II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. BAKTERI ASAM LAKTAT Bakteri Asam Laktat yang ditambahkan dalam makanan bersifat aman karena tidak toksik dan tidak menghasilkan toksin (Garver dan Muriana, 1993; Gilliland 1988; dan Ruiz-Barba et al., 1994). Peranan BAL dalam bahan pangan lebih banyak menguntungkan dari pada merugikan. Bakteri Asam Laktat yang aktif dalam fermentasi makanan memberikan daya awet produk yang baik. Daya awet tersebut khususnya disebabkan oleh asam laktat serta senyawa asam lainnya sebagai hasil metabolisme BAL. Selain menghasilkan senyawa-senyawa organik tersebut beberapa galur BAL menghasilkan senyawa protein yang bersifat bakterisidal terhadap bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif yang disebut bakteriosin (Tahara et al., 1996).
Gambar 1. Bakteri asam laktat.
Bakteri Asam Laktat berbentuk batang, panjang, serta hidup secara anaerob fakultatif (Fardiaz, 1992). Bakteri Asam Laktat termasuk family Lactobacillaceae berbentuk sel batang umumnya berukuran 0,6-0,8 µm x 1,26,0 µm dalam bentuk tunggal maupun rantai pendek (Buchanan dan Gibbons, 1974 dalam Bacus dan Brown, 1985). Berdasarkan tipe fermentasi, BAL dikelompokkan menjadi 2, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Kelompok homofermentatif menghasilkan asam laktat sebagai produk utama dari fermentasi gula. Kelompok ini menghasilkan asam laktat dan asam asetat dengan memfermentasikan gula pentosa. Bakteri homofermentatif membentuk
90% atau lebih asam laktat murni. Bakteri heterofermentatif dalam proses fermentasinya akan memecah glukosa menjadi asam laktat dan senyawa lain seperti CO2, etanol, asetaldehid, diasetil, serta senyawa lainnya (Davidson dan Braner, 1983). Menurut Usmiati (2007), bakteri asam laktat galur SCG 1223 berasal dari susu yang merupakan Isolat Asli Indonesia (IAI) dan dikoleksi oleh Laboratorium Mikrobiologi Balai Besar Litbang Pasca Panen.
Fase
pertumbuhan BAL SCG 1223 terdiri dari fase lag, fase eksponensial, fase stasioner dan fase kematian. Penelitian Januarsyah (2007) menunjukan bahwa fase lag berlangsung pada jam ke-0 sampai jam ke-3, fase eksponensial yang merupakan fase pertumbuhan yang berlangsung cepat terjadi pada jam ke-4 sampai jam ke-10, sedangkan fase stasioner berlangsung dari jam ke-11 sampai jam ke-15, pada fase ini tidak terjadi penambahan jumlah bakteri karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Fase kematian pada BAL SCG 1223 dimulai pada jam ke-15 karena jumlah nutrien sudah mulai menipis. Bakteri asam laktat SCG 1223 menghasilkan asam laktat dan bakteriosin sebagai komponen antimikroba.
B. BAKTERIOSIN Bakteriosin merupakan senyawa protein (umumnya peptida) yang bersifat bakterisidal terhadap mikroorgansime (bakteri) yang ditinjau dari segi filogeniknya (genetiknya) berdekatan dengan mikroorganisme penghasil bakteriosin tersebut (Tagg et al., 1976). Menurut Jimenez-Diaz et al. (1993), bakteriosin merupakan protein atau peptida, sehingga didegradasi dalam pencernaan manusia maupun hewan oleh enzim proteolitik. Bakteriosin diartikan sebagai molekul protein atau peptida yang memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba sensitif. Antimikroba dari bakteriosin bersifat bakterisidal dan bakteriostatik (Tagg et al., 1976; Garver dan Muriana, 1993; Barefoot et al., 1994). Bakteriosin yang dihasilkan oleh BAL sangat menguntungkan industri makanan
terutama
makanan
fermentasi,
karena
aktivitasnya
mampu
menghambat pertumbuhan beberapa bakteri kontaminan penyebab kebusukan
makanan dan penyakit yang ditularkan melalui makanan (food borne illnesses) (Tahara et al., 1996; Gonzales et al., 1996). Penggunaan bakteriosin sebagai pengawet pada makanan mempunyai keuntungan sebagai berikut: a.
Bakteriosin bukan merupakan bahan yang toksik dan mudah mengalami degradasi oleh enzim proteolitik karena merupakan senyawa protein;
b.
Penggunaannya tidak membahayakan mikroflora usus karena mudah dicerna oleh enzim-enzim dalam saluran pencernaan,
c.
Ditinjau dari segi lingkungan, penggunaan bakteriosin dapat mengurangi penggunaan bahan kimia yang selama ini digunakan sebagai bahan pengawet makanan;
d.
Penggunaannya sangat fleksibel, dapat berupa biakan starter karena menghasilkan senyawa antibakteri yang mampu menghambat bakteri patogen makanan. Beberapa kriteria bakteriosin yaitu berupa protein, bersifat bakterisidal,
bakteri target memiliki sisi pengikatan yang spesifik (spesific binding site), gen pengkode bakteriosin berada dalam plasmid, aktif terhadap bakteri yang dekat secara filogenik (Tagg et al., 1976). Konisky (1982) hanya mengajukan dua persyaratan tentang bakteriosin yaitu sebagai protein dan tidak membunuh bakteri penghasilnya. Menurut Klaenhammer (1988) bakteriosin yang dihasilkan oleh beberapa galur BAL diketahui mempunyai aktivitas menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan patogen makanan sehingga dapat meningkatkan keamanan dan daya simpan pangan. Bakteriosin dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu: a.
Lantibiotik, merupakan bakteriosin yang mengandung cincin lantionin dalam molekulnya, contohnya nisin, lacticin 481, lacticin S, sterptococcin SA-FF22
b.
Bakteriosin kecil (<10kDa), relatif tahan panas, peptida pada sisi aktifnya tidak mengandung lantionin, kelompok kedua ini dibagi lagi dalam sub kelas. Kelas IIa mempunyai peptida listeria-active dengan sekumpulan sekuen N-terminal: Tyr-Gly-Asn-Val-X-Cis. Kelas IIb adalah kelompok bakteriosin yang biasanya membentuk kompleks berpori dengan aktivitas
dua peptida yang berbeda. Kelas IIc adalah bakteriosin yang memerlukan peptida teraktivasi-tiol untuk mengurangi residu sistein dalam altivitasnya. c.
Bakteriosin bermolekul protein besar (>30kDa) dan tidak tahan panas, contohnya Helvotin J dan Brevicin 27.
d.
Bakteriosin yang mengandung protein kompleks, terdiri atas komponen karbohidrat atau lipid, contohya plantarisin S yang mengandung glikoprotein (Jimenez-diaz et al., 1993). Molekul aktif bakteriosin dari bakteri asam laktat, umumnya dapat
dikarakterisasi sebagai berikut: a.
terdiri atas senyawa protein maka dapat diinaktivasi oleh enzim-enzim proteolitik.
b.
mempunyai berat molekul yang relatif kecil (3-10kDa).
c.
aktivitasnya berkurang pada suasana basa dan
d.
banyak yang mempunyai sifat thermoresisten, yaitu aktivitasnya tetap ada walaupun telah mengalami pemanasan sampai dengan 100°C selama 30 menit. (Sudirman, 1993) Bakteriosin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan dalam
ribosom sel. Umumnya tidak aktif oleh enzim protease dalam saluran pencernaan, stabil pada pemanasan tinggi (100-120oC) dan stabil pada penyimpanan khususnya pada pH rendah serta tidak efektif terhadap bakteri Gram negatif (Barefoot dan Klaenhammer, 1983; Buchanan dan Klawitter, 1992; Liao et al., 1994; Vlaemynck et al., 1994 dan Coventry et al., 1995). Menurut Bhunia et al. (1987), bakteriosin memiliki sifat yang unik, tetap aktif pada kondisi asam dan basa serta tetap stabil pada perlakuan suhu rendah maupun suhu tinggi.
1. Sintesis bakteriosin Bakteriosin disintesis pada fase eksponensial (Keppler et al., 1994; Samelis et al., 1994; Stoffles et al., 1992), dan biasanya mengikuti pola klasik sintesis protein. Sistem ini diatur oleh plasmid DNA ekstra kromosomal (Piart et al., 1993; Mayer et al., 1993; Gupta dan batish, 1992) dan dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama pH (Vaughan et al., 1992);
Mortvedt-Abildgaard et al., 1995). Umumnya bakteriosin disintesis dalam bentuk lengkap secara langsung melalui jalur ribosomal (Engelke et al., 1992), sedangkan kelompok lantibiotik disintesis secara ribosomal sebagai peptida kemudian mengalami modifikasi (Hurst, 1981). Prinsip regulasi sintesis bakteriosin diatur oleh keberadaan gen pengkode produksi dan pengkode immunitas (Rince et al., 1994). Sekresi prepeptida dilakukan pada fase eksponensial dan maksimal diproduksi pada fase stasioner (Engelke et al., 1992). Beberapa peneliti mengemukakan mekanisme sintesis asam amino yang tak lazim tersebut merupakan mekanisme ribosomal, dimana pembentukan asam amino tak lazim terjadi karena adanya dehidrasi pada peptida serin atau sistein dan treonin (Ingram, 1970). Selanjutnya terjadi penambahan sulfur pada ikatan ganda pada asam amino yang terhidrasi yaitu sistein dan asam dehidroamino (Engelke et al.,1992 dan hurst, 1981). Bakteriosin asal bakteri asam laktat lebih bersifat bakterisidal dibandingkan dengan bakteriolisis ataupun bakteriostatik pada sel-sel yang sensitif (venema et al 1993; Villani 1993; Goriss dan Bennik 1994; Gonzales et al. 1996; Pilet et al 1995). Beberapa diantaranya bersifat bakteriostatik yang lebih dominan (Liao et al. 1993; Morgan 1992; Vaughan et al. 1992). Bakteriosin berupa protein sederhana misalnya pediosin AcH, sedangkan laktosin LP27 dan stafilokoksin 1580 membentuk kompleks dengan lipida dan karbohidrat (Bhunia et al., 1988). Perbandingan proteinkarbohidrat berbeda pada satu galur dengan galur lainnya. Hidrolisis karbohidrat dengan asam lemak akan merusak aktivitas biologis bakteriosin, menunjukkan bahwa aktivitasnya tergantung pada integritas dari kompleks protein-karbohidrat. Beberapa bakteriosin dengan sifat-sifat tersebut misalnya laktosin, nisin dan pediosin masing-masing diproduksi oleh Lactobacillus spp., Lactococcus spp., dan Pediococcus spp. (Klaenhammer, 1988). Wiryawan
(2001)
melakukan
optimasi
nilai
pH
untuk
menghasilkan bacteriosin dari BAL, dikulturkan pada media MRS dengan pH yang diujikan 5,5; 6,0; 6,5; 7,0; 7,5 selama 8 jam pada suhu 39°C.
Produksi komponen aktif bakteriosin paling tinggi dicapai pada pH 5,5-6,0 dengan zona penghambatan berkisar 12 mm - 15mm.
2. Kinerja Penghambatan Bakteriosin terhadap Bakteri Target Target kerja bakteriosin dari bakteri asam laktat adalah membran sitoplasma sel bakteri yang sensitif (Gonzales et al., 1996; Venema et al., 1993). De vuyst dan Vandem (1994) menyebutkan bahwa target utama bakteriosin adalah pada membran sitoplasma sel bakteri karena reaksi awal bakteriosin adalah merusak permeabilitas membran dan menghilangkan proton motive force (PMF) sehingga menghambat produksi energi dan biosintesis protein atau asam nukleat. Bakteriosin dalam melakukan kerja penghambatan membutuhkan reseptor spesifik permukaan sel, contohnya pediocin AcH (Ray dan Field 1992). Namun dapat juga mengakibatkan terjadinya lisis pada sel. Hal ini merupakan efek sekunder dari Pediocin AcH melalui depolimerisasi lapis peptidoglikan, sehingga secara tidak langsung dapat mengaktifkan sistem autolisis sel (Gonzales et al., 1996). Mekanisme aktivitas bakterisidal dari bakteriosin secara umum sebagai berikut (1) Molekul bakteriosin mengalami kontak langsung dengan membran sel; (2) Proses kontak ini mengganggu potensial membran berupa destabilisasi depolarisasi membran sitoplasma, sehingga sel tidak mampu bertahan. Ketidakstabilan membran memberikan dampak pembentukan lubang/pori pada membran sel melalui proses gangguan terhadap PMF (proton motive force) (Gonzales et al., 1996; Venema et al., 1993; Ray dan Field 1992; Abbe et al., 1994). Bakteriosin pada tahap awal berpengaruh pada proses destabilisasi membran sitoplasma (Gonzales et al. 1996; Venema et al. 1993). Proses ini merupakan upaya bakteriosin dalam mempengaruhi permeabilitas membran sitoplasma terutama PMF dengan cara in vitro. Nisin mampu meningkatkan permeablitas membran terhadap ion kecil, asam-asam amino, dan nukleotida adenin kecil dan secara in vitro nisin menyebabkan lepasnya ion dan molekul kecil dari liposom (Winkowski, 1996) dan menginduksi lewatnya ion dalam membran lipid (lipid layer) ketika tegangan listrik (voltase)
digunakan (orientasi trans negatif) (Shal et al., 1987). Proses selanjutnya adalah pembentukan lubang atau pori-pori pada membran. Menurut Klaenhammer (1993) pembentukan pori atau lubang pada membran oleh nisin lalu menyisip dan menyatu dengan membran dan membentuk pori dengan bagian hidrofobik menghadap pada bagian dalam membran, sedangkan bagian hidrofilik berada dibagian permukaan atau lumen pada pori (Ojelaus dan Young 1991). Lewis (1991) mengemukakan bahwa hilangnya energi gerakan proton melalui membran sel merupakan salah satu mekanisme aksi bakterisidal dari bakteriosin. Studi kinetik telah membuktikan bahwa model penghambatan bakteriosin terhadap reseptor permukaan sel sensitif adalah mengikuti hukum kinetik inaktivasi tunggal (single-hit inactive action) yaitu satu molekul tunggal bakteriosin dapat membunuh satu sel sensitif (Wendt, 1970). Montville dan Kiaser (1993) mengemukakan bahwa ada beberapa kemungkinan mekanisme bakterisidal bakteriosin terhadap sel sensitif misalnya pada colicin adalah melalui 3 tahap yaitu: 1) Penempelan colicin pada reseptor spesifik permukaan sel. 2) terserapnya colicin melalui membran sel. 3) proses kematian sel pada laktococin. Mekanisme penghambatan yang terjadi adalah hilangnya PMF (proton motive action) dan barier permeabilitas membran. Pada mesen-tericin Y-105 mekanisme penghambatan ini disebabkan adanya penghambatan pada transport asam amino dengan hilangnya potensial membran yang menyebabkan keluarnya akumulasi asam amino dari sel sensitif Listeria monocytogenes. Selain itu, mesentericin Y 105 juga menghambat mekanisme respirasi dan sintesis ATP serta translokasi nukleotida adenin melalui pembentukan pori pada membran yang terlibat dalam transduksi energi. Pada lakticin F mekanisme ini melibatkan peran aktif 2 peptida yaitu Laf A dan Laf X. dua peptida ini membentuk kompleks Laktacin F aktif, yang mampu menginduksi keluarnya ion K+ dan fosfat, menghilangkan PMF serta menyebabkan hidrolisis ATP internal sel (Klaenhammer et al., 1993). Pada beberapa galur yang rentan, perlakuan dengan pediosin AcH tidak hanya menyebabkan hilangnya viabilitas sel karena membran menjadi
tidak stabil, tetapi juga menyebabkan lisis pada sel bakteri galur tertentu, antara lain terhadap Leuconostoc, Listeria monocytogenes dan spesiesspesies lain (Bhunia et al., 1991). Rangkaian peristiwa akibat hilangnya viabilitas sel bakteri Gram positif rentan setelah perlakuan dengan pediosin AcH meliputi terserapnya molekul pediosin AcH pada reseptor spesifik pada permukaan sel (1), molekul pediosin AcH masuk melalui dinding sel (2), molekul pediosin AcH kontak dengan membran (3), membran mengalami ketidakstabilan integritas fungsional yang ditunjukkan dengan makin cepatnya pemasukan dan pengeluaran molekul-molekul kecil (4), dan pada beberapa strain hilangnya integritas struktural membran akhirnya menyebabkan lisis sel (5) (Ray dan Daeschel, 1992). Menurut Bibek Ray (1996) terdapat dua macam zona bening yang dihasilkan oleh aktivitas senyawa antibakteri yaitu zona bening dengan batas tepi lingkaran tegas dan jelas yang disebabkan oleh aktivitas bakteriosin, sedangkan zona bening dengan tepi lingkaran yang keruh disebabkan adanya aktivitas asam. Keruhnya zona oleh asam disebabkan semakin jauh difusi asam dalam media agar, maka semakin rendahnya konsentrasi asam yang terdapat dalam supernatan mengakibatkan turunnya aktivitas hambat akibat asam. Sedangkan zona bening yang tegas dan jelas dihasilkan bakteriosin, karena bakteriosin memiliki sifat single hit inactivation artinya satu molekul bakteriosin akan membunuh satu sel bakteri indikator. Aktivitas daya hambat bakteriosin adalah kemampuan satu molekul bakteriosin dalam menghambat satu sel bakteri indikator yang diukur dari luasnya zona bening yang terbentuk.
C. MEDIA Biaya produksi merupakan hal yang penting bila ingin memperbesar skala produksi bakteriosin sebagai pengawet alamiah. Salah satu komponen biaya utama dalam produksi bakteriosin yaitu harga medium fermentasi. Modifikasi nutrien dalam media kultivasi diharapkan mampu mendapatkan jumlah maksimal produksi bakteriosin yang berpotensi sebagai biopreservatif
(Biswas 1991 dalam
Ogunbawo
2003).
Produksi bakteriosin dapat
dimaksimalkan dengan membatasi faktor-faktor pertumbuhan seperti gula, vitamin, dan sumber-sumber nitrogen, pengaturan pH (Vignolo et al., 1995). MRS Broth merupakan medium fermentasi yang biasa digunakan untuk memproduksi bakteriosin. Komposisi nutrient pada MRS Broth sangat baik sebagai media pertumbuhan bakteri asam laktat. Komposisi nutrient tersebut ditunjukkan pada tabel 1 berikut:
Tabel 1. Kandungan MRS broth yaitu (dalam g/L) sebagai berikut: Bahan
Jumlah g/L
Persentase (%)
Pepton dari casein
10,0
1,0
Meat extract
8,0
0,8
Ekstrak khamir
4,0
0,4
D(+)-glucose
20,0
2,0
dipotassium hydrogen fosfat
2,0
0,2
Tween® 80
1,0
0,1
di-ammonium hydrogen sitrat
2,0
0,2
Sodium asetat
5,0
5,0
Magnesium sulfat
0,2
0,02
Manganese sulfat
0,04
0,004
947,76
94,776
Aquades Jenie (2000)
Ekstrak khamir dan tripton merupakan sumber asam amino atau nitrogen untuk merangsang pertumbuhan BAL. Ekstrak khamir juga merupakan suatu sumber yang kaya akan vitamin B. Tween 80 pada MRS merupakan stimulan penghasil bakteriosin dan dapat mengurangi jumlah bakteriosin yang terikat pada sel. Dengan konsentrasi 0-1% (v/v) tween 80 meningkatkan produksi bakteriosin pada pH 5,5-6,0 dalam batch kultur dengan strain penghasil Lactococcus lactis subsp. cremoris J46 (Hout, 1996).
Penambahan ekstrak khamir sebanyak 0,3-1% w/v dalam medium susu mempertinggi angka pertumbuhan sel dan produksi bakteriosin, hal ini diujikan pada bakteri Lactobacillus acidophilus ACC, L.jhonsonni IBB 801 dan L.gasseri. Bakteri L.acidophilus memiliki angka pertumbuhan yang paling baik (10,5 log CFU/ml dan produksi bakteriosin paling tinggi (3200AU/ml) ( Avont et al., 2004) Menurut Ogunbanwo (2003), Lactobacillus brevis OG1 memproduksi lebih banyak bakteriosin dengan media MRS yang diperkaya dengan glukosa 1%, tween 80 0,5%, ekstrak khamir 2-3% dan NaCl 1-2%., namun tidak ada penambahan jumlah bakteriosin yang lebih banyak bila media MRS ditambah dengan triamonium sitrat, sodium asetat, magnesium sulfat, manganese sulfat dan potasium fosfat. Jumlah dan jenis bahan pemerkaya media mempengaruhi produksi bakteriosin oleh mikroorganisme. Molasses merupakan hasil kristalisasi dan evaporasi gula tebu, kecuali mengandung senyawa yang dapat difermentasi (sukrosa, glukosa, dan fruktosa), bahan ini juga mengandung senyawa yang tidak dapat difermentasi yang terbentuk karena suhu tinggi (karamel, melanoidin, dan lain-lain) yang mungkin kurang menguntungkan bagi fermentasi bakteriosin oleh bakteri asam laktat. Penggunaan molasses sebagai media fermentasi perlu dilakukan penambahan sumber nitrogen baik berupa pepton maupun ekstrak khamir. Komponen molasses yang tidak dapat difermentasi ternyata tidak mengganggu pertumbuhan bakteri, ini dapat dimengerti karena jumlah tetes yang ditambahkan ke dalam media tidak terlalu banyak (kira-kira 5%), sehingga komponen non gula ini jumlahnya juga menjadi sangat berkurang (Rahayu et al., 2000). Molasses juga mengandung sukrosa (31%), glukosa (9,5%), fruktosa (10%), dan nitrogen (9,5%). Penggunaan media molasses mempunyai keuntungan dalam menjaga kondisi pH pada media fermentasi diatas 5,3, sehingga laju fermentasinya lebih cepat. Hal ini menujukkan produktivitas asam laktat yang dihasilkan pada media molasses lebih tinggi.
D. BAKTERI INDIKATOR Kontaminasi mikroba patogen dapat menyebabkan degradasi protein yaitu proses pemecahan protein menjadi molekul-molekul sederhana seperti asam amino. Pemecahan ini menyebabkan sel-sel daging menjadi rusak dan busuk. Dengan demikian jaminan mutu dan keamanan daging menjadi sangat penting (Shimoni dan Labuza, 2000), karena keberadaan mikroba patogen dan pembusuk seperti Escherichia coli, Salmonella sp dan Listeria monocytogenes pada daging dapat menyebabkan penyakit dan bahkan kematian. Bakteri indikator diperlukan untuk mengetahui kemampuan bakteriosin untuk menghambat bakteri yang ada dalam makanan. Semakin banyak jenis bakteri yang dapat dihambat maka semakin luas aktivitas bakteriosin tersebut. Spektra aktivitas hambat yang luas ditunjukkan oleh Nisin (Broughton,1990), Pediocin (Klaenhammer, 1985) dan Curvaticin (Sudirman, 1993). Bakteriosin tersebut dapat menghambat Listeria monocytogenes, Enterococcus faecalis, Bacilus cereus, Staphylococcus aureus dan Clostridium spp. Bakteriosin SCG 1223 pun memiliki spektra yang cukup luas, karena telah dapat menghambat E.coli, Listeria spp, dan Salmonella spp (Usmiati, 2007). Penelitian awal terhadap bakteriosin dari BAL SCG 1223 menunjukkan adanya spektrum zona hambat yang luas terhadap bakteri Gram positif (Listeria monocytogenes) dan bakteri
Gram
negatif
(Salmonella
thypimurium
serta
Escherichia
coli).(Januarsyah, 2007).
1. Escherichia coli Escherichia coli termasuk mikroorganisme jenis koliform yang terdapat banyak pada usus manusia dan hewan. Escherichia coli berbentuk batang, hidup dengan cara aerob atau anaerob fakultatif, merupakan bakteri Gram negatif, tidak berkapsul, dan umumnya memiliki fibria dan bersifat motil. Bakteri E. coli ini mampu memfermentasi laktosa dengan cepat sehingga pada agar McConkey dan EMB membentuk koloni merah muda sampai tua dengan kilat logam yang spesifik. Escherichia coli termotoleran merupakan strain E. coli yang dapat hidup pada suhu biakan 44,5oC dan merupakan indikator pencemaran pada makanan dan air oleh tinja.
Escherichia coli dapat menyebabkan gastroenteritis akut terutama menyerang anak-anak dibawah usia 2 tahun, peritonitis dan radang empedu (Supardi dan Sukamto, 1999). Diare, haemorrhagic colitis, infeksi ginjal dan kandung kemih, serta pneumonia dan meningitis. Beberapa dari kasus tersebut menyebabkan kematian (Blackburn dan McClure, 2002). Selain itu, hewan unggas pun berpotensi terinfeksi E. coli O157:H7, mikroba patogen yang menyebabkan haemorrhagic enteritis pada manusia (Hargis et al., 2001).
Gambar 2. Escherichia coli.
2. Salmonella typhimurium Salmonella merupakan bakteri Gram negatif yang tidak berspora. Salmonella thypimurium tidak tahan pada kondisi lingkungan yang mengandung konsentrasi garam tinggi (Jay, 2000). Bakteri Salmonella dapat menyebabkan gastroenteritis, demam enterik (thypoid dan parathypoid), septicemia (mikroorganisme berkembangbiak dalam aliran darah), diare (McKane dan Kandel, 1985), nausea dan muntah (Alcamo, 1983). Infeksi Salmonella sering terjadi pada musim panas karena bakteri ini berkembang biak pada suhu hangat. Sumber utama penyebab infeksi Salmonella adalah bahan makanan yang tidak dipanaskan secara baik seperti ayam, telur, daging atau susu (C, Roman, 1996). Jenis Salmonella yang menjadikan tubuh manusia sebagai tempat berkembangbiaknya antara lain S. typhimurium, S. paratyphi, S. schottmuelleri, dan S. hirschfeldi dimana tampak gejala klinis setelah 8-72 jam (Brandly et al., 2001). Sumber
kontaminasi Salmonella umumnya berasal dari binatang atau manusia yang terkontaminasi Salmonella atau pembawa carrier Salmonella. Salmonella dari binatang umumnya dari kucing, anjing, babi, unggas, tikus dan kecoak dan telur juga salah satu sumber kontaminan Salmonella (Adam dan Moss, 1995).
Gambar 3. Salmonella thypimurium
3. Listeria monocytogenes Listeria monocytogenes bakteri Gram-positif berbentuk batang yang anaerob-fakultatif dan tidak membentuk spora. Bersifat psikrotrofik dan dapat tumbuh pada suhu yang kisarannya 3-42°C kendati pertumbuhan optimalnya pada suhu sekitar 30-35°C. Kisaran pH untuk pertumbuhannya adalah 5,0-9,0. Nilai pH minimal dan aw untuk pertumbuhan bakteri ini masing-masing 4,4 dan 0,92. Bakteri Listeria dapat tumbuh dalam media yang mengandung 10% garam. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri L. monocytogenes yaitu listeriosis. Listeriosis juga termasuk didalamnya septicemia, meningitis, encephalitis, corneal ulcer, pneumonia dan infeksi intrauterine pada wanita hamil. Kuman Listeria biasanya ada di tanah dan beberapa daging mentah. Setiap tahun ada 20-30 kejadian khas Listeriosis yang dilaporkan NSW. Listeriosis merupakan kejadian yang langka namun angka kematiannya cukup tinggi. (www.health.nsw.gov.au). Menurut Martyn (2000), satu sel bakteri patogen sudah cukup untuk menyebabkan infeksi pada manusia, namun kenyataannya dibutuhkan
jumlah lebih banyak bakteri. Dosis bahaya untuk E.coli O157 sebesar 1-10 sel/gram sedangkan L. monocytogenes < 10000/g makanan untuk kelompok manusia yang lanjut usia dan ibu hamil serta immunocompromised. Namun pada orang yang sehat akan membutuhkan lebih banyak bakteri untuk terjadinya infeksi bakteri patogen tersebut.
Gambar 4. Listeria monocytogenes