4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Domba memiliki nama ilmiah Ovis aries. Secara klasifikasi ilmiah, domba masuk dalam kerajaan animalia, filum chordata, kelas mamalia, dan ordo artiodactyla. Selanjutnya, domba masuk di dalam subfamili caprinae, genus Ovis dan memiliki nama ilmiah Ovis aries (Purbowati 2009). Gambar domba disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Domba atau Ovis aries (Anonim 1999)
Salah satu faktor yang mempengaruhi sifat yang dimiliki domba ialah bangsa domba. Pengetahuan tentang bangsa-bangsa domba dapat digunakan untuk mengenali sifat dan karakteristik pada domba. Domba yang ada sekarang merupakan hasil domestikasi manusia. Domba diperkirakan diturunkan dari 3 jenis domba liar, yaitu Mouflon (Ovis musimon) yang berasal dari Eropa Selatan dan Asia Kecil, Argali (Ovis amon) berasal dari Asia Tenggara, dan Urial (Ovis vignei) yang berasal dari Asia (Anonim 2009). Bangsa-bangsa domba yang tersebar di Indonesia terdiri atas beberapa jenis di antaranya domba priangan, domba ekor gemuk, dan domba ekor tipis. Domba lokal merupakan domba yang berasal dari Indonesia dan tersebar hampir di seluaruh wilayah Indonesia. Domba priangan dikenal juga sebagai domba garut dan berasal dari Indonesia. Domba garut banyak terdapat di Jawa Barat. Domba
5
ekor gemuk merupakan domba yang berasal dari Indonesia bagian timur, seperti Madura, Sulawesi, dan Lombok. Domba ekor tipis banyak ditemukan di Jawa Barat. Domba lokal merupakan domba asli Indonesia. Domba ini kurang produktif bila dibandingkan dengan jenis domba yang lain karena jumlah karkas yang dihasilkan sangat rendah. Domba jenis ini banyak diusahakan oleh masyarakat di pedesaan. Ciri-ciri domba ini di antaranya ialah ukuran badannya kecil, pertumbuhannya lambat, bobot badan domba jantan berkisar 30 sampai dengan 40 kg, sedangkan betina berkisar 15 sampai dengan 20 kg, warna rambut dan polanya sangat beragam, telinganya kecil dan pendek, domba betina tidak bertanduk, sedangkan yang jantan bertanduk, dan ekornya kecil serta pendek (Cahyono 1998).
2.2. Sinkronisasi Estrus pada Domba Sinkronisasi estrus atau penyerentakan berahi dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama ialah dengan mengeluarkan korpus luteum atau menjadikannya tidak berfungsi sehingga hewan tersebut memasuki fase folikuler dari siklus berahinya. Cara kedua adalah dengan menekan perkembangan folikel ovarium selama fase luteal (Hunter 1995). Penghilangan korpus luteum dapat dilakukan dengan memberikan preparat hormon yang bersifat luteolisis. Hormon tersebut ialah PGF2α atau analognya. Hormon PGF2α akan membuat korpus luteum yang ada di ovarium mengalami regresi setelah dilakukan injeksi. Sementara itu, penekanan perkembangan folikel ovarium dapat diberikan dengan memberikan preparat hormon progesteron atau progestin sintetik. Pemberian preparat progesteron atau progestin sintetik akan menekan aktivitas ovarium dalam waktu yang singkat sehingga tetap dalam fase luteal (Donald dan Leslie 1980). Penyerentakan berahi domba dilakukan dengan memberikan injeksi hormon PGF2α. Pemberian injeksi ini harus dilakukan pada fase luteal, yaitu ketika ovarium domba sedang memiliki korpus luteum. Selain itu, injeksi hormon ini dilakukan ketika korpus luteum tersebut telah memasuki masa responsif terhadap PGF2α. Korpus luteum telah menjadi responsif terhadap PGF2α ketika
6
minimal telah berumur tiga hari atau kira-kira hari keempat siklus berahinya. Oleh karena itu, injeksi PGF2α dapat dilakukan pada hari ke 5-16 dari siklus berahinya (Donald dan Leslie 1980). Namun, jika penyerentakan berahi dilakukan pada sekelompok hewan maka teknik manajemen yang dilakukan ialah dengan injeksi PGF2α sebanyak dua kali. Injeksi PGF2α yang kedua berjarak 8 atau 9 hari dari injeksi yang pertama (Hunter 1995). Menurut Donald dan Leslie (1980), injeksi PGF2α juga dapat dilakukan dengan rentang waktu antara 10-12 hari setelah injeksi yang pertama. Regresi korpus luteum atau luteolisis akan cepat terjadi setelah dilakukan injeksi PGF2α. Hewan akan menjadi berahi maksimal dalam 72 jam setelah injeksi PGF2α dilakukan. Rentang waktu terjadinya berahi biasanya dalam kisaran antara 29-48 jam setelah injeksi PGF2α (Hunter 1995). Hormon PGF2α yang mempunyai sifat luteolisis menyebabkan regresi korpus luteum dengan cara mempengaruhi kerja LH terhadap korpus luteum dan meningkatkan jumlah sekresi oksitosin oleh ovarium. Setelah itu, ovarium akan kembali ke siklus berikutnya dengan perkembangan folikelnya yang baru (James 2003).
2.3. Superovulasi pada Domba Superovulasi merupakan suatu teknik untuk merangsang pembentukan folikel dalam ovarium melebihi kemampuan alamiahnya. Melalui superovulasi, jumlah folikel yang tumbuh dan matang lebih cepat akan meningkat. Teknik superovulasi dilakukan dengan menggunakan hormon gonadotropin. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan superovulasi di antaranya jumlah pemberian dosis, preparat hormon yang digunakan, preparat tambahan yang digunakan, dan prosedur pelaksanaan. Aplikasi teknik superovulasi yang dilakukan pada domba memberikan hasil yang sangat bervariasi (Gordon 2005). Salah satu faktor lain yang mempengaruhi respons superovulasi ialah kondisi awal ovarium. Kondisi awal ovarium yang berbeda akan memberikan respons yang berbeda terhadap jumlah populasi folikel yang akan berkembang selama perlakuan superovulasi. Pada kondisi awal dengan ovarium yang telah memiliki beberapa folikel yang telah berkembang sebelumnya, memberikan respons superovulasi yang lebih baik (Lopez et a.l 2005). Respons superovulasi
7
juga dapat ditingkatkan dengan mengubah teknik superovulasi itu sendiri. Penggunaan metode berupa stimulasi superovulasi yang berulang akan memberikan hasil yang lebih baik (Cueto et al. 2010). Jenis gonadotropin yang sering dipakai dalam penerapan teknik superovulasi ialah FSH dan PMSG. Pemakaian FSH dalam teknik superovulasi mempunyai respons yang sangat baik namun waktu paruh biologinya singkat, yaitu kurang lebih 2 sampai dengan 5 jam sehingga penyuntikan perlu dilakukan berulang kali (Hafez 2000). Hormon FSH dapat diperoleh dari ekstraksi pituitari ataupun dari sintetis secara buatan. Salah satu contoh gondadotropin sintetis ialah analog human hFSH. Hormon analog tersebut memiliki potensi yang mirip dengan FSH ketika diaplikasikan pada domba (Lemke 2008). Hormon PMSG merupakan hormon yang dihasilkan oleh plasenta yang mempunyai aktivitas mirip dengan FSH dan LH. Hormon PMSG mencapai kadar tertinggi dalam darah antara hari ke-60 sampai dengan 90 dari masa kebuntingan dan diperkirakan hormon ini merangsang pembentukan korpus luteum tambahan atau folikel berlutein yang diperlukan untuk mempertahankan kebuntingan (Hunter 1995). Beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh PMSG di antaranya merangsang pertumbuhan folikel, menunjang produksi estrogen, merangsang ovulasi, dan luteinisasi. Pemberian PMSG dalam dosis tunggal secara intramuskular sudah cukup untuk merangsang timbulnya ovulasi. Penggunaan PMSG menimbulkan respons yang sangat bervariasi, yaitu dari tidak memberi respons hingga respons yang berlebihan. Pemberian PMSG yang tidak disertai dengan pemberian hormon lain harus diberikan pada awal fase luteal, yaitu hari ke-16 siklus estrus untuk domba (Hunter 1995). Gonadotropin eksogen berupa PMSG yang diaplikasikan dalam teknik superovulasi akan memberikan aktivitas biologi yang menyerupai FSH dan LH. Hormon
PMSG
akan
berperan
dalam
merangsang
pertumbuhan
dan
perkembangan folikel ovarium, pematangan folikel tersebut, dan pembentukan hormon estrogen. Pembentukan estrogen tersebut akan meningkatkan konsentrasi estrogen di dalam darah. Kadar estrogen yang tinggi di dalam darah digunakan untuk pertumbuhan, perkembangan, dan pematangan folikel. Selain itu, tingginya
8
kadar estrogen dalam darah akan memberikan sinyal untuk menghentikan sekresi hormon gonadotropin oleh hipotalamus dan hipofise anterior. Kadar estrogen yang berada di atas ambang akan menekan pelepasan FSH oleh hipotalamus dan selanjutnya meningkatkan sekresi LH untuk merangsang proses ovulasi. Pada saat terjadi ovulasi, sel-sel granulosa akan memproduksi inhibin yang berfungsi untuk mengahambat produksi FSH (Hernawan 2003). Pada kasus superovulasi, produksi hormon estrogen hanya dirangsang oleh hormon gonadotropin eksogen. Pemberian LH eksogen tidak diperlukan untuk menginduksi terjadinya ovulasi karena lonjakan pelepasan LH endogen akan terjadi secara otomatis akibat superovulasi. Ovulasi merupakan pelepasan sel telur dari folikel yang telah matang. Ovulasi dapat terjadi jika ada sekresi LH secara mendadak dan dalam waktu yang cepat oleh hipofise anterior (Frandson et al. 2009). Pada beberapa spesies hewan tetap diperlukan adanya injeksi LH eksogen setelah pemberian PMSG. Injeksi LH eksogen diperlukan untuk menginduksi ovulasi dari beberapa folikel
yang telah berkembang sebelumnya (Donald dan
Leslie 1980). Induksi ovulasi dapat dilakukan dengan melakukan injeksi tunggal LH dalam bentuk hCG atau fraksi hipofise yang kaya akan aktivitas LH. Pemberian preparat hormon tersebut dilakukan dengan injeksi intravena atau intramuskular. Waktu pemberian injeksi hormon dilakukan menjelang munculnya berahi, yaitu ketika terdapat folikel yang matang. Injeksi LH atau hCG harus dilakukan sebelum terjadi perbanyakan sekresi gonadotropin endogen. Jika injeksi LH atau hCG dilakukan terlalu cepat, yaitu ketika folikel belum matang, maka akan muncul efek lain pada hewan. Efek tersebut di antaranya hewan tidak berahi, terjadi ovulasi oosit primer, atau bahkan tidak terjadi ovulasi meskipun luteinisasi folikel dapat dimulai (Hunter 1995). Prosedur superovulasi pada domba biasanya dilakukan dengan injeksi PMSG. Injeksi dilakukan pada akhir fase luteal siklus berahi, yaitu sekitar hari ke12 atau 13. Injeksi PMSG juga dapat dilakukan setelah injeksi progesteron yang digunakan untuk sinkronisasi estrus. Prosedur tersebut bertujuan agar ukuran populasi folikel yang matang lebih homogen sebelum dimulainya perangsangan dengan gonadotropin eksogenous. Pemberian PMSG juga dapat dilakukan pada
9
fase luteal yaitu beberapa saat menjelang injeksi tunggal preparat luteolisis (Hunter 1995). Menurut James (2003) induksi superovulasi menggunakan injeksi PMSG juga dapat mulai diberikan pada pertengahan siklus estrus. Pemberian induksi superovulasi ditujukan untuk meningkatkan jumlah folikel yang matang yang akan tumbuh menjadi folikel dominan dan untuk mengurangi jumlah folikel yang mengalami regresi. Masing-masing folikel yang mencapai tahap folikel dominan akan melepaskan satu sel telur. Pada kondisi konsepsi, lokasi pelepasan sel telur tadi akan berkembang menjadi korpus luteum. Korpus luteum akan menghasilkan progesteron yang berfungsi menjaga kebuntingan. Konsentrasi progesteron yang ada di dalam darah dapat digunakan untuk mengetahui jumlah embrio yang sedang berkembang. Semakin tinggi kadar progesteron dalam darah, maka jumlah embrio yang sedang berkembang semakin banyak. Namun, kadar progesteron di dalam darah tidak dapat menjadi ukuran untuk menentukan jumlah korpus luteum yang terbentuk (Amiridis et al. 2002).
2.4. Permasalahan Superovulasi Penerapan teknik superovulasi memiliki peranan penting dalam usaha meningkatkan efisiensi reproduksi ternak, akan tetapi memiliki berbagai kendala dalam aplikasinya. Penerapan superovulasi masih terbatas dilakukan pada ternak sapi sedangkan pada domba masih jarang dilakukan. Tujuan utama dilakukan superovulasi pada sapi ialah untuk mendapatkan embrio dengan kualitas baik dan jumlah yang lebih banyak melalui inseminasi buatan dengan pejantan unggul. Selanjutnya, embrio dalam jumlah banyak hasil superovulasi tersebut dapat dipanen untuk kemudian dilakukan transfer embrio. Pada domba, penerapan superovulasi untuk tujuan tersebut tidak dilakukan karena dianggap tidak efektif. Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan superovulasi ialah respons individu terhadap hormon yang diberikan dan waktu pemberian hormon tersebut. Pemberian preparat hormon untuk superovulasi memberikan pengaruh yang sangat bervariasi antarindividu. Selain itu, waktu pemberian preparat hormon juga sangat berpengaruh pada respons perkembangan folikel ovarium. Pemberian preparat hormon superovulasi akan memberikan hasil terbaik
10
ketika ternak sedang berada pada fase folikuler, terutama pada periode munculnya gelombang folikuler. Pada teori sebelumnya, gelombang folikel diperkirakan terjadi pada pertengahan siklus berahi yang sekaligus pertengahan fase luteal sehingga diyakini pada saat tersebutlah waktu yang tepat untuk melakukan program superovulasi. Namun, perlakuan tersebut hanya memberikan hasil yang tidak pasti. Saat ini diketahui bahwa gelombang folikuler tidak terjadi satu kali saja. Gelombang folikuler terjadi bergantung pada fertilitas individu masingmasing sehingga dimungkinkan terjadi satu hingga tiga gelombang folikuler dalam satu siklus berahi (Sumaryadi 1997). Permasalahan lain yang muncul ketika pelaksanaan program superovulasi ialah tingginya tingkat stres induk. Stres induk tersebut disebabkan oleh tingginya beban metabolisme yang ditanggung dengan banyaknya jumlah fetus yang ada dalam uterus. Selain itu, peningkatan perkembangan folikel akibat superovulasi akan meningkatkan sekresi hormon endogen. Peningkatan sekresi hormonhormon endogen akan berpengaruh juga pada peningkatan beban metabolisme induk. Dengan demikian, suatu metode perlu diaplikasikan untuk mengurangi stres metabolisme akibat peningkatan beban metabolisme pada induk yang disuperovulasi. Salah satu penanganan yang dapat dilakukan ialah dengan memberikan ekstrak dari tanaman berkhasiat yang diharapkan mampu meningkatkan performans induk yang disuperovulasi.
2.5. Darah Darah merupakan cairan tubuh yang terdapat di luar sel dan termasuk bagian dari sistem sirkulasi. Darah dialirkan ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah yang ada di seluruh tubuh. Darah terdiri atas plasma dan sel-sel darah. Selsel darah terdiri atas sel darah merah atau eritrosit, sel darah putih atau leukosit, dan keping darah atau trombosit. Jumlah leukosit relatif sangat sedikit, yaitu 2 permil dari jumlah eritrosit. Bagian darah yang mempunyai fungsi penting dalam proses pembekuan darah adalah trombosit (Poedjiadi 2006). Menurut Seiverd (1964) untuk setiap 500 eritrosit terdapat 30 trombosit dan hanya terdapat satu leukosit.
11
Darah yang diberi antikoagulan dan kemudian disentrifugasi akan memisahkan bagian darah berdasarkan bobotnya. Sel-sel darah akan mengendap sedangkan plasma darah akan berada di atasnya. Pada darah normal, sel-sel darah akan menempati 0,45 bagian dari volume keseluruhan. Bagian ini disebut hematokrit atau jika dalam unit internasional disebut VPRC (Volume of Packed Red Cells). Bobot jenis darah bervariasi antara 1,045-1,060 sedangkan bobot jenis plasma darah antara 1,024-1,028. Viskositas atau derajat kekentalan darah kirakira 4,5 kali viskositas air. Bagian cair dari darah disebut plasma darah. Plasma darah mengandung sekitar 90% air. Peranan air dalam darah sangat besar. Air yang terkandung dalam plasma berfungsi sebagai pelarut zat-zat, menjaga tekanan darah, menjaga kondisi osmotik, dan pengaturan panas. Air mempunyai kalor jenis yang tinggi, konduktivitas panas yang tinggi, dan kalor penguapan laten yang tinggi pula. Sifat air tersebut sangat menguntungkan dalam hal pengaturan panas (Poedjiadi 2006). Salah satu zat terbanyak yang terdapat dalam plasma ialah protein. Kadar protein plasma kira-kira 6 sampai dengan 8% dari plasma. Beberapa protein yang terkandung dalam plasma di antaranya fibrinogen, albumin, dan globulin. Fibrinogen adalah suatu protein yang dapat berubah menjadi fibrin dan menyebabkan terjadinya penggumpalan darah apabila terjadi perlukaan. Fibrinogen memiliki sifat seperti globulin namun berbeda pada beberapa reaksi pengendapan. Fibrinogen dibentuk dalam hati. Pada keadaan peradangan dan kebuntingan, jumlah fibrinogen dalam plasma meningkat. Albumin dan globulin merupakan bagian besar protein yang terdapat dalam plasma. Kedua jenis protein ini berfungsi sebagai zat yang menentukan besarnya tekanan osmosis (Poedjiadi 2006). Fraksi sel darah merah dalam darah disebut dengan hematokrit. Nilai hematokrit menunjukkan kemampuan darah dalam membawa oksigen. Nilai hematokrit berkisar antara 40-50%, menunjukkan bahwa di dalam darah sudah terdapat hemoglobin dengan jumlah yang cukup untuk pengangkutan oksigen ke jaringan. Di dalam sel darah merah terdapat protein berpigmen yang disebut dengan hemoglobin. Fungsi utama hemoglobin ialah untuk mengangkut oksigen dan karbon dioksida dalam darah (Cunningham 1997).
12
2.6. Sel Darah Merah Sel darah merah atau eritrosit dibentuk di dalam sumsum tulang. Hemoglobin merupakan zat padat dalam eritrosit yang menyebabkan warna merah pada eritrosit. Eritrosit kurang mengandung air dibandingkan dengan sel-sel lain dalam jaringan. Di dalam eritrosit terdapat lipid, protein, dan enzim. Lipid yang terdapat di dalam eritrosit di antaranya kolesterol, lesitin, dan sefalin. Protein yang terdapat di dalam eritrosit ialah stromatin, lipoprotein, dan elimin. Beberapa enzim yang terdapat di dalam eritrosit di antaranya karbonat anhidrase, peptidase, kolinesterase, dan enzim-enzim dalam sistem glikolisis. Molekul ATP dan ADP merupakan bagian yang penting di dalam eritrosit. Urea, asam amino, kreatinin, dan glukosa adalah zat organik yang larut di dalam eritrosit. Konsentrasi glukosa dalam plasma sama dengan konsentrasi glukosa dalam eritrosit (Poedjiadi 2006). Gambar dari bentuk sel darah merah disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Bentuk sel darah merah (Anonim 2008)
Komposisi elektrolit dalam sel darah merah secara kualitatif sama dengan plasma, namun secara kuantitatif terdapat sedikit perbedaan. Tekanan osmosis dalam sel sama dengan tekanan osmosis pada plasma, yaitu senilai dengan tekanan osmosis larutan 0,9% NaCl dalam air. Perubahan tekanan osmosis yang terjadi pada larutan di luar eritrosit akan berpengaruh pada besarnya sel. Larutan yang bersifat hipotonik menyebabkan air masuk ke dalam sel sehingga ukuran sel membesar. Kondisi sel yang terus membesar dapat mengakibatkan pecahnya sel sehingga hemoglobin keluar dari sel. Proses pecahnya sel darah merah tersebut disebut hemolisis. Pada kondisi sebaliknya, yaitu lingkungan yang hipertonik
13
maka air dari dalam sel akan keluar. Ukuran sel menjadi kecil dan dikenal dengan istilah krenasi. Eritrosit dibentuk dalam sumsum tulang kemudian dilepaskan ke dalam sistem sirkulasi dan beredar ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah. Jumlah eritrosit dalam darah relatif konstan. Jumlah eritrosit yang konstan menunjukkan pembentukan eritrosit yang baru memiliki kecepatan yang sama dengan kecepatan rusaknya eritrosit yang lama. Sel darah merah dapat bertahan selama 120 sampai dengan125 hari dalam sirkulasi dan kemudian mengalami kerusakan. Sekitar 0,8% dari seluruh eritrosit mengalami kerusakan dan dibentuk setiap hari. Eritrosit
yang rusak menyebabkan hemoglobin keluar dari sel.
Hemoglobin tersebut akan mengeluarkan zat besi atau Fe yang terkandung di dalamnya. Fe yang telepas akan bergabung dengan transferin yang kemudian disimpan dan dapat digunakan lagi. Transferin merupakan suatu protein yang terdapat dalam plasma dan mampu mengikat Fe secara reversibel. Kemampuan tubuh untuk menyimpan Fe dan menggunakannya kembali sangat menguntungkan karena usus mempunyai kemampuan yang terbatas dalam melakukan penyerapan Fe yang terkandung dalam makanan. Kadar Fe dalam tubuh bergantung pada ukuran badan dan tingkat hemoglobin. Fe terdapat dalam hemoglobin, feritin, hemosiderin, dan sisanya dalam mioglobin. Kandungan Fe sedikit di dalam plasma dan cairan ekstraseluler. Fe yang terdapat dalam makanan diserap di semua jalur pencernaan makanan namun terbanyak adalah di duodenum. Zat besi diserap dalam bentuk Fe++ dan langsung masuk ke dalam sistem sirkulasi darah. Sebagian Fe akan tersimpan dalam sel hati, limpa, dan sumsum tulang sebagai feritin dan hemosiderin. Feritin merupakan protein yang larut dalam air yang terdiri atas apoferitin dan kompleks ferihidroksidafosfat. Kelebihan Fe yang tidak tertampung oleh feritin akan disimpan sebagai hemosiderin yang tidak larut dalam air. Pemasukan Fe yang terus menerus ke dalam tubuh menyebabkan tertimbunnya hemosiderin dalam hati dan dapat menyebabkan kerusakan hati dan jantung (Guyton dan Hall 1997). Hemoglobin yang rusak menyebabkan terbentuknya bilirubin. Bilirubin merupakan zat warna kuning yang membentuk kompleks dengan albumin dan dibawa ke hati. Di dalam hati, bilirubin akan diubah menjadi bilirubin
14
diglukoronida oleh enzim UDP-glukoronil transferase yang kemudian dibawa ke empedu. Bilirubin diglukoronida akan dikeluarkan bersama cairan empedu ke dalam usus. Di dalam usus glukoronida dipisahkan sedangkan bilirubin direduksi menjadi urobilinogen yang tidak berwarna. Sebagian urobilinogen diserap kembali dan dibawa ke hati. Sebagian besar urobilinogen dikeluarkan bersama feses setelah diubah menjadi urobilin melalui jalur oksidasi. Kondisi kelainan eritrosit berupa jumlahnya yang tidak mencapai normal disebut anemia. Anemia dapat disebabkan oleh berbagai hal. Pendarahan, baik akut maupun kronis, dapat menyebabkan kekurangan volume darah dalam tubuh sehingga menyebabkan anemia. Plasma darah dapat kembali dalam 24 jam dengan jalan mengambil cairan dari jaringan-jaringan. Sementara itu, dibutuhkan waktu beberapa minggu untuk mengembalikan jumlah sel darah merah yang hilang. Kekurangan Fe dalam tubuh dapat berakibat kurangnya jumlah hemoglobin yang secara tidak langsung
mempengaruhi konsentrasi eritrosit.
Anemia juga dapat terjadi karena sel darah merah yang mudah rusak. Rusaknya sel darah merah dapat terjadi karena rapuhnya membran sel. Produksi sel yang tidak dapat mengimbangi laju kerusakannya akan mengakibatkan kondisi anemia. Anemia terbagi dalam beberapa jenis sesuai dengan penyebabnya. Pernicious anemia terjadi karena kurangnya asam folat atau vitamin B12 yang menyebabkan produksi sel darah merah berkurang dan ukurannya membesar. Jenis anemia yang lain adalah anemia aplastik. Pada kondisi ini sumsum tulang sama sekali tidak mampu untuk memproduksi sel darah merah. Akibat dari anemia tersebut adalah kurangnya kemampuan darah dalam mengikat oksigen sehingga jaringan-jaringan yang memerlukan oksigen tidak dapat terpenuhi kebutuhannya. Akibat lain yang muncul adalah menurunnya viskositas darah yang pada akhirnya mempengaruhi kerja jantung. Kelainan darah berupa jumlah eritrosit di atas normal disebut dengan polisitemia.
Kondisi
ini
berlawanan
dengan
anemia.
Polisitemia
akan
menyebabkan kenaikan viskositas darah dan kemudian mempengaruhi kecepatan aliran darah terutama pada pembuluh darah kapiler. Pada kondisi selanjutnya, viskositas darah yang meningkat tersebut akan memberatkan kerja jantung (Guyton dan Hall 1997).
15
2.7. Profil Ekstrak Temulawak yang diberikan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan tanaman obat yang termasuk dalam suku temu-temuan. Menurut klasifikasi ilmiah, temulawak masuk ke dalam kerajaan Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, dan ordo Zingiberales. Selanjutnya, temulawak termasuk dalam famili Zingiberaceae, genus Curcuma, dan memiliki nama ilmiah Curcuma xanthorrhiza (Rukmana 1995). Gambar dari temulawak disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Temulawak atau Curcuma xanthorrhiza (Anonim 2010)
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) mempunyai kandungan utama protein, karbohidrat, dan minyak atsiri yang terdiri atas kamfer, glukosida, turmerol, dan kurkumin. Kurkumin mempunyai manfaat sebagai antiradang dan antihepatotoksik. Senyawa kurkumin memiliki sifat hepatoprotektif dan telah terbukti mampu memperbaiki fungsi hati yang sedang mengalami kerusakan (Marotta et al. 2003). Temulawak memiliki beberapa manfaat yang dapat digunakan sebagai obat. Manfaat tersebut di antaranya sebagai hepatoprotektor, menurunkan kadar kolesterol, antiradang, laksansia (pencahar), diuretikum, dan menghilangkan nyeri sendi. Manfaat lainnya ialah dapat meningkatkan nafsu makan, melancarkan ASI, dan melancarkan peredaran darah. Senyawa khusus yang telah berhasil diisolasi dari temulawak ialah xanthorizol. Senyawa ini mempunyai manfaat sebagai senyawa antibakteri alami. Beberapa jenis bakteri yang dapat dihambat pertumbuhannya oleh senyawa ini di antaranya Bacillus cereus, Clostridium perfingens, Listeria monocytogenes,
16
Staphylococcus aureus, Salmonella typhimurium, dan Vibrio parahaemolyticus (Lee et al. 2008). Senyawa xanthorizol yang dikenal dengan sesquiterpenoid alami juga berpotensi sebagai senyawa antimetastasis tumor. Xanthorizol mampu menghambat pembentukan nodul tumor pada jaringan paru-paru dan tumor pada intraabdominal (Choi et al. 2004). Beberapa jenis vitamin penting yang dibutuhkan oleh tubuh di antaranya vitamin A, vitamin B kompleks, dan vitamin D. Vitamin A memilki beberapa manfaat penting terkait dengan fungsi-fungsi reproduksi. Manfaat tersebut di antaranya ialah sebagai komponen untuk menjaga fungsi reproduksi normal, mempengaruhi perkembangan normal fungsi ovarium dan plasenta, serta mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan normal embrio. Vitamin B kompleks, yang terdiri atas vitamin B1, B2, B6, dan B12, memiliki arti penting sebagai kofaktor berbagai enzim di dalam tubuh. Melalui peran pentingnya sebagai kofaktor tersebut, vitamin B kompleks memiliki fungsi sebagai bahan yang berperan dalam aktivasi berbagai enzim sehingga proses metabolisme dapat berlangsung dengan baik. Vitamin D memiliki peran penting dalam proses penyerapan kalsium.
Ketercukupan vitamin D akan membantu
proses
metabolisme kalsium di dalam tubuh menjadi lebih optimal. Kalsium memiliki arti yang sangat penting bagi tubuh karena kalsium berperan pada hampir seluruh proses metabolisme tubuh. Beberapa peran penting kalsium di antaranya sebagai second messenger, berperan dalam kontraksi otot, berperan dalam impuls saraf, dan sebagai bahan pembentuk tulang dan gigi.