II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1.
Domba Lokal Domba merupakan jenis ternak yang termasuk dalam kategori ruminansia
kecil.
Ternak domba yang dipelihara oleh masyarakat Indonesia umumnya
merupakan domba-domba lokal. Domba lokal merupakan domba hasil persilangan dari luar yang telah dikembangbiakan di Indonesia sampai generasi ke-5 atau lebih yang beradaptasi pada lingkungan dan manajemen setempat (Pementan, 2006). Populasi ternak domba di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun 2014 populasi domba mencapai 16,092 juta ekor, di tahun 2015 sebanyak 17,025 juta dengan kenaikan sebesar 5,8% (Ditjen PKH, 2016). Salah satu jenis domba lokal yaitu Domba Ekor Tipis (DET), dimana domba jenis ini kurang produktif jika diusahakan secara komersial, karena karkas (daging) yang dihasilkan rendah. Karakteristik domba ekor tipis diantaranya memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil, pertumbuhan lambat namun dapat bertahan hidup di tempat yang kering, warna bulu tidak seragam, dan umumnya berekor pendek. Bobot badan dewasa dapat mencapai 30-40 kg pada jantan dan betina 20-25 kg dengan persentase karkas 44-49% (Tiesnamurti, 1992).
2
Ilustrasi 1. Domba Ekor Tipis (http://pertanianku.com)
Ternak domba mempunyai beberapa keuntungan dilihat dari segi pemeliharaan yaitu cepat berkembang biak, dapat beranak lebih dari satu ekor. Selain itu, mudah dalam pemeliharaan, pemakan rumput, kurang memilih pakan yang diberikan dan kemampuan merasa kurang tajam, sehingga mudah dalam pemberian pakan, dan sumber keuangan bagi peternak (Tomazewska dkk., 1993). Pertambahan bobot badan domba lokal (domba ekor tipis) yang dipelihara di peternakan rakyat berkisar 30 g/ekor/hari, namun melalui perbaikan teknologi pakan pertambahan bobot badannya mampu mencapai 57-132 g/ekor/hari (Prawoto dkk., 2001). Produktivitas ternak dapat ditentukan melalui faktor bahan makanan yang meliputi jumlah dan kualitas pakan.
Kebutuhan zat makanan
setiap ternak bervariasi antar jenis dan umur fisiologis ternak. Kebutuhan nutrisi ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, tingkat produksi, keadaan lingkungan, dan aktivitas fisik ternak (Haryanto, 1992).
Selain itu,
kebutuhan zat makanan ternak dapat dikelompokkan menjadi komponen utama yaitu energi, protein, mineral dan vitamin. Zat-zat makanan tersebut berasal dari pakan yang dikonsumsi oleh ternak.
3
2.2.
Ketersedian Hijauan Hijauan merupakan makanan utama bagi ternak ruminansia dimana
diharapkan tidak hanya sekedar dimaksudkan untuk mengatasi lapar atau sebagai pengisi perut saja, melainkan harus benar-benar bermanfaat untuk kebutuhan hidup, membentuk sel-sel baru, mengganti sel-sel yang rusak dan untuk produk atau berfungsi sebagai sumber zat makanan. Hijauan yang bernilai gizi tinggi cukup memegang peranan penting karena dapat menyumbangkan zat makanan yang baik bagi ternak (Herlinae, 2003). Hijauan makanan ternak merupakan bagian penting dalam sistem produksi peternakan terutama sebagai pakan ternak ruminansia. Kebutuhan ternak akan zat makanan terdiri atas kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan untuk produksi. Kebutuhan hidup pokok pengertiannya sederhana yaitu untuk mempertahankan hidup. Ternak yang memperoleh makanan hanya sekedar cukup untuk memenuhi hidup pokok, bobot badan ternak tersebut tidak akan naik dan turun, tetapi jika ternak tersebut memperoleh lebih dari kebutuhan hidup pokoknya maka sebagian dari kelebihan makanan itu akan dapat dirubah menjadi bentuk produksi (Tillman dkk., 1998).
Keberhasilan produksi suatu
peternakan sangat bergantung pada kualitas pakan dan jenis ternak yang dipelihara, oleh karena itu ketersediaan hijauan pakan sepanjang masa dan memilih hijauan yang berkualitas unggul adalah sangat penting. Penyediaan pakan yang memadai masih merupakan kendala utama dalam suatu usaha pengembangan ternak, baik ternak ruminansia maupun jenis ternak lainnya. Pengaruh iklim dan kondisi ekologi sangat menentukan ketersediaan hijauan sebagai pakan ternak di suatu wilayah sehingga hijauan makanan ternak
4
tidak dapat tersedia sepanjang tahun. Saat musim penghujan produksi hijauan berlimpah, dan sebaliknya di musim kemarau hijauan sebagai sumber pakan ternak harus menghilang. Ketersediaan hijauan secara kuantitas dan kualitas juga dipengaruhi oleh pembatasan lahan tanaman pakan karena penggunaan lahan untuk tanaman pakan masih bersaing dengan tanaman pangan (Sajimin dkk, 2000). Kekurangan bahan makanan ini sebenarnya dapat mencukupi dengan pengelolaan dan pemanfaatan limbah pertanian yang cukup melimpah, namun masih banyak limbah yang belum dimanfaatkan. Hambatan yang sering dialami adalah kualitas yang rendah, kurang disukai ternak, konversinya tidak mudah dan produksinya berfluktuasi (Syamsu, 2006).
Pengolahan limbah pertanian
merupakan hal yang diperlukan agar kontinuitas pakan terus terjamin.
2.3.
Pisang Nangka Kulit pisang Nangka (Musa paradisiaca) merupakan salah satu jenis
limbah pertanian yang belum dimanfaatkan secara optimal sebagai pakan, padahal jumlahnya melimpah. Produksi pisang di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 6.862.567 ton dan tahun 2015 mencapai 7.299.275 ton dengan persentase pertumbuhan sebesar 6,36% (BPS, 2015). Limbah kulit pisang yang dihasilkan berjumlah 40% dari total jumlah berat buah pisang (FAO, 2003 dalam Akili et.al., 2012), sehingga, dari angka 7.299.275 ton (produksi 2015) dihasilkan sebanyak 2.919.710 ton limbah kulit pisang.
5
Umumnya limbah kulit pisang belum banyak dimanfaatkan, karena masyarakat masih beranggapan bahwa merupakan limbah yang hanya menyebabkan pencemaran lingkungan. Limbah seperti kulit pisang akan dibakar begitu saja tanpa diolah ulang. Kelembaban dari kulit pisang akan mempengaruhi partikel-partikel yang tidak terbakar dan selanjutnya terbang ke udara.
Hal
tersebut dapat menyebabkan hidrokarbon yang berbahaya dan akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia (Buanarinda dkk., 2014). Pisang terdiri atas berbagai macam jenis atau spesies. Pisang Nangka merupakan salah satu jenis pisang yang termasuk ke dalam kelompok plantain atau tidak dapat dikonsumsi secara langsung, harus diolah terlebih dahulu. Keunggulannya, pisang Nangka merupakan buah yang memiliki energi tinggi dan berpotensi sebagai pakan. Umumnya yang banyak digunakan adalah pisang Nangka matang terutama untuk dijadikan sebagai pisang goreng. Sentra produksi pisang di tahun 2015 adalah Lampung yang umumnya digunakan untuk industri pengolahan makanan dengan jumlah 41.654.761 industri di Lampung tahun 2014 (BPS Lampung, 2015). Hal tersebut merupakan salah satu sumber yang menghasilkan limbah kulit pisang.
6
Ilustrasi 2. Pisang Nangka
Berdasarkan analisis Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan UNPAD (2016), kulit pisang Nangka matang mengandung PK 8,98%, SK 13,70%, BETN 62,80%, LK 1,62%, dan Abu 12,90% dari bahan kering (BK). Melihat kandungan zat makanan yang dimiliki tersebut, kulit pisang Nangka mampu dijadikan sebagai imbangan pakan dengan hijauan.
2.4.
Fermentasi Pakan Menjadi VFA dalam Rumen Sistem pencernaan pada ruminansia melibatkan interaksi dinamis antara
bahan pakan, populasi mikroba dan ternak itu sendiri. Pakan yang masuk ke mulut mengalami proses pengunyahan atau pemotongan secara mekanis dan bercampur dengan saliva yang kemudian masuk ke rumen melalui esofagus untuk selanjutnya mengalami proses fermentatif. Pakan di dalam rumen dicerna oleh enzim mikroba (Sutardi, 1977).
7
Proses fermentasi pakan di dalam rumen menghasilkan VFA (Volatile Fatty Acids - Asam Lemak Terbang) yang merupakan sumber energi utama ruminansia.
VFA diserap melalui dinding rumen dan dimanfaatkan sebagai
sumber energi oleh ternak. Peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh mikroba rumen (Hartati, 1998). Karbohidrat pakan di dalam rumen mengalami dua tahap pencernaan oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen.
Tahap pertama mikroba
rumen mengalami hidrolisis menjadi monosakarida, seperti glukosa, fruktosa dan pentosa.
Hasil pencernaan tahap pertama masuk ke jalur glikolisis untuk
mengalami pencernaan tahap kedua yang menghasilkan piruvat.
Piruvat
selanjutnya dirubah menjadi VFA yang umumnya terdiri dari asetat, butirat, dan propionat (Arora, 1989). Secara lengkap proses metabolisme karbohidrat dalam rumen ternak disajikan pada Ilustrasi 3. Selulosa dicerna menjadi selobiosa oleh satu atau lebih jasad renik dan selobiosa diubah menjadi glukosa-1-phosphat. Pati dicerna oleh amilase jasad renik menjadi maltosa dan isomaltosa, kemudian oleh maltosa menjadi glukosa dan glukosa-6-phosphat. Fruktan dikomposisi menjadi fruktosa oleh enzim jasad renik. Sukrase jasad renik menguraikan sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa (Tillman dkk., 1998). Pentosa adalah hasil utama dari perombakan hemiselulosa di dalam rumen. Hemiselulase jasad renik menghidrolisis hemiselulosa menjadi xilosa, dan asam uronat yang dengan mudah dibentuk menjadi xilose. Asam uronat juga dihasilkan dari penguraian pektin-pektin oleh pektinase dan poligalakturonidase jasad renik
8
menjadi xilosa. Xilosa juga dihasilkan dari penguraian xilan-xilan yang banyak dikandung oleh rumput-rumputan (Tillman dkk., 1998). Pentosan-pentosan yang diuraikan menjadi gula sederhana pentosa, oleh pentosanase jasad renik dan kemudian masuk ke jalur glikolitik. Asam piruvat diubah menjadi asam lemak volatil (VFA). Asam-asam asetat, propionat dan butirat, CH4 dan gas metan adalah hasil akhir pencernaan jasad renik dan metabolisme karbohidrat makanan (Tillman dkk., 1998). Konsentrasi VFA yang dihasilkan di dalam rumen sangat bervariasi yaitu antara 200-1500 mg/100 mL cairan rumen. Hal ini bergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi, sedangkan kisaran produk VFA cairan rumen yang mendukung pertumbuhan mikroba yaitu 80-160 mM (Sutardi, 1980). Selain itu, VFA yang tinggi menunjukkan peningkatan kandungan protein dan karbohidrat mudah larut dari pakan (McDonald dkk., 2002). VFA yang terserap selain dipakai sebagai sumber energi, juga dipakai sebagai bahan pembentuk glikogen di hati, lemak, karbohidrat dan hasil-hasil yang dibutuhkan ternak (Anggorodi, 1994). Tinggi rendahnya produksi VFA juga dapat dipengaruhi oleh tingkat fermentabilitas bahan pakan, jumlah karbohidrat yang mudah tercerna, pH rumen, dan kecernaan bahan pakan (Arora, 1989).
9
Ilustrasi 3. Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Ternak Ruminansia (McDonald dkk., 2002)
10
2.5.
Fermentasi Pakan Menjadi NH3 dalam Rumen Produk hasil fermentasi yang lain adalah NH3 (amonia) yang berasal dari
protein pakan yang didegradasi oleh enzim proteolitik.
Protein dihidrolisis
pertama kali oleh mikroba rumen (Arora, 1989). Awalnya protein pakan akan mengalami proses degradasi dalam rumen menjadi peptida-peptida dan akhirnya menjadi asam-asam amino.
Beberapa asam amino langsung digunakan oleh
mikroba untuk sintesis protein tubuhnya sendiri, tetapi sebagian besar mikroba rumen tidak dapat memanfaatkan asam amino secara langsung karena diduga mikroba tersebut tidak memiliki sistem transpor untuk mengangkut asam amino ke dalam tubuhnya. Mikroba tersebut lebih suka merombak asam amino menjadi amonia. Keduanya akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba (Sutardi, 1980). Umumnya proporsi protein yang didegradasi dalam rumen sekitar 70-80% atau 30-40% untuk protein yang sulit dicerna. Kandungan protein ransum yang tinggi dan proteinnya mudah didegradasi akan menghasilkan konsentrasi NH3 di dalam rumen (McDonald dkk., 2002).
Selain itu, tingkat hidrolisis protein
bergantung pada daya larutnya yang mempengaruhi kadar NH3. Secara lengkap proses metabolisme protein dalam rumen ternak disajikan pada Ilustrasi 4.
11
Ilustrasi 4. Proses Metabolisme Protein dalam Rumen Ternak Ruminansia (McDonald dkk., 2002)
Produksi NH3 dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum dicapai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan yang bergantung pada sumber protein yang digunakan dan mudah tidaknya protein tersebut didegradasi (Wohlt dkk., 1976). Kadar NH3 dalam rumen merupakan petunjuk antara proses degradasi dan proses sintesis protein oleh mikroba rumen. Jika pakan defisien protein atau tinggi kandungan protein yang lolos degradasi, maka konsentrasi N-NH3 rumen menjadi rendah dan pertumbuhan organisme rumen akan lambat (Satter dan Slyter, 1974).
12
Sebaliknya, jika degradasi protein lebih cepat dari pada sintesis protein mikroba, maka NH3 terakumulasi dan melebihi konsentrasi optimumnya. Hal tersebut menyatakan bahwa pproduksi NH3 ditentukan oleh kecernaan protein kasar (PK), karena tingginya kecernaan protein akan meningkatkan degradabilitas atau fermentabilitasnya dalam rumen (Puastuti dkk., 2004). Kisaran optimum NH3 dalam rumen berkisar antara 6-21 mM (McDonald dkk., 2002) atau berkisar antara 3,57-7,14 mM untuk mendukung sintesis protein mikroba yang maksimal (Sutardi dkk., 1983), tetapi jika konsentrasi NH3 rumen yang lebih rendah dari 3,57 mM akan mengakibatkan pertumbuhan organisme rumen lambat (Satter dan Slyter, 1974).
Konsentrasi NH3 yang tinggi dapat
menunjukkan proses degradasi protein pakan lebih cepat daripada proses pembentukan protein mikroba, sehingga amonia yang dihasilkan terakumulasi dalam rumen (McDonald dkk., 2002). NH3 yang dibebaskan dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba untuk mensintesis protein tubuhnya (Arora, 1989).
Faktor utama yang
mempengaruhi penggunaan NH3 adalah ketersediaan karbohidrat dalam ransum yang berfungsi sebagai sumber energi untuk pembentukan protein mikroba. Selain itu, peningkatan jumlah karbohidrat yang mudah difermentasi akan mengurangi produksi NH3, karena terjadi kenaikan penggunaannya untuk pertumbuhan protein mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepatnya dengan pembentukan NH3, sehingga pada saat NH3 terbentuk terdapat produksi fermentasi asal karbohidrat yang digunakan sebagai sumber dan kerangka karbon dari asam amino protein mikroba telah tersedia (Ranjhan, 1977).
13
2.6.
Tanin Tanin merupakan merupakan salah satu anti nutrisi yang terdapat dalam
banyak bahan pakan. Tanin dapat berikatan dengan membran sel bakteri rumen serta menghambat pertumbuhan dan aktivitas enzim yang dihasilkannya (Smith dkk., 2005). Tanin juga merupakan senyawa polifenol yang mampu bereaksi dengan dinding sel bakteri sehingga enzim ekstraseluler disekresikan. Reaksi tersebut dapat menghambat transport zat makanan ke sel dan menghambat pertumbuhan mikroba (McSweeney dkk., 2001). Tanin memiliki kemampuan untuk mengikat karbohidrat, sehingga mempengaruhi metabolismenya dan menjadi sukar dicerna (Leinmuller dkk., 1991 dalam Tandi 2010). Selain itu, keberadaan tanin akan mengikat protein yang membentuk ikatan kompleks, sehingga sebagian protein menjadi tidak dapat didegradasi oleh mikroba rumen (Jayanegara dkk., 2009; Makkar 2003). Adapun kelebihan tanin yaitu dapat melindungi protein dari degradasi mikroba rumen sehingga meningkatkan protein pasca rumen (protein bypass) apabila diberikan pada pakan mengandung protein tinggi, secara kualitas maupun kuantitas (Tanner dkk., 1994). Protein bypass (tahan degradasi) sangat penting bagi ternak ruminansia, karena protein mikroba saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan asam amino, terutama ternak pada fase tumbuh dan berkembang, bunting atau laktasi. Hal tersebut dapat menunjang produktivitas ternak ruminansia (Puastuti, 2007). Proporsi protein yang didegradasi dalam rumen sekitar 70-80% atau 30-40% untuk protein yang sulit dicerna dan ini merupakan protein bypass yang akan dimanfaatkan oleh ternak ruminansia (McDonald dkk., 2002).