TINJAUAN PUSTAKA Struktur Telur Telur merupakan salah satu bahan makanan asal ternak yang dikenal bernilai gizi tinggi karena mengandung zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh manusia seperti asam-asam amino yang lengkap dan seimbang, vitamin serta mempunyai daya cerna yang tinggi (Sirait, 1986). Menurut Winarno dan Koswara (2002) protein telur mempunyai mutu yang tinggi, karena memiliki susunan asam amino esensial yang lengkap, sehingga dijadikan patokan untuk menentukan mutu protein dari bahan pangan lain. Telur mempunyai tiga komponen pokok, yaitu kulit telur, putih telur (albumen), dan kuning telur dengan persentase 11%, 57%, dan 32% (Buckle et al., 1987).
Gambar 1. Struktur Telur (Romanoff dan Romanoff, 1963) Komponen kimia telur terbesar adalah air diikuti protein, lemak, dan karbohidrat (Panda, 1996). Buttery dan Lindsay (1980) menambahkan bahwa telur mengandung 66% air, 12% protein, 11% lemak dan 10% ion inorganik.
Kerabang Telur Kerabang telur merupakan bagian telur yang paling keras dan kaku. Fungsi utamanya sebagai pelindung isi telur dari kontaminasi mikroorganisme (Sirait, 1986). Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), kerabang telur terdiri dari empat lapisan, yaitu lapisan kutikula, bunga karang, mamilaris, dan membran kerabang telur. Diagram radial kerabang telur dapat dilihat pada (Gambar 2).
Gambar 2. Diagram Radial Kerabang Telur (Stadelman dan Coterill, 1995) Kulit telur bersifat keras, dilapisi kutikula dengan permukaan halus serta terikat kuat pada bagian luar lapisan membran (Winarno dan Koswara, 2002). Lapisan kulit telur dapat memberikan perlindungan fisik (Charley, 1982). Menurut Sirait (1986), pada kulit telur utuh terdapat beberapa ribu pori-pori yang digunakan untuk pertukaran gas. Pori-pori tersebut sangat sempit, berukuran 0,01-0,07 mm dan tersebar diseluruh permukaan kulit telur. Telur yang masih baru, pori-porinya masih dilapisi oleh lapisan kutikula untuk mencegah penetrasi mikroba melalui kerabang telur dan mengurangi penguapan air yang terlalu cepat (Sirait, 1986).
Putih Telur Putih telur disebut juga albumen merupakan bagian terbesar dalam telur, yaitu 60% dari berat telur. Albumen merupakan sumber utama protein yang juga mengandung niasin dan riboflavin (Wikipedia, 2005). Albumen atau putih telur terdiri dari beberapa lapisan yang berbeda kekentalannya, yaitu lapisan encer luar, lapisan kental luar, lapisan encer dalam dan chalazaferous (Nakai dan Modler,
3
2000). Perbedaan kekentalan ini disebabkan karena perbedaan kadar air pada lapisanlapisan tersebut. Kandungan air putih telur lebih banyak dibandingkan dengan bagian lain, sehingga bagian ini lebih mudah rusak selama penyimpanan. (Romanoff dan Romanoff, 1963). Komposisi kimia putih telur tertera pada (Tabel 1). Penurunan kekentalan putih telur terutama disebabkan oleh terjadinya perubahan struktur gelnya. Perubahan ini disebabkan oleh adanya kerusakan fisikokimia dari serabut ovomucin yang berakibat keluarnya air dari jala-jala yang telah dibentuknya (Sirait, 1986). Kerusakan jala-jala ovomucin mengakibatkan air dari protein putih telur akan keluar dan putih telur menjadi encer (Heath, 1977). Tabel 1. Komposisi Kimia Putih Telur Ayam dan Itik Komponen
Telur ayam
Telur itik
Kimia
(51,6 gram)
(66,6 gram)
---------------------------- ---(%)------------------------------Air
73,6
69,7
Padatan
26,4
30.3
25,6
29,3
Protein
12,8
13,7
Lemak
11,8
14,4
Karbohidrat
1,0
1,2
Bahan anorganik
0,8
1,2
Bahan organik
Sumber: Romanoff dan Romanoff, 1963
Kuning Telur Kuning telur berbatasan dengan putih telur dan dibungkus oleh satu lapisan yang disebut membran vitelin. Umumnya kuning telur berbentuk bulat, berwarna kuning atau oranye yang terletak pada pusat telur dan bersifat elastis (Winarno dan Koswara, 2002). Kuning telur terletak ditengah-tengah bila telur dalam keadaan normal atau masih segar (Romanoff dan Romanoff, 1963). Posisi kuning telur tersebut akan bergeser apabila telur mengalami penurunan kualitas (Buckle et al., 1987).
4
Kualitas Telur Kualitas merupakan ciri atau sifat yang sama dari suatu produk yang menentukan derajat kesempurnaannya yang akan mempengaruhi penerimaan konsumen (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kualitas telur merupakan kumpulan ciri-ciri telur yang mempengaruhi selera konsumen (Stadelman dan Cotterill, 1995). Faktor kualitas telur dibagi menjadi dua, yaitu faktor kualitas eksterior yang meliputi warna, bentuk, tekstur, keutuhan, kebersihan kandang. Faktor interior meliputi keadaan putih telur yaitu kekentalannya, bentuk kuning telur yaitu tidak ada noda pada putih maupun kuning telur. Kualitas interior telur dapat dilihat dengan
candling (peneropongan), sehingga akan diketahui kondisi kulit telur, ukuran rongga udara dan pergeseran kuning telur (Umar, 2000). Sirait (1986) menyatakan bahwa, beberapa faktor yang dapat memberikan petunjuk terhadap kesegaran telur adalah susut berat telur, keadaan diameter rongga udara, keadaan putih dan kuning telur, bentuk dan warna kuning telur serta tingkat kebersihan kerabang telur. Penyusutan bobot telur pada telur-telur yang tidak diawet, relatif berlangsung dengan cepat. Hal ini disebabkan pengaruh suhu yang tinggi selama penyimpanan, pengaruh lama penyimpanan, serta kelembaban udara yang rendah akan mempercepat penguapan air dari dalam telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Telur segar yang disimpan pada suhu kamar hanya akan bertahan 10-14 hari, setelah waktu tersebut telur mengalami kerusakan (Sarwono, 1995). Waktu penyimpanan yang semakin lama menyebabkan pori-pori semakin besar dan rusaknya lapisan mukosa, sehingga air, gas dan bakteri lebih mudah melewati kerabang tanpa ada yang menghalangi. Hal ini menyebabkan penurunan kualitas dan kesegaran telur semakin cepat terjadi (Muchtadi, 1992).
Daya dan Kestabilan Buih Daya Buih Buih merupakan dispersi koloid dari fase gas dalam fase cair, yang dapat terbentuk saat dikocok (Winarno dan Koswara, 2002). Ketika putih telur dikocok gelembung udara akan ditangkap oleh putih telur, dan buih akan terbentuk. Selama pengocokan akan terjadi peningkatan dan penurunan ukuran dan jumlah gelembung
5
udara. Buih akan stabil dan kehilangan kemampuan mencair seiring dengan peningkatan pengikatan gelembung udara oleh putih telur saat pengocokan, namun apabila pengocokan terus dilanjutkan maka buih akan rusak dan kehilangan kelembabannya serta akan terlihat mengkilat (Lowe, 1955). Daya buih merupakan ukuran kemampuan putih telur untuk membentuk buih jika dikocok dan biasanya dinyatakan dalam persentase terhadap volume putih telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Buih yang baik memiliki daya sebesar 6-8 kali volume putih telur (Georgian Egg Commision, 2005). Daya buih berperan penting dalam proses pengolahan pangan, seperti pembuatan cake (Winarno dan Koswara, 2002). Jahja (1972) dalam Kurniawan (1991) mengatakan bahwa daya buih putih telur akan mempengaruhi pengembangan adonan selama pemanasan. Hal utama dalam pembentukan buih adalah overrun (kapasitas) dan kestabilan
yang
bertentangan dengan pengeringan cairan dan tirisan. Sangat sulit sekali mendapatkan daya buih yang tinggi dan kestabilan buih yang maksimal pada waktu yang bersamaan karena faktor yang meningkatkan kestabilan buih dapat menyebabkan penurunan daya buih ( Hammersoj dan Anderson, 2002).
Kestabilan Buih Kestabilan buih merupakan ukuran kemampuan struktur buih putih telur untuk bertahan kokoh atau tidak mencair selama waktu tertentu. Indikator kestabilan buih adalah besarnya tirisan buih selama waktu tertentu dan dinyatakan dalam bobot, volume atau derajat pencairan buih (Stadelman dan Cotterill, 1995). Tirisan buih terjadi karena ikatan antara udara dengan protein putih telur yang kurang kokoh, sehingga setelah didiamkan beberapa saat akan terbentuk tirisan buih (Rhodes et. al., 1960). Struktur buih yang stabil umumnya dihasilkan dari putih telur yang mempunyai elastisitas tinggi, sebaliknya volume buih yang tinggi diperoleh dari putih telur dengan elastisitas rendah. Elastisitas akan hilang jika putih telur terlalu banyak dikocok atau diregangkan seluas mungkin (Stadelman dan Cotterill, 1995). Kestabilan buih berbanding terbalik dengan tirisan buih. Kestabilan buih yang tinggi dicirikan oleh rendahnya tirisan buih, sebaliknya kestabilan buih yang rendah akan dicirikan oleh tirisan buih yang tinggi (Kurniawan, 1991).
6
Kestabilan buih berperan penting dalam adonan kue karena mempengaruhi kekokohan struktur kue yang dihasilkan. Pemanasan adonan kue mengakibatkan udara dalam sel memuai dan putih telur yang menyelubunginya meregang. Buih yang kurang stabil tidak dapat mendukung pengembangan kue secara maksimal (Stadelman dan Cotterill, 1995).
Mekanisme Pembentukan Buih Buih terbentuk pada waktu pengocokan, karena terbukanya ikatan polipeptida dalam molekul protein pada waktu pengocokan telur sehingga rantai protein menjadi lebih panjang, kemudian udara masuk diantara molekul molekul protein yang rantainya telah terbuka dan tertahan sehingga volume bagian buih telur menjadi bertambah (Sirait, 1986). Mekanisme terbentuknya buih ini tertera pada (Gambar 3).
PROTEIN
DENATURASI PEMBENTUKAN LAPISAN TIPIS
udara
udara
MENANGKAP UDARA
udara
PERBAIKAN BUIH YANG
udara
TIRISAN
udara udara
GEL. BUIH PECAH
Gambar 3. Mekanisme Pembentukan Buih (Cherry dan Watters, 1981)
7
Mekanisme terbentuknya buih diawali dengan terbukanya ikatan-ikatan dalam molekul protein sehingga rantainya menjadi lebih panjang. Tahap selanjutnya adalah proses adsorpsi yaitu pembentukan monolayer atau film dari protein yang terdenaturasi. Udara ditangkap dan dikelilingi oleh film dan membentuk gelembung. Pembentukan lapisan monolayer kedua dilanjutkan di sekitar gelembung untuk mengganti bagian film yang terkoagulasi. Film protein dari gelembung yang berdekatan akan berhubungan dan mencegah keluarnya cairan. Terjadinya peningkatan kekuatan interaksi antara polipeptida akan menyebabkan agregasi (pengumpulan) protein dan melemahnya permukaan film dan diikuti dengan pecahnya gelembung buih (Cherry dan McWaters, 1981). Perubahan tersebut menyebabkan hilangnya daya larut atau sifat koagulasi putih telur, dan absorpsi buih penting untuk kestabilan buih (Stadelman dan Cotterill, 1995). Albumen telur ayam ras merupakan komponen pembentuk buih yang bagus. Komponen pembentuk buih yang bagus ditentukan berdasarkan kecepatan menyerap dengan cepat pada interfase udara dalam air selama pengocokan dan pembentukkan gelembung, dan juga berdasarkan kemampuan membentuk film viscoelastis yang bersatu melalui interaksi molekular (Mine, 1995). Protein menstabilkan buih dengan membentuk sebuah film yang menyatu dan fleksibel disekitar gelembung udara (Poole dan Fry, 1987). Molekul protein mempunyai bagian hidrofilik dan bagian hidrofobik pada permukaan luarnya. Selama proses pengocokan udara ditangkap larutan dan membentuk gelembung, bagian hidrofobik memudahkan penyerapan pada permukaan dalam, proses ini diikuti oleh terbukanya sebagian rantai protein (denaturasi permukaan luar). Perubahan dalam konfigurasi molekular ini menyebabkan hilangnya daya larut atau sifat koagulasi protein, yang tersedia pada interfase cair dalam udara. Reduksi yang terjadi pada permukaan yang tegang mempermudah pembentukan interfase baru dan lebih banyak lagi banyak gelembung (Lomakina dan Mikova, 2006).
Protein Putih Telur Protein utama yang berperan dalam pembentukan buih adalah ovomucin,
globulin, dan ovalbumin (Stadelman dan Cotterill, 1995), conalbumin, lysozyme, serta ovomucoid (Nakamura dan Sato, 1964b). Hasil-hasil penelitian yang dikutip Alleoni dan Antunes (2004), menunjukkan bahwa salah satu fraksi protein putih telur
8
yaitu globulin mempunyai kemampuan memudahkan terbentuknya buih, sementara kompleks ovomucin-lysozyme, ovalbumin dan conalbumin mempunyai kemampuan membuih stabil saat dipanaskan. Fraksi protein putih telur lainnya, seperti
conalbumin, lysozyme, ovomucin dan ovomucoid sendiri mempunyai kemampuan membuih yang sangat rendah, tetapi interaksi antara lysozyme dan globulin mempunyai peranan penting dalam pembentukan buih. Jenis protein putih telur, persentase dan karakteristiknya dapat dilihat seperti pada Tabel 2.
Ovalbumin merupakan salah satu jenis protein dalam putih telur (54% dari total protein putih telur) yang mempunyai kemampuan membuat buih (Alleoni dan Antunes, 2004). Ovalbumin dapat membentuk busa paling baik pada pH sekitar 3,7 sampai 4,0 sedangkan protein yang lain dapat membentuk busa paling baik pada pH sekitar 6,5 sampai 9,5 (Sirait, 1986). Meskipun ovalbumin mudah terdenaturasi oleh perlakuan pada permukaan seperti pembuihan, tetapi relatif stabil pada pemanasan (Froning, 1988). Tabel 2. Protein dalam Putih Telur Ayam* Protein Ovalbumin
Persentase (%) 54
Karakteristik Phosphoglicoprotein
Conalbumin (Ovotransferin)**
13
Mengikat logam terutama besi
Ovomucoid
11
Menghambat Trypsin
Lysozyme
3.5
Membunuh beberapa bakteri
G2 globulin
4.0
-
G3 Globulin
4.0
-
Ovomucin
1.5
Sialoprotein
Flavoprotein
0.8
Mengikat riboflavin
Ovoglikoprotein
0.5
Sialoprotein
Ovomacroglobulin
0.5
-
Ovoinhibitor
0.1
Menghambat beberapa bakteri Protease
Avidin
0.05
Mengikat biotin
*Sumber: Stadelman dan Cotterill, 1995 ** Belitz dan Grosch, 1999
9
Ovalbumin sangat mudah terdenaturasi (Whitaker dan Tannenbaum, 1977). Denaturasi protein dapat diakibatkan bukan hanya oleh panas, tetapi juga oleh pH ekstrim; beberapa pelarut organik seperti alkohol atau aseton; zat terlarut tertentu seperti urea; detergen atau hanya dengan pengguncangan intensif (mekanik) larutan protein yang bersinggungan dengan udara sehingga terbentuk busa (Lehninger, 1982). Denaturasi protein mungkin dapat balik dan mungkin juga tidak, pada denaturasi yang dapat balik protein membentang karena senyawa pendenatur, tetapi akan kembali melipat setelah senyawa tersebut tidak ada (Wilbraham dan Matta, 1992). Protein globular yang terdenaturasi oleh panas atau pH ekstrim akan kembali ke struktur asli dan memperoleh kembali aktivitas biologinya. Jika protein ini didinginkan atau dikembalikan ke pH normal secara perlahan-lahan maka proses ini disebut renaturasi (Lehninger, 1982).
Globulin dapat menentukan kekentalan putih telur dan mengurangi pencairan buih. Komposisi globulin sekitar 4% dari protein putih telur. Kurangnya globulin dalam putih telur menyebabkan dibutuhkannya waktu pengocokan yang lebih lama untuk mencapai volume tertentu (Stadelman dan Cotterill, 1977).
Ovomucin merupakan protein putih telur yang berbentuk selaput, bersifat sukar larut dan berfungsi menstabilkan struktur buih (Baldwin 1973). Komposisi ovomucin sebanyak 1,5% dari protein putih telur (Stadelman dan Cotterill, 1999). Perbedaan putih telur kental dan encer terutama disebabkan karena perbedaan kandungan ovomucin. Ovomucin adalah protein yang bersifat menstabilkan busa, jika
ovomucin terdapat dalam jumlah banyak maka busa yang terbentuk bersifat stabil (Sirait, 1986).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya dan Kestabilan Buih Daya dan kestabilan buih putih telur dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tingkat pengocokan, pH putih telur, umur telur, penambahan bahan kimia/ stabilisator (Stadelman dan Cotterill, 1995), serta konsentrasi protein, komposisi protein, pH, pemanasan, adanya garam dan komposisi fase cair yang mungkin mengubah konfigurasi dan stabilitas molekul protein (Alleoni dan Antunes, 2004).
10
Umur Telur Umur telur sangat mempengaruhi nilai pH. Selama proses penyimpanan, telur akan mengalami perubahan karena terjadinya penguapan CO2 dan air, sehingga terjadi perubahan pH, serta perubahan stuktur serabut protein putih telur. Hal ini menyebabkan penurunan berat telur serta pengenceran putih telur. Pengenceran putih telur karena serat glikoprotein ovomucin pecah, mengakibatkan melemahnya ikatan
ovomucin (Romanoff dan Romanoff, 1963). PH Telur yang baru dihasilkan induk mempunyai pH sekitar 7,6. Peningkatan pH putih telur selama penyimpanan disebabkan penguapan H2O dan CO2 pada putih telur. Penguapan CO2 dari dalam telur diakibatkan oleh senyawa NaHCO3 yang terurai menjadi NaOH, kemudian NaOH ini akan terurai kembali menjadi ion-ion Na+ dan OH- sehingga mengakibatkan pH putih telur meningkat (Silverside dan Scott, 2000). Peningkatan pH putih telur akan memperbesar volume buih. Volume buih tertinggi terjadi pada pH sekitar 8,0 dan kestabilan buih yang tinggi pada pH kurang dari 8,0. Peningkatan pH putih telur sampai 10,7 selama dilakukan penyimpanan akan membentuk ikatan kompleks ovomucin-lysozyme yang menyebabkan kondisi putih telur jadi encer (Stadelman dan Cotterill, 1977). Alleoni dan Antunes (2004) menyatakan bahwa transformasi ovalbumin menjadi s-ovalbumin terjadi akibat penyimpanan dengan adanya peningkatan pH dan suhu. Jika kandungan s-ovalbumin meningkat maka akan menyebabkan meningkatnya tirisan buih dan menurunkan stabilitas buih. Penampilan kue yang baik dicerminkan dari volume kue dan waktu pengocokan yang lebih baik yang akan dicapai pada saat pH putih telur mencapai 8,75. Peningkatan pH putih telur hingga mencapai 9,0 akan memecah protein
globulin putih telur, sehingga akan menurunkan kemampuan putih telur untuk mengikat udara dalam pembentukan buih (Seideman et al., 1963). Nakamura dan Sato (1964b) menyatakan bahwa daya buih tinggi dapat dicapai pada pH netral dan pH asam, kecuali pH yang terlalu asam (pH 1,00). Kestabilan buih yang tinggi dapat dicapai pada pH putih telur 8,6 dan akan menurun dengan adanya perubahan pH. Penambahan asam atau garam asam ke dalam putih telur akan menambah kestabilan
11
buih (Lowe, 1955). Penambahan bahan-bahan kimia berupa asam dan garam asam dapat mempertahankan ikatan antara udara dengan protein putih telur sehingga buih yang terbentuk lebih stabil (Rhodes et. al., 1960).
Pengocokan Pengocokan dengan alat pengocok elektrik ternyata memerlukan yang lebih singkat dalam membentuk buih putih telur (Kurniawan, 1991). Pengocokan lebih dari enam menit tidak akan menambah volume buih, melainkan akan memperkecil ukuran gelembung udara. (Winarno dan Koswara, 2002). Pengocokan yang berlebihan pada larutan protein mengakibatkan peningkatan konsentrasi gelembung yang lebih kecil menghasilkan buih yang tidak stabil. Ketidakstabilan ini disebabkan terjadinya penurunan elastisitas gelembung. (Johnson dan Zabik, 1981).
Cream of Tartar (KC4H5O6) Cream of tartar diproduksi dari ampas pengolahan anggur dan disebut juga asam potassium tartrate, argol, potassium bitartrate, atau potassium hydrogen
tartrate. Berfungsi untuk menstabilkan pH putih telur, dapat dikombinasikan dengan baking soda untuk membuat baking powder, mencegah kristalisasi pada sirup gula (Wikipedia, 2005). Cream of tartar merupakan garam asam yang tidak larut dalam air serta berwarna putih (Kurniawan, 1991). Cream of tartar mempunyai kisaran pH 7,0-9,0 (Jinlong, 2002).
Cream of tartar mempunyai kemampuan untuk mempertahankan ikatan antara udara dengan rantai polipeptida yang terbuka sehingga dapat mempertahankan buih yang stabil (Seideman, 1963). Cream of tartar yang bereaksi dengan putih telur akan menguraikan protein dan membuka ikatan dalam molekul protein putih telur dengan jalan menurunkan pH putih telur sehingga akan membentuk sumbu memanjang bila dilakukan pengocokan (Griswold, 1962).
12