dan berair. Buah tergantung pada tangkai buah. Dalam satu tangkai umumnya terdapat satu buah terung ungu, tetapi ada juga yang memiliki lebih dari satu buah. Biji terdapat dalam jumlah banyak dan tersebar di dalam daging buah. Daun kelopak melekat pada dasar buah, berwarna hijau atau keunguan. Bunga terung ungu merupakan bunga banci yaitu berkelamin dua. Dalam satu bunga terdapat alat kelamin jantan (benang sari) dan alat kelamin betina (putik). Bunga terung ungu bentuknya mirip bintang, berwarna biru, cerah sampai gelap. Penyerbukan bunga dapat berlangsung secara silang maupun menyerbuk sendiri. Buah terung ungu menghasilkan biji yang ukurannya kecil-kecil berbentuk pipih dan berwarna coklat muda. Biji ini merupakan alat reproduksi atau perbanyakan secara generative. Tanaman terung ungu memiliki akar tunggang dan cabang-cabang akar. yang dapat menembus ke dalam tanah sekitar 80-100 cm. Akar-akar yang tumbuh mendatar dapat menyebar pada radius 40-80 cm dari pangkal batang tergantung dari umur tanaman dan kesuburan tanahnya.
Kacang Tanah Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea, L) diperkirakan masuk ke Indonesia antara tahun 1521-1529. Penanaman kacang tanah di Indonesia baru dimulai pada awal abad ke-18. Kacang tanah yang ditanam adalah varietas tipe menjalar (Wijaya 2011). Menurut Marzuki (2007), akar kacang tanah serabut dengan batang tidak berkayu dan berbulu halus. Batang kacang tanah ada yang tumbuh tegak dan menjalar. Kacang tanah berdaun majemuk bersirip genap. Daunnya terdiri atas empat anak daun dengan tangkai daun agak panjang. Helaian anak daun dengan tangkai daun agak panjang. Helaian anak daun ini bertugas mendapatkan cahaya matahari sebanyak-banyaknya. Bunga keluar pada ketiak daun. Setiap bunga seolah-olah bertangkai panjang berwarna putih. Tangkai ini sebenarnya bukan tangkai bunga, tetapi tabung kelopak. Mahkota bunga (corolla) berwarna kuning. Bendera mahkota bunganya bergaris-garis merah pada pangkalnya. Umur bunganya hanya satu har, mekar di pagi hari dan layu pada sore hari. Bunga kacang tanah dapat melakukan penyerbukan sendiridan bersifat geotropispositif. Penyerbukan terjadi sebelum bunganya mekar. Kacang tanah berbuah polong. Polongnya terbentuk setelah terjadi pembuahan. Bakal buah tersebut tumbuh memanjang. Inilah yang disebut ginofora yang menjadi tangkai polong. Cara pembentukan polong adalah mula- mula ujung ginofora yang runcing mengarah keatas. Setelah tumbuh ginofora tersebut melengkung ke bawah dan masuk ke dalam tanah. Setelah menembus tanah, ginofora mulai membentuk polong. Pertumbuhan memanjang ginofora memanjang terhenti setelah terbentuk
14
polong. Polong-polong kacang tanah berisi antar 1 sampai dengan 5 biji. Biji kacang tanah berkeping dua dengan kulit ari berwarna putih, merah atau ungu tergantung varitasnya. Ginofora tidak dapat membentuk polong jika tanahnya terlalu keras dan kering atau batanya terlalu tinggi (Adisarwanto 2003).
Kacang Kedelai Tanaman kedelai (Glycine max) memiliki struktur perakaran yang terdiri atas akar lembaga, akar tunggang dan akar cabang berupa akar rambut. Perakaran kedelai dapat menembus tanah pada kedalaman ± 150 cm, terutama pada tanah yang subur. Perakaran tanaman kedelai mempunyai kemampuan membentuk bintil (nodula-nodula) akar yang merupakan koloni dari bakteri Rhizobium japonicum. Bakteri Rhizobium bersimbiosis dengan akar tanaman kedelai untuk menambat Nitrogen bebas dari udara. Unsur nitrogen tersebut dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman kedelai, sedangkan bakteri Rhizobium memerlukan makanan yang berasal dari tanaman kedelai, sehingga proses ini merupakan hubungan hidup yang saling menguntungkan (Rukmana dan Yuniarsih 1996). Tanaman kedelai termasuk berbatang semak yang dapat mencapai ketinggian antara 30-100 cm, batang beruas-ruas dan memiliki percabangan antara 3-6 cabang. Daun kedelai mempunyai ciri-ciri antara lain helai daun oval, bagian ujung daun meruncing dan tata letaknya pada tangkai daun bersifat majemuk berdaun tiga (Cahyono 2007). Umur keluarnya bunga tergantung pada varietas kedelai, pengaruh suhu, dan penyinaran matahari. Tanaman kedelai menghendaki penyinaran pendek, ± 12 jam per hari. Tanaman kedelai di Indonesia pada umumnya mulai berbunga pada umur 30 – 50 hari setelah tanam. Buah kedelai disebut buah polong seperti buah kacang-kacangan lainnya. yang tersusun dalam rangkaian buah. Polong kedelai yang sudah tua ada yang berwarna coklat, coklat tua, coklat muda, coklat kekuning-kuningan, coklat keputih-putihan dan kehitaman. Tiap polong kedelai berisi antara 1 – 5 biji, jumlah polong pertanaman tergantung pada varietas kedelai, kesuburan tanah, dan jarak tanam yang digunakan. Kedelai yang ditanam pada tanah subur pada umumnya dapat menghasilkan antara 100 – 200 polong/pohon (Suhaeni 2007). Biji kedelai umumnya berbentuk bulat atau bulatpipih sampai bulat-lonjong. Warna kulit biji bervariasi antara lain kuning, hijau, coklat dan hitam. Ukuran biji berkisar antara 6 – 30 gram/100 biji. Di indonesia ukuran biji kedelai diklasifikaikan dalam 3 kelas, yaitu biji kecil (6 – 10 gr/100 biji), sedang (11 – 12 gr/100 biji) dan besar (13 gr atau lebih/100 biji). Biji-biji kedelai dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman secara generatif (Cahyono 2007).
15
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi, Hama dan Penyakit Tanaman, Balai Penelitian Aneka Kacang dan Umbi, Kendalpayak, Malang pada tanggal 19 Juli hingga 19 Agustus 2016.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah mikroskop stereo, kertas milimeterblok, gunting, cutter, klip kertas, penggaris, labu Erlenmeyer, cawan petri, dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah daun tanaman dari delapan komoditas (labu merah, mentimun, terong, ubi kayu, ubi jalar, kacang hijau, kacang tanah, dan kedelai) yang berumur muda, sedang, dan tua, serta air untuk meletakkan bahan sampel agar tetap segar.
Metode Penelitian Bahan sampel daun yang digunakan diambil dari tanaman koleksi dekat rumah kaca Balitkabi. Setiap komoditas diambil 3 daun yang masing-masing beumur muda (daun posisi atas), sedang (daun posisi tengah), dan tua (daun posisi bawah). Penghitungan trikoma dilakukan dengan menggunakan kertas millimeter blok yang dibuat cetakan dengan dilubangi sebesar 25cm2 masing-masing sisi atas (adaksial) dan bawah (abaksial). Daun yang akan dihitung trikomanya disisipkan pada cetakan dari kertas milimeterblok tersebut dan dijepit dengan klip kertas agar tidak mudah goyang. Masing-masing daun diambil 5 titik sampel dan dihitung jumlah trikoma daunnya dibawah mikroskop stereo secara manual. Sampel daun yang belum dihitung dapat diletakkan pada labu Erlenmeyer atau cawan petri yang berisi agar agar tetap segar dan tidak layu. Jumlah kutu kebul per luasan daun juga dihitung dan dimati jumlah kutu kebul pada tiap fase hidupnya
Analisis Data Percobaan dilakukan dengan mengambil 5 titik sampel pada tiap daun yang akan diamati. Setiap titik sampel berukuran 25cm2 dan titik sampel tersebut ditentukan dengan menarik garis diagonal agar titik sampel yang terambil tersebar secara merata pada tiap luasan daun. Penghitungan jumlah trikoma dank utu kebul dilakukan secara manual dan data yang diperoleh diolah menggunakan bantuan software Microsoft Excel 2010. Penghitungan luas daun dilakukan dengan menggunakan kertas milimeterblok.
16
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan jumlah trikoma di bawah mikroskop stereo didapat hasil bahwa secara umum jumlah trikoma pada daun muda kerapatannya lebih besar dibandingkan dengan daun tua ataupun sedang. Hal ini disebabkan karena sel-sel pada daun muda masih mengalami proses pertumbuhan sehingga trikoma pada tiap luasannya cenderung lebih rapat. 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
muda sedang tua
Gambar 5 Grafik rata-rata jumlah trikoma daun yang teramati pada delapan spesies tanaman pada bagian adaksial daun
2500 2000 1500 1000
muda sedang
500
tua
0
Gambar 6 Grafik rata-rata jumlah trikoma daun yang teramati pada delapan spesies tanaman pada bagian abaksial daun Pengamatan pada delapan spesies tumbuhan didapat hasil bahwa labu merah memiliki jumlah trikoma rata-rata yang lebih banyak dibandingkan dengan spesies lainnya baik di bagian abaksial maupun adaksial. Sedangkan pengamatan
17
pada spesies ubi jalar dan kacang tanah didapat hasil bahwa trikoma hanya terlihat pada slah satu sisi daun saja. Daun ubi jalar hanya memiliki trikoma pada bagian adaksial sedangkan pada bagian abaksial tidak terlihat. Daun kacang tanah hanya terlihat memiliki trikoma pada sisi abaksialnya sedangkan pada sisi adaksial tidak terlihat. Meskipun secara umum kerapatan trikoma paling tinggi terjadi pada daun muda atau daun bagian atas, namun pada daun terong kerapatan trikoma paling tinggi didapat pada daun berusia sedang yang diambil pada bagian tengah tanaman, baik pada bagian abaksial maupun adaksialnya. Daun labu merah tua memiliki rata-rata kerapatan trikoma paling tinggi dibandingkan daun sedang maupun mudanya pada sisi abaksial. Hal ini berbanding terbalik dengan hasil yang didapat pada daun labu merah pada sisi adaksial. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa setiap spesies tanaman memiliki karakteristik trikoma yang berbeda-beda dan spesifik pada masing-masing tanaman. Bemisia tabaci secara keseluruhan paling banyak terdapat bagian abaksial daun. Fase nimfa sangat sedikit ditemukan pada bagian adaksial. Menurut Pollard (1955) nimfa kutu kebul selalu berada pada permukaan daun bawah. Hargreaves (1915 dalam Pollard 1955) menduga lima alasan untuk ini: (a) ketipisan kutikula yang lebih rendah dan kedekatan floem ke permukaan yang lebih rendah; (B) adanya stomata; (C) perlindungan dari hujan; (D) fototropisme; dan (e) posisi dorsal dari anus dan metode mendepak kotoran. Hal penting tentang B. tabaci adalah kemungkinan stilet tidak dapat mencapai floem dari permukaan atas. Hasil penelitian mengenai distribusi B. tabaci (Brewster et.al 1997,. Shuaib et.al 2010, Hsieh et.al 2012 dalam Pan et.al 2015.), dibandingkan dengan perlakuan kontrol, penanaman terbalik mengubah proporsi B. tabaci dewasa pada posisi daun atas dan bawah, yang menunjukkan bahwa dalam tanaman distribusi B. tabaci yang lebih erat terkait dengan posisi daun daripada usia daun. 25 20 15 telur 10
nimfa imago
5
Labu merah
terong
ubi kayu
ubi jalar
k tanah
tua
muda
sedang
tua
sedang
tua
k. hijau
muda
sedang
muda
tua
sedang
muda
tua
muda
sedang
tua
sedang
tua
mentimun
muda
sedang
muda
tua
sedang
muda
0
kedelai
Gambar 7 Grafik jumlah Bemisia tabaci yang teramati pada delapan spesies tanaman pada bagian adaksial daun
18
300 250 telur nimfa imago
200 150 100 50
muda sedang tua muda sedang tua muda sedang tua muda sedang tua muda sedang tua muda sedang tua muda sedang tua muda sedang tua
0
Labu mentimun terong merah
ubi kayu
ubi jalar
k. hijau
k tanah
kedelai
Gambar 8 Grafik jumlah Bemisia tabaci yang teramati pada delapan spesies tanaman pada bagian abaksial daun Berdasarkan fase hidupnya, jumlah telur paling banyak terdapat pada daun mentimun bagian abaksial. Jumlah nimfa paling banyak terdapat pada daun kedelai bagian abaksial. Sedangkan jumlah imago paling banyak terdapat pada daun terong bagian abaksial. Pada bagian adaksial daun dari delapan jenis spesies tersebut jumlah B. tabaci pada terong paling banyak dibandingkan pada daun lainnya. Fase B. tabaci yang ditemukan pada adaksial daun terong hanya fase imago dengan jumlah paling banyak secara berurutan terdapat pada daun muda, daun sedang, dan daun tua. Jumlah B. tabaci selanjutnya paling banyak terdapat pada daun kacang tanah dengan jumlah setiap fasenya bervariasi. Secara keseluruhan persebaran imago pada delapan jenis tanaman lebih luas dibandingkan fase nimfa maupun telur. Berdasarkan hasil penelitian yang didapat tidak ditemukan adanya korelasi yang signifikan antara jumlah kutu kebul dengan jumlah rata-rata trikoma, yang ditunjukkan dengan bervariasinya jumlah kutu kebul baik pada daun dengan kerapatan trikoma tinggi maupun dengan kerapatan trikoma rendah. Penelitian Taggar dan Gill (2012) pada kacang hitam (Vigna mungo) menunjukkan genotype Vigna mungo dengan ketahan sedang memiliki lamina daun yang lebih tipis sehingga menyimpan populasi kutu kebul lebih kecil dari pada genotype yang sangat rentan, Alasan yang mungkin untuk ini adalah bahwa genotipe dengan lamina daun tipis kurang lezat dan dengan demikian kurang disukai untuk makan dan oviposisi. Hasil ini sesuai dengan Lakshminarayan et.al (2008 dalam Taggar dan Gill 2012) yang melaporkan bahwa genotipe tahan Vigna radiata memiliki lamina daun yang tipis. Sebuah korelasi positif yang sangat signifikan antara telur kutu kebul dan ketebalan daun juga diamati pada kapas (Butter dan Vir 1989. Chu et.al (2001) menyatakan bahwa daun muda atas memiliki lamina daun lebih tipis dan warna hijau kekuningan dibandingkan dengan daun yang lebih tua, berwarna hijau tebal dan lebih gelap. Karakteristik tersebut dan karakteristik daun lainnya, seperti nilai gizi (Byrne dan Draeger 1989), dapat mempengaruhi
19
kolonisasi Bemisia tabaci. Pubesens daun dan keterkaitannya dengan kelembaban lapisan batas pada permukaan daun mungkin berpengaruh terhadap populasi B.tabaci. Jam biologis (circadian rhythm) B. tabaci berdasarkan penelitian Pan et.al (2015) menunjukkan aktivitas maximum selama siang hari, dengan dua puncak aktif. Hasil ini menunjukkan bahwa kutu kebul lebih memilih berpindah di bawah kecerahan ringan dan tidak ada aktivitas yang termati baik di bawah kecerahan tertinggi (sekitar tengah hari) atau selama kegelapan (pada malam hari) di rumah kaca. Suhu pukul 15.00. atau 16:00. lebih tinggi dari pukul 09.00 dan suhu tertinggi terjadi pada pukul 14:00, kemungkinan terdapat beberapa hubungan suhu dengan aktivitas kutu kebul. Studi awal menunjukkan pola unimodal aktivitas B. tabaci (Byrne dan Vonbretzel 1987, Bellows et.al 1988, dalam Pan et.al 2015). Mungkin terdapat hubungan antara suhu dan kelembaban pada lapisan batas pada permukaan daun terhadap kecenderungan distribusi Bemisia tabaci. Dalam kondisi iklim panas dan kering, perubahan kelembaban pada permukaan daun bagian bawah terjadi dengan hampir tidak terlihat. Namun perubahan tersebut dapat mempengaruhi kesintasan telur dan nimfa, khususnya instar pertama yang terbatas cadangan energinya dan mudah dehidrasi (Cohen et.al 1998 dalam Chu et.al 2001). Laporan sebelumnya menduga bahwa daun yang berambut melindungi kutu kebul dari predator dan parasit (Li et.al 1987, Heinz dan Zalom 1995). Hal ini juga diduga bahwa imago dan nimfa Bemisia menggunakan trikoma untuk menemukan lokasi reproduksi dan makan (Cohen et.al 1998 dalam Chu et.al 2001). Jumlah, panjang dan penataan ruang trikoma daun tampak mempengaruhi kepadatan populasi kutu kebul pada tanaman yang berbeda (Heinz dan Zalom 1995, Kishaba et.al 1992). Hal ini juga telah diduga bahwa perilaku preferensial kutu kebul untuk bertelur dekat trikoma adalah karena tekanan seleksi yang diberikan oleh musuh alami (Heinz dan Zalom 1995) atau microhabitat pada daun (Chu et.al 1995 dalam Taggar dan Gill 2012). Penelitian Taggar dan Grill (2012) menunjukkan bahwa pubesens pada genotype tanaman kacang hitam (V. mungo) tercatat memiliki populasi kutu kebul lebih rendah dari genotipe lainnya diuji dalam penelitian ini. Hasil ini menguatkan temuan Chand et.al (1980), yang melaporkan bahwa kacang hitam varietas tahan kutu kebul memiliki rambut daun per cm2 lebih dari yang rentan. 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
muda sedang tua
Gambar 9 Grafik luasan daun pada delapan spesies tanaman yang diamati
20
Luas daun yang teramati pada delapan spesies daun tidak memiliki korelasi yang signifikan terhadap jumlah populasi kutu kebul. Karena berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa jumlah kutu kebul pada daun labu merah yang memiliki luasan paling besar, lebih sedikit daripada jumlah kutu kebul pada daun mentimun dan daun terong yang memiliki luasan daun lebih sempit. Korelasi antara luas daun dan jumlah trikoma dengan populasi kutu kebul juga tidak terlalu jelas diketahui, melihat hasil diperoleh pada labu merah yang memiliki luasan serta jumlah rambut paling banyak hanya memiliki kutu kebul dengan jumlah sedikit. Taggar dan Gill (2012) mengungkapkan bahwa genotype dengan suseptibilitas tinggi memiliki kepadatan trikoma terendah tapi luas daun terbesar, menunjukkan bahwa dua karakter ini tentu mempengaruhi populasi telur kutu kebul dan populasi imago. Alasan untuk kerentanan yang tinggi mungkin karena ketersediaan luas daun yang lebih besar untuk oviposisi dan makan oleh kebul tersebut. Kular, dalam tesisnya, juga melaporkan korelasi positif yang signifikan antara luas daun dan populasi imago kutu kebul di kapas. Temuan ini juga dikuatkan temuan sebelumnya Misra dan Lamba (1929 dalam Taggard dan Gill 2012) yang melaporkan bahwa varietas kapas berdaun lebar lebih besar kerusakannya akibat kebul dibandingkan dengan varietas berdaun sempit. Selanjutnya, varieta okra dan super-okra yang memiliki daun yang sempit diberikan tingkat yang lebih tinggi resistensi terhadap B. tabaci dari varietas kapas berdaun lebar (Ozgur dan Sckeroglu 1986 dalam Taggar dan Gill 2012). Hasil penelitian Taggar dan Gill (2012) juga diduga bahwa genotipe kacang hitam yang memiliki trikoma lebih pendek cenderung ‘melakukan’ perlawanan terhadap B. tabaci. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Lakshminarayan et.al (2008 dalam Taggar dan Gill 2012), yang melaporkan bahwa genotipe kacang hijau tahan terhadap kutu kebul memiliki trikoma lebih pendek pada permukaan bawah daun. Soundararajan dan Baskaran (2001) juga mengamati korelasi negatif antara panjang trikoma dan ketahanan terhadap B. tabaci di terong. Hasil serupa telah dilaporkan oleh Singh et.al (2002) pada terong, Oriani et.al (2005) padakacang-kacangan dan oleh Butter dan Vir (1989), Kular dan Butter (1999) dan Acharya dan Bhargava (2008) pada kapas, yang menunjukkan bahwa panjang trikoma berkorelasi positif dengan populasi kutu kebul. Penelitian Taggar dan Gill (2012) menunjukkan bahwa genotipe kacang hitam memiliki trikoma tegak yang resisten terhadap B. tabaci. Dengan demikian, ketegakan yang lebih besar dari trikoma daun tampak mengganggu dan menghambat perilaku settling dan probing (untuk oviposisi dan makan) kutu kebul pada kacang hitam genotipe tahan. Temuan ini menguatkan yang sebelumnya Lambert et.al (1995 dalam Valle et.al 2012), yang melaporkan bahwa genotipe kedelai dengan penilaian trikoma dengan ketegakan rendah memiliki populasi kutu kebul lebih tinggi. Selain itu, trikoma daun dimasukkan pada sudut kurang dari 30° telah diamati efektif dalam menangkap serangga, karena trikoma ini berorientasi pada seperti sudut kecil bahwa serangga jarang datang dalam kontak dengan mereka, dibandingkan dengan relatif tegak trikoma yang menangkap sebuah lebih banyak serangga (Pillemer dan Tingey 1976 dalam Taggar dan Gill 2012). Menurut Taggar dan Gill (2012) luas daun, daun tebal lamina dan panjang trikoma memiliki efek positif pada tahap hidup kutu kebul, sedangkan kepadatan trikoma dan sudut memiliki efek negative.
21
Hasil pengamatan jumlah kutu kebul pada daun kedelai menunjukkan bahwa pada daun kedelai jumlah fase yang ditemukan paling banyak merupakan fase nimfa yang ditemukan pada bagian daun abaksial. Sedangkan pada bagian adaksial hanya ditemukan fase imago. Berdasarkan penelitian Musa dan Ren (2005), diketahui bahwa kelompok B. tabaci yang diberi kedelai dan kacang tunggak menunjukkan tingkat intrinsik yang lebih tinggi: perkembangan lebih cepat, kesintasan lebih tinggi, dan tingkat oviposisi lebih tinggi daripada kelompok yang diberi buncis, dua spesies ini mungkin lebih cocok inang untuk B. tabaci. Qiu et.al (2002 dalam Musan dan Ren 2005) menyatakan bahwa nilai-nilai rm untuk B. tabaci pada kubis, terong, tomat, dan mentimun masing-masing adalah 0,1241, 0,1416, 0,1278, dan 0,1143. Hasil penelitian Qiu et.al (2002) tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian ini yang menunjukkan bahwa terong dan mentimun merupakan dua komoditas dengan jumlah B. tabaci paling banyak. Diduga bahwa parameter tabel kehidupan sangat dipengaruhi oleh tanaman inang. Penelitian mereka menunjukkan bahwa populasi B. tabaci yang diberi terong memiliki tingkat intrinsik tertinggi dari tanaman inang lainnya. nilai-nilai tinggi rm menunjukkan kerentanan dari tanaman inang terhadap serangan serangga, sementara nilai yang rendah menunjukkan bahwa spesies tanaman inang tahan terhadap serangan. Hasil pada parameter demografi yang berasal dari investigasi ini menunjukkan bahwa B. tabaci memiliki tingkat intrinsik tertinggi peningkatan pada kedelai dibandingkan dengan kacang tunggak dan buncis (Musa dan Ren 2005). Daun terong memiliki jumlah imago paling banyak menunjukkan bahwa terong cenderung lebih disukai untuk makan. Daun terong diduga memiliki lamina tebal sehingga lebih disukai namun memiliki kondisi microhabitat yang tidak sesuai untuk perkembangan telur maupun nimfa walapun memiliki trikoma yang cenderung panjang. Trikoma pada daun terong juga cenderung tinggi. Sanchez-Pena et.al (2006) yang dilakukan pada terong juga mengungkapkan korelasi negatif antara kepadatan daun trikoma dan ketahanan terhadap B. tabaci. Hal yang mungkin menyebabkan rendahnya jumlah nimfa dan imago adalah kondisi mircrohabitat yang kurang sesuai namun memiliki rasa yang enak atau nilai gizi yang cocok bagi perkembangan imago. Daun mentimun memiliki jumlah telur paling banyak namun jumlah nimfa dan imago cenderung sedikit, walaupun kerapatan trikomanya pada bagian abaksial lebih sedikit dibandingkan dengan labu merah dan terong Hal ini diduga karena daun mentimun memiliki metabolit yang kurang disukai imago namun memiliki kondisi microhabitat yang cocok untuk perkembangan telur. Salah satunya adalah karena trikoma yang cenderung panjang dan dapat melindungi telur dari tekanan musuh alami. Hasil penelitian Taggar dan Gill (2012) juga mengungkapkana bahwa trikoma yang lebih pendek cenderung ‘melakukan’ perlawanan terhadap B. tabaci. Daun kedelai memiliki jumlah nimfa paling banyak namun jumlah telur dan imago cenderung sedikit. untuk ovipoisisi. Jumlah B. tabaci dari ketiga fase juga cenderung lebih rendah dari pada terong dan mentimun. Musa dan Ren (2005) mengungkapkan bahwa B. tabaci memiliki tingkat perkembangan tertinggi pada kedelai dibandingkan dengan kacang tunggak dan buncis (Musa dan Ren 2005). Kepadatan telur kebul dan kepadatan nimfa berkorelasi negative dengan kehadiran trikoma jenis IV (Muigai et.al 2003), yang juga merupakan trikoma
22
umum yang ditemukan di genotipe yang diuji yang mempengaruhi oviposisi paling banyak (Oriani dan Vendramim 2010). Jumlah trikoma yang teramati pada daun kedelai cenderung lebih rendah daripada labu merah, mentimun, dan terong dengan jumlah B. tabaci dari ketiga fase juga cenderung lebih rendah dari pada terong dan mentimun. Namun, apabila telur dan nimfa dikategorikan dalam fase pradewasa, dapat diasumsikan bahwa daun kedelai merupakan preferensi kedua paling banyak setelah daun mentimun untuk ovipoisisi. Valle et.al (2012) mengungkapkan bahwa pubesens yang tinggi pada kedelai berkorelasi positif dengan oviposisi B. tabaci biotipe B. Namun, seperti dijelaskan sebelumnya bahwa peneliti lain telah melaporkan bahwa jumlah trikoma tampaknya tidak menjadi faktor utama yang terlibat, tetapi orientasi trikoma, ukuran, dan sifat-sifat lain yang terkait menentukan ketahanan tanaman terhadap serangga. Genotipe kedelai yang memiliki trikoma dengan ketegakan rendah memiliki populasi kutu kebul lebih tinggi (Taggar dan Gill 2012). Sehingga dapat diduga bahwa daun kedelai memiliki orientasi maupun ukuran trikoma yang disukai untuk oviposisi, meskipun B. tabaci pada pekarangan yang diamati cenderung lebih memilih daun mentimun untuk oviposisi. Komoditas ubi kayu, ubi jalar, kacang hijau, menunjukkan jumlah B.tabaci yang sangat rendah bahkan nol. Selain itu ketiga spesies ini juga teramati trikoma yang cenderung rendah dibandingkan empat spesies lainnya. Rendahnya populasi kutu kebul pada tiga spesies ini dapat disebabkan karena tipisnya lamina daun, metabolit pada sap, dan tipe trikoma tidak disukai oleh B. tabaci. Korelasi populasi dengan trikoma yang ditemukan adalah pada ketiga spesies tersebut trikomanya cenderung pendek. Penelitian Valley et.al (2012) menunjukkan korelasi yang signifikan hanya teramati antara daya tarik (attractiveness) imago dan preferensi oviposisi. Hal yang sama pernah diamati dalam studi kedelai yang dilakukan oleh Valle and Lourencao (2002 dalam Valle et.al 2012). Silva et.al (2008 dalam Oriani dan Verdamim 2010) juga mempelajari ketahanan genotipe kentang pada B. tabaci dan juga mengamati korelasi yang positif dan signifikan antara daya tarik dewasa dan preferensi oviposisi. Pada kutu kebul, pilihan substrat untuk oviposisi adalah proses penting, karena nimfa (kecuali untuk nimfa instar pertama, yang mobilitasnya berkurang) tetap melekat pada daun. Dengan demikian, fakta bahwa imago makan dan bertelur pada daun yang sama, memilih makan dan tempat oviposisi secara bersamaan (Lenteren dan Noldus 1990), dapat menjelaskan korelasi yang sangat signifikan tersebut. Namun tidak ada korelasi yang nyata antara kepadatan trikoma dan preferensi oviposisi dan daya tarik dewasa. Pengamatan serupa dibuat oleh Mound (1965), Meagher et.al (1997), Boica et.al (2007), dan Jindal dan Dhaliwal (2011). Menurut beberapa peneliti trikoma sangat berkorelasi dengan kepadatan serangga dan kerusakan akibat aktivitas makan oleh hama yang berbeda. Pubesens yang tinggi pada kapas (Berlinger 1986, Sippell et.al 1987, Butter dan Vir 1989, Flint dan Parks 1990, Jindal dan Dhaliwal 2011), kedelai (McAuslane et.al 1995, McAuslane et.al 1996), dan tomat (Heinz dan Zalom 1995, Qiu et.al 2011) berkorelasi positif dengan oviposisi B. tabaci biotipe B. Namun, seperti dijelaskan sebelumnya bahwa penulis lain telah melaporkan bahwa jumlah trikoma tampaknya tidak menjadi faktor utama yang terlibat, tetapi orientasi trikoma, ukuran, dan sifat-sifat lain yang terkait menentukan ketahanan tanaman
23
terhadap serangga (Broesma et.al 1972,. Lambert et.al 1995 dalam Valle et.al 2012). Vieira et.al (2011) memahami bahwa ukuran trikoma dan kepadatan bukan satu-satunya faktor yang bertanggung jawab atas perbedaan dalam perlawanan genotipe kedelai untuk B. tabaci biotipe B, dan menyoroti pentingnya faktor kimia untuk ketahanan. Karakteristik fisik seperti kepadatan rambut atau trikoma glandular pada permukaan daun mungkin memainkan peran penting dalam biologi atau resistensi ketika individu spesies kutu kebul dalam suatu keadaan tertentu. Dengan demikian, komponen kimia harus dianalisis untuk menentukan mekanisme interaksi antara tanaman dengan serangga (Qiu et.al 2011). Studi Sanchez-Pena et.al (2006) yang dilakukan pada terong juga mengungkapkan korelasi negatif antara kepadatan daun trikoma dan ketahanan terhadap B. tabaci (Ayyasamy dan Baskaran 2005,. Singh et.al 2002, Soundararajan dan Baskaran 2001 dalam Taggar dan Gill 2012). Kepadatan trikoma daun merupakan karakter defensif yang mencegah kutu kutu kebul dengan menghalangi atau membatasi pendirian (establishment ) mereka (Taggar dan Gill 2012) dan dengan demikian membuat gerak, makan dan oviposisi sulit (Noris dan Kogan 1980 dalam Taggar dan Gill 2012) . Leite et.al (2003) juga melaporkan tidak terjadinya oviposisi oleh B. tabaci pada daun apikal terong memiliki kepadatan trikoma berlimpah. Sebuah korelasi negatif yang signifikan antara jumlah rambut daun per satuan luas dengan jumlah kebul juga telah dilaporkan di labu (Mohasin et.al 2005,. Pramanik et.al 2004). Namun, dalam kapas, kepadatan trikoma ditemukan berkorelasi positif dengan populasi kutu kebul oleh beberapa penulis. Perbedaan dalam preferensi oviposisi dari B. tabaci mungkin karena variasi dalam spesies genotipe yang berbeda dari tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tanaman memiliki hubungan spesifik dengan serangga hamanya. Herbivora yang berbagi tanaman inang yang sama umum berinteraksi satu sama lain secara positif atau negatif dengan cara yang berbeda. interaksi negatif paling sering dianggap sebagai kompetisi, yang dapat terjadi langsung (eksploitasi sumber daya makanan umum terbatas) maupun tidak langsung (dimediasi oleh tanaman inang, bahkan untuk pesaing yang terpisah secara spasial maupun temporal (Wise dan Weiberg 2002, Hunt-Joshi dan Blossey 2005, Lynch et.al 2006) Banyak penelitian pada kompetisi menyimpulkan bahwa makan sebelumnya oleh salah satu spesies menyebabkan perubahan nutrisi dan alelokimia tanaman yang mempengaruhi kinerja pengambilan nutrisi oleh spesies lain yang makan kemudian pada inang yang sama. Hal ini terkait dengan ditemukannya hama lain seperti tungau pada berbagai spesies daun yang diamati. Namun pengaruh keberadaan tungau terhadap populasi kutu kebul masih belum diketahui. Penelitian Oriani dan Vendramim (2010) pada berbagai kultivar tomat juga membuktikan bahwa kepadatan trikoma yang tinggi di kultivar tomat terutama ketika terdapat banyak tipe V trikoma non-glandular mayoritas berkorelasi positif dengan oviposisi dari B. tabaci biotipe B (Heinz dan Zalom 1995, Snyder et.al 1998, Toscano et.al 2002). Namun, kepadatan trikoma terbukti tidak berpengaruh sama sekali dalam oviposisi dari kutu kebul di genotipe tomat liar (S. chilense, S. chmielewskii, S. habrochaites, S. pennellii, S. Peruvianum, S.
24
pimpinellifollium dan S. neorickii ) (Heinz dan Zalom 1995), dan total kepadatan trikoma telah mengindikasikan untuk menjadi kriteria diandalkan dalam pemilihan fitur yang terkait dengan ketahanan terhadap B. tabaci biotipe B (Muigai et.al 2003). Sehingga dapat disimpulkan bahwa preferensi oviposisi dari B. tabaci B biotipe untuk genotipe tomat secara langsung berkaitan dengan jenis trikoma yang ditemukan, dan tidak berkaitan dengan total kepadatan trikoma. Kepadatan telur kebul dan kepadatan nimfa berkorelasi negative dengan kehadiran trikoma jenis IV (Muigai et.al 2003), yang juga merupakan trikoma umum yang ditemukan di genotipe yang diuji yang mempengaruhi oviposisi paling banyak. Ketahanan oviposisi non-preferensi pada B. tabaci B biotype terdapat pada S. pennellii terkait dengan kehadiran tipe IV trikoma glandular, karena acylsugar memiliki reaksi memukul mundur untuk kutu kebul. Selain itu, eksudat yang terdapat dalam trikoma juga bersifat memerangkap imago. Mekanisme yang menentukan preferensi B. tabaci dari tanaman sebagai substrat untuk perkembangan keturunan hanya sebagian yang telah dijelaskan. Hal-hal tersebut antara lain termasuk warna tanaman, tekstur, metabolit pada sap, kuantitas trikoma pada daun, dan status gizi, (Van Lenteren dan Noldus 1990, Bentz et.al 1995, Chu et.al 1995, Andres dan Connors 2003, dalam Mansary dan Sundufu 2009). Kombinasi faktor-faktor ini dengan agen abiotic seperti angin untuk penyebaran imago dapat menentukan perbedaan oviposisi antara spesies tanaman di lapangan (Byrne 1999). Selain itu, kutu kebul dapat menunjukkan beberapa derajat variabilitas dalam preferensi tanaman inang tergantung pada waktu, musim, kondisi lingkungan dan praktek agronomi (Gerling 1990 dalam Mansaray dan Sundufu 2009). Mengingat waktu perkembangan singkat B. tabaci pada G. max ditambah dengan ketahanan hidup yang tinggi pada fase pradewaas, populasi B. tabaci akan berkembang ke tingkat yang merusak lebih cepat pada G. max dari pada P. vulgaris. Munculnya imago terjadi 16-20 hari setelah oviposisi pada G. max dan 19-23 hari pada P. vulgaris.
25
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kutu kebul (Bemisia tabaci) memiliki preferensi inang yang bervariasi. Dari delapan spesies daun yang diamati, diketahui daun terong lebih disukai untuk makan imago. Untuk oviposisi, daun mentimun lebih disukai dibandingkan spesies lainnya, namun daun kedelai merupakan preferensi kedua untuk oviposisi jika fase telur dan fase nimfa diasumsikan merupakan satu fase yaitu pradewasa. Pengamatan penghitungan jumlah trikoma pada daun tanaman dari delapan spesies berbeda tidak menunjukkan adanya korelasi yang nyata dengan jumlah populasi kutu kebul. Terdapat banyak factor yang lebih mempengaruhi populasi kutu kebul dari pada kepadatan trikoma. Factor-faktor tersebut antara lain panjang trikoma, tipe bentuk trikoma, penataan ruang trikoma daun, dan tebal lamina. Factor lain yang mungkin mempengaruhi antara lain luas daun, kandungan sap, suhu dan kelembaban di permukaan daun, dan adanya kompetisi Bemisia tabaci dengan spesies lain yang memiliki inang yang sama.
Saran Perlu adanya studi lanjutamengenai besar sudut antara trikoma dan permukaan daun, tipe bentuk trikoma, dan panjang trikoma pada delapan spesies yang diamati. Selain itu studi lanjutan mengenai kandungan pada sap tanaman, dan pengukuran suhu dan kelembaban pada lingkungan mikro daun pada delapan spesies tersebut juga diperlukan. Hubungan intraspesifik Bemisia tabaci dengan spesies lainnya juga diperlukan Korelasi semua data tersebut diharapkan akan berguna untuk mengetahui secara lebih detail mengenai tumbuhan apa saja yang efektif digunakan sebagai tanaman perangkap untuk Bemisia tabaci.
26
DAFTAR PUSTAKA Acharya VS, Bhargava MC. 2008. Morphological basis of resistance in cotton (Gossypium hirsutum) against whitefly (Bemisia tabaci). Indian Journal of Agricultural Sciences. 78: 818–820. Adisarwanto, T. 2005. Meningkatkan Produksi Kacang Tanah di Lahan Sawah dan Lahan Kering. Jakarta(ID): Panebar Swadaya. Andres MR, Connors EF. 2003. The community-wide and guild-specific effects of pubescence on the folivorous insects of manzanitas Arctostaphylos spp. Ecological Entomology. 28: 383–396. Dalam: Mansaray A, Sundufu AJ. 2009. Oviposition, development and survivorship of the sweetpotato Whitefly Bemisia tabaci on Soybean, Glycine max, and the Garden Bean, Phaseolus vulgaris. Journal of Insect Science. 9(1): 1–6. Ayyasamy R, Baskaran P. 2005. Influence of certain leaf characters of brinjal accessions with incidence of Bemisia tabaci. Journal of Food, Agriculture and Environment. 3: 333–334. Dalam: Taggar GK, Gill RS. 2012. Preference of whitefly, Bemisia tabaci, towards black gram genotypes: Role of morphological leaf characteristics. Phytoparasitica. 40: 461–474. [BALITKABI]. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. 2014. Profil Balitkabi.[Internet]. [Diunduh 2016 Sept 3]. Tersedia pada: http://balitkabi.litbang.pertanian.go.id Bentz J, Reeves, Barbosa P, Francis B. 1995 Nitrogen fertiliser effect on selection, acceptance and suitability of Euphorbia pulcherrima (Euphorbiaceae) as host plant to Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae). Environmental Entomology. 24:40–45. Dalam: Mansaray A, Sundufu AJ. 2009. Oviposition, development and survivorship of the sweetpotato Whitefly Bemisia tabaci on Soybean, Glycine max, and the Garden Bean, Phaseolus vulgaris. Journal of Insect Science. 9(1): 1–6. Berlinger MJ. 1986. Host plant resistance to Bemisia tabaci. Agriculture, Ecosystem, and Environment. 17: 69–82. Bohmflak GT, Friesbie, RE, Sterling WL, Metzer RB, Knutson AE. 2007. Identification, biology and sampling of cotton insect. [Internet]. [Diunduh 2016 Okt 9]. Tersedia pada: http://extentopubs.tamu.edu/bulletins/b-933.html Boica AL Jr, Campos ZR, Lourencao AL, Campos AR. 2007. Adult attractiveness and oviposition preference of Bemisia tabaci (Genn.) (Homoptera:
27
Aleyrodidae) B-biotype in cotton genotypes. Scientia Agricola. 64: 147– 151. Brewster CC, Allen JC, Schuster DJ, Stansly PA. 1997. Simulating the dynamics of Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae) in an organic cropping system with a spatiotemporal model. Environmental Entomology. 26: 603– 616. Dalam: Pan PL, Xu Q, Qin YCh. 2015. Circadian rhythm and spatial distribution of mixed populations of two whitefly species on cucumber in greenhouses. African Entomology. 23(2): 306–313. Brewster CC, Allen JC, Schuster DJ, Stansly PA. 1997. Simulating the dynamics of Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae) in an organic cropping system with a spatiotemporal model. Environmental Entomology 26: 603– 616. Dalam: Pan PL, Xu Q, Qin YCh. 2015. Circadian rhythm and spatial distribution of mixed populations of two whitefly species on cucumber in greenhouses. African Entomology. 23(2): 306–313. Broesma DB, Bernard RL, Luckman WH. 1972. Some effects of soybean pubescence in populations of the potato leafhopper. Journal of Economic Entomology. 65:78–82. Dalam: Valle GEd, Lourenc AL, Pinheiro JB. 2012. Adult attractiveness and oviposition preference of Bemisia tabaci biotype b in soybean genotypes with different trichome density. Journal of Pest Science.85:431–442. Brown JK. 1994. Current status of Bemisia tabaci as a plant pest and virus vector in agroecosystems worldwide. FAO Plant Protection Bulletin. 42(1): 3-32. Brown JK, Bird J. 1992. Whitefly-transmitted Geminiviruses and associated disorders in the Americas and the Caribbean Basin. Plant Disease. 76(3):220-225. Dalam: Setiawati W, Udiarto BK, Soetiarso. 2008. Pengaruh varietas dan sistem tanam cabai merah terhadap penekanan populasi hama kutu kebul. . Jurnal Hortikultura. 18(1):55-61. Butter NS, Vir BK. 1989. Morphological basis of resistance in cotton to the whitefly Bemisia tabaci. Phytoparasitica. 17: 251–561. Byrne DN. 1999. Migration and dispersal by the sweet potato whiteßy, Bemisia tabaci. Agricultural and Forest Meteorology. 97: 309-316. Byrne DN, Bellows TS. 1990. Whitefly Biology. Annual Review Entomology. 36:431-457. Byrne DN, Draeger EA. 1989. Effect of plant maturity on oviposition and nymphal mortality of Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae). Environmental Entomology. 18: 429–432. Byrne DN, Vonbretzel PK. 1987. Similarity in flight activity rhythms in coexisting species of Aleyrodidae, Bemisia tabaci and Trialeurodes
28
abutilonea. Entomologia Experimentalis et Applicata 43: 215–219. Dalam: Pan PL, Xu Q, Qin YCh. 2015. Circadian rhythm and spatial distribution of mixed populations of two whitefly species on cucumber in greenhouses. African Entomology. 23 (2): 306–313. Cahyono B. 2007. Kedelai. Semarang(ID): Aneka Ilmu. Carabali A, Belloti AC, Lerma JM., 2007. Adaptation of biotipe B of B. tabaci to cassava. [Internet]. [Diunduh 2016 Okt 7]. Tersedia pada: https://cgspace.cgiar.org/handle/10568/57887 Chand P, Varma JP, Chand P. 1980. Some characteristics of mungbean and urdbean varieties resistant and susceptible to yellow mosaic virus. Indian Phytopathology. 33: 48–53. Chu CC, Henneberry T, Cohen AC. 1995. Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae): host preference and factors affecting oviposition and feeding site preference. Environmental Entomology. 24: 354–360. Dalam: Taggar GK, Gill RS. 2012. Preference of whitefly, Bemisia tabaci, towards black gram genotypes: Role of morphological leaf characteristics. Phytoparasitica. 40: 461–474. Chu CC, Henneberry TJ, Cohen A. 1995. Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae): host preference and factors affecting oviposition and feeding site preference. Environmental Entomology. 24: 354–360. Dalam: Mansaray A, Sundufu AJ. 2009. Oviposition, development and survivorship of the sweetpotato Whitefly Bemisia tabaci on Soybean, Glycine max, and the Garden Bean, Phaseolus vulgaris. Journal of Insect Science. 9(1): 1–6. Chu CC, Freeman TP, Bucker JS, Henneberry TJ, Nelson DR, Natwick ET. 2001. Susceptibility of upland cotton cultivars to Bemisia tabaci biotype B (Homoptera: Aleyrodidae) in relation to leaf age and trichome density. Annals of the Entomological Society of America. 94(5):743–749. Cohen AC, Chu CC, Henneberry TJ, Freeman T, Nelson D, Buckner J, Margosan D, Vail P, Aung LH. 1998. Feeding biology of the silverleaf whiteßy (Homoptera: Aleyrodidae). Chinese Journal of Entomology 18: 65–82. Dalam: Chu CC, Freeman TP, Bucker JS, Henneberry TJ, Nelson DR, Natwick ET. 2001. Susceptibility of upland cotton cultivars to Bemisia tabaci biotype B (Homoptera: Aleyrodidae) in relation to leaf age and trichome density. Annals of the Entomological Society of America. 94(5):743–749. Coudriet, DL, Prabhaker N, Kishaba AN, Meyerdirk DE. 1985. Variation in developmental rate on different host and overwintering of the sweetpotato whitefly, Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae). Environmental Entomology. 14: 516-519.
29
[Deptan]. Departemen Petanian. 2007. Bemisia tabaci (Genn). Dalam: Nasution NR. 2010. Pengaruh jenis perangkap sintetis untuk mengendalikan hama kutu putih Bemisia tabaci Genn. (Homoptera: Aleyrodidae) pada tanaman tembakau Deli (Nicotiana tabacum L.). [Skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Fachruddin L. 2000. Budidaya Kacang-kacangan. Yogyakarta (ID): Kanisius Flint HM, Parks NJ. 1990. Infestation of germplasm lines and cultivars of cotton in Arizona by whitefly nymphs (Homoptera: Aleyrodidae). Journal of Entomological Science.25: 223–229 Gerling D. 1990. Whiteflies: Their Bionomics, Pest Status and Management. Auckland (NZ): Intercept Ltd. Dalam: Mansaray A, Sundufu AJ. 2009. Oviposition, development and survivorship of the sweetpotato Whitefly Bemisia tabaci on Soybean, Glycine max, and the Garden Bean, Phaseolus vulgaris. Journal of Insect Science. 9(1): 1–6. Greathead D. 1991. Biological control in the tropics: present opportunities and future prospects. Insect Science and Its Application.. 12: 3-8. Hargreavee S . 1915. The life history and habits of the greenhouse whitefly (Aleyrodes vaporariorurn Westwd.) Annals of Applied Biology. 1: 303–34. Dalam: Pollard DG. 1955. Feeding habits of the cotton whitefly, Bemisia tabaci Genn. (Homoptera: Aleyrodidae). Annals of Applied Biology. 43 (4), 664–671. Heather JMA. 2002. Bemisia tabaci (Gennadius) or Bemisia argentifolli Bellows and Perring. Featured Creature. [Internet]. [Diunduh 2016 Okt 7]. Tersedia pada: http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/silverleaf_whitefly.htm Heliyani HD. 2012. Pengembangan produk pangan berbahan baku labu kuning. Jurnal Peningkatan Daya Saing Pangan Tradisional. 2 (1): 134-140. Hennebery T J, Castle TJ. 2001. Bemisia: Pest Status Economy, Biology And Population Dynamics. Dalam: Harris KF, Smith OP, Duffus E, editor. Virus-Insect-Plant Interaction. New York (US): Academic Press. Hidayat P, Satriami D, Hendrastuti S. 2004. Kajian ciri morfologi dan molekuler kutu kebul (homoptera : aleyrodidae) sebagai dasar pengendalian penyakit geminivirus pada tanaman sayuran. Basic Research. [Internet]. [Diunduh 2016 Sept 3]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/7081 Hsieh CH, Wang HY, Chen YF, Ko CC. 2012. Loop–mediated isothermal amplification for rapid identification of biotypes B and Q of the globally invasive pest Bemisia tabaci, and studying population dynamics. Pest Management Science. 68: 1206–1213. Dalam: Pan PL, Xu Q, Qin YCh. 2015. Circadian rhythm and spatial distribution of mixed populations of
30
two whitefly species on cucumber in greenhouses. African Entomology. 23(2): 306–313. Heinz KM, Zalom, FG. 1995. Variation in trichomebased resistance to Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae) oviposition on tomato. Journal of Economic Entomology. 88: 1494–1502. Hill DS. 1987. Agricultural Insect Pests of the Tropics and their Control. Cambridge (UK): Cambridge University Press. Hirano K, Budiyanto E, Winarni S, 2007. Biological characteristic and forecasting outbreak of whitefly B tabaci a vector of virus disease in soybean field. Technical bulletin / ASPAC Food & Fertilizer Technology Center. [Internet] [Diunduh 2016 Okt 7]. Tersedia pada: http://www.agnet.org/library.php?func=view&id=20110712185134&type_i d=5 Horowitz AR. 1986. Population dynamic of Bemisia tabaci (Gennadius) : with special emphasis on cotton fields. Agriculture, Ecosystem and Environment 17:37- 47. Hunt-Joshi TR, Blossey B. 2005. Interactions of root and leaf herbivores on purple loosestrife (Lythrum salicaria). Oecologia. 142: 554-563. Imdad HP, Nawangsih AS. 2001. Sayuran Jepang. Jakarta(ID): Penebar Swadaya. Jindal V, Dhaliwal GS. 2011. Mechanisms of resistance in cotton to whitefly (Bemisia tabaci): antixenosis. Phytoparasitica. 39: 129–136. Johnson MW, Ullman DE, Tabashnik BE, Costa H, Omer A. 1992. Sweetpotato Whitefly Information from Hawaii. Dalam: Mau RFL, Kessing JLM. 2007. Bemisia tabaci (Gennadius). Crop Knowledge Master. [Internet]. [Diunduh 2016 Okt 7]. Tersedia pada: http://www.extento.hawaii.edu/kbase/crop/type/b_tabaci.htm Kalshoven LGE. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Vander Lann, penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru. Kishaba AN, Castle S, McCreight JD, Desjardins PR. 1992. Resistance of white– flowered gourd to sweetpotato whitefly. Horticultural Science. 27: 1217– 1221. Dalam: Taggar GK, Gill RS. 2012. Preference of whitefly, Bemisia tabaci, towards black gram genotypes: Role of morphological leaf characteristics. Phytoparasitica. 40: 461–474. Kular JS, Butter NS. 1999. Influence of some morphological traits of cotton genotypes on resistance to whitefly, Bemisia tabaci Genn. Journal of Insect Science. 12: 81–83.
31
Lakshminarayan S, Singh PS, Mishra DS. 2008. Relationship between whitefly population, YMV disease and morphological parameters of green gram germplasm. Environment and Ecology. 26: 978–982. Dalam: Taggar GK, Gill RS. 2012. Preference of whitefly, Bemisia tabaci, towards black gram genotypes: Role of morphological leaf characteristics. Phytoparasitica. 40: 461–474. Lambert AL, McPherson RM, Sparks B. 1995. Evaluation of selected soybean genotypes for resistance to two whitefly species (Homoptera: Aleyrodidae) in the greenhouse. Journal of Entomological Science 30: 519–526. Dalam: Valle GEd, Lourenc AL, Pinheiro JB. 2012. Adult attractiveness and oviposition preference of Bemisia tabaci biotype b in soybean genotypes with different trichome density. Journal of Pest Science.85:431–442. Leite, GLD, Picanço M, Guedes RNC, Moreira MD. 2003. Factors affecting attack rate of whitefly on the eggplant. Pesquisa Agropecuária. Brasileira, 38: 545–549. Lynch ME, Kaplan I, Dively GP, Denno, RF. 2006. Host-plant-mediated competition via induced resistance, interactions between pest herbivores on potatoes. Ecological Applications. 16: 855-864. Li ZH, Lammes F, Van Lenteren JF, Huisman PWT, Van Vianen A, De Ponti OMB. 1987. The parasite host relationship between Encarsia formosa (Hymenoptera: Aphelinidae) and Trialeurodes vaporariorum (Homoptera: Aleyrodidae). XXV. Influence of leaf structure on the searching activity of Encarsia formosa. Journal of Applied Entomology. 104: 297–304. Mansoor S, Bedford I, Pinner M, Stanley J, Markham PM. 1993. A whitefly transmitted geminivirus associated with cotton leaf curl diseases in Pakistan. Pakistan Journal of Botany. 25: 05-107. Markham PG, Bedford ID, Liu S, Pinner MS. 1994. The transmission of Geminiviruses by Bemisia tabaci. Pesticide Science. 42:123-128. Marzuki R. 2007. Bertanam Kacang Tanah. Jakarta(ID): Penebar Swadaya. Mau RFL, Kessing JLM. 2007. Bemisia tabaci (Gennadius). Crop Knowledge Master. [Internet]. [Diunduh 2016 Okt 7]. Tersedia pada: http://www.extento.hawaii.edu/kbase/crop/type/b_tabaci.htm McAuslane HJ, Johnson FA, Colvin DL, Sojack B. 1995. Influence of foliar pubescence on abundance and parasitism of Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae) on soybean and peanut. Environmental Entomology. 24: 1135–1143
32
McAuslane HJ, Webb SE, Elmstrom GW. 1996. Resistance in germplasm of Cucurbita pepo to silverleaf, a disorder associated with Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae). Florida Entomologist. 79: 206–221 Meagher RL Jr, Smith CW, Smith WJ. 1997. Preference of Gossypium genotypes to Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae). Journal of Economic Entomology. 90: 1046–1052. Misra CS, Lamba KS. 1929. The cotton whitefly (Bemisia gossypiperda n. sp.). Bulletin of Agricultural Research Pusa, 196, 7. Dalam: Taggar GK, Gill RS. 2012. Preference of whitefly, Bemisia tabaci, towards black gram genotypes: Role of morphological leaf characteristics. Phytoparasitica. 40: 461–474. Mohamad Roff MN, Khalid SAN, Idris AB, Othman RY, Jamaludin S. 2005. Status of whiteflies as plant pest and virus vector on vegetables and prospect for control in Malaysia. Dalam: Ku TY, Wang CL, editor. Prosiding International Seminar on Whitefly Management and Control Strategy. 2005 Oktober 3-8 Taichung, Taiwan ROC. Tiacung (TW): Agricultural Research Institute, 229-241. Mohasin M, Banerjee A, Singha S, Hazra S. 2005. Influence of abiotic factors and leaf characters on whitefly, Bemisia tabaci Genn. (Aleyrodidae: Homoptera), population on different varieties of pumpkin. Horticulture Journal. 18: 42–45. Mound LA. 1965. Effect of leaf hair on cotton whitefly populations in the Sudan Gezira. Empire Cotton Growing. Rev. 42: 33–40. Muigai SG, Bassett MJ, Schuster DJ, Scott JW. 2003, Greenhouse and field screening of wild Lycopersicon germplasm for resistance to the whitefly Bemisia argentifolii. Phytoparasitica. 1: 1–12. Musa PD, Ren SX. 2005. Development and reproduction of Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae) on three bean species. Insect Science. 12: 25–30 Nasution NR. 2010. Pengaruh jenis perangkap sintetis untuk mengendalikan hama kutu putih Bemisia tabaci Genn. (Homoptera: Aleyrodidae) pada tanaman tembakau Deli (Nicotiana tabacum L.). [Skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Noris DM, Kogan M. 1980. Biochemical and morphological bases of resistance. Dalam:. Maxwell FG, Jennings PR, editor. Breeding plants resistant to insects. 23–61. New York(UK): John Wiley & Sons. Dalam: Taggar GK, Gill RS. 2012. Preference of whitefly, Bemisia tabaci, towards black gram genotypes: Role of morphological leaf characteristics. Phytoparasitica. 40: 461–474. Ohto K. 1990. Occurrence of the sweetpotato whitefly, Bemisia tabaci (Gennadius), on the Poinsettia. Plant Protections. 44: 264-266.
33
Oliveira MRV, Henneberry TJ, Andersonc P. 2001. History, current status, and collaborative research projects for Bemisia tabaci. Crop Protection. 20: 709–723. Oriani MAdeG, Vendramim JD, Brunherotto R. 2005. Influence of trichomes on ovipositional preference of Bemisia tabaci (Genn.) biotype B (Hemiptera: Aleyrodidae) for bean genotypes. Neotropical Entomology. 34: 97–103. Oriani MAdeG, Vendramim JD. 2010. Influence of trichomes on attractiveness and ovipositional preference of Bemisia tabaci (Genn.) B Biotype (Hemiptera: Aleyrodidae) on tomato genotypes. Neotropical Entomology. 39 (6): 1002–1007. Ozgur, AF, Sckeroglu E. 1986. Population development of Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae) on various cotton cultivars in Cukurova, Turkey. Agriculture, Ecosystems & Environment. 17: 83–88. Dalam: Taggar GK, Gill RS. 2012. Preference of whitefly, Bemisia tabaci, towards black gram genotypes: Role of morphological leaf characteristics. Phytoparasitica. 40: 461–474. Pan PL, Xu Q, Qin YCh. 2015. Circadian rhythm and spatial distribution of mixed populations of two whitefly species on cucumber in greenhouses. African Entomology. 23(2): 306–313. Perring TM, Cooper AD, Rodrigues RJ, Farrar CA, Bellow TS. 1993. Identification of whitefly by genomic and behavioral studies. Science. 259:74-77. Pollard DG. 1955. Feeding habits of the cotton whitefly, Bemisia tabaci Genn. (Homoptera: Aleyrodidae). Annals of Applied Biology. 43 (4), 664–671. Pramanik, P, Singha S, Chatterjee ML. 2004. Varietal preference of whitefly, Bemisia tabaci (Gennadius) among pumpkin cultivars. Pest Management and Economic Zoology. 12: 105–107. Pillemer EA, Tingey WM. 1976. Hooked trichomes: Aphysical plant barrier to a major agricultural pest. Science. 193: 482–484. Dalam: Taggar GK, Gill RS. 2012. Preference of whitefly, Bemisia tabaci, towards black gram genotypes: Role of morphological leaf characteristics. Phytoparasitica. 40: 461–474. Purwono, Hartono R. 2005. Kacang Hijau. Jakarta(ID): Penebar Swadaya. Qiu BL, Dang F, Li SJ, Ahmed MZ, Jin FL, Ren SX, Cuthbertson AGS. 2011. Comparison of biological parameters between the invasive B biotype and a new defined Cv biotype of Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyrodidade) in China Journal of Pest Science. 84: 419– 427.
34
Qiu BL, Ren SX, Sun TX, Lin L. 2002. Investigation of host plants of Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae) in Guangzhou area. Journal of South China Agricultural University, 22, 43–47. Dalam: Musa PD, Ren SX. 2005. Development and reproduction of Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae) on three bean species. Insect Science. 12: 25–30. Rukmana.R. 2006. Bertanam Terung. Yogyakarta(ID): Kanisius. Rukmana R. 1997. Kacang Hijau: Budidaya dan Pasca Panen. Yogyakarta (ID): Kanisius Rukmana R. 1997. Ubi Jalar: Budidaya dan Pasca Panen. Yogyakarta (ID): Kanisius. Rukmana R. 1997. Ubi Kayu: Budidaya dan Pasca Panen. Yogyakarta (ID): Kanisius. Rukmana R, Yuniarsih Y. 1996. Yogyakarta(ID): Kanisius.
Kedelai,
Budidaya
Pasca
Panen.
Sanchez–Pena P, Oyama K, Nunez–Farfan J, Fornoni J, Hernandez–Verdugo S, Marquez–Guzman J, Garzon-Tiznado JA. 2006. Sources of resistance to whitefly (Bemisia spp.) in wild populations of Solanum lycopersicum var. cerasiforme (Dunal) Spooner G. J. Anderson et R. K. Jansen, in northwestern Mexico. Genetic Resources and Crop Evolution. 53 (4) : 711– 719. Sanderson JP. 2007.. Whiteflies. Pests and Diseases. [Internet]. [Diunduh 2016 Okt 9]. Tersedia pada: http://www.greenhouse.cornell.edu/pests/pdfs/insects/WF.pdf Sastry KSM, Singh SJ. 1979. Control of the spread tomato leaf curl virus by controlling the white fly population. Indian Journal of Horticulture. 31: 178-182. Setiawati W, Udiarto BK. 2005. Pengelolaan tanaman terpadu pada tanaman cabai merah dalam upaya mengatasi serangan penyakit virus kuning. Makalah. Dalam: Pertemuan Apresiasi Penerapan Penganggulangan Virus Cabai, di Yogyakarta, 14-15 April. Setiawati W, Udiarto BK, Agoes T, Soetiarso. 2007. Selektivitas beberapa insektisida terhadap hama kutukebul (Bemisia tabaci Genn.) dan predator Menochilus sexmaculatus Fabr. Jurnal Hortikultura. 17(2): 168-174. Setiawati W, Udiarto BK, Soetiarso. 2008. Pengaruh varietas dan sistem tanam cabai merah terhadap penekanan populasi hama kutu kebul. . Jurnal Hortikultura. 18(1): 55-61. Shuaib M, Khan SH, Turab S. 2010. Effect of temperature and relative humidity on population dynamics of sucking insect pests of cotton (Gossypium
35
hirustum L). Di dalam: Baby S, Sandhu, PS, Hang Y, editor. Proceedings of 2010 International Conference on Agricultural and Animal Science. , Liverpool (UK): World Academic Union–WorldAcademicPress. 270–273. Dalam: Pan PL, Xu Q, Qin YCh. 2015. Circadian rhythm and spatial distribution of mixed populations of two whitefly species on cucumber in greenhouses. African Entomology. 23(2): 306–313. Silva VdeF, CardosoMdasG, Moraes JCde, Pimentel FA, Goncalves LD, Neri DKP. 2008. Caracterização e avaliação de acilaçúcar sintético no comportamento da mosca–branca Bemisia tabaci (Gennadius, 1889) biótipo B (Hemiptera: Aleyrodidae) em tomateiro. Ciênc Agrotec. 32: 1408–1412. Dalam: Oriani MAdeG, Vendramim JD, Brunherotto R. 2005. Influence of trichomes on ovipositional preference of Bemisia tabaci (Genn.) biotype B (Hemiptera: Aleyrodidae) for bean genotypes. Neotropical Entomology. 34: 97–103. Singh D, Jaglan RS, Singh R. 2002.. Leaf morphological characteristics of brinjal in relation to whitefly incidence. Haryana Journal of Horticultural Sciences. 31: 289–291. Sippel DW, Bindra OS, Khalifa H. 1987. Resistance to whitefly (Bemisia tabaci) in cotton (Gossypium hirsutum) in Sudan. Crop Protection. 6: 171–178. Soundararajan RP, Baskaran P. 2001. Mechanisms of resistance in brinjal (Solanum melongena L.) to whitefly Bemisia tabaci (Gennadius). Madras Agriculture Journal. 88: 657–659. Dalam: Taggar GK, Gill RS. 2012. Preference of whitefly, Bemisia tabaci, towards black gram genotypes: Role of morphological leaf characteristics. Phytoparasitica. 40: 461–474. Suhaeni, N. 2007. Petunjuk Praktis Menanam Kedelai. Bandung(ID): Nuansa. Sunarjono H. 2005. Bertanam 30 Jenis Sayuran. Jakarta(ID): Penebar Swadaya Snyder JC, Simmons AM, Tracker RR. 1998. Attractancy and ovipositional response of adult Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae) to type IV trichome density on leaves of Lycopersicon hirsutum grown in three daylenght regimes. Journal of Entomological Science. 33: 270–281. Taggar GK, Gill RS. 2012. Preference of whitefly, Bemisia tabaci, towards black gram genotypes: Role of morphological leaf characteristics. Phytoparasitica. 40: 461–474. Toscano LC, Boica JrA, Maruyama WI. 2002. Nonpreference of whitefly for oviposition in tomato genotypes. Scientia Agricola. 59: 677–681. Valle GE, Lourencao AL. 2002. Resistência de genótipos de soja a Bemisia tabaci (Genn.) biótipo B (Hemiptera: Aleyrodidae). Neotropical Entomology. 31:285-295. Dalam: Valle GEd, Lourenc AL, Pinheiro JB. 2012. Adult
36
attractiveness and oviposition preference of Bemisia tabaci biotype b in soybean genotypes with different trichome density. Journal of Pest Science.85:431–442. Valle GEd, Lourenc AL, Pinheiro JB. 2012. Adult attractiveness and oviposition preference of Bemisia tabaci biotype b in soybean genotypes with different trichome density. Journal of Pest Science.85:431–442. Van Lenteren JC, Noldus LPJ. 1990. Whiteflies plant relationships: Behavioural and ecological aspects. Dalam: Gerling D, editor. Whiteflies: Their bionomics, pest status and management. Auckland (NZ): Intercept Ltd. 227–261. Dalam: Mansaray A, Sundufu AJ. 2009. Oviposition, development and survivorship of the sweetpotato Whitefly Bemisia tabaci on Soybean, Glycine max, and the Garden Bean, Phaseolus vulgaris. Journal of Insect Science. 9(1): 1–6. Vieira SS, Bueno AF, Boff MIC, Bueno RCOF, Hoffman-Campo CB. 2011. Resistance of soybean genotypes to Bemisia tabaci (Genn.) biotype B (Hemiptera: Aleyrodidae). Neotropical Entomology. 40: 117–122. Wijaya A. 2011. Pengaruh pemupukan dan pemberian kapur terhadap pertumbuhan dan daya hasil kacang tanah (Arachis hypogaea, L.). [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wise MJ, Weinberg AM. 2002. Prior flea beetle herbivory affects oviposition preference and larval performance of potato beetle on their shared host plant. Ecological Entomology. 27: 115-122.
37
LAMPIRAN Lampiran 1 Tabel jumlah trikoma daun per 25 mm2 Daun Labu merah Titik 1 2 Daun 3 muda (3) 4 5 Rata-rata
Adaksial Abaksial 758 2070 543 2245 490 2375 532 2880 687 2245 602 2363
Daun Mentimun Titik 1 2 Daun atas 3 4 5 Rata-rata
Luas Daun
351.67 cm²
Luas Daun
Daun sedang (2)
1 2 3 4 5
Rata-rata Luas Daun
890 736 620 630 480 671.2
Rata-rata
400.93 cm² 875 920 754 625 970 828.8
Luas Daun
425.75 cm²
Daun tua(1)
1 2 3 4 5
2438 2671 2680 1815 1355 2191.8
1025 1011 2030 1562 2262 1578
Daun bawah
1 2 3 4 5
Rata-rata Luas Daun
718 841 687 511 676 686.6 33.62 cm² 510 674 495 274 291 448.8 50.25 cm²
589 651 467 669 454 566
275 235 308 346 315 295.8
Daun Ubi Kayu Titik 1 2 3 4 5
Rata-rata Luas Daun Daun tengah
Rata-rata Luas Daun
Daun Terong Daun atas
Daun tengah
1 2 3 4 5
Adaksial Abaksial 674 595 638 416 753 645 987 1027 821 1078 774.6 752.2 7.82 cm²
Adaksial Abaksial 275 1078 336 1087 221 1252 217 2048 252 888 260.2 1270.6 138.37 cm²
1
399
1456
Daun atas
Titik 1 2 3 4 5
Rata-rata Luas Daun Daun tengah
1
Adaksial Abaksial 64 5 78 9 26 3 38 5 52 3 51.6 5 71,76 cm² 46
3
38
2 3 4 5 Rata-rata Luas Daun Daun bawah
1 2 3 4 5
Rata-rata Luas Daun Daun Ubi Jalar Titik Daun atas 1 2 3 4 5 Rata-rata Luas Daun Daun tengah
1 2 3 4 5
Rata-rata Luas Daun Daun bawah
Rata-rata Luas Daun
1 2 3 4 5
343 205 413 252 322.4 65.95 cm²
2168 1800 2896 1344 1932.8
36 42 32 33 37.8 80.76 cm²
1 2 3 4 5
28 34 11 14 29 23.2 69.52 cm²
Rata-rata Luas Daun
309 1377 182 777 152 1379 134 834 203 701 196 1013.6 101.18 cm²
Adaksial Abaksial 43 0 26 0 28 0 21 0 14 0 26.4 0 11.39 cm² 36 29 20 21 17 24.6 17.45 cm²
0 0 0 0 0 0
29 31 17 16 13 21.2
0 0 0 0 0 0
7.22 cm²
2 3 4 5
Daun bawah
Rata-rata Luas Daun Daun Kacang Hijau Titik Daun atas 1 2 3 4 5 Rata-rata Luas Daun Daun tengah
Luas Daun
Adaksial Abaksial 113 64 98 68 101 66 88 59 82 73 96.4 66 8.20 cm² 92 99 105 89 78 92.6 9.29 cm²
57 58 61 98 63 67.4
1 2 3 4 5
56 61 39 52 65 54.6 8.17 cm²
34 43 19 31 29 31.2
Luas Daun
Rata-rata
1 1 6 2 3 2.6
1 2 3 4 5
Rata-rata
Daun bawah
2 5 3 2 3
39
Daun Kacang Tanah Daun atas
Daun Kedelai Titik 1 2 3 4 5
Rata-rata Luas Daun Daun tengah
Adaksial Abaksial 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 1.4 11.56 cm²
1 2 3 4 5
0 0 0 0 0 0
Rata-rata Luas Daun Daun bawah
Daun atas
Rata-rata Luas Daun Daun tengah
0 0 0 0 6 1.2
Rata-rata Luas Daun
1 2 3 4 5
172 146 124 105 113 132
371 251 239 239 255 271
34 30 21 23 48 31.2 11.23 cm²
78 85 65 51 92 74.2
7.89 cm²
Luas Daun 0 0 0 0 0 0
Adaksial Abaksial 436 648 266 546 219 449 257 466 354 671 306.4 556 5.16 cm²
Rata-rata
10.48 cm² 1 2 3 4 5
Titik 1 2 3 4 5
Daun bawah
0 0 0 0 2 0.4
1 2 3 4 5
Rata-rata
8.57 cm²
Luas Daun
Lampiran 2 Jumlah kutu kebul per daun Daun Labu merah Daun muda
Daun sedang
Daun tua
Daun Mentimun
Adaksial Abaksial Telur 0 1 Nimfa 0 4 Imago 0 0 Telur Nimfa Imago Telur Nimfa Imago
1 0 0 0 0 0
1 4 0 0 6 0
Daun atas
Daun tengah
Daun bawah
Adaksial Abaksial Telur 0 249 Nimfa 0 0 Imago 1 21 Telur Nimfa Imago Telur Nimfa Imago
6 2 1 1 3 0
223 24 8 252 31 6
40
Daun Terong Adaksial Abaksial Daun atas Telur 0 1 Nimfa 0 0 Imago 21 144 Daun tengah Telur 0 14 Nimfa 0 1 Imago 11 215 Daun bawah Telur 0 5 Nimfa 0 3 Imago 3 39 Daun Ubi Jalar Adaksial Abaksial Daun atas Telur 0 2 Nimfa 0 1 Imago 0 0 Daun tengah Telur 0 0 Nimfa 0 0 Imago 0 0 Daun bawah Telur 0 0 Nimfa 0 0 Imago 0 0
Daun Kacang Tanah Adaksial Abaksial Daun atas Telur 3 4 Nimfa 0 1 Imago 2 14 Daun tengah Telur 7 1 Nimfa 3 1 Imago 6 7 Daun bawah Telur 2 1 Nimfa 1 1 Imago 6 7
Daun Ubi Kayu Daun atas
Daun tengah
Daun bawah
Adaksial Abaksial Telur 0 3 Nimfa 0 0 Imago 0 0 Telur 0 3 Nimfa 0 3 Imago 0 0 Telur 0 7 Nimfa 0 10 Imago 0 0
Daun Kacang Hijau Daun atas
Daun tengah
Daun bawah
Adaksial Abaksial Telur 0 2 Nimfa 0 0 Imago 0 0 Telur 0 0 Nimfa 0 0 Imago 0 0 Telur 0 0 Nimfa 0 0 Imago 0 0
Daun Kedelai Daun atas
Daun tengah
Daun bawah
Adaksial Abaksial Telur 0 3 Nimfa 0 7 Imago 1 5 Telur 0 2 Nimfa 0 116 Imago 1 7 Telur 0 4 Nimfa 0 74 Imago 1 2
41
Lampiran 3 Tabel jumlah trikoma per adaksial daun Labu ubi ubi merah mentimun terong kayu jalar k. hijau k tanah kedelai muda 602 774.6 260.2 51.6 26.4 96.4 0 306.4 sedang 671.2 686.6 322.4 37.8 24.6 92.6 0 132 tua 828.8 448.8 196 23.2 21.2 54.6 0 31.2 jumlah 2102 1910 778.6 112.6 72.2 243.6 0 469.6 ratarata 700.67 636.67 259.53 37.53 24.07 81.20 0 156.53
Lampiran 4 Tabel jumlah trikoma per abaksial daun Labu ubi ubi merah mentimun terong kayu jalar muda 2363 752.2 1270.6 5 sedang 2191.8 566 1932.8 3 tua 1578 295.8 1013.6 2.6 jumlah 6132.8 1614 4217 10.6 ratarata 2044.27 538.00 1405.67 3.533
0 0 0 0 0
k. hijau k tanah kedelai 66 1.4 556 67.4 1.2 271 31.2 0.4 74.2 164.6 3 901.2 54.87
1
300.40
42
Lampiran 5 Foto daun labu merah; daun tua, daun sedang, daun muda
Lampiran 6 Foto daun kedelai; daun atas, daun tengah, daun bawah
Lampiran 7 Foto daun kacang hijau; daun atas, daun tengah, daun bawah
43
Lampiran 8 Foto daun singkong; daun atas, daun tengah, daun bawah
Lampiran 9 Foto daun kacang tanah; daun atas, daun tengah, daun bawah
Lampiran 10 Foto daun mentimun; daun atas, daun tengah, daun bawah
44
Lampiran 11 Foto daun ubi jalar; daun atas, daun tengah, daun bawah
Lampiran 12 Foto daun terong; daun atas, daun tengah, daun bawah
Lampiran 13 Foto contoh penampang mikroskopis daun labu merah berumur muda bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
45
Lampiran 14 Foto contoh penampang mikroskopis daun labu merah berumur sedang bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
Lampiran 15 Foto contoh penampang mikroskopis daun labu merah berumur tua bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
Lampiran 16 Foto contoh penampang mikroskopis daun kedelai posisi atas bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
46
Lampiran 17 Foto contoh penampang mikroskopis daun kedelai posisi tengah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
Lampiran 18 Foto contoh penampang mikroskopis daun kedelai posisi bawah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
Lampiran 19 Foto contoh penampang mikroskopis daun ubi jalar posisi atas bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
47
Lampiran 20 Foto contoh penampang mikroskopis daun ubi jalar posisi tengah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
Lampiran 21 Foto contoh penampang mikroskopis daun ubi jalar posisi bawah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
Lampiran 22 Foto contoh penampang mikroskopis daun mentimun posisi tengah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
48
Lampiran 23 Foto contoh penampang mikroskopis daun singkong posisi atas bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
Lampiran 24 Foto contoh penampang mikroskopis daun singkong posisi tengah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
Lampiran 25 Foto contoh penampang mikroskopis daun singkong posisi bawah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
49
Lampiran 26 Foto contoh penampang mikroskopis daun kacang tanah posisi atas bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
Lampiran 27 Foto contoh penampang mikroskopis daun kacang tanah posisi tengah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
Lampiran 28 Foto contoh penampang mikroskopis daun kacang tanah posisi bawah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
50
Lampiran 29 Foto contoh penampang mikroskopis daun terong posisi atas bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
Lampiran 30 Foto contoh penampang mikroskopis daun terong posisi tengah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
Lampiran 31 Foto contoh penampang mikroskopis daun terong posisi bawah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
51
Lampiran 32 Foto contoh penampang mikroskopis daun kacang hijau posisi atas bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
Lampiran 33 Foto contoh penampang mikroskopis daun kacang hijau posisi tengah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
Lampiran 34 Foto contoh penampang mikroskopis daun kacang hijau posisi bawah bagian adaksial (kiri) dan abaksial (kanan)
52
Lampiran 35 Foto contoh telur (kiri) dan imago (kanan) kutu kebul pada daun labu merah
Lampiran 36 Foto contoh telur (kiri), nimfa (tengah), dan imago (kanan) kutu kebul pada daun mentimun
Lampiran 37 Foto contoh telur dan imago (kiri) dan nimfa (kanan) kutu kebul pada daun terong