TINJAUAN PUSTAKA Domba Priangan
Domba Priangan merupakan hasil persilangan segitiga antara domba Merino dari Spanyol dan domba Kapstad dari Atkika Selatan serta domba lokal Jawa Barat atau domba Garut (Devendra dan Mengkoewidjojo, 1993). Domba Priangan banyak ditemukan di Jawa Barat khususnya di daerah Bandung, Sumedang, Ciamis dan Tasikmalaya. Domba Priangan merupakan domba tipe kecil yang mempunyai kombinasi warna hitam, coklat dan putih dan mempunyai wool kasar, bergurnpal-gumpal.
Domba priangan terkenal sebagai &ah satu domba
yang memiliki sifat prolifikasi yang tinggi di dunia (Subandrijo, 1990). Domba Priangan dapat mempunyai anak lebih dari seekor setiap beranak dan sifat ini dapat mencapai 170% dengan fiekuensi beranak tiga kali dalam dua tahun (Mason, 1978). Ciri-ciri domba Priangan adalah berbadan agak besar dan lebar dengan leher kuat, yang jantan biasa digunakan untuk domba aduan, karena mempunyai tanduk yang besar dan melengkung ke belakang berbentuk spiral. Pangkal tanduk kanan dan kiri hampir bersatu, sedangkan yang betina tidak bertanduk (Robinson, 1977).
Menurut Smith dan Mengkoewidjojo (1988), data bilogis domba
adalah
- 20 tahun; (2) lama produksi ekonomis 8 - 9 lama bunting 151 hari (144 - 152 hari); umur sapih 16 - 20 minggu; (4)
sebagai berikut : (1) lama hidup 10 tahun; (3)
umur dewasa kurang lebih 2 tahun; (5) bobot badandewasa 25 saat bisa dikawinkan 12
-
- 35 kg; (6) umur
18 bulan; (7) sifat siklus berahi poliestrus di daerah tropis;
- 40 jam setelah munculnya tandaspontan; (10) fertilisasi 2 - 3 jam setelah ovulasi; (1 1)
(8) siklus berahi 14 - 19 hari; (9) ovulasi 18 tanda berahi dan bersifat implantasii9
-
11 hari setelah fertilisasi; (12) jumlah anak 1
-
3 ekor; (13) jumlah
puting 2; (14) plasenta mesokorial kotiledone semi plasenta ; (14) uterus 2 kornua (panjang 10 - 12 cm) dan satu korpus (panjang 5 cm); (15) kromosom 2n= 54; dan susunan gigi 0033f4033. Superovulasi Superovulasi berasal dari kata super berarti luar biasa dan ovulasi berarti pelepasan sel telur atau ovum dari folikel de Graaf . Superovulasi adalah suatu teknik untuk merangsang pembentukan sejumlah besar folikel di dalam ovarium dan mematangkannya lebih cepat dari kemampuan alamiahnya (Toelihere, 198I),. selanjutnya dinyatakan untuk merangsang terjadinya superovulasi diperlukan pemberian hormon gonadotropin, antara lain Follicle Stimulating Hormon (FSH) dan
Pregnant Mme Serum Gonadotrophin (PMSG). Dengan meningkatnya jumlah sel telur yang diovulasikan, maka sel telur yang dibuahi akan menjadi bertambah sehinggajumlah anak per kelahiran bisa meningkat. Superovulasi secara komersial dilakukan pada ternak betina unggul (donor) dengan menyuntikkan hormon gonadotrophin untuk merangsang pertumbuhan folikel dan mematangkannya lebih cepat sehingga jumlah sel telur yang diovulasikan lebih banyak dari normal (Jillela, 1982). PMSG merupakan gonadotrophin plasenta yang terdapat pada serum darah kuda bunting, tersusun dari senyawa glikoprotein yang mengandung 2 sub unit yang berbeda (Piper dan Bindon,
1981). PMSG memiliki aktivitas biologis ganda, yaitu serupa dengan FSH dan Luteinizing Hormon (LH) sehingga sering disebut sebagai gonadotropin sempurna.
Pengaruh yang ditimbulkan oleh PMSG antara lain : (1) merangsang pertumbuhan folikel; (2) menunjang produksi estrogen; (3) ovulasi; (4) luteinisasi; dan (5) merangsang sintesis progesteron pada ternak yang dihipofisektomi. Waktu paruh biologis PMSG adalah panjang sehingga dengan dosis tunggal melalui suntikan secara intramuskular cukup untuk menimbulkan ovulasi berganda (Jillella, 1982). Apabila pemberian PMSG tidak disertai dengan pemberian hormon lain, PMSG hams diberikan pada awal fase luteal, yaitu hari ke 16 siklus estrus untuk kambing, dan antara hari ke 12 sampai 14 untuk domba, dengan dosis pemberian 1000 - 1500
IU untuk kambing dan 1000 sampai 1200 untuk domba (Hafez, 1987). Achyadi (1979) melaporkan bahwa pemberian PMSG untuk superovulasi pada domba Priangan sebanyak 750 IU setiap ekor secara intramuskuler pada hari ke 12 siklus berahi, disusul dengan pemberian 250 IU HCG empat hari kemudian, dapat menghasilkan 11 sel telur yang diovulasikan. Bila hanya diberikan PMSG saja dengan dosis dan waktu yang sama jumlah sel telur yang diovulasikan hanya tujuh buah,
sedangkan Sudjatmogo (1991) melaporkan rata-rata meningkat dari
lima ke 7 buah 40% jumlah ovum yang diovulasikan
dengan superovulasi
menggunakan PMSG (dosis 700 sampai 1000 IU) pada kambing Etawah.
Pemberian dan Kuatitas P a b n Sutardi (1980) menyatakan bahwa zat pakan adalah komponen bahan pakan yang dapat dicerna dan dapat diserap serta bermanfaat bagi tubuh ternak. Haryanto
.
dan Djajanegara (1990) menyatakan bahwa zat pakan merupakan substansi kimia dalam bahan pakan yang dapat dimetabolisasi dan dimanfaatkan untuk hidup pokok, maupun kebutuhan yang lain. Apabila ketersediaan zat pakan tersebut cukup dan memenuhi beberapa persyaratan, yaitu segi kualitas, kuantitas dan palatabilitas (Astuti, 1988), maka akan digunakan untuk pertumbuhan, produksi dan reproduksi (Sudono, 1985). Hasil penelitian Sutama, et al (1993) dilaporkan bahwa pemberian pakan secara ad libitum pada domba ekor tipis betina yang dimulai sejak usia lepas sapih, mengakibatkan domba tersebut cepat mencapai pubertas dan mengovulasikan sel telur lebih banyak pada perkawinan pertama, tetapi beberapa domba mengalami kematian anak-anaknya yang tinggi
saat menjelang kelahiran pada periode
kebuntingan yang ke dua. Hasil ini bisa disimpulkan bahwa pemberian pakan yang berkualitas tetapi pemberiannya tanpa batas, bisa berakibat kurang baik terhadap produksi secara keseluruhan. Kekurangan pakan yang serius dan berlangsung satu sampai tiga minggu selama bulan pertama kebuntingan dapat mengakibatkan kematian embrio, tetapi kematian embrio ini tidak sampai melampaui 15%. Selama sepertiga awal kebuntingan, domba dianjurkan hanya diberi pakan untuk kebutuhan hidup pokok saja dengan memperhatikan kualitas nutrisinya, sedangkan pada sepertiga akhir kebuntingan,
pertumbuhan fetus
sangat cepat sehingga disarankan
untuk
meningkatkan pemberian pakannya (Tomaszewska et al, 1990). Penyusunan ransum yang perlu diperhatikan adalah keseimbangan energi dan protein (Sutardi, 1980), karena kekurangan energi akan dapat mengakibatkan
protein tubuh dijadikan sebagai sumber energi. Demikian pula sebaliknya energi yang cukup di dalarn ransum, akan dapat meningkatkan pemanfaatan nitrogen pakan untuk sintesis dan pembentukan protein tubuh (Sutardii 1980; Haryanto dan Djajanegara, 1990). Energi juga merupakan kunci utama untuk kepentingan sintesis air susu, kekurangan energi akan dapat m e n u r u h produksi air susu, walaupun nutrisi lain cukup (Ensminger, 1980). Kebutuhan
energi pada domba sebagian besar
terpenuhi dengan
mengkonsumsi pakan hijauan, rumput kering dan silase, aktivitas bakteri di dalam rumen domba secara efisien dapat mengubah hijauan menjadi energi yang mudah digunakan,
sedangkan kebutuhan
energi
(TDN) untuk domba bunting
kuranglebihnya adalah 66% (Ensminger, 1980; NRC, 1985), sedangkan Anggorodi (1979) menyarankan domba yang bunting maupun laktasi bisa diberikan ransum yang mengandung TDN 75%. Kebutuhan protein untuk domba dipengaruhi antara lain oleh umur, masa pertumbuhan, proses kebuntingan, laktasi, ukuran pencapaian dewasa tubuh, kondisi tubuh dan imbangan energi dengan protein pakan (Ensminger, 1980). Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien dan tidak seperti bahan makronutrien lain seperti lemak dan karbohidrat, protein bisa berperan lebih penting dalam pembentukan biomolekul daripada sebagai sumber energi. Protein dapat juga dipakai sebagai sumber energi, karena kandungan energi pada protein
.
rata-rata adalah 4 kilokalori/gram atau setara dengan kandungan kalori pada karbohidrat (Sudarmadji, 1989).
Domba yang sedang pada periode akhir kebuntingan, kebutuhan energi dan protein masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan kebutuhan energi dan protein pada bulan pertama lakasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa kebutuhan TDN dan protein menurut NRC (1985) pada domba dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1) untuk kebutuhan 6 rninggu akhir kebuntingan atau 8 minggu akhir laktasi dan menyusui anak tunggal adalah TDN 58% dan protein kasar 9.3% 2) untuk kebutuhan 8 minggu awal laktasi dam menyusui anak tunggal, atau 8
minggu akhir laktasi dan menyusui dua anak adalah TDN 65% dan protein kasar 10.4% 3) untuk kebutuhan 8 minggu awal laktasi dan menyusui dua anak adalah TDN 65% dan protein kasar 113%.
Pengaruh pakan
pada pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing tidak
begitu dominan seperti pengaruh sistem hormonal, namun kecukupan nutrisi juga ikut menentukan jumlah produksi air susu
yang
dihasilkan.
Hal ini ada
hubungannya dengan ketersediaan substrat bagi pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing serta bahan baku untuk sintesis air susu (Manalu, 1994; Manalu dan Sumaryadi, 1996b). Domba yang mernperoleh tambahan konsentrat 1000 gram selama laktasi, ternyata rata-rata BKBL kelenjar ambingnya lebih dibandingkan
tinggi
rata-rata bahan kering bebas lemak (BKBL) kelenjar ambing
domba yang memperoleh tambahan konsentrat 500 gram (Manalu dan Sumaryadi, 1996a), selanjutnya dinyatakan, bahwa hasil penelitian tersebut perlu ditindaklanjuti, tidak saja hanya pembedaan pemberian kuantitas konsentrat, tetapi pada pembedaan kualitas pakan, sehingga hasiinya diharapkan bisa meningkatkan jumlah sel-sel sekretoris kelenjar ambing, dengan demikian pada gilirannya bisa meningkatkan produksi air susu.
Pertumbuhan dan Perkembangan Kelenjar Ambing Proses pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing dalam rangka persiapan laktasi terjadi selama masa kebuntinggan temak, yang dipengaruhi oleh mekanisme kerja hormon mammogenik (Knight dan Peaker, 1982; Anderson, 1985; Imagawa et al., 1985; Tucker, 1985; Imagawa et al., 1986; Winder dan Forsith, 1986; Tucker, 1987). Hormon mammogenik dihasilkan oleh ovarium, korpus luteum, plasenta, kelenjar hipofisa dan kelenjar adrenal (Anderson, 1985). Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh kualitas pakan yang diberikan, semakin baik kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan selama periode kebuntingan domba, maka laju pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing akan semakin baik (Ratray et al., 1974; Anderson, 1985). Perturnbuhan dan perkembangan kelenjar ambing dimulai dari proses pemanjangan saluran kelenjar, kemudian percabangannya dan pembentukan lobul alveolar, pemanjangan saluran kelenjar ambing dipengaruhi atau dikontrol oleh kerja estrogen (Wright dan Anderson, 1982; Anderson, 1985; Wahap dan Anderson, 1989), sedangkan proses percabangan dan pembentukan lobul alveolar terjadi setelah proses pemanjangan saluran selesai dan dikontrol oleh progesteron, serta laktogen plasenta (Anderson, 1985; Manalu dan Sumaryadi, 1996 a;
Forsyth,
1986; Manalu, 1994). Sekresi hormon-hormon yang dihasilkan oleh ovarium dan plasenta, yaitu estrogen, progesteron dan laktogen plasenta peningkatannya selalu linear dengan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing serta bertambahnya umur
kebuntingan (Convey, 1974; Rattray et al., 1974; Anderson, 1975; Anderson et al., 1981; Sheldrick et al., 198 1; Tucker, 1985). Plasenta yang tidak berfungsi sebagai
kelenjar penghasil progesteron dan estrogen, akan menghasilkan laktogen plasenta (Hayden et al., 1979; Hayden et al., 1980; Buttler etal., 1981; Forsyth, 1986). Laktogen plasenta secara bersamasama dengan progesteron dan estrogen akan meningkat secara drastis sekresinya selama periode plasentasi, dan
merangsang
pertumbuhan serta perkembangan kelenjar ambing Wcketts dan Flint, 1980; Sheldrick et al., 1981; Forsyth, 1986; Manalu dan Sumaryadi, 199%; Sumaryadi dan Manalu, 1995e). Peningkatan progesteron, estrogen, dan laktogen plasenta selama. kebuntingan adalah untuk persiapan laktasi setelah terjadinya proses kelahiran (Rattray et al., 1974; Ricketts dan Rint, 1980; Sheldrick, 1981; Forsyth, 1986; Sumaryadi dan Manalu, 1995b). Pernesatan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing selama periode kebuntingan, akan menghasilkan komponen sel-sel kelenjar ambing yang terdiri atas sistern pembuluh, sel-sel epitel, jaringan ikat dan jaringan basal tempat sel-sel sekretoris bertaut (Anderson, 1985). Selama periode laktasi, pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing sudah tidak terjadi lagi atau sudah berhenti, ha1 ini disebabkan karena hormonhormon yang merangsang pertumbuhan dan perkernbangan kelenjar ambing sudah sangat relatif kecil konsentrasinya atau sudah sangat menurun konsentrasinya (Anderson et al., 1981). Dengan demikian maka air susu yang dihasilkan oleh kelenjar arnbing akan sangat tergantung pada potensi kelenjar ambing itu sendiri dan substrat yang akan digunakan sebagai bahan baku sintesis air susu (Collier, 1985; Anderson, 1985).
Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing domba 98 persen terjadi selama periode kebuntingan, sedangkan pertumbuhan dan perkembangan ambing selama periode laktasi hanya dua persen (Anderson, 1975). Mekanisme kerja kelenjar ambing dalam menghasilkan air susu selama periode laktasi tergantung pada pbnyediaan substrat untuk sintesis komponen air susu dan jumlah sel-sel sekretoris yang aktif (Davis dan Collier, 1983; Coppock, 1985; Djojosoebagio, 1965; Anderson, 1985; Wilde dan Knight, 1989).
Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing secara umum dapat ditentukan dengan mengukur kandungan BKBL, DNA, RNA dan kolagen kelenjar ambing (Anderson et al., 1981; Sheffield dan Anderson, 1985).
Proporsi
pertumbuhan kelenjar arnbing domba apabila didasarkan pada pengukuran bobot basahnya, rnaka pada saat sebeium kebuntingan mencapai 25%, saat periode kebuntingan 55% dan pada awal laktasi 20%. Pengukuran pertumbuhan kelenjar ambing berdasarkan BKBL, dari lahir sampai bunting mencapai 20%, selama periode kebuntingan 80% dan selama laktasi tidak ada peningkatm, apabila diukur peningkatan kandungan deoxyribonucleid acid (DNA), maka dari lahir sampai bunting 20%, selama periode kebuntingan 78% dan pada awal laktasi 2% (Anderson, 1975). Jumlah DNA kelenjar ambing menggambarkan populasi sel-sel sekretoris pembentuk kelenjar ambing, jumlah RNA menggambarkan aktivitas sintesis protein yang diperlukan untuk membangun keseluruhan jaringan kelenjar ambing dan untuk sintesis protein, enzim dan produk dalam sel sekretoris, sedangkan kolagen sebagai jaringan pendukung
kelenjar ambing (Manalu, 1994).
Penambahan
konsentrat selama laktasi pada domba induk beranak kembar dapat menahan laju penurunan BKBL, DNA, RNA dan kolagen masing-masing sebesar 52.7%, 57.5%, 81.6% dan 57.9% (Sumaryadi, 1997). Laju penyusutan kelenjar ambing dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain tingkat pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing selama periode kebuntingan, ketersediaan substrat untuk sintesis air susu, perlakuan-perlakuan selama pemerahan, dan kejadian infeksi ambing (Shefield dan Anderson, 1985; Manalu dan Sumaryadi, 1996b; Anderson, 1985; Gonzalo et al., 1994). Produksi dan Sintesis Air Susu Domba
Sudono et al. (1989) menyatakan bahwa definisi air susu adalah air sum sapi yang tidak dibubuhi atau tidakdikurangi sesuatu zat apapun dan diperoleh dari pemerahan sapi-sapi yang sehat, selanjutnya dinyatakan susunan air susu tiap-tiap jenis dan bangsa ternak selalu berbeda (Tabel 1). Produksi air susu domba di Jawa berkisar antara 274 sampai 382mllekorthari (Sitorus et al., 1985), sedangkan domba Priangan yang diberi pakan konsentrat 500 g/ekor/hari dan 1OOO glekorhari, masing-masing produksi air susunya adalah 108 mV4 jam dan 160.51 m114 jam (Sumaryadi, 1997). Jumlah produksi air susu domba dipengaruhi oleh jumlah anak yang dilahirkan (Manalu, 1994), semakin banyak jumlah anak, semakin tinggi produksi air susu yang dihasilka~namuntingginya produksi air susu yang dihasilkan pada awal laktasi tidak dapat dipertahankan sampai akhir laktasi (Getenby, 1986; Owen, 1976), sedangkan Sutama (1990) menyatakan, domba Jawa menghasilkan rata-rata produksi air susu harian lebih rendah daripada
domba Merino. Kuantitas dan kualitas air susu yang diproduksi oleh domba sebagian dipengaruhi oleh jenis pakan yang diberikan, cara pemberian pakannya dan status nutrisi pakan (Devendra dan Mangkoewidjojo, 1993) Tabel 1. Kandungan Zat-zat Midcanan di dalam Air SusuBerbagai Jenis Ternak dan Manusia Bahan kering
Protein
Lemak
Laktose
Mineral
Manusia
12.6
3.1
3.5
4.9
0.30
Sapi perah
12.83
3.5
3.8
4.9
0.73
Domba
17.0
3.2
6.2
4.7
0.90
Kambing
13.0
3.7
4.0
4.45
0.85
Kerbau
21.4
5.5
10.5
4.5
0.85
Sapi Zebu
13.3
3.4
4.2
5.0
0.80
Jenis
-------------------("/.)--------------------------------
Induk domba yang mempunyai tiga ekor anak, maksimum produksi air susunya dicapai pada minggu ke satu dan ke dua laktasi dengan angka produksi 3.75 kglekorhari, kemudian turun sampai minggu ke 10. Induk domba yang mempunyai dua ekor anak, produksi air susu maksimum dicapai pada minggu ke dua dan ke tiga dengan angka produksi 2.9 kglekorkari, kemudian turun sampai minggu ke sepuluh. Lebih lanjut dilaporkan untuk induk domba yang mempunyai seekor anak, maksimum produksi air susunya dicapai pada minggu ke dua dengan angka produksi 1.9 kglekodhari, kemudian turun perlahanlahan sarnpai minggu ke sepuluh (Pearl et a]., 1973). Sutardi (1980) menyatakan peningkatan produksi air susu yang tidak seimbang dengan
peningkatan
pakan
yang dikonsumsi oleh ternak akan
mengakibatkan pembongkaran nutrisi cadangan yang ada di tubuh ternak. Hal ini akan menyebabkan ternak mengalami penurunan bobot badan. Penurunan produksi air susu yang diakibatkan oleh kurangnya protein pakan, juga akan mengakibatkan penurunan bobot badan pada awal laktasi, namun juga sulit dikembalikan sampai akhir laktasi (Sutardi, 1980; Sudono, 1985). Kekurangan aliran substrat ke kelenjar arnbing dan kematian sel-sel \
sekretoris yang lebih cepat pada saat laktasi merupakan penyebab penurunan produksi air susu. Produksi air susu merupakan hngsi jumlah sel-sel sekretoris yang aktif dan aktivitas metabolik kelenjar ambing (Djojosoebagio, 1965; Davis dan Collier, 1983). Proses modulasi aliran substrat ke kelenjar ambing sangat ditentukan oleh konsentrasi substrat dan laju alir darah ke kelenjar ambing. Zat-zat nutrisi pakan yang ada di dalam sistem sirkulasi berasal dari penyerapan sistem saluran pencernaan makanan dan dari mobilisasi cadangan energi tubuh (Davis dan Collier, 1983; Collier et al., 1984; Vernon dan Findley, 1988; Vernon, 1989). Pengaturan sistem transportasi zat-zat pakan yang dibawa oleh aliran darah ke dalam kelenjar ambing diatur oleh mekanisme kerja hormon (Djojosoebagio dan Turner, 1964b; Larson, 1985). Pengaturan hormon-hormon metabolisme dengan bantuan beberapa enzim pada waktu laktasi, akan bisa meningkatkan aktivitas sintesis komponen air susu di dalam sel-sel sekretoris yang telah berfungsi, pada tahap ini komponen sel-sel epitel kelenjar ambing telah dipersiapkan bersama-sama semua perangkat enzimnya untuk merangkai substrat yang berupa glukosa, asam amino, asam lemak dan gliserol secara berturut-turut menjadi laktosa, protein, dan lemak air susu (Anderson,
1985; Tucker, 1985; Forsyth, 1986; Tucker, 1987). Sintesis laktosa di dalam kelenjar ambing berasal dari glukosa dengan bantuan enzim laktosa sintetase, konsentrasi glukosa di dalam sistem sirkulasi darah berasal dari ekstraksi propionat di hati (Baldwin dan Smith, 1983; Annison el al., 1984; Collier, 1983). Adapun sintesis protein air susu berasal dari sirkulasi asam amino di dalam darah hasil penyerapan di saluran pencernaan makanan maupun dari proses glukoneogenesis, glukosa dan beberapa sumber nitrogen diperlukan untuk sintesis asam amino pada kelenjar ambing (Annison et al., 1984; Collier, 1985; Baumrucker, 1985). Sintesis lemak air susu terjadi di dalam sitoplasma sel-sel sekretoris kelenjar ambing. Asetat dan betahidroksibutirat selain untuk sumber energi juga digunakan untuk sintesis lemak air susu oleh enzim asetil CoA carboxylase (Annison et ~11984;Collier, 1985; Keenan dan Dylewski, 1985), oksidasi glukosa melalui siklus pentose oleh enzim
glukose-6-p-dehidrogenase diperlukan untuk sintesis asarn lemak di kelenjar ambing (Baldwin dan Smith, 1983). Penurunan laju ketersediaan substrat di dalam kelenjar ambing akan mengakibatkan laju sintesis komponen air susu misalnya laktosa, lemak dan protein juga akan menurun (Bines dan Hart, 19852), sehingga kondisi seperti tersebut akan mengakibatkan juga sejumlah besar cadangan nutrisi pakan yang ditimbun selama periode kebuntingan
akan dibongkar dan digunakan untuk mempertahankan
produksi air susu, namun apabila tingkat konsumsi induk sangat tidak memenuhi kebutuhan untuk sintesis air susu, maka akan menimbulkan neraca nutrient negatif yang biasanya terjadi pada awal laktasi (Shefield dan Anderson, 1985), karena sekitar 65 sampai 83% metabolisme energi induk akan diubah untuk sintesis air susu
selama laktasi (Gardner dan Hogue, 1963). Hasil mobilisasi asam lemak akan menyebabkan penumpukan asetil CoA yang tak dapat memasuki siklus asam sitrat, sehingga akan diubah menjadi benda-benda keton seperti aseton, betahidroksibutirat maupun asetoasetat sebagai hasil kondensasi 2 mol asetil CoA (Foot et al., 1984; Cumins et a1 , 1984). Apabila domba ada pada neraca nitrogen negatif, maka akan terjadi katabolisme protein yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi nitrogen urea darah (Pheel et al.,1981). Pertumbuhan Anak Domba sampai Umur Sapih
Pertumbuhan adalah merupakan suatu proses peningkatan ukuran sebagai akibat perkembangan jaringan, oleh sebab itu seekor ternak yang sedang tumbuh tidak sekedar bertambah besar, tetapi juga terjadi perubahan-perubahan pada struktur tubuh, fkngsi, proporsi dan komposisi tubuh, atau ternak yang sedang tumbuh maka akan terjadi perkembangan struktur baru dan perubahan fkngsi (Forrest et al., 1975), selanjutnya Natasasmita (1978) mendefinisikan, pertumbuhan merupakan suatu proses penting dalam produksi daging, sehingga ada dua aspek yang menyangkut proses pertumbuhan, yaitu : 1). peningkatan massa tubuh per satuan waktu, dan 2). pembahan bentuk serta komposisi tubuh sebagai hasil laju pertumbuhan nisbi komponen tubuh yang berbeda. Pertumbuhan ditandai dengan terjadinya sintesis biologis yang menghasilkan unit-unit biokimia baru dan merupakan aspek perkembangan, yaitu proses perbanyakan sel, pembesaran sel atau penggabungan material yang berasal dari lingkungan (Brody, 1945). Pertumbuhan dan perkembangan anak pada fase fetus, setela organogenesis
selesai sangat dipengaruhi oleh at-zat pakan yang tersedia dari sistem sirkulasi induk, sehingga fetus telah dapat mengekstraksi zat-zat pakan dari sistem sirkulasi induk dengan perantaraan plasenta (Annison et al., 1984). Pada tahap ini peredaran zat-zat pakan yang ada dalam sistem sirkulasi induk dapat menjadi pembatas utama bagi pertumbuhan dan perkembangan fetus, maupun bagi plasenta itu sendiri (Bell, 1984). Setelah plasenta sempurna, fetus telah merupakan individu yang secara metabolis bisa berdiri sendiri, kecuali dalam ha1 mendapatkan at-zat pakan yang masih tergantung pada ketersediaan pakan oleh sistem sirkulasi induk (McDonald, 1980), sedangkan Forrest et d. (1975) menyatakan, faktor-faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan fetus adalah sifat keturunan, konsumsi nutrisi induk, umur kebuntingan, hormon yang dihasilkan plasenta, serta kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban. Suatu kenyataan menunjukkan bahwa tingkat kematian fetus setelah periode plasentasi lebih kecil apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya (Tuju dan Manalu, 1966), namun demikian pertumbuhan dan perkembangan fetus sampai lahir h p s mencapai bobot lahir yang cukup, sehingga akan berpengaruh baik pada pertumbuhan fase pasca kelahiran (Tuju dan Manalu, 1996; Manalu dan Sumaryadi, 1996). Pada periode akhir kebuntingan yang perlu diperhatikan adalah proses mobilisasi zat-zat pakan ke dalam sistem sirkulasi untuk memprioritaskan kebutuhan fetus (Bauman dan Davis, 1982; Annison et al., 1984; Egan, 1984; Sumaryadi dan Manalu, 1995d; Manalu dan Sumaryadi, 1996a; Tuju dan Manalu, 1996). Perhunbuhan dm perkembangan anak setelah lahir sampai umur sapih dipengaruhi oleh bobot lahir (Subandriyo, 1990) dan pemberian air susu dari induk
(Tiesnamurti, 1992). Bobot sapih selain ditentukan oleh bobot lahir, yang merupakan akumulasi pertumbuhan embrio sampai fetus, juga tergantung pada ketersediaan produksi air susu induk (Sumaryadi dan Manalu, 1995c; Manalu dan Sumaryadi, 1996) yang akan menentukan daya tahan hidup anak selama periode prasapih (Bell, 1984; Tiesnarnurti, 1992). Bobot lahir anak-anak domba sangat dipengaruhi oleh tipe kelahiran dan merupakan faktor yang paling dominan pengaruhnya (Aziz et al., 1978; Buvanendran, 1981). Bobot lahir anak domba iipe kembar dua, tiga dan empat masing-masing sebesar 81, 64 dan 53% dari bobot lahir anak domba tipe anak tunggal (Stagnaro, 1983), sedangkan Subandriyo (1984) melaporkan, bobot lahir anak-anak domba di Garut tipe kembar dua dan tiga'masing-masing 77.4 dan 57.1% dari bobot lahir anak tipe tunggal, sedangkan di stasiun perwbaan Cicadas, bobot
lahir anak domba tipe dua, tiga, dan empat masing-masing 74.1, 60.0, dan 43.7% dari bobot lahir anak tipe tunggal. Lebih lanjut dilaporkan, bahwa bobot lahir anak domba lokal Indonesia di stasiun percobaan Cicadas dan di Garut masingmasing adalah 1.87 dan 1.97 kg, sedangkan bobot lahir untuk anak-anak domba Priangan rata-rata 2.2 kg (Subandriyo et al., 1981). Bobot lahir anak domba selain dipengaruhi oleh tipe kelahiran, juga dipengaruhi oleh umur induk pada saat beranak, bobot lahir anak paling berat dicapai pada saat induk berumur lima tahun, sedangkan bobot lahir anak paling ringan dicapai oleh induk yang berumur dua tahun (Yachya, 1988). Jenis kelamin anak juga berpengaruh pada bobot lahir,
i
pada umumnya anak jantan mempunyai bobot lahir yang lebih berat daripada bobot 0
lahir anak betina (Malik et al., 1980). Demikian pula musim kelahiran anak
domba juga berpengaruh pada keragaman bobot lahir, induk-induk domba yang beranak antara bulan Nopember sampai April maka bobot lahir anak-anaknya akan lebih berat daripada bobot lahii an&-an& domba yang lahir antara bulan Mei sampai Oktober (Aziz et al., 1978). Pertumbuhan anak-an& domba pasca lahir sangat menentukan dalam pencapaian bobot sapih, dan kurva pertumbuhan anak domba sampai umur 90 hari adalah positif linear (Subandriyo, 1984), selanjutnya dilaporkan, terdapat perbedaan laju pertumbuhan per hari pada rnasa sebelum sapih sehingga menimbulkan perbedaan yang besar pada bobot sapih antara kelahiran tunggal dengan kelahiran kembar. Laju pertumbuhan per hari an& domba di Garut untuk kelahiran tunggal, kembar dua, dan kembar tiga, masing-masing adalah 82.6, 62.4, dan 58.2 gram, dengan bobot sapih masing-masing 9.82, 7.84, dan 7.34 kg. Adapun hasil penelitian dari stasiun Cicadas, kecepatan pertumbuhan anak domba per hari dari
anak kelahiran tunggal, kembar dua, kembar tiga, dan kembar empat, masing-masing adalah 101.4, 77.6, 74.9, dan 68.7 g, dengan bobot sapih masing-masing 10.94, 9.24, 9.14, dan 8.88 kg (Subandriyo, 1984).