TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba merupakan ternak yang cukup selektif dalam memilih makanan seperti dalam memilih jenis rumput yang baik, dan jenis legum yang cocok. Menurut Blakely dan Bade (1991) domba diklasifikasikan dalam kingdom Animalia (hewan), filum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mammalia (hewan menyusui), ordo Artiodactyla (hewan berkuku genap), family Bovidae (memamah biak), genus Ovis (domba) dan spesies Ovis aries (domba yang telah didomestikasi). Budidaya domba lokal sangat diminati masyarakat Indonesia karena memiliki fungsi ekonomis, sosial dan budaya. Terdapat tiga jenis domba lokal di Indonesia terutama di daerah Jawa yaitu : domba lokal ekor tipis (Javanese thin-tailed), domba priangan dan domba lokal ekor gemuk (East Java fat-tailed) (Einstiana, 2006). Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang mempunyai daya adaptasi yang baik pada iklim tropis dan dapat beranak dua atau lebih dalam satu kebuntingan. Domba lokal mempunyai warna bulu beragam serta memiliki wool atau bulu yang tidak tebal, tubuh yang relatif kecil, memiliki ekor kecil dan tidak terlalu panjang serta memiliki perdagingan sedikit dan sering disebut juga sebagai domba kampung (Einstiana, 2006). Bangsa-bangsa ternak lokal penting untuk dilindungi karena mempunyai keunggulan antara lain mampu bertahan hidup pada tekanan iklim dan pakan yang berkualitas rendah, penyakit, dan gangguan caplak, sumber gen yang khas, produktif dipelihara dengan biaya rendah, dan mendukung keragaman pangan (FAO, 2004). Domba Garut Domba garut merupakan bangsa domba yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia karena produksinya yang baik dan memiliki fungsi adat dan budaya bagi masyarakat Jawa Barat. Domba garut memiliki bentuk tubuh yang besar, bergaris punggung cekung, pundak lebih tinggi dari kelangkang dengan bagian dada relatif besar, dahi konveks, tanduk yang jantan besar dan kuat melingkar seperti spiral sedangkan betina sering ditemukan bertanduk kecil seperti benjolan (Einstiana, 2006). Domba ini diduga merupakan hasil persilangan antara Domba Merino dan Domba Kaapstad dengan domba lokal sekitar tahun 1864 (Einstiana, 2006). Domba 3
garut jantan bersifat agresif dan kuat, selain itu juga merupakan domba yang diternakkan dengan sangat selektif karena umumnya tujuan khusus pemeliharaan domba garut ialah untuk penggemukan dan memperoleh domba yang tangkas. Hasil penelitian Gunawan dan Noor (2006) menunjukkan bobot sapih domba garut jantan dapat mencapai 14,12 ± 3,11 kg. Domba garut memiliki bobot badan yang besar dibandingkan dengan bobot badan domba lokal lain. Suswati (2010) menyatakan bahwa rataan bobot badan domba keturunan garut pada grade yang berbeda memiliki rataan bobot badan sebesar 30,28±3,40 kg lebih besar dibandingkan dengan domba lokal ekor tipis yang memiliki bobot badan sebesar 29,60±2,88 kg. Domba Jonggol Domba UP3 jonggol dapat dikatagorikan kedalam salah satu jenis domba lokal karena sudah dibudidayakan di lingkungan UP3 jonggol (Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol) sejak tahun 1980. Domba jonggol merupakan domba ekor tipis hasil persilangan dengan domba garut secara acak, domba ini telah dipelihara dengan sistem penggembalaan sejak tahun 1980 di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan terseleksi secara alami untuk lingkungan panas dan kering (Sumantri et al., 2007). Pemeliharaan domba UP3J umumnya secara tradisional yaitu digembalakan pagi hari dan dikandangkan pada malam hari. Rumput segar merupakan pakan utama yang biasa diberikan pada domba jonggol, walaupun dalam jumlah dan kualitas yang terbatas. Kondisi lingkungan di daerah Jonggol mempengaruhi performa domba secara keseluruhan (Sumantri et al., 2007). Sumantri et al. (2007) melaporkan bahwa domba UP3J mempunyai bobot tubuh dewasa sebesar 34,9 kg untuk jantan dan26,1 kg untuk betina. Bobot tubuh dewasa domba UP3 Jonggol tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan bobot tubuh dewasa sejumlah domba lokal lainnya, seperti : domba Donggala (25,3 dan 24,0 kg), domba Kisar (25,8 dan 18,9kg), dan domba Rote (27,9 dan 20,3 kg). Bobot tubuh tersebut hampir sama dengan bobot dewasa domba Sumbawa (33,8 dan 26,9 kg) masing-masing untuk jantan dan betina.
4
Potensi Indigofera zollingeriana Indigofera zollingeriana merupakan tanaman leguminosa dengan genus Indigofera yang memiliki 700 spesies yang tersebar mulai dari benua Afrika, Asia, Australia, dan Amerika Utara. Pertumbuhan Indigofera sangat cepat, adaptif terhadap tingkat kesuburan rendah, mudah dan murah pemeliharaannya. Menurut Hassen et al. (2007) produksi bahan kering (BK) total Indigofera sp. adalah 21 ton/ha/tahun dan produksi bahan kering daun 5 ton/ha/tahun. Tepung daun Indigofera zollingeriana mengandung protein kasar (PK) 22,30%-31,10%, NDF 18,90%-50,40%, kandungan serat kasar sekitar 15,25% dan kecernaan in vitro bahan organik berkisar 55,80%-71,70% (Abdullah, 2010). Legum ini memiliki kandungan mineral yaitu Ca 0,97%-4,52%, P 0,19%-0,33%, Mg 0,21%1,07%, Cu 9 ppm-15,30 ppm, Zn 27,20 ppm-50,20 ppm, dan Mn 137,40 ppm-281,30 ppm (Hassen et al., 2007) serta memiliki kandungan tanin sebanyak 9,35% (Ologhobo, 2009). Indigofera zollingeriana sangat baik dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak karena memiliki kecernaan bahan organik yang tinggi, kandungan bahan organik hijauan ini dapat meningkat dengan adanya pemberian pupuk organik sehingga nilai kecernaan juga dapat meningkat (Abdullah, 2010). Hasil penelitian Abdullah dan Suharlina (2010) menunjukkan bahwa umur panen yang tepat untuk menghasilkan kualitas Indigofera zollingeriana terbaik adalah pada defoliasi umur 60 hari. Fluktuasi ketersediaan hijauan baik kuantitatif maupun kualitatif merupakan masalah dalam peningkatan produktifitas ternak ruminansia didaerah tropis termasuk Indonesia. Indigofera zollingeriana memiliki potensi yang menjanjikan dalam hal pemenuhan kebutuhan ternak ruminansia terhadap penyediaan hijauan pakan karena produksinya tinggi dan memiliki kandungan protein yang tinggi, akan tetapi perlu diperhatikan jumlah pemberiannya karena legum ini memiliki anti nutrisi yaitu tanin yang cukup tinggi. Tabel 1 menampilkan kandungan zat makanan tepung Indigofera sp. berdasarkan 100% BK.
5
Tabel 1. Kandungan Zat Makanan Tepung Indigofera zollingeriana Berdasarkan 100% BK Zat makanan
Kandungan (%)
Bahan Kering
93,21
Abu
12,51
Protein Kasar
27,88
Serat Kasar
32,73
Lemak Kasar
1,48
Beta-N
25,39
Ca
0,06
P
0,54
Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2011)
Potensi Limbah Tauge Limbah tauge adalah bagian dari tauge yang tidak dikonsumsi oleh manusia, yaitu berupa kulit tauge atau tudung atau lebih dikenal dengan angkup tauge yang berwarna hijau. Limbah tauge merupakan bagian dari limbah pasar sehingga penggunaan limbah tauge sebagai pakan ternak tidak bersaing dengan kebutuhan manusia (Rahayu et al., 2010). Hasil survei potensi ketersediaan limbah tauge di Kotamadya Bogor yang telah dilakukan oleh Rahayu et al. (2010) menunjukkan potensi limbah tauge di Kota Bogor sebesar 1,5 ton/hari. Berdasarkan data tersebut, limbah tauge ini sangat berpotensi untuk dipakai sebagai pakan ternak, terutama pada peternakan-peternakan di wilayah urban (di pinggir kota). Permasalahan peternakan di wilayah urban adalah hijauan yang terbatas karena keterbatasan ketersediaan lahan, dan harga konsentrat mahal. Berdasarkan uji laboratorium limbah tauge memiliki kandungan nutrien yang cukup baik, yaitu mengandung protein kasar (PK) sebesar ± 13-14 %, serat kasar (SK) 49,44% dan TDN sebesar 64,65% (Rahayu et al., 2010). Penelitian yang telah dilakukan pada peternakan penggemukan domba ekor gemuk di wilayah Bogor yang memanfaatkan limbah tauge dalam ransumnya, menunjukkan bahwa penggunaan limbah tauge hingga 50% dalam ransum menghasilkan pertambahan bobot badan harian (PBBH) yang cukup tinggi, yaitu sebesar 145 g/e/h. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan hanya diberi ransum 6
konsentrat yaitu sebesar 96 g/e/h (Rahayu et al., 2010). Tabel 2 menampilkan kandungan zat makanan tepung limbah tauge berdasarkan 100% BK. Tabel 2. Kandungan Zat Makanan Tepung Limbah Tauge Berdasarkan 100% BK Zat makanan
Kandungan (%)
Bahan Kering
87,94
Abu
3,00
Protein Kasar
16,40
Serat Kasar
43,78
Lemak Kasar
0,24
Beta-N
36,58
Ca
0,86
P
0,41
Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2011)
Metabolisme Zat Makanan Metabolisme adalah perubahan yang dialami bahan makanan dalam konversinya sampai kepada hasil sisa, mencakup seluruh reaksi biokimiawi yang terjadi di dalam sel tubuh makhluk hidup (Tillman et al., 1998). Selanjutnya dijelaskan, metabolisme berperan mengubah zat-zat makanan seperti: glukosa, asam amino, dan asam lemak menjadi senyawa-senyawa yang diperlukan untuk proses kehidupan salah satu hasil metabolisme yang sangat penting adalah energi (ATP). Energi antara lain berguna untuk aktivitas otot, sekresi kelenjar, memelihara membran potensial sel saraf dan sel otot, dan sintesis substansi sel. Energi berperan penting dalam terjadinya proses biokimia untuk metabolisme karbohidrat, protein, dan lipid (McDonald, 2002). Hasil proses metabolisme yang tidak digunakan oleh tubuh akan mengalami proses transformasi secara kimia dan akan segera dikeluarkan melalui sistem ekskresi (McDonald, 2002). Tillman et al. (1998) menjelaskan bahwa, pada ruminansia, karbohidrat dipecah di dalam rumen menjadi asam asetat, propionate dan butirat. Asam butirat dalam perjalananya melewati dinding rumen dan diubah menjadi asam β-Hidroksi butirat langsung ke dalam sistem peredaran darah. Asam asetat dan asam β-Hidroksi butirat dibawa oleh darah melewati hati dan menuju ke jaringan dan organ target, 7
untuk digunakan sebagai sumber energi dan sintesis asam lemak. Hasil penelitian Panousis (2011) menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara kadar βHidroksi butirat dengan kadar glukosa darah pada domba. Propionat yang terserap dapat menyuplai 30% (atau lebih) glukosa untuk ruminansia (Parakkasi, 1999). Sebagian glukosa akan diubah menjadi glikogen dan disimpan, sebagian lagi digunakan untuk sintesis asam lemak dan sintesis trigliserida (McDonald, 2002). Glukosa yang masuk dalam sistem peredaran darah dalam bentuk glukosa darah akan dibawa menuju jaringan tubuh, glukosa tersebut digunakan untuk sumber energi, sintesis asam lemak dan sintesis glikogen (McDonald, 2002). Protein pakan sebagian akan dipecah di dalam rumen oleh mikroba menjadi peptida dan asam amino dan sebagian protein yang tidak mengalami fermentasi akan diserap langsung di usus (by pass) (McDonald, 2002). Asam amino yang berlebih akan dibawa ke hati untuk diubah menjadi amonia. Amonia merupakan hasil metabolisme protein dan nitrogen bukan protein. Amonia dalam rumen adalah sumber nitrogen yang akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba (McDonald et al., 2002). Kelebihan amonia akan menyebabkan amonia terakumulasi di rumen yang kemudian akan diserap oleh darah dan dibawa ke hati untuk dikonversi menjadi urea. Beberapa urea akan dikembalikan ke saliva dan ada yang langsung diekskresikan melalui urin (McDonald., 2002) Selama pencernaan unsur lemak dalam pakan, sebagian besar trigliserida dipecah menjadi gliserol dan asam lemak, kemudian sewaktu melalui sel epitel usus, keduanya disintesis kembali menjadi molekul trigliserida baru yang berkumpul dan masuk kedalam limfe dalam bentuk droplet kecil yang tersebar yang disebut kilomikron selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah (McDonald, 2002). Apabila sel membutuhkan energi, enzim lipase dalam sel lemak akan memecah trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak serta melepasnya ke dalam pembuluh darah. Oleh sel-sel yang membutuhkan komponen-komponen tersebut kemudian dioksidasi dan menghasilkan energi, karbondioksida (CO 2 ), dan air (H 2 O). jika kebutuhan energi telah tercukupi, asam lemak yang berlebih dalam hati akan mengalami katabolisme menjadi asam β-Hidroksi butirat dan asetoasetat yang disimpan dalam jaringan sebagai energi cadangan(McDonald, 2002).
8
Jaringan tubuh dan pakan
Asam asetat
Asam butirat
Asam propionat
Glukosa
Asam lemak bebas
Triasilgliserol
Asam –asam amino
BHBA R u m e n
NADPH (+H)
Glukosa
Glikogen
Gliserol Energi
Asam lemak bebas
Triasilgliserol
Asetoasetat β-Hidroksi asam butirat
Asam α keto
Amonia
Urea
Protein
Sistem Peredaran Darah Asetat β-Hidroksi asam butirat
Glukosa
Trigliserida
Asetoasetat β-Hidroksi asam butirat Gambar 1. Sumber dan Hasil Proses Metabolisme pada Ruminansia (McDonald, 2002)
Urea
Asam amino
9
N - Urea Darah Urea dalam darah dipengaruhi oleh pakan karena sebagian besar urea diperoleh dari penguaraian protein yang berasal dari pakan. Pada ternak yang mempunyai asupan protein tinggi dan sebagian besar protein tersebut mengalami fermentasi di rumen, dapat menyebabkan peningkatan kadar urea dalam darah di atas rentang normal (Riis, 1983). Kadar urea dalam darah mencerminkan keseimbangan antara produksi dan ekskresi urea (Guyton dan Hall, 1987). Kadar urea dapat meningkat seiring dengan bertambahnya umur (Riis, 1983). Senyawa mengandung nitrogen yang dapat dimanfaatkan oleh ternak ruminansia untuk proses pertumbuhan dan produksinya, yang terdiri atas protein dan non protein nitrogen (NPN). Sebagian protein (protein by pass) tidak mengalami fermentasi di dalam rumen akan tetapi langsung diserap di usus untuk digunakan sebagai protein pembentuk jaringan tubuh, dan sebagian lagi mengalami fermentasi di dalam rumen (McDonald, 2002). Protein pakan yang dikonsumsi akan mengalami dua kemungkinan, yaitu akan terdegradasi atau lolos dari degradasi oleh mikroba rumen. Proses degradasi protein atau proteolisis adalah proses perubahan protein pakan menjadi peptida dan asam-asam amino oleh mikroba rumen, selanjutnya asam-asam amino tersebut mengalami deaminasi menghasilkan asam α keto dan ammonia (McDonald, 2002). Protein yang terdegradasi di dalam rumen sebagian akan dimanfaatkan oleh mikroba rumen menjadi protein mikroba (Promkot dan Wanapat, 2005). Mikroba rumen tidak mempunyai kemampuan untuk memanfaatkan asam amino secara langsung, karena tidak mempunyai sistem transportasi untuk mengangkut asam amino ke dalam selnya, oleh karena itu sekitar 82% dari mikroba rumen memanfaatkan amonia untuk pembentukan asam amino dalam tubuhnya (Promkot dan Wanapat, 2005). Kadar urea dalam darah dapat dipengaruhi kadar amonia dalam rumen (McDonald, 2002). Hal ini disebabkan oleh kandungan protein yang tinggi dalam rumen dan mengalami proses degradasi akan menghasilkan ammonia yang berlebih, sementara mikroba rumen telah optimal dalam memanfaatkan amonia untuk pembentukan tubuhnya, selanjutnya amonia di dalam rumen tersebut diserap oleh dinding rumen dan melalui peredaran darah masuk ke dalam hati dan mengalami proses perubahan menjadi urea, kemudian melalui 10
peredaran darah sebagian urea kembali menuju saliva dan sebagian lain yang tidak terpakai menuju ginjal untuk dikeluarkan bersama urin (Tillman et al., 1998). Kadar urea darah juga dipengaruhi adanya kelebihan asam amino hasil pencernaan dalam usus yang tidak digunakan dalam sel, sehingga terjadi proses deaminasi asam amino dalam hati menghasilkan rantai karbon yang akan disimpan berupa glikogen atau lemak, dan urea yang akan dikeluarkan bersama urin (Prawirokusumo, 1993). Hasil penelitian Antunovic et al. (2011) menunjukkan kadar urea darah domba bunting lebih rendah dibandingkan kadar urea darah domba tidak bunting, hal ini berarti bahwa urea darah pada domba dipengaruhi oleh status fisiologis domba tersebut. Terdapat hubungan yang positif antara urea darah dan protein pakan yang dikonsumsi oleh ternak (Promkot dan Wanapat, 2005). Tingginya protein pakandapat menyebabkan meningkatnya kandungan urea dalam darah. Moss dan Murray (1992) menyatakan bahwa ruminansia yang mendapatkan tambahan protein pada pakannya ditemukan memiliki konsentrasi urea darah yang tinggi. Kadar urea darah normal pada domba adalah 13 - 28 mg/dl (Swenson, 1977). Glukosa darah Glukosa darah berasal dari berbagai sumber, antara lain: karbohidrat, senyawa glikogenik yang mengalami glukoneogenesis dan glikogen hati oleh proses glukogenolisis. Glukosa darah dan glukosa pada beberapa cairan jaringan atau dalam sel-sel tubuh dimanfaatkan untuk memproduksi energi (McDonald, 2002). Kadar glukosa darah ditentukan oleh keseimbangan antara jumlah glukosa yang masuk ke dalam darah dan jumlah yang meninggalkan darah (Ganong, 1995). Lebih lanjut dijelaskan, faktor-faktor yang mempengaruhi glukosa darah adalah konsumsi pakan, kecepatan masuknya glukosa ke dalam sel-sel otot, jaringan lemak dan organ-organ lain. Glukosa dalam darah umumnya secara terus menerus dikeluarkan untuk memberi makan berbagai jaringan tubuh. Glikogen di dalam hati, urat daging serta jaringan tertentu lainnya secara bertahap akan dirubah menjadi glukosa (Benerjee, 1978). Faktor yang mempengaruhi kadar glukosa pada darah salah satunya adalah produk VFA (Volatyle Fatty Acid) salah satunya adalah asam propionat yang memiliki proporsi 21% dari total VFA (McDonald, 2002). VFA merupakan hasil fermentasi karbohidrat yang terjadi didalam rumen pada ruminansia (Arifin, 1995). 11
Pembentukan glukosa darah dari asam propionat diawali dengan propionat diaktifkan dengan ATP dan KoA oleh enzim asetil-KoA sintetase, produknya propionil KoA. Propionil KoA menjalani reaksi fiksasi CO 2 untuk membentuk D-metil malonil KoA dan reaksi ini dikatalis oleh enzim propionil KoA karboksilase dan proses selanjutnya menjadi suksinil KoA dengan enzim metal malonil KoA isomerase yang memerlukan vitamin B12 sebagai koenzim. Suksinil KoA masuk ke siklus Krebs. Dalam siklis Krebs, suksinil KoA diubah menjadi fumarat. Fumarat diubah menjadi malat, selanjutnya malat diubah menjadi oksaloasetat. Oksaloasetat diubah menjadi fosfoenol piruvat dengan enzim fosfoenolpiruvat karboksilase, selanjutnya diubah menjadi fruktosa 1-6 bifosfat dan diubah menjadi glukosa-6-fosfat dan glukosa darah (Ngili, 2009) Glukosa diabsorbsi dari saluran pencernaan ruminansia dalam jumlah kecil dan kadarnya di dalam darah dipertahankan melalui sintesa endogenous untuk keperluan fungsi-fungsi esensial jaringan tubuh (Arora, 1995). Glukosa dibutuhkan oleh lima jaringan ternak ruminansia, yaitu jaringan otot, jaringan syaraf, jaringan lemak, organ reproduksi dan proses metabolisme pada kelenjar susu (Prakkasi, 1999). Ternak ruminansia dewasa sangat tergantung pada proses glukoneogenesis untuk memenuhi kebutuhannya akan glukosa (Riis, 1983). Ruminansia memiliki kandungan glukosa lebih rendah dibanding ternak lain, karena pada proses pencernaannya ruminansia akan memfermentasikan semua karbohidrat dalam pakannya menjadi asam lemak yang mudah menguap dan unsur ini dapat menggantikan sebagian besar glukosa sebagai bahan bakar utama metabolik jaringan (McDonald, 2002). Kadar glukosa darah normal pada domba adalah 59 mg/100 ml (Riis, 1983). Hasil penelitian Astuti (2005) menunjukkan bahwa, domba yang diberikan pakan rambanan menghasilkan kadar glukosa darah yang berkisar 37-59 mg/dl. Ruminansia yang baru lahir, konsentrasi glukosanya menyerupai hewan monogastrik dan secara gradual menurun dengan meningkatnya umur. Kebutuhan energi tidak dapat dipenuhi semata-mata hanya oleh asam lemak (Riis, 1983). Kolesterol Darah Kolesterol adalah metabolit yang mengandung lemak sterol yang ditemukan pada membran sel dan disirkulasikan dalam plasma darah (Mayes, 1995). Kolesterol merupakan komponen struktural dari membran sel serta merupakan senyawa induk 12
yang menurunkan hormon-hormon steroid, vitamin D, dan garam empedu. Kolesterol disintesis dalam hati dan sel epitel usus dan juga berasal dari lipid makanan. Sintesis kolesterol diregulasi oleh jumlah kolesterol dan trigliserida dalam lipid makanan (Ngili, 2009). Kolesterol total sebenarnya merupakan susunan dari banyak zat, termasuk trigliserida, LDL kolesterol, dan HDL kolesterol (Boyer, 2002). Trigliserida adalah salah satu bentuk lemak yang diserap oleh usus setelah mengalami hidrolisis. Trigliserida kemudian masuk ke dalam plasma dalam dua bentuk, yaitu sebagai kilomikron yang berasal dari penyerapan usus setelah makan lemak dan sebagai VLDL (very low density lipoprotein) yang dibentuk oleh hepar dengan bantuan insulin (Boyer, 2002). Trigliserida tersebut di dalam jaringan di luar hepar (pembuluh darah, otot, jaringan lemak) akan dihidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase. Sisa hidrolisis kemudian oleh hepar dimetabolisasi menjadi LDL. Kolesterol yang terdapat pada LDL kemudian ditangkap oleh suatu reseptor khusus di jaringan perifer sehingga LDL sering disebut sebagai kolesterol jahat (Cheng dan Hardy, 2004). Kelebihan kolesterol dalam jaringan perifer akan diangkut oleh HDL (high density lipoprotein) ke hepar untuk kemudian dikeluarkan melalui saluran empedu sebagai asam empedu sehingga HDL sering disebut sebagai kolesterol baik. Soraya (2006) menyatakan bahwa kadar kolesterol darah normal pada domba adalah 108,41±32,42 mg/dl. Hasil penelitian Astuti (2005) menunjukkan bahwa domba yang diberikan 100% rumput lapang menghasilkan kadar kolesterol darah sebesar 60,86 mg/dl. Hal tersebut menunjukkan bahwa serat kasar pada pakan mempengaruhi kadar kolesterol darah sesuai dengan yang dinyatakan Djojosoebagio dan Piliang (2006) bahwa serat kasar pakan dapat menurunkan kadar kolesterol dalam serum dengan cara meningkatkan ekskresi asam empedu, yang merupakan produk metabolisme kolesterol. Kolesterol dalam tubuh dikeluarkan melalui dua cara, yaitu diubah menjadi empedu sebagai garam-garam kolesterol dan sterol netral yang dibuang melalui feses. Asam empedu disintesa dalam hati dengan bahan dasar kolesterol. Asam empedu ini digunakan dalam proses pencernaan, khususnya lemak dengan cara pembentukan kilomikron (Mcdonald, 2002).
13