TINJAUAN PUSTAKA Domba (Ovis aries) Klasifikasi Domba Klasifikasi bangsa domba yang paling umum adalah berdasar pada jenis wool yang dihasilkan. Faktor-faktor lain yang menjadi dasar klasifikasi seperti jenis daging, warna dan ada tidaknya tanduk serta karakteristik kemampuan adaptasinya. Klasifikasi domba menurut Blakely dan Bade (1992) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Class
: Mamalia
Ordo
: Artiodactyla
Family
: Bovidae
Genus
: Ovis
Species
: Ovis aries
Domba Ekor Tipis Domba ekor tipis merupakan domba asli Indonesia. Sekitar 80% populasinya ada di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Domba ini mampu hidup di daerah yang gersang. Domba ini mempunyai tubuh yang kecil sehingga disebut domba kacang atau domba jawa. Selain badannya kecil, ciri lainnya yaitu : 1) Ekor relatif kecil dan tipis; 2) Biasanya bulu badan berwarna putih, hanya kadang-kadang ada warna lain, misalnya belang-belang hitam di sekitar mata, hidung atau bagian lainnya; 3) Domba betina umumnya tidak bertanduk, sedangkan domba jantan bertanduk kecil dan melingkar; 4) Berat domba jantan dewasa berkisar 30-40 kg dan berat domba betina dewasa sekitar 15-20 kg (Mulyono, 1999). Domba ini tidak jelas asal-usulnya dan dijumpai di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah (Devendra dan McLeroy, 1982). Murtidjo (1993) menambahkan bahwa karakteristik domba lokal diantaranya bertubuh kecil, lambat dewasa, berbulu kasar, tidak seragam, hasil daging relatif sedikit dan pola warna bulu sangat beragam dari bercak putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan umumnya hitam. Ekor pada domba lokal umumnya pendek (Devendra dan McLeroy, 1982).
3
Lingkungan Lingkungan adalah semua keadaan, kondisi dan pengaruh-pengaruh sekitarnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan produksi ternak (Ensminger et al., 1990). Lingkungan mempengaruhi domba melalui dua jalan yaitu : 1) Mempengaruhi hijauan (pakan) dan selanjutnya mempengaruhi pasokan makanan dan air serta pola penyakit yang dikenal faktor tidak langsung; 2) Mempengaruhi domba secara langsung yaitu pengaruh lingkungan utamanya seperti kecepatan angin, suhu dan kelembaban udara (lingkungan fisik), namun dari semua pengaruh lingkungan pada domba tropis cekaman panas biasanya yang paling serius (Devendra dan Faylon, 1989). Cekaman lingkungan pada ruminansia dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada pola konsumsi pakan dan pembagian zat makanan untuk kebutuhan pokok dan produksi. Secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap rangsangan yang mengganggu fisiologis normal. Sebagai ilustrasi ternak akan mengalami cekaman panas jika jumlah rataan produksi panas tubuh dan penyerapan radiasi panas dari sekelilingnya lebih besar daripada rataan panas yang hilang dari tubuh (Devendra dan Faylon, 1989). Ternak harus selalu berada pada daerah lingkungan optimal dan mereka harus terpelihara dalam daerah tersebut untuk tetap menjaga berjalannya fungsi pertumbuhan dan reproduksi optimal. Thermoneutral Zone (TNZ) adalah daerah yang nyaman dengan suhu lingkungan yang sesuai untuk ternak. Daerah TNZ untuk domba dalam pemeliharaan berada pada suhu lingkungan antara 22 – 31 °C. Seekor ternak akan berusaha meningkatkan produksi panas dalam tubuhnya jika suhu lingkungan semakin rendah, sebaliknya ternak akan melakukan evaporasi untuk melepaskan panas jika suhu lingkungan meningkat (Yousef, 1985). Respon Fisiologis Domba Respon fisiologis domba merupakan respon domba terhadap berbagai macam faktor, baik fisik, kimia maupun lingkungan sekitarnya (Yousef, 1985). Rangkaian proses fisiologis akan mempengaruhi kondisi dalam tubuh ternak yang berkaitan dengan faktor cuaca, nutrisi dan manajemen (Awabien, 2007).
4
Ternak domba banyak dijumpai di daerah tropis karena mempunyai daya tahan kekeringan dan mempunyai daya adaptasi tinggi (Ensminger et al., 1990). Domba sebagai mamalia merupakan hewan berdarah panas yang mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran tertentu (Johnston, 1983). Akan tetapi sudah tentu kemampuan tersebut ada batasnya, apabila suhu lingkungan mencapai keadaan diluar batas kemampuannya maka akan timbul gejala-gejala merugikan. Respon fisiologis pada domba dapat diketahui diantaranya dengan melihat suhu tubuh, laju respirasi dan denyut jantung. Suhu Rektal Suhu rektal adalah suatu indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak. Suhu rektal juga sebagai parameter yang dapat menunjukkan efek dari cekaman lingkungan terhadap domba. Suhu rektal harian, rendah pada pagi hari dan tinggi pada siang hari (Edey, 1983). Suhu rektal, suhu permukaan kulit dan suhu tubuh meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan (Purwanto et al., 1994). Suhu lingkungan yang rendah, dibawah tingkat kritis minimum dapat mengakibatkan suhu tubuh (suhu rektal) menurun tajam diikuti pembekuan jaringan dan kadang diiringi kematian akibat kegagalan mekanisme homeothermis (Ensminger et al., 1990). Suhu rektal domba di daerah tropis berada pada kisaran 38,2 – 40 0C (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Laju Respirasi Sistem respirasi memiliki fungsi utama untuk memasok oksigen ke dalam tubuh serta membuang CO2 dari dalam tubuh (Isnaeni, 2006). Fungsi-fungsi yang besifat skunder meliputi membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstraseluler dalam tubuh, membantu pengendalian suhu, eliminasi air dan fonasi (pembentukan suara) (Frandson, 1992). Respirasi sangat mempengaruhi kebutuhan tubuh dalam keadaan tertentu, sehingga kebutuhan akan zat-zat makanan, O2 dan panas dapat terpenuhi serta zat-zat yang tidak diperlukan dibuang (Awabien, 2007). Peningkatan jumlah beban panas yang hilang dari saluran pernafasan dapat diketahui dari frekuensi laju respirasi per menit atau selisih tekanan gradien uap air antara udara dan mulut ternak serta mukosa saluran pernapasan (Yousef, 1985).
5
Rata-rata frekuensi atau kecepatan respirasi domba adalah 19 kali tiap menit dalam keadaan istirahat (Frandson, 1992). Domba tropis mempunyai frekuensi laju respirasi berkisar 15–25 hembusan per menit ( Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Bersamaan dengan peningkatan suhu lingkungan, ternak bereaksi pertama-tama dengan panting (terengah-engah) dan sweating (berkeringat berlebihan) (Edey, 1983). Panting merupakan mekanisme evaporasi melalui pernapasan, sedangkan sweating melalui permukaan kulit. Evaporasi adalah cara efektif untuk menghilangkan beban panas tubuh, setiap gram uap air evaporasi dapat menghilangkan 0,582 kalori panas tubuh pada suhu lebih dari 25 0C (Yousef, 1985). Ali (1999) menjelaskan bahwa peningkatan konsumsi energi nyata meningkatkan laju pernapasan. Peningkatan konsumsi energi dan protein akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan oksigen, karena terjadinya peningkatan metabolisme pada tubuh hewan. Peningkatan kebutuhan oksigen harus di imbangi dengan peningkatan pernapasan sehingga proses-proses tubuh berjalan normal. Laju Denyut Jantung Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang bentuknya menyerupai kerucut. Jantung terbagi menjadi bagian kanan dan bagian kiri, masing-masing bagian terdiri atas atrium, yang berfungsi menerima curahan darah dari pembuluh vena, dan ventrikel, yang berfungsi memompakan darah dari jantung ke seluruh tubuh melalui pembuluh arteri (Frandson, 1992). Jantung memiliki suatu mekanisme khusus yang menjaga denyut jantung dan menjalankan potensi aksi keseluruh otot jantung untuk menimbulkan denyut jantung yang berirama. Ritme atau kecepatan denyut jantung dikendalikan oleh saraf. Akan tetapi dapat diubah juga oleh berbagai faktor selain saraf, antara lain rangsangan kimiawi seperti hormon dan perubahan kadar O2 dan CO2 ataupun rangsangan panas (Isnaeni, 2006). Secara umum kecepatan denyut jantung yang normal cenderung lebih besar pada hewan yang kecil dan kemudian semakin lambat dengan semakin bertambah besarnya ukuran hewan (Awabien, 2007). Kisaran denyut jantung domba normal yang dikemukakan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988) adalah antara 70-80 kali tiap menit. Isnaeni (2006) mengatakan bahwa denyut jantung dapat meningkat hingga lebih dari dua kalinya pada saat aktif melakukan kegiatan. Peningkatan laju 6
denyut jantung yang tajam terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan, gerakan dan aktivitas otot (Edey, 1983). Pakan Ternak Hijauan merupakan sumber pakan yang sangat penting bagi ruminansia. Hijauan mengandung hampir semua zat yang dibutuhkan oleh ternak selain sebagai bulk (pengenyang) (Awabien, 2007). Menurut Mulyono (1999) pakan hijauan mengandung zat gizi yang dapat menentukkan pertumbuhan, reproduksi dan kesehatan ternak. Pakan hijauan segar yang baik adalah bila komposisinya diatur antara yang mengandung protein rendah dan protein tinggi. Hijauan merupakan sumber serat kasar yang tinggi bagi ruminan. Hijauan yang dimaksud biasanya berupa rumput-rumputan. Rumput Brachiaria humidicola Rumput Brachiaria humidicola merupakan rumput asli Afrika Selatan, kemudian menyebar ke daerah Fiji dan Papua New Guinea, terkenal dengan nama Koronivia grass. Rumput ini merupakan rumput berumur panjang yang berkembang secara vegetatif dengan stolon. Stolon tumbuh pada jarak 1-2 m dan cepat menyebar sehingga bila ditanam di lapang segera membentuk hamparan. Rumput ini memiliki tangkai daun lincolate, 3-4 raceme dengan panjang spikelet 3,5-4 mm (Skerman dan Rivers, 1990). Komposisi zat makanan rumput B. humidicola muda berdasarkan persentase dari bahan kering mengandung protein kasar (PK) 5,1%; serat kasar (SK) 37,4%; abu 9,8% dan BETN sebesar 46,1%, sedangkan yang sudah berbunga atau dewasa mengandung protein kasar 7,6%; serat kasar 35,5%; abu 14,7% dan BETN sebesar 39,9% (Skerman dan Rivers, 1990). Singkong Tanaman singkong (Manihol esculenta Crantz) termasuk kedalam kingdom Plantae, divisi Spermathopyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Euphorbialis, famili Euphorbiacea, genus Manihol dan spesies Manihol esculenta Crantz. Singkong merupakan tanaman berbentuk pohon dengan tinggi tanaman sekitar 0,9-4,6 m atau lebih. Tanaman ini dapat ditanam dan dipanen sepanjang tahun (Hardjo et al., 1980). Tumbuhan ini berasal dari daerah tropik benua Amerika
7
Selatan. Pohon ini akan tumbuh pada tanah yang relatif tidak subur dan merupakan tumbuhan yang sangat banyak memberikan hasil diantara tumbuhan akar-akaran di daerah tropik, yaitu memberikan panen sebanyak 7-10 ton lebih untuk setiap akre (Djaeni, 1976). Kelebihan tanaman singkong dibandingkan dengan tanaman sumber karbohidrat lainnya yaitu (1) dapat tumbuh dilahan kering dan kurang subur, (2) daya tahan terhadap penyakit relatif tinggi, (3) masa panennya tidak diburu waktu sehingga dapat dijadikan lumbung hidup, yakni dibiarkan ditempatnya untuk beberapa minggu dan (4) daun serta umbinya dapat diolah sebagai makanan utama maupun selingan (Lingga, 1989). Produksi tanaman singkong di Indonesia secara keseluruhan mencapai 21,76 juta ton pada tahun 2008 (Basis Data Statistik Pertanian, 2009). Persentase jumlah limbah kulit yang dihasilkan sekitar 16% dari produksi umbi (Gushairiyanto, 2003). Berdasarkan hal diatas apabila dikonversi jumlah kulit bagian dalam yang dapat dimanfaatkan sebesar 3,48 juta ton dari produksi singkong di Indonesia. Kandungan kulit singkong bagian dalam dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Nutrisi Kulit Singkong Bagian Dalam Bahan
Bahan Kering (%)
Bahan Kering
86,50
Protein Kasar
10,64
Serat Kasar
9,48
Lemak Kasar
5,24
Abu
3,21
BETN
71,43
TDN
79,87
Keterangan : Hasil Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB (2004) Berdasarkan perhitungan dari persamaan regresi berganda untuk menduga TDN dari komposisi proksimat dengan rumus sebagai berikut : % TDN = 22,822 – 1,440 SK – 2,875 L + 0,655 BETA–N + 0,863 P + 0,020 SK2 – 0,078 L2 + 0,018 (SK)(BETA-N) + 0,045 (L)(BETA-N) – 0,085 (L)(P) + 0,020 (L2)(P)
Pemanfaatan singkong dan limbahnya sebagai pakan domba atau kambing telah banyak dilakukan di pedesaan, karena kualitasnya yang cukup baik dan 8
jumlahnya yang cukup banyak. Singkong sebagai bahan makanan mempunyai beberapa kelemahan antara lain palatabilitas rendah dan adanya kandungan asam prusik (HCN) sehingga merupakan faktor pembatas dalam pemakaiannya. Pemberian kulit singkong dalam jumlah besar dapat menimbulkan keracunan akibat hadirnya sianida yang dapat menyebabkan kematian (Darmawan, 2003). Kandungan HCN yang normal pada singkong sebesar 15-400 ppm HCN per kg berat segar (Balagopalan et al., 1988). Seluruh bagian dari tumbuhan singkong mengandung suatu glukosida yang disebut linamarin dan suatu enzim linase, yang dapat saling berpengaruh untuk menghasilkan asam biru (HCN). Bagian terbesar dari glukosida itu terdapat di bagian kulit luar dari umbi akarnya. Jumlah racun HCN yang dihasilkan di dalam suatu umbi akar sangat berbeda-beda, tergantung pada kondisi-kondisi penanaman dan varietas tanaman tersebut (Djaeni, 1976). Keberadaan HCN di dalam tubuh dapat mengganggu transpor elektron yang dapat menyebabkan terjadi reduksi oksigen sehingga pernafasan atau oksidasi sel terganggu (Sudaryanto, 1987). Keberadaan HCN di dalam pakan yang masuk kedalam saluran pencernaan ternak dalam bentuk ion sianida (hasil hidrolisis senyawa glukosida sianogenat dihasilkan sianida bebas). Ion sianida tersebut akan diabsorsikan dan didistribusikan kedalam darah. Ion sianida ini lebih reaktif dalam mengikat Hb dibandingkan dengan CO2 dan O2. Sudaryanto (1987) menjelaskan bahwa ion sianida bergabung dengan hemoglobin membentuk Cyanohemoglobin yang tidak mampu membawa oksigen. Di samping itu HCN juga membentuk ikatan reversibel dengan Cu dari cytochrom oksidatif yang akhirnya menghambat fungsinya sebagai enzim oksidatif dalam transfer elektron misalnya dalam kasus hypotoxic anoxia, sehingga akan mengganggu transpor elektron yang akan mengakibatkan terjadi reduksi oksigen sehingga pernafasan atau oksidasi sel terganggu. Kandungan ion sianida yang terdapat di dalam darah tersebut akan mengikat hemoglobin, yang merupakan pigmen respirasi dalam darah sehingga dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen secara bermakna. Pengikatan hemoglobin oleh ion sianida tersebut akan menyebabkan terjadinya pengurangan pengangkutan oksigen dalam darah secara signifikan sehingga akan berpengaruh terhadap sistem respirasi ternak tersebut, dimana frekuensi respirasi akan meningkat.
9
Menurut Vough dan Cassel (2006), secara spesifik asam sianida bergabung dengan hemoglobin menjadi cyanoglobin yang tidak dapat membawa oksigen. Racun sianida tersebut meningkatkan respirasi dan juga denyut jantung pada ternak. Selain itu, pembuangan CO2 dan pemasokan O2 harus sesuai dengan kebutuhan tubuh hewan, yang dari waktu ke waktu dapat sangat bervariasi. Kebutuhan O 2 dan pembentukan CO2 meningkat pada saat laju metabolisme meningkat. Apabila pada saat tersebut darah tidak mengandung cukup O2 untuk memenuhi kebutuhannya, hewan akan mengalami kondisi hipoksia atau bahkan asfiksia (keadaan tidak terdapat oksigen dalam jaringan tubuh) (Ganong, 2002). Balagopalan et al. (1988) menyatakan walaupun singkong mengandung racun yang berbahaya namun singkong telah dikonsumsi secara umum oleh jutaan orang di daerah tropis tanpa adanya efek keracunan yang berarti. Efek keracunan yang tidak berarti ini disebabkan karena metode pengolahan secara tradisional ternyata mampu mengurangi kandungan HCN umbi sampai batas yang tidak membahayakan. Proses pengolahan yang mampu mereduksi kandungan HCN dalam singkong adalah pengeringan, perendaman, perebusan, fermentasi dan kombinasi dari proses-proses ini.
10