TINJAUAN PUSTAKA Streptococcus agalactiae S. agalactiae adalah bakteri Gram positif dengan ukuran koloni yang sangat kecil dan berwarna kebiruan pada medium Edward (Gambar 1). S. agalactiae merupakan penyebab terbesar dari kasus mastitis dan dapat dengan mudah berpindah pada satu sapi ke sapi lainnya saat proses pemerahan. Koloni bakteri ini biasa berada pada ambing walaupun terkadang berada pada puting dan kulit dari puting, terutama jika permukaan kulit mengalami perlukaan (Blowey dan Edmondson 2010).
Gambar 1 S. agalactiae dengan pewarnaan Gram (Anonim 2011). Klasifikasi berdasarkan Lehmann and Neumann 1896 (Uniprot 2012): Kingdom
: Bacteria
Phylum
: Firmicutes
Class
: Bacilli
Ordo
: Lactobacillales
Family
: Streptococcaceae
Genus
: Streptococcus
Spesies
: Streptococcus agalactiae
Mekanisme infeksi S. agalactiae dimulai dengan perlahan bakteri memasuki puting dari ambing karena kontaminasi cemaran lingkungan. Kontaminasi ini dapat dipicu oleh faktor kebersihan selama pemerahan, desinfeksi ambing setelah pemerahan, terapi pada sapi kering kandang, pemerahan susu yang kurang optimal, pengobatan kasus kronis dan pemerahan terhadap sapi lain (Blowey dan Edmondson 2010). Setelah masuk dalam epitel ambing, bakteri menempel pada sel inang, seperti ditunjukkan Gambar 2. Menurut Wibawan dan Laemmler
5
(1990), kemampuan bakteri untuk menempel pada sel inang diperantarai oleh komponen adhesin bakteri yang membantu perlekatan pada reseptor spesifik inang. S. agalactiae dengan hemaglutinin mempunyai kemampuan menempel pada sel epitel ambing yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak memiliki hemaglutinin. Melalui kemampuan adhesi inilah S. agalactiae terbebas dari pengaruh pembasuhan organ-organ sekresi sehingga tidak ikut keluar saat ambing diperah.
Gambar 2 Struktur ambing dan puting (Blowey dan Edmondson 2010). S. agalactiae memiliki kapsul yang tersusun dari asam sialat dan senyawa karbohidrat lainnya yang membentuk struktur oligosakarida. Kapsul ini sebagai salah satu faktor virulensi dari S. agalactiae yang berperan dalam mencegah fagositosis, menentukan ketahanan hidup dan mencegah proses pembunuhan bakteri (Wibawan dan Laemmler 1990). Mastitis Subklinis Mastitis adalah istilah bagi peradangan jaringan internal ambing dan merupakan penyakit yang paling banyak menyerang sapi perah. Mastitis merupakan penyakit yang kompleks pada sapi perah karena kausa, tingkat peradangan, lama sakit, dan akibat yang berbeda.
6
Faktor predisposisi mastitis pada puting adalah akibat pemerahan yang kasar, lantai kasar, lap yang kotor dan sikat yang keras. Penyebab lainnya adalah sanitasi yang buruk meliputi kandang, ternak, alat yang kotor serta pemerahan yang tidak bersih. Faktor terakhir adalah gizi buruk dengan kuantitas dan kualitas pakan yang rendah (Lukman et al. 2009). Ada dua tipe dasar mastitis yaitu contagious dan environtmental, dan yang paling banyak dilaporkan adalah contagious mastitis. Hal ini dapat dilihat dengan perhitungan sel somatik pada susu (Blowey dan Edmondson 2010). Sedangkan secara umum berdasarkan keadaan ambing dan susu, mastitis dibagi dalam dua kategori yaitu mastitis klinik dan mastitis subklinik.
Mastitis klinis ditandai
dengan gejala klinis perubahan susu yang dihasilkan, pembengkakan pada ambing, ambing merah, sakit dan panas (reaksi peradangan). Ditemukan pula adanya bakteri patogen dalam susu dan komposisi susu berubah. Menurut International Dairy Federation, mastitis subklinis adalah peradangan ambing yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel somatik (>400.000/ml) dan ditemukan bakteri patogen dalam susu pada masa laktasi normal (Lukman et al. 2009). Pada kasus mastitis subklinis tidak ditemukan adanya kelainan pada kondisi susu secara makroskopik namun jumlah produksi susu mengalami penurunan dibandingkan sapi normal. Kejadian mastitis subklinis menyerupai fenomena gunung es dimana puncak es yang terlihat (2-3%) adalah mastitis klinis sedang bagian gunung di bawah permukaan laut (97-98%) adalah mastitis subklinis. Hampir semua gejala klinis dari mastitis klinis adalah perkembangan dari mastitis subklinis (Lukman et al. 2009). Cara terbaik untuk mendiagnosa mastitis sub-klinis adalah dengan menghitung jumlah sel somatis (JSS) dan memeriksa kuman patogen. Peningkatan JSS mengindikasikan adanya gangguan terhadap sistem imun tubuh. Menghitung JSS dapat dilakukan dengan dua cara yakni secara langsung dan tidak langsung. Teknik secara langsung akan didapatkan nilai JSS/ml yang sebenarnya dengan contoh metodenya adalah metode Breed, Fossomatik, Coulter counter, Textular Analysis System (TAS) dan Laser. Sedangkan teknik secara tidak langsung hanya akan didapatkan perkiraan jumlah sel melalui reaksi kimia. Contoh metode tidak
7
langsung adalah CMT (Californian Mastitis Test), WST (Whiteside Test), AMP (Aulendorfer Mastitis Probe), WMT (Wisconsin Mastitis Test), Brabanter Mastitis Test, dan IPB-1 Test (Lukman et al. 2009). Vaksin yang Diradiasi Vaksin
adalah
suatu
suspensi
mikroorganisme
atau
substansi
mikroorganisme yang digunakan untuk menginduksi sistem imunitas. Pencegahan penyakit
infeksi dengan cara imunopropilaksis atau imunisasi/vaksinasi
merupakan suatu cara untuk meningkatkan imunitas seseorang terhadap invasi mikroorganisme patogen atau toksin. Imunisasi dapat terjadi secara alamiah dan buatan dimana masing-masing dapat diperoleh secara aktif maupun secara pasif. Imunisasi aktif terdiri dari aktif buatan seperti vaksinasi dan aktif alamiah yaitu infeksi virus dan bakteri. Adapun imunisasi pasif dibedakan atas dua cara, yaitu pasif buatan dengan pemberian antitoksin atau antibodi, dan pasif alamiah yaitu antibodi didapat melalui plasenta dan kolostrum. Berdasarkan cara pembuatan dan pengembangannya, vaksin dapat digolongkan menjadi beberapa macam yaitu: vaksin yang dilemahkan, dimatikan, toksoid, rekombinan, konjugasi, dan vaksin DNA (deoxyribonucleic acid) (Maksum 2010). Vaksin dengan mikroorganisme dilemahkan mengandung organisme hidup yang sudah tidak bersifat virulen. Vaksin hidup ini menyerupai mikroorganisme aslinya pada saat menimbulkan infeksi. Kekurangan dari vaksin yang dilemahkan adalah kemungkinan untuk bermutasi kembali menjadi virulen, sehingga vaksin ini tidak dianjurkan pada penderita immunokompromis. Mikroorganisme yang telah dilemahkan berasal dari mutan virus atau bakteri yang telah dilemahkan dengan berbagai cara, salah satunya dengan diberi sinar (iradiasi). Radiasi sinar gamma dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan suatu imunogen yang potensial untuk vaksin dan memicu pembentukan antibodi yang optimal dalam menahan serangan infeksi parasit selanjutnya (Mendis 1991; Hook 2003). Pancaran radiasi sinar gamma dapat menimbulkan efek pada agen penyakit berupa virus, bakteri, protozoa dan cacing. Dalam pembuatan bahan vaksin, jenis radiasi yang biasanya digunakan adalah sinar gamma yang memiliki daya tembus tinggi dan panjang gelombang pendek (Hall 1994). Dosis iradiasi yang optimum akan menghancurkan DNA, sehingga membuat mikroorganisme tidak mampu
8
melakukan replikasi dan tidak menimbulkan infeksi. Hilangnya kemampuan infektif dari parasit memungkinkan untuk memperoleh bahan yang layak untuk pembuatan vaksin. Dengan demikian parasit dapat dinonaktifkan dengan mempertahankan sifat-sifat parasit seperti hemoaglutinasi, antigenisitas dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan percobaan, keberhasilan memperoleh bahan tidak aktif ini bergantung pada faktor eksternal seperti dosis radiasi, kecepatan sinar radiasi yang mengenai target (laju dosis), jenis radiasi, suhu dan sifat inang dimana parasit berada selama proses, dan juga karakteristik parasit itu sendiri seperti komposisi DNA inti atau pada sifat struktur molekulnya (Syaifudin et al. 2008). Tinjauan tentang Hati Mencit Anatomi Hati Secara anatomi, hati memiliki empat lobus yaitu kanan, kiri, caudate, dan quadrate, dimana lobus kanan memiliki ukuran setengah hingga dua per tiga dari keseluruhan volume hati. Terdapat pula empat segmen fungsional yang diklasifikasikan berdasarkan aliran darah dan aliran empedu. Hati diperantarai oleh beberapa ligamen yang berbeda. Ligamentum hepatoduodenal menghubungkan antara hati dengan area superior dari duodenum dan mendukung pembuluh darah serta duktus. Fisura transversa memisahkan lobus kanan dengan lobus kaudatus. Ligamen lainnya adalah ligamentum falciforme, ligamentum coronarium, ligamentum triangulare sinistrum
dan
ligamentum teres (Kanel dan Korula 1992). Salah satu fungsi hati adalah sebagai kelenjar sekretori penghasil empedu. Empedu memiliki fungsi penting dalam mencerna lemak. Saat tidak ada makanan di dalam duodenum, maka sphincter of oddi antara duktus empedu dan duodenum tertutup, dan empedu tidak dapat masuk saluran pencernaan melainkan disimpan dalam kantung empedu. Epitel dari kantung empedu menyerap sodium, chloride dan bicarbonate dari empedu sementara air diabsorbsi secara pasif. Pada spesies yang tidak memiliki kantung empedu seperti tikus, mencit dan kuda, sphincter of oddi tidak berfungsi dan empedu hanya disekresikan ke usus saat dan selama proses pencernaan (Cunningham 2002).
9
Histologi Hati Sel utama dari hati adalah hepatosit yang merupakan jaringan hidropis dan membentuk unit stuktural yang disebut hepatic lobules (lobulus hati). Hati juga dilindungi oleh jaringan serosa atau peritoneum yang terdiri atas jaringan ikat tipis yang selanjutnya membagi hati menjadi lobus dan lobulus. Selanjutnya, berdasarkan struktur anatomi lobulus hati juga disebut dengan classic liver lobule /lobulus klasik (Samuelson 2007). Lobulus hati memiliki struktur silindris dengan panjang antara 0,8 - 2 mm. Lobulus tersebut terdiri atas banyak rangkaian sel-sel hati/hepatosit yang secara radial mengelilingi vena sentralis seperti jari-jari pada roda (Gambar 3). Lobulus hati mengelilingi vena sentralis yang kosong. Vena porta menerima darah yang mengandung zat makanan hasil absorbsi dari usus menuju ke hati. Selanjutnya darah disalurkan melalui venous sinusoid yang berada di antara hepatic plate. Dari sini, darah akan masuk ke dalam vena sentralis dan selanjutnya mengalir ke vena hepatika lalu masuk vena cava. Empedu juga disekresi ke dalam canaliculi diantara hepatosit yang selanjutnya mengalir menuju saluran empedu (bile duct) di daerah perifer dimana terletak vena porta dan arteri hepatika. Saluran empedu, vena porta dan arteri hepatika membentuk struktur yang bernama portal triad (Gambar 4). Sel hati akan terpapar oleh aliran darah dari vena porta dan dari sisi lain oleh empedu. Diantara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang dinamakan sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Sinusoid vena terdiri atas dua tipe sel yaitu sel endotel dan sel Kupffer. Sel endotel merupakan sel pipih memanjang yang berfungsi menyaring molekul pada darah seperti glikoprotein dan secara langsung berkontak dengan hepatosit. Sel kuppfer merupakan sistem reticuloendothelial yang memiliki kemampuan untuk memfagosit mikrobakteria dan material asing dalam darah. Sel ini mempunyai inti yang besar dan pucat serta sitoplasma yang lebih banyak dengan cabang yang meluas atau melintang di dalam sinusoid hati (Kanel dan Korula 1992). Garis endothel memiliki pori yang sangat besar mencapai diameter 1 mikron. Hal ini menyebabkan adanya pertukaran substansi yang bebas dari plasma dengan cairan di sekeliling sel hati (Guyton 2006).
10
Gambar 3 Skema Hati (Cummings 2004).
Vena porta
Arteri hepatika
Duktus empedu
Gambar 4 Daerah Porta Hati Tikus dengan Pewarnaan HE, perbesaran 20x (Anonim 2012). Fungsi Hati Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh yang memiliki beberapa fungsi dasar yaitu: pembentukan empedu, penyimpanan dan pelepasan karbohidrat, pembentukan urea, pembuatan protein plasma, berhubungan dengan metabolisme lemak, inaktivasi sejumlah hormon polipeptida, pengurangan dan konjugasi
hormon
korteks
adrenal
dan
steroid
gonads,
sintesis
hidroksikolekalsiferol, detoksikasi banyak obat dan toksin (Ganong 1995).
25-
11
Hati sebagaimana fungsinya sebagai organ detoksikasi, maka berperan penting dalam menyaring zat toksik maupun benda asing yang masuk melalui darah (Guyton 2006). Patologi Sel Secara garis besar, proses patologi adalah peradangan dan penyembuhan. Proses peradangan merupakan respon terhadap perlukaan jaringan yang berguna untuk menghancurkan agen patologis. Karakteristik peradangan sel dapat berupa akumulasi eksudat purulen (neutrophils) dan granulomatous (monosit dan makrofag). Proses penyembuhan pada jaringan dapat berupa angiogenesis, fibrosis, dan regenerasi. Apabila proses ini tidak dapat berlangsung, maka terjadi nekrosa yaitu kematian jaringan (Cheville 2006). Kelainan morfologi secara fisiologis maupun patofisiologis dapat ditemukan sebagai perubahan pada sel. Perubahan tersebut terdiri dari dua tipe, yaitu : 1. Kerusakan sel yang masih dapat pulih kembali (Reversible cellular injury), yaitu kemampuan dimana sel dapat beradaptasi dan kembali pada fungsi normalnya (McGavin dan Zachary 2007). 2. Kerusakan sel yang tidak dapat pulih kembali (Irreversible cellular injury).
Tipe
ini
disebabkan
oleh
kerusakan
membran plasma,
pembengkakan lisosom, kehilangan DNA, kalsium masuk ke dalam sel, mitokondria bengkak dan bervakuol, serta amorphous densitas dalam mitokondria (Kemp et al. 2008; McGavin dan Zachary 2007). Pada keadaan ini, kerusakan tidak dapat dipulihkan. Dua faktor penting yang berperan pada kerusakan yang ireversibel adalah gangguan membran dan disfungsi mitokondria. Terdapat dua jenis kematian sel yang merupakan bentuk kerusakan sel ireversibel. Kedua jenis tersebut adalah apoptosis dan nekrosis. Apoptosis adalah kematian terprogram dari sel sebagai respon terhadap kerusakan DNA atau saat pertumbuhan dan perkembangan. Nekrosis adalah kematian yang tidak terkontrol akibat respon dari kerusakan sel (Kemp et al. 2008). Dua tipe utama dari nekrosis adalah nekrosa koagulatif yaitu tipe nekrosa dimana kerusakan protein lebih banyak daripada kerusakan enzim. Gambaran mikroskopis yang khas dari tipe ini adalah meningkatnya warna merah
12
(eosinophilia) pada sitoplasma dan menurunnya warna biru (basophilia) pada nukleus. Tipe ini dapat ditemukan pada organ yang memiliki kandungan lemak yang tinggi seperti otak dan biasa diikuti dengan nekrosa liquefaktif. Tipe kedua adalah nekrosa liquefaktif yaitu pada kondisi dimana kerusakan enzim lebih tinggi daripada kerusakan protein. Sel akan kehilangan bentuknya, kemudian makrofag akan memakan jaringan yang mati. Tipe ini biasa terjadi pada organ yang tinggi lemak dan rendah protein seperti otak atau organ dengan kadar enzim tinggi seperti pankreas. Nekrosa lemak merupakan perubahan dari jaringan adiposa karena trauma ataupun kekurangan enzim dari organ seperti pankreas. Kedua sebab ini dapat mengakibatkan rusaknya lemak dan pengeluaran asam lemak yang dapat dikombinasikan dengan kalsium (chalky deposit) (Kemp et al. 2008) Patologi Sel Hati Sebagai organ detoksikasi, hati memiliki peranan penting dalam menjaga kestabilan metabolisme tubuh. Paparan vaksin dapat berpengaruh pada hati karena vaksin akan masuk aliran darah dan mengalami proses metabolisme di hati. Toksik atau tidaknya vaksin, dapat diamati dari penampakan hati, baik secara anatomi maupun histopatologi. Perubahan patologi pada sel hati secara histopatologi dapat berupa: 1. Sel radang Saat mulai adanya peradangan, maka pembuluh kapiler menjadi abnormal dan endotel melemah. Sel endotel akan mengaktifkan prostaglandin sebagai vasodilatator, cytokine sebagai media pemanggil leukosit, dan faktor prokoagulasi. Jaringan perivaskular akan memicu keluarnya mediator peradangan seperti histamin, heparin, serotonin dan leukotrin. Selanjutnya aliran darah akan meningkat pada area yang mengalami peradangan. Dari kondisi inilah sel radang (leukosit) dan cairan masuk ke dalam jaringan karena endotel yang longgar (Cheville 2006). Sel radang yang hadir dapat menjadi indikator peradangan pada suatu jaringan. 2. Akumulasi sel
13
a. Macrovesicular steatosis: satu vakuol lemak besar di dalam sel hati. Hal ini biasa dikaitkan dengan penggunaan alkohol berlebih, obesitas dan diabetes melitus. b. Microvesicular steatosis: banyak vakuol kecil di dalam sel hati. Hal ini ada hubungannya dengan acute fatty liver karena kehamilan, Reye syndrome (pada anak dengan penyakit viral yang diobati aspirin), alkohol, dan obat-obatan seperti tetracycline (Kemp et al. 2008). 3. Degenerasi hidropis merupakan bentukan akut dari kebengkakan sel karena masuknya air ke dalam sitoplasma. Enzim protease mengaktifkan proses proteolisis yang membuat sitoplasma menjadi jernih (Cheville 2006). Dalam jumlah besar, bentukan ini merupakan salah satu indikator terpaparnya sel hati oleh zat toksik. 4. Kelainan pada perenkim dapat berupa atropi dan hyperplasia serta kelainan reversibel lainnya. a. Atropi hepatik baik lokal maupun tersebar merupakan akibat dari berkurangnya aliran vena porta atau tekanan pada sinusoid. Dengan adanya atropi, maka area lainnya akan meluas (regenerative hyperplasia) dan meningkatkan volume hati. b. Reversible hepatocellular biasa berkaitan dengan degenerasi hidropis, glycogen storage dan steatosis atau lipidosis dari sel hati (Dijk et al. 2007). 5. Kematian sel (nekrosa dan apoptosis) (Kemp et al. 2008). Tinjauan tentang Ginjal Anatomi Ginjal Ginjal memiliki banyak bentuk dan ukuran pada hewan. Karnivora dan ruminansia kecil memiliki bentuk menyerupai kacang dan permukaan yang halus. Setiap ginjal membentuk hilum, yaitu area dimana ureter meninggalkan ginjal dan sebagian besar darah dan pembuluh limpa serta nervus dapat keluar masuk. Ginjal memiliki kapsula tipis serta jaringan ikat yang terdiri dari kolagen, serat elastik, dan sel otot polos. Letak ginjal yang berada di superior dari retroperitoneum membuat strukturnya dibatasi oleh smooth serosal mesothelium. Ginjal juga
14
diselubungi jaringan adiposa (lemak perirenal) yang menutup batas ventral dan berada di regio hilum (Samuelson 2007). Histologi Ginjal Ginjal terdiri dari bagian korteks yang berwarna coklat kemerahan gelap dan area medulla yang lebih terang. Pada semua hewan domestik korteks terletak di sebelah luar medulla (Samuelson 2007). Setiap ginjal terdiri dari satu hingga dua juta nephron yang merupakan unit fungsional dari ginjal. Setiap nephron mencakup glomerulus, tubulus proksimal, tubulus distal, connecting segment dan duktus kolektifus (Gambar 5) (Lennan dan Cheng 2011). Cara kerja ginjal dalam membentuk urin adalah sebagai berikut : darah masuk dalam glomerulus dari nefron melalui afferent arteriole dan selanjutnya meninggalkan glomerulus melewati efferent arteriole. Glomerulus adalah jaringan dari 50 kapiler paralel yang dibungkus oleh capsula Bowman’s yang berfungsi sebagai filter cairan. Setelah darah melewati efferent arteriole dari glomerulus, kebanyakan dari darah tersebut mengalir melalui peritubular capillary network di sekitar tubulus nefron dan akhirnya kembali ke vena. Cairan yang terfiltrasi melalui glomerulus kemudian melewati proximal tubule, masuk segmen tipis yang disebut lengkung Henle, kemudian masuk distal tubuli dan terakhir dikumpulkan dalam tubulus kolektifus. Air yang melalui tubulus sebagian besar diserap kembali oleh peritubular capiller, adapun air dan materi yang tidak diserap kembali akan diekskresikan sebagai urin (Guyton 2006).
Tubulus
Glomerulus
Gambar 5 Glomerulus normal dikelilingi oleh tubulus (Lennan and Cheng 2011).
15
Fungsi Ginjal Ginjal pada hewan dan manusia memiliki dua fungsi utama, yang pertama untuk mengekskresi hasil akhir dari proses metabolisme tubuh, dan yang kedua mengontrol konsentrasi dari seluruh cairan tubuh. Setiap ginjal terdiri dari 1.000.000 nefron, dengan tiap nefron memiliki kemampuan untuk membentuk urin (Guyton 2006). Sebagai organ yang menjaga kestabilan cairan dan asam basa tubuh, maka ginjal berperan pula sebagai organ yang mendeteksi toksisitas dalam tubuh selain hati. Zat-zat asing yang masuk dalam peredaran darah, seluruhnya akan difiltrasi oleh ginjal dalam gomerulus dan direabsorbsi melalui tubulus ginjal. Hal ini membuat ginjal mudah mengalami gangguan apabila ada zat toksik yang masuk ke dalam tubuh. Ginjal menjadi salah satu parameter penting untuk mengetahui berbahaya atau tidaknya suatu zat/ vaksin yang diujikan pada hewan coba. Tabel 1 Fungsi Tiap Segmen Ginjal (Cunningham 2002) Struktur Fungsi Glomerulus Filtrasi darah Tubulus proksimal Bagian penting dalam mengabsorbsi cairan yang telah terfiltrasi Bagian tipis dari lengkung Henle’s Menjaga keseimbangan hipertonisistas dengan cara pertukaran cuntercurrent Bagian tebal dari lengkung Henle’s Reabsorbsi Na+, K+, Cl-, divalent ascendens kation, mengurangi cairan tubulus Tubulus distal Reabsorbsi NaCl dan kation divalent, mengurangi cairan tubulus Duktus kolektifus Kontrol akhir pengeluaran elektrolit, urea, acid-base, dan air Patologi Ginjal Respon terhadap peradangan pada ginjal biasanya dimulai dengan infiltrasi makrofag, proliferasi fibroblas, deposisi ECM (extra cellular matrix) dan terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu fase induksi, dimana sel epitel tubulus mengeluarkan Chemokine sehingga menyebabkan infiltrasi sel mononuklear (leukosit) dan mengeluarkan
pro-fibrogenetic cytokines untuk mengaktifkan
proliferasi fibroblasts. Tahap kedua adalah Matrix synthesis yang terus-menerus mengeluarkan dan mendeposisi pro-fibrogenetic cytokines. Tahap ketiga adalah Post-inflammatory phase yaitu penghentian stimulus inflamatori, memulai
16
proliferasi myofibroblasts dan terjadi transformasi Epithelial-mesenchymal (Ahsan dan Cheung 2003). Hadirnya agen asing akan menimbulkan perubahan yang dapat mengarah pada kematian sel. Perubahan sub letal ini dinamakan degenerasi yang merupakan akibat dari gangguan metabolisme. Lesio degeneratif pada ginjal meliputi lesio pada tenunan tubuli (tubulonephrosis) dan glomerulus (glomerulopathy). Kedua gangguan ini dapat disebabkan oleh kondisi septicemia, intoksikasi (nephrotoxic tubular necrosis), anoxemia (ischemic necrosis) dan peningkatan deposisi abnormal seperti concrements, protein, pigmen, atau lemak (Dijk et al. 2007). Beberapa parameter dapat diamati untuk mengetahui ada atau tidaknya kerusakan pada ginjal melalui dua aspek bagian ginjal tersebut. 1. Glomerulus a. Sel radang Hadirnya sel mononuklear (leukosit) dalam proses inflamasi (Ahsan dan Cheung 2003). Sel radang dalam jumlah melebihi normal di dalam glomerulus menunjukkan telah terjadi peradangan yang akut. Bila ditemukan dalam jumlah besar, dapat diindikasikan bahwa darah yang disaring ginjal mengandung agen berbahaya yang dapat mengganggu metabolisme ginjal. b. Jarak kapsula Bowman-glomerulus Glomerulus dibungkus oleh lapisan sel epitel yang disebut kapsula Bowman’s. Area diantara glomerulus kapsula Bowman’s disebut sebagai Bowman’s space dan merupakan tempat pengumpulan filtrat glomerulus yang selanjutnya akan disalurkan pada segmen pertama dari tubulus proksimal (Cunningham 2002). Cairan yang terfiltrasi oleh glomerulus dan kemudian masuk dalam Capsular space/ Bowmans space disebut glomerular filtrate dan terdiri dari air, garam, ion, glukosa dan albumin (McGavin dan Zachary 2007). Jarak kapsula Bowman-glomerulus
mengindikasikan
adanya
asosiasi
antara
penurunan kemampuan filtrasi glomerulus dengan perluasan lumen glomerulus, dimana lumen tubulus juga terisi oleh protein. Hal ini biasanya berkaitan dengan kasus imun kompleks glomerulonefritis
17
(Dijk et al. 2007). Semakin sempit jarak antara kapsula Bowmanglomerulus, maka kemampuan filtrasi akan menurun karena darah hasil fitrasi tidak dapat keluar melalui Bowman’s space, sehingga terjadi
gangguan
dalam
penyerapan
cairan
ginjal.
Semakin
menyempitnya jarak kapsula Bowman-glomerulus ini bisa disebabkan dua hal, membesarnya glomerulus, atau menyempitnya kapsula Bowman dan
bisa
pula
kombinasi
keduanya.
Vaksin
yang
mengandung agen berbahaya dapat menyebabkan peradangan pada glomerulus sehingga dapat mengganggu proses filtrasi tersebut. 2. Tubulus Perubahan pada tubulus dapat berupa degenerasi yaitu perubahan morfologi dan fungsi sel. Beberapa degenerasi spesifik intaseluler yang dapat terjadi di dalam sel adalah degenerasi hidropis, degenerasi lemak, degenerasi glikogen, dan badan inklusi. Perubahan yang dapat terjadi bervariasi, namun biasanya basofilik fragmen dapat disebabkan karena bakteri, protozoa dan deposit kalsium. Menurut McGavin dan Zachary 2007, histomorfologi dari nukleus dapat dibagi menjadi : a. Pyknosis yaitu keadaan dimana nukleus mengecil, gelap, homogen, dan bulat. Pyknosis bisa merupakan akibat dari gumpalan kromatin pada awal degenerasi. Kondisi ini biasa terjadi pada tubulus distal ginjal. b. Karryorhexis yaitu keadaan dimana pembungkus nukleus ruptur dan fragmen nukleus keluar ke sitoplasma. c. Karyolisis dimana nukleus menjadi pucat akibat terputusnya kromatin pada DNA dan RNA. Kondisi ini biasa terjadi pada sel epitel dari tubulus proksimal ginjal. d. Absence of nucleus yaitu tahap lanjutan dari karyolisis dimana nuleus benar-benar menghilang.