DAYA HASIL GALUR-GALUR KEDELAI TOLERAN KUTU KEBUL (Bemisia tabaci) Apri Sulistyo dan Novita Nugrahaeni Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jl. Raya Kendalpayak Km 8, Kotak Pos 66, Malang 65101 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kutu kebul (Bemisia tabaci) merupakan salah satu hama utama kedelai di Indonesia. Sampai saat ini belum ada varietas kedelai yang khusus dilepas dengan keunggulan tahan terhadap kutu kebul. Dari hasil evaluasi ketahanan galur-galur kedelai terhadap kutu kebul sejak tahun 2010 diperoleh 12 galur yang diduga memiliki ketahanan terhadap kutu kebul. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hasil galur-galur kedelai toleran kutu kebul. Sebanyak 17 genotipe kedelai terdiri atas 12 galur dan lima varietas pembanding (Kaba, Tanggamus, Detam 1, Anjasmoro, dan Argomulyo) diuji daya hasilnya pada kondisi tercekam kutu kebul di KP Muneng, Kab. Probolinggo, pada MK I 2011 dan MK II 2012. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok diulang tiga kali. Pada penelitian ini, tidak dilakukan pengendalian terhadap hama kutu kebul untuk mengkondisikan tanaman tercekam kutu kebul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi yang nyata antara galur yang diuji (G) dengan musim tanam (M) dijumpai hanya pada karakter hasil biji, sedangkan interaksi yang tidak nyata dijumpai pada karakter umur masak, jumlah polong isi, dan bobot 100 biji. Kedua belas galur kedelai yang diuji tergolong genjah (70–80 hst). Populasi kutu kebul yang teramati pada papan perangkap kuning saat tanaman berumur 64 hst adalah 523 ekor pada MK I 2011 dan 138 ekor pada MK II 2012. Terdapat delapan galur kedelai yang terindikasi toleran kutu kebul yaitu IAC 100/Kaba-5, IAC 100/Kaba-6, IAC 100/Kaba-8, IAC 100/Kaba-14, IAC 100/Kaba-17, Kaba/IAC 100//Burangrang-60, Kaba/IAC 100//Burangrang-63, dan Tanggamus/Pangrango-78. Galur Tanggamus/Pangrango-78 dan Kaba/IAC 100//Burangrang-63 selain toleran kutu kebul juga memiliki jumlah polong isi terbanyak dan mampu menghasilkan biji setara dengan varietas Tanggamus dan Kaba. Kata kunci: daya hasil, galur kedelai, Glycine max, toleran, kutu kebul
ABSTRACT Whitefly is a major pest in soybean cultivation in Indonesia. Until now, there is no specific soybean varieties released by excellence resistant to whitefly. The results of the evaluation of soybean lines resistance against whitefly, which has been conducted since 2010, acquired 12 soybean lines that resistance to whitefly. This study aims to determine the yield of soybean lines tolerant to whitefly. A total of 17 soybean genotypes consisting of 12 lines and five check varieties (Kaba, Tanggamus, Detam 1, Anjasmoro, and Argomulyo) tested at Muneng Experimental Station, Probolinggo district during two seasons, dry season in 2011 and 2012. Study used a randomized block design was repeated three times. Pest control was only carried out for other pests, not include whitefly. The results showed that the interaction between the lines tested (G) with the planting season (M) found only on the character yield, while not significant interaction found in the character of day to maturity, number of pods, and weight of 100 seeds. The twelfth soybean lines tested clustered into early maturing soybean (70–80 dap). Whiteflies populations at 64 dap were 523 and 138, respectively in 2011 and 2012. There are 8 indicated soybean tolerant to whitefly, ie IAC 100/Kaba-5, IAC 100/Kaba-6, IAC 100/Kaba-8, IAC 100/Kaba-14,
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
67
IAC 100/Kaba-17, Kaba/IAC 100//Burangrang-60, Kaba/IAC 100//Burangrang-63, and Tanggamus/Pangrango-78. In addition, line Kaba/IAC 100//Burangrang-63 and Tanggamus/Pangrango-78 also yielded equivalent to Tanggamus and Kaba variety. Keywords: potential yield, soybean lines, Glycine max, tolerance, whitefly
PENDAHULUAN Kutu kebul merupakan salah satu hama utama dalam budidaya kedelai di Indonesia. Hama ini tergolong serangga pengisap daun. Oliveira et al. (2001) menyatakan bahwa kutu kebul merupakan hama utama pada tanaman tomat, cabai, kedelai, dan dapat menyerang lebih dari 600 spesies tumbuhan. Kehilangan hasil akibat serangan hama ini dapat mencapai 80%, bahkan mengalami gagal panen seperti yang terjadi di Kebun Percobaan Muneng pada tahun 2009 (Marwoto et al. 2011). Sampai saat ini belum ada varietas kedelai yang khusus dilepas dengan keunggulan tahan terhadap kutu kebul. Hanya ada varietas Tengger yang dideskripsikan sebagai varietas kedelai yang cukup tahan kutu kebul (Balitkabi 2012). Beberapa hasil penelitian melaporkan tentang ketahanan varietas unggul kedelai terhadap hama ini (Inayati dan Marwoto 2012; Sulistyo dan Inayati 2014). Kunci keberhasilan pengendalian hama terpadu adalah penggunaan varietas tahan yang dipadukan dengan cara pengendalian lain seperti aplikasi pestisida nabati, agens hayati dan lain-lain. Cara ini menjamin keamanan bagi lingkungan. Hasil evaluasi ketahanan galur-galur kedelai terhadap kutu kebul yang dilakukan sejak tahun 2010 menunjukkan 12 galur diduga memiliki ketahanan dan berpotensi sebagai tetua dalam perakitan kedelai tahan kutu kebul (Sulistyo dan Marwoto 2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hasil galur-galur kedelai toleran kutu kebul.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan (KP) Muneng, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur selama dua musim tanam, yaitu pada MK I 2011 dan MK II 2012. KP Muneng dipilih sebagai tempat penelitian karena pada tahun 2009 terjadi out break serangan kutu kebul (Marwoto et al. 2011). Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok faktor tunggal yang diulang tiga kali. Materi genetik yang digunakan adalah 17 genotipe kedelai yang terdiri atas 12 galur kedelai toleran kutu kebul, dan lima varietas unggul (Kaba, Tanggamus, Detam 1, Anjasmoro, dan Argomulyo) yang dijadikan sebagai pembanding. Masing-masing genotipe ditanam pada petak berukuran 2 m x 3 m dengan jarak tanam 40 cm x 10 cm, penanaman dengan sistem tugal, 2–3 biji per lubang. Pupuk dengan dosis 50 kg/ha Urea, 100 kg/ha SP36, dan 100 kg/ha KCl diberikan seluruhnya pada saat tanam. Pemeliharaan meliputi pengairan pada saat tanam, 3 minggu setelah tanam (mst), saat berbunga, dan pengisian polong. Penyiangan dilakukan pada saat tanaman berumur 3 dan 6 mst. Pengendalian organisme pengganggu tanaman hanya dilakukan terhadap hama selain kutu kebul dan penyakit utama pada kedelai. Hal ini dilakukan untuk mengetahui potensi hasil masing-masing galur kedelai pada kondisi tercekam kutu kebul. Pengamatan terhadap populasi kutu kebul dan intensitas kerusakan daun dilakukan pada saat tanaman berumur 64 hari setelah tanam (hst). Pengamatan terhadap 10 tanaman contoh dilakukan terhadap jumlah polong isi, sementara pengamatan terhadap plot 68
Sulistyo dan Nugrahaeni: Daya Hasil Galur-galur Kedelai Toleran Kutu Kebul (Bemisia tabaci)
dilakukan terhadap umur masak (hst), bobot 100 biji (g), dan hasil biji (t/ha). Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan program pengolah data PKBT STAT v.1.0. Apabila terdapat perbedaan yang nyata di antara galur-galur kedelai tersebut maka dilakukan uji lanjut menggunakan uji BNT pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis ragam gabungan menunjukkan bahwa interaksi yang nyata antara galur yang diuji (G) dengan musim tanam (M) dijumpai hanya pada hasil biji, sedangkan interaksi yang tidak nyata dijumpai pada umur masak, jumlah polong isi, dan bobot 100 biji. Interaksi G x M yang nyata mengindikasikan adanya respon suatu karakter dari suatu galur yang tidak konsisten pada musim tanam yang berbeda walaupun ditanam di lokasi yang sama. Tabel 1 memperlihatkan hasil analisis ragam untuk karakter-karakter yang diamati. Tabel 1. Analisis ragam gabungan umur masak, jumlah polong isi, bobot 100 biji, dan hasil per plot dari 17 genotipe kedelai di KP Muneng, MK I 2011 dan MK II 2012. Karakter Umur masak Jumlah polong isi Bobot 100 biji Hasil biji
G ** ** ** **
Kuadrat tengah M ** tn * tn
GxM tn tn tn **
Keterangan: *, **, dan tn berturut-turut berbeda nyata, sangat nyata, dan tidak berbeda nyata.
Umur masak polong 12 galur kedelai yang diuji beragam antara 73–78 hst (Tabel 2). Berdasarkan pengelompokkan umur kedelai yang dikemukakan oleh Adie (2007) maka ke-12 galur kedelai tersebut tergolong genjah (70–80 hst). Pada penelitian ini, nampaknya musim tanam mempengaruhi umur masak polong genotipe kedelai. Hal ini dapat dilihat dari umur masak polong lima varietas kedelai yang dijadikan sebagai pembanding. Berdasarkan deskripsi varietas unggul tanaman aneka kacang dan umbi (Balitkabi 2012), varietas Kaba, Tanggamus, Detam 1, Anjasmoro, dan Argomulyo masing-masing memiliki umur masak polong 85, 88, 84, 83, dan 80 hst. Tetapi pada penelitian ini, kelima varietas tersebut memiliki umur masak polong masing-masing 79, 77, 79, 81, dan 72 hst (Tabel 2). Umur masak memegang peranan penting dalam mekanisme escape pada tanaman kedelai terhadap serangan hama kutu kebul. Menurut Marwoto et al. (2011), penanaman kedelai berumur genjah dapat memperkecil peluang tanaman terserang kutu kebul. Hal ini berkaitan dengan jumlah sumber makanan bagi hama tersebut (Hirano et al. 2002). Kedelai berumur genjah dapat mengurangi ketersediaan sumber makanan bagi kutu kebul sehingga tanaman dapat terhindar dari serangan hama ini. Jumlah polong isi 12 galur kedelai yang diuji beragam antara 21–37 polong per tanaman, sementara jumlah polong isi dari lima varietas pembanding berkisar antara 23– 38 polong per tanaman (Tabel 2). Tanggamus merupakan varietas pembanding dengan jumlah polong isi terbanyak (38,50 polong), diikuti oleh Kaba (37,00 polong). Di antara 12 galur kedelai yang diuji, terdapat lima galur yang memiliki jumlah polong isi setara dengan varietas Tanggamus dan Kaba (Tabel 2). Kelima galur tersebut adalah Kaba/IAC 100//Burangrang-63 (37,93 polong), IAC 100/Kaba-17 (37,37 polong), G100H/9305//IAC-
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
69
100-271 (36,50 polong), IAC 100/Kaba-6 (36,43 polong), dan G100H/9305//IAC-100-195 (36,33 polong). Jumlah polong isi merupakan salah satu komponen hasil yang memberikan pengaruh langsung terhadap hasil biji. Hasil penelitian Sumarno dan Zuraida (2006) menunjukkan bahwa jumlah polong isi memiliki koefisien korelasi tertinggi dengan hasil biji. Menurut Mursito (2003), jumlah polong isi memiliki nilai heritabilitas cukup tinggi dan merupakan salah satu karakter dengan pengaruh langsung yang besar terhadap hasil, sehingga dalam kegiatan pemuliaan dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi. Bobot 100 biji 12 galur kedelai yang diuji beragam antara 8,92–11,32 g (Tabel 2). Berdasarkan klasifikasi ukuran biji (Adie 2007), maka ke-12 galur tersebut dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu kedelai berbiji kecil (<10 g/100 biji) sebanyak lima galur dan kedelai berbiji sedang (10–13 g/100 biji) sebanyak tujuh galur. Kecilnya ukuran biji 12 galur kedelai yang diuji diduga selain disebabkan oleh faktor genetik, juga dipengaruhi oleh serangan kutu kebul selama penelitian. Hal ini dapat dilihat dari penyusutan ukuran biji lima varietas pembanding. Pada kondisi tercekam kutu kebul, varietas Kaba, Tanggamus, Detam 1, Anjasmoro, dan Argomulyo memiliki bobot 100 biji masing-masing sebesar 8,93, 8,35, 10,80, 13,97, dan 11,27 g. Sementara pada kondisi optimal, kelima varietas tersebut memiliki bobot 100 biji berturut-turut 10,37, 11,00, 14,84, 15,30, dan 16,00 g (Balitkabi 2012). Tabel 2. Umur masak, jumlah polong isi, dan bobot 100 biji 17 genotipe kedelai di KP Muneng, MK I 2011 dan MK II 2012. Genotipe G100H/9305//IAC-100-195 G100H/9305//IAC-100-271 IAC 100/Burangrang IAC 100/Kaba-5 IAC 100/Kaba-6 IAC 100/Kaba-8 IAC 100/Kaba-14 IAC 100/Kaba-17 Malabar/IAC 100-85 Kaba/IAC 100//Burangrang-60 Kaba/IAC 100//Burangrang-63 Tanggamus/Pangrango-78 Kaba Tanggamus Detam 1 Anjasmoro Argomulyo
Umur masak (hst) 76,67c-f 75,33def 76,50c-f 74,83efg 76,50c-f 76,83b-f 74,00fg 77,17b-e 75,67def 78,17bcd 75,83def 73,83fg 79,17abc 77,50b-e 79,83ab 81,33a 72,00g
Jumlah polong isi 36,33abc 36,50abc 30,23cde 31,43a-d 36,43abc 32,50a-d 28,67de 37,37abc 21,00f 33,97a-d 37,93ab 32,87a-d 37,00abc 38,50a 30,70b-e 23,90ef 27,33def
Bobot 100 biji (g) 10,33bcd 9,02cd 10,83bc 11,32b 10,07bcd 10,17bcd 10,68bc 9,27bcd 11,32b 8,92cd 9,32bcd 9,62bcd 8,93cd 8,35d 10,80bc 13,97a 11,27b
Angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.
Gambaran kondisi tercekam kutu kebul dapat dilihat dari jumlah kutu kebul yang teramati dan intensitas kerusakan daun. Pada penelitian ini, populasi kutu kebul yang 70
Sulistyo dan Nugrahaeni: Daya Hasil Galur-galur Kedelai Toleran Kutu Kebul (Bemisia tabaci)
teramati pada papan perangkap kuning saat tanaman berumur 64 hst adalah 523 ekor pada MK I 2011 dan 138 ekor pada MK II 2012. Populasi tersebut mampu menyebabkan terjadinya kerusakan daun hingga mencapai 33% dan 20%, masing-masing pada pengujian MK I 2011 dan MK II 2012 (Tabel 3). Tabel 3. Intensitas kerusakan daun dan kriteria ketahanan 17 genotipe kedelai di KP Muneng. Genotipe G100H/9305//IAC-100-195 G100H/9305//IAC-100-271 IAC 100/Burangrang IAC 100/Kaba-5 IAC 100/Kaba-6 IAC 100/Kaba-8 IAC 100/Kaba-14 IAC 100/Kaba-17 Malabar/IAC 100-85 Kaba/IAC 100//Burangrang-60 Kaba/IAC 100//Burangrang-63 Tanggamus/Pangrango-78 Kaba Tanggamus Detam 1 Anjasmoro Argomulyo
Intensitas kerusakan daun (%) MK I 2011 MK II 2012 28,12 (R) 18,10 (R) 28,30 (R) 15,58 (T) 26,51 (R) 15,55 (T) 24,10 (AT) 16,10 (AT) 23,45 (AT) 16,63 (AT) 21,30 (T) 16,27 (AT) 25,15 (AT) 15,17 (T) 25,23 (AT) 15,79 (AT) 26,22 (R) 17,56 (R) 25,10 (AT) 16,60 (AT) 22,10 (T) 15,82 (AT) 24,10 (AT) 16,79 (AT) 24,15 (AT) 18,34 (R) 26,45 (R) 18,49 (R) 28,13 (R) 16,99 (R) 33,05 (SR) 20,07 (SR) 30,40 (R) 17,45 (R)
ST=sangat tahan, T=tahan, AT=agak tahan, R=rentan, SR=sangat rentan berdasarkan kriteria Chiang dan Talekar (1980).
Selain mempengaruhi bobot 100 biji, serangan kutu kebul juga mempengaruhi hasil biji, terutama pada genotipe yang rentan terhadap hama tersebut. Hal ini dapat dilihat pada hasil varietas Anjasmoro. Selama dua musim tanam, Anjasmoro hanya mampu menghasilkan biji 0,52 t/ha pada MK I 2011, dan 0,30 t/ha pada MK II 2012 dengan ratarata 0,49 t/ha (Tabel 4). Pada kondisi optimal, varietas tersebut memiliki potensi hasil 2,35 t/ha. Hal ini berarti terjadi kehilangan hasil hingga 79%. Anjasmoro merupakan kedelai yang sangat rentan terhadap kutu kebul. Pada tingkat serangan yang parah, kehilangan hasil dari varietas ini dapat mencapai 80% (Inayati dan Marwoto 2012). Pada penelitian ini varietas pembanding yang menghasilkan biji terbanyak adalah Tanggamus (1,59 t/ha), diikuti oleh Kaba (1,46 t/ha). Selain didukung oleh jumlah polong isi yang banyak, varietas Kaba diduga memiliki ketahanan terhadap kutu kebul. Hasil penelitian Sulistyo dan Inayati (2014) menunjukkan bahwa varietas Kaba agak tahan terhadap kutu kebul. Di antara 12 galur kedelai yang diuji, terdapat dua galur yang mampu menghasilkan biji setara dengan varietas Tanggamus dan Kaba, yaitu Kaba/IAC 100//Burangrang-63 dan Tanggamus/Pangrango-78, masing-masing dengan hasil biji 1,51 t/ha dan 1,40 t/ha (Tabel 4). Sama dengan tetuanya (varietas Kaba), hasil yang cukup tinggi dari galur Kaba/IAC 100//Burangrang-63 didukung oleh jumlah polong isi yang banyak.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
71
Tabel 4. Hasil 17 genotipe kedelai di KP Muneng. Genotipe G100H/9305//IAC-100-195 G100H/9305//IAC-100-271 IAC 100/Burangrang IAC 100/Kaba-5 IAC 100/Kaba-6 IAC 100/Kaba-8 IAC 100/Kaba-14 IAC 100/Kaba-17 Malabar/IAC 100-85 Kaba/IAC 100//Burangrang-60 Kaba/IAC 100//Burangrang-63 Tanggamus/Pangrango-78 Kaba Tanggamus Detam 1 Anjasmoro Argomulyo
MK I 2011 1,30d-h 1,23d-i 1,06f-j 1,16e-i 1,04g-j 1,02g-j 1,26d-i 1,34def 1,17e-i 1,31d-g 1,65abc 1,44b-e 1,23d-i 1,43b-e 0,99ij 0,52k 1,34def
Hasil (t/ha) MK II 2012 1,00ij 1,28d-i 1,43b-e 1,40cde 1,27d-i 1,29d-h 1,50a-d 1,24d-i 0,86j 1,16e-i 1,37cde 1,37cde 1,69ab 1,75a 1,06f-j 0,30k 1,01hij
Rata-rata 1,15ef 1,26cde 1,24de 1,28cde 1,16ef 1,16ef 1,38bcd 1,29cde 1,02f 1,24de 1,51ab 1,40a-d 1,46abc 1,59a 1,02f 0,49g 1,17ef
Angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.
KESIMPULAN 1.
2. 3.
Terdapat delapan galur yang terindikasi toleran terhadap kutu kebul, yaitu IAC 100/Kaba-5, IAC 100/Kaba-6, IAC 100/Kaba-8, IAC 100/Kaba-14, IAC 100/Kaba-17, Kaba/IAC 100//Burangrang-60, Kaba/IAC 100//Burangrang-63, dan Tanggamus/Pangrango-78. Dua galur toleran kutu kebul yaitu Kaba/IAC 100//Burangrang-63 dan Tanggamus/Pangrango-78 memiliki hasil biji setara dengan varietas Tanggamus dan Kaba. Pada kondisi tercekam serangan kutu kebul, ke-12 galur kedelai tersebut tergolong genjah, dan dapat dikelompokkan menjadi kedelai biji kecil (5 galur) dan kedelai biji sedang (7 galur).
DAFTAR PUSTAKA Adie, M.M. 2007 Panduan pengujian individual, kebaruan, keunikan, keseragaman dan kestabilan kedelai. Pusat Perlindungan Varietas Tanaman. Departemen Pertanian Republik Indonesia. 12 hlm. Balitkabi (Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian). 2012. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. 175 hlm. Chiang, H.S., and N.S. Talekar. 1980. Identification of source of resistance to the beanfly and two other Agromyzid flies in soybean and mungbean. J. Econ. Entomol 73(2): 197–199 Hirano, K., E. Budiyanto, and S. Winarni. 2002. Biological characteristic and forecasting outbreaks of the whitefly Bemisia tabaci, a vector of virus diseases in soybean fields.
72
Sulistyo dan Nugrahaeni: Daya Hasil Galur-galur Kedelai Toleran Kutu Kebul (Bemisia tabaci)
http://www.biocontrol.ucr.edu/bemisia.html (akses 2 Januari 2012) Inayati, A. dan Marwoto. 2012. Pengaruh kombinasi aplikasi insektisida dan varietas unggul terhadap intensitas serangan kutu kebul dan hasil kedelai. J. Penel. Pert. Tan. Pangan 31 (1): 13–21. Marwoto, F.C. Indriani, A. Sulistyo dan R.T. Hapsari. 2011. Diagnosis ledakan populasi hama kutu kebul (Bemisia tabaci) pada tanaman kedelai (Studi kasus faktor penyebab ledakan populasi kutu kebul di KP Muneng, MK 2009). hlm 277–288 Dalam: A. Wdjono, Hermanto, M.M. Adie, Y. Prayogo, Suharsono, Sholihin, A.A. Rahmiana, N. Nugrahaeni, N. Saleh. A. Kasno, Subandi, dan Marwoto (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Aneka Kacang dan Ubi Tahun 2009. Malang, 21 Desember 2009. Mursito, D. 2003. Heritabilitas dan sidik lintas karakter fenotipik beberapa galur kedelai (Glycine max. (L.) Merrill). Agrosains 6(2): 58–63. Oliveira, M.R.V., T.J. Henneberry, and P. Anderson. 2001. History, currents tatus, and collaborative research project for Bemisia tabaci. J. Crop Protection 20 (9): 709–723. Sulistyo, A. dan A. Inayati. 2014. Evaluasi ketahanan 8 varietas kedelai terhadap kutu kebul (Bemisia tabaci Genn). hlm 378–384 Dalam: S.D. Neve, D. Indradewa, B.H. Purwanto, B.D. Kertonegoro, A. Ma’as, Irham, E. Martono, Sukristiyonubowo, S.N.H. Utami, E. Hanudin, S. Handayani, dan N.W. Yuwono. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik. Yogyakarta, 28–29 Agustus 2013. Sulistyo, A. dan Marwoto. 2012. Hubungan antara trikoma dan intensitas kerusakan daun dengan ketahanan kedelai terhadap hama kutu kebul (Bemisia tabaci). hlm 255–262. Dalam: A. Widjono, Hermanto, N. Nugrahaeni, A.A. Rahmiana, Suharsono, F. Rozi, E. Ginting, A. Taufiq, A. Harsono, Y. Prayogo, dan E. Yusnawan (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Tahun 2011. Malang, 15 November 2011 Sumarno dan N. Zuraida. 2006. Hubungan korelatif dan kausatif antara komponen hasil dengan hasil kedelai. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25 (1): 38–44.
DISKUSI Ratna Dewi (Politeknik Negeri Lampung) 1. Pertanyaan: Apa kriteria tahan atau tidak tahan? Terdapat interaksi yang nyata pada karakter hasil biji, kenapa pada kesimpulan tidak muncul? 2. Jawaban: Kriteria ketahananan berdasarkan intensitas kerusakan daun (%), ragamnya dikelompokkan dengan metode Chiang dan Talekar (1980). Saran perbaikan diterima.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
73