TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Domba Garut Domba merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang sangat populer di masyarakat Indonesia. Selain mudah dipelihara, domba juga disenangi masyarakat
karena
dapat
berfungsi
sebagai
tabungan
yang
mudah
diperjualbelikan. Menurut Sudarmono dan Sugeng (2005), di Indonesia terdapat berbagai tipe domba, yaitu (1) Domba asli Indonesia atau disebut dengan domba kampung atau lokal. Ciri-cirinya, berbadan kecil, lambat dewasa, warna bulu tidak seragam, dan karkasnya rendah. (2) Domba Priangan atau disebut dengan Domba Garut yang merupakan persilangan antara domba asli, merino, dan ekor gemuk dari Afrika Selatan. Domba Garut
banyak terdapat di Garut sebagai
domba laga dengan ciri-ciri sebagai berikut: mempunyai tubuh besar dan lebar (60 kg untuk jantan dan 35 kg untuk betina); jantan bertanduk dan melengkung ke belakang; daun telinga ramping; warna bulu kombinasi putih hitam dan cokelat atau warna campuran. (3) Domba ekor gemuk banyak terdapat di Jawa Timur, Madura, Sulawesi, dan Lombok. Ciri-cirinya, bentuk badan besar (50 kg untuk jantan dan 40 kg untuk betina), bertanduk pada yang jantan, dan berekor panjang (pada bagian pangkalnya besar dan menimbun lemak yang banyak, ujung ekornya kecil tidak berlemak). Domba (Ovis aries) menurut sistematikanya diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Artodactyla
Famili
: Bovidae
Genus
: Ovis
Spesies
: Ovis aries
Domba Garut merupakan bangsa domba yang berasal dari Jawa Barat yaitu Kabupaten Garut. Domba Garut disebut juga Domba Priangan termasuk tipe besar (Triwulaningsih et al. 1981). Domba Garut berkembang sejak tahun
1864 merupakan hasil persilangan tiga bangsa yaitu Domba Merino dari Australia, Domba Kapstad dari Afrika Barat Daya dan domba lokal (Devendra and McLeroy 1982). Ciri khas Domba Garut adalah sebagai berikut: propil kepala cembung, bentuk muka bagian atas lebar, pendek dan sedikit cembung. Daun telinga memiliki kombinasi antara kuping rumpung/rudimenter (di bawah 4 cm) atau ngadaun hiris (4-8 cm). Bentuk ekor lebar dan berlemak pada pangkal ekor dan mengecil ke ujung (ngabuntut beurit atau ngabuntut bagong) . Domba jantan mempunyai tanduk besar, kokoh, kuat dan melingkar, sedangkan betina tidak bertanduk. Bobot hidup jantan dewasa antara 50-80 kg, sedangkan betina dewasa 35-40 kg. Ternak betina prolifik tinggi dan mempunyai selang kelahiran pendek. Warna bulu bervariasi hitam, putih, coklat dan belang (Heriyadi 2006; Devendra and McLeroy 1982; Mulyono 2003). Keturunan hasil persilangan ini baik karena memiliki daya produksi wool dari Merino dan tinggi badan lebih tinggi dari Kaapstaad. Pusat pengembangan Domba Garut yang ada dewasa ini berada di daerah Garut, hasilnya disebar ke daerah
lain seperti
Sumedang, Bandung, Tasikmalaya dan sekitarnya.
Berdasarkan dari tinggi badannya, domba ini cocok sebagai domba aduan (Merkens and Soemirat 1979). Seni Ketangkasan Domba Garut diperkirakan telah berlangsung sejak terbentuknya bangsa domba ini. Domba Garut memiliki penampilan yang menarik sehingga sering digunakan sebagai hewan peliharaan (Gambar 1.)
Gambar 1 Domba Garut jantan dewasa.
9
Anatomi Sistem Reproduksi Domba Jantan Organ reproduksi domba jantan terdiri atas tiga komponen yaitu : (1) organ kelamin primer yaitu testes, (2) kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap yaitu kelenjar vesikularis, kelenjar prostat, kelenjar bubourethalis dan saluran-saluran epididimis serta duktus deferen, (c) alat kelamin luar yaitu penis (Toelihere 1993). Anatomi sistem reproduksi domba jantan dapat dilihat pada Gambar 2. Komponen-komponen yang penting pada gonand jantan adalah tubulus seminiferus yang mensekresikan spermatozoa dan sel leydig yang terdapat pada jaringan interstitial yang mensekresikan androgen. Androgen mempertahankan sifat seks sekunder (jengot, suara, tanduk, jengger, agresivitas dan sebagainya) dan kelenjar aksesoris (kelenjar-kelenjar prostat, vesikula seminalis dan kelenjar Cowper). Sekresi kelenjar aksesori merupakan komponen essensial semen.
Gambar 2 Anatomi sistem reproduksi domba jantan (Kott 2008).
Testis Testis selain merupakan kelenjar endokrin karena menghasilkan hormon, juga
berfungsi
sebagai
kelenjar
eksokrin
karena
menghasilkan
sel-sel
spermatozoa. Testes pada hewan mamalia, terletak dalam kantong skrotum dan mempunyai dua lobus. Masing-masing lobus terbungkus oleh kapsula fibrosa tebal disebut tunika albugenia (Steinberger E and Steinberger A 1975). Dalam perkembangannya, gonad (testis pada individu jantan) berasal dari lipatan
10
membujur epitel selom, sebelah kiri dan kanan mesenteri dorsal yang biasanya dinamakan tonjolan genital (genital ridge). Sel gamet (spermatozoa) berkembang dari sel germinal primordium (SGP) yang berasal dari luar gonad. SGP mulamula ditemukan pada kantong kunir, kemudian bergerak menuju usus belakang (hind gut) dan melalui mesenteri dorsal sampai kepada tonjolan genital (Suhana and Rafiah 1982). Selanjutnya epitel selom mengelilingi sel-sel mesenkim dan SGP, membentuk bakal tubulus (sex cord) yaitu tubulus seminiferus yang masih sederhana.
Sel-sel interstisial antara bakal tubulus berkembang menjadi sel
Leydig yang dapat membentuk hormon androgen, sedangkan bakal tubulus akan membentuk tubulus seminiferus (Johnson and Everitt 1980). Proses pembentukan tetis memerlukan hormon testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig. Sel ini terus menerus membuat androgen sampai beberapa bulan setelah kelahiran, kemudian berhenti berproduksi dan akan aktif kembali ketika masa pubertas sampai dewasa (Johnson and Everitt 1980). Ditinjau secara histologis, testis pada hewan mamalia umumnya terdiri atas jaringan epitel seminiferus, yaitu jaringan pengikat dinding tubulus seminferus, jaringan pengikat intertubuler dan jaringan pengikat padat pembungkus testis.
Epitel seminiferus terdiri atas dua macam sel yaitu sel
penunjang atau sel sertoli dan sel-sel kelamin dari berbagai tingkat perkembangan.
Sel sertoli terdapat sepanjang membran basalis yang mudah
dibedakan
sel
dari
kelamin,
karena
bentuk
nukleoplasmanya homogen dan anak intinya jelas.
selnya
torak,
inti
oval,
Jumlah sel sertoli pada
mamalia dewasa umumnya tetap dan sangat resisten terhadap zat-zat yang dapat membunuh atau merusak sel-sel kelamin (Oakberg 1959; Rowley and Heller 1971). Oleh karena itu, sel sertoli dapat digunakan sebagai faktor pembanding yang konstan dalam analisis kuantitatif dari epitel seminiferus. Sel sertoli mempunyai fungsi penting yang erat kaitannya dengan kelangsungan hidup sel kelamin, antara lain: 1. Sebagai sumber nutrisi bagi sel-sel kelamin, karena ada hubungan yang erat antara jumlah glikogen dalam sertoli dengan perkembangan sel kelamin pada spermatogenesis (Fabbrini and Hafez 1980).
11
2. Sebagai sel sekresi antara lain menghasilkan protein pengikat androgen (ABP) yang berperan sebagai alat pengangkut androgen ke sel-sel kelamin (Frecnh and Ritzen 1973), inhibin (Steinberger 1979) dan estrogen (Lacy 1967). 3. Fagositosis terhadap sel-sel kelamin yang mengalami degenerasi atau rusak dan memfagositosis sisa protoplasma spermatozoa dewasa (residual bodies) yang banyak terdapat dalam tubulus (Carr et al. 1968). 4. Berfungsi sebagai penghalang darah testis (blood-testis barrier). Secara ultrastruktur, sitoplasma sel sertoli membentuk tonjolan-tonjolan yang kemudian bercabang-cabang seperti tangan.
Cabang-cabang tersebut
menyebar diantara sel-sel kelamin dan memberi kesan melindungi perkembangan sel-sel kelamin. Cabang sitoplasma sel sertoli yang berdekatan akan saling bertautan erat sekali, sehingga menghambat darah masuk ke dalam tubulus seminiferus. Pertautan cabang sel sertoli yang berdekatan disebut sertoli-sertoli junction (Dym and Fawcet 1970; Dym 1973; Fawcett 1975). Sel-sel kelamin pada epitel seminiferus terdiri atas berbagai tingkat perkembangan.
Letak sel-sel kelamin dalam tubulus seringkali dihubungkan
dengan tingkat perkembangannya.
Makin dewasa tingkat perkembangan sel
kelamin, makin dekat letaknya ke arah lumen. Sebaliknya, sel-sel kelamin yang tingkat perkembangannya belum maju, misalnya spermatogonia, letaknya pada membran basalis (Soeradi 1987).
Spermatogenesis Spermatogenesis merupakan rangkaian proliferasi dan diferensiasi sel spermatogonia di dalam tubulus seminiferus testis membentuk spermatozoa. Lamanya spermatogenesis adalah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh proses tersebut, termasuk tahapan dalam rangka menambah jumlah spermatogonia. Rangkaian tahapan spermatogenesis dibagi menjadi tiga tahapan. Tahap pertama, sel spermatogonia mengadakan pembelahan mitosis menghasilkan spermatosit dan sel induk spermatogonia (stem cell). Tahap kedua adalah tahap pembentukan spermatid yang haploid dari spermatosit melalui pembelahan reduksi (meiosis). Tahap ketiga adalah pembentukan spermatozoa dari spermatid melalui proses spermiogenesis (Clermont 1972).
12
Secara morfologis, dinamika epitel seminferous dapat dibagi dalam aspek sitologis dan histologis. pembaruan
(renewal),
Aspek sitologis antara lain meliputi proliferasi, diferensiasi
spermatogonia,
meiosis
spermatosit,
spermiogenesis dan spermiasi. Selanjutnya untuk memperoleh gambaran aspek histologis tersebut, maka epitel seminiferus secara keseluruhan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh. Dengan cara demikian akan dapat dibedakan berbagai kumpulan sel-sel epitel seminiferus (asosiasi sel) yang terbesar di sepanjang tubulus. Menurut Steinberger and Steinberger (1975), ada beberapa hal penting dari kinetika spermatogenesis, antara lain: 1. Siklus epitel seminiferus Epitel seminiferus pada hewan mamalia dewasa terdiri atas sel sertoli dan sel-sel kelamin (sel germinal) yang berada pada perkembangan tertentu. Adanya tingkatan perkembangan sel-sel germinal pada tubulus seminferus tersebut, terutama disebabkan oleh perbedaan waktu proliferasi dan diferensiasi dari sel induk spermatogonia. 2. Spermiogenesis Segera setelah terbentuk spermatosit primer, akan memasuki profase I dari pembelahan reduksi, dengan urutan menuju ke arah lumen adalah leptoten, zigoten, pakiten, diploten dan diakinesis. Setelah itu, spermatosit primer mengalami pembelahan reduksi pertama untuk membentuk spermatosit sekunder.
Kemudian mengalami pembelahan reduksi kedua membentuk
sprmatid yang haploid.
Spermatid yang terbentuk akan mengalami
serangkaian perubahan morfologi yang rumit membentuk spermatozoa, dinamakan proses spermiogenesis. Rangkaian perubahan tersebut dapat dibagi menjadi empat fase yaitu : fase golgi, fase tudung (cap), fase akrosom, dan fase pematangan atau maturasi.
Beberapa tahapan perkembangan sel
spermatozoa dapt dilihat dalam Gambar 3.
13
Gambar 3 Tahap-tahap perkembangan sel spermatosit (Smith 2006).
Pada spermatid yang baru terbentuk, terdapat badan golgi yang terletak pada sitoplasma dekat inti. Tanda diferensiasi pertama yang terlihat adalah adanya granula dalam badan golgi. Granula ini disebut dengan proakrosom yang banyak mengandung karbohidrat.
Pada perkembangan selanjutnya
granula-granula akan bersatu membentuk granula akrosom dalam suatu kantong akrosom yang melekat pada sisi luar inti. Pada tingkat perkembangan seperti ini spermatid tersebut berada dalam fase golgi. Pada fase tudung, membran kantong akrosom memperluas area perlekatannya pada membran inti, dan akhirnya melingkupi seluruh belahan anterior dari inti (Clermont and Leblon 1955; Steinberger dan Steinberger 1975). Pada fase akrosom, terjadi kondensasi nukleoplasma dan pemanjangan spermatid, serta terjadi redistribusi materi akrosom.
Pada fase ini materi
akrosom yang tadinya terkumpul pada ujung anterior, mulai menyebar ke dalam lipatan membran kantong akrosom membentuk tudung akrosom. Pada fase pematangan, sistem akrosom tidak mengalami perkembangan berarti, tetapi materi ini terus mengalami perkembangan sampai membentuk masa padat yang homogen. Pada awal perkembangan kantong akrosom, sentriol bergerak ke ujung berlawanan dari spermatid. Di sini sentriol distal terletak tegak lurus pada permukaan sel dan membentuk flagel spermatozoa (Clermont and Leblon 1955; Steinberger dan Steinberger 1975). Hasil scanning elektron mikrograph pada spermatozoon dapat dilihat pada Gambar 4.
14
Gambar 4 Scanning elektron mikrograph spermatozoon (Smith 2006).
Pematangan Spermatozoa Secara garis besar kemampuan fungsional spermatozoa meliputi dua hal utama yaitu kemampuan gerak dan kemampuan dalam melakukan fertilisasi (Soeradi 1990). Setelah terbentuk di dalam tubulis seminiferus, spermatozoa belum memiliki kemampuan tersebut.
Kemampuan ini diperoleh setelah
spermatozoa ke luar meninggalkan tubulus seminiferus testis, dan mengalami pematangan secara perlahan dan bertahap, dimulai dari kaput, korpus, dan berakhir di kauda epididimis. Pada umumnya proses maturasi spermatozoa di dalam epididimis memerlukan waktu 14 hari (Steinberger dan Steinberger 1975). Tanpa hormon androgen, epididimis akan mengecil dan beratnya menurun hingga 25% dari normal.
Pemberian testosteron pada hewan kastrasi,
mengakibatkan berat epididimis meningkat tiga kali dibanding kontrol.
Jika
androgen dicegah masuk ke dalam lumen epididimis maka proporsi protein terlarut dan fosfolipid menjadi rendah, demikian juga kandungan RNA. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menjalankan fungsinya, epididimis sangat tergantung pada ambang androgen (high threshold of androgen) (Jindal and Panda 1980). Sel-sel epitel epididimis melakukan transfort aktif elektrolit dalam menjalankan fungsinya sebagai tempat maturasi,
Elektrolit utama yang
didistribusikan melintasi membran sel ialah Na+, K+, Ca+ HPO4 dan Cl-.
Air
diabsorpsi dari lumen sehingga sekitar 98% cairan testis diserap ke dalam epididimis, terutama di bagian kaput (Wong and Yeung 1977).
15
Senyawa-senyawa yang disintesis dan diekskresikan oleh epitel epididimis ialah protein, glikoprotein, fosfolipid, gliseril fosforilkolin, karnitin, asam sialat dan inositol.
Fosfolipid penting sebagai substrat maturasi, yaitu untuk
menstabilkan sistem membran spermatozoa. Bahan ini juga sebagai prekursor gliseril fosforilkolin, yang penting untuk metabolisme spermatozoa. Jika plasma semen tiba pada saluran kelamin betina, gliserol dilepaskan dan ATP dipakai sebagai sumber energi, disamping glukosa dan fruktosa (Riar et al. 1973). Karnitin diperlukan untuk transfort asam lemak berupa senyawa fatty acyl ke dalam mitokondria spermatozoa dan digunakan pula sebagai sumber energi, sedangkan fosfolipid sebagai substrat maturasi bersama inositol. Adenosin trifosfat (ATP) bagi spermatozoa berasal dari pemecahan karbohidrat (glukosa dan fruktosa) dan juga dari lipid.
Pemecahan karbohidrat tersebut dapat
berlangsung secara aerob maupun anaerob. Di dalam epididimis spermatozoa berada dalam lingkungan anaerob. Untuk memperoleh energi, ATP dipecah oleh enzim ATP-ase pada dinein aksonema flagelum spermatozoa, menjadi ADP dan Pi dengan membebaskan energi (Lewin et al. 1976). Enzim ATP-ase pada spermatozoa ada yang memerlukan ion Ca+ dan ada pula yang memerlukan ion Na+ dan K+. Ini berarti konsentrasi elektrolit tersebut diperlukan dalam jumlah yang cukup, agar metabolisme ATP lancar, sehingga energi untuk maturasi cukup. Gangguan transfort zat elektrolit dapat disebabkan oleh defisiensi androgen, hal ini dapat menghambat metabolisme ATP, sehingga bahan yang bersifat antiandrogen bermanfaat sebagai antimaturasi.
Berbagai
enzim dalam epididimis juga telah diidentifikasi, dan meliputi glutamatoksaloasetat transaminase (GOT), laktat dehidrogenase (LDH), beta-Nasetil glukosaminidase, alfa-amidase, fosfatase asam, dan fosfatase basa.
Adanya
enzim-enzim ini dalam jumlah yang mencukupi, akan tetap mempertahankan fungsi epididimis sebagai tempat maturasi dan penampungan sementara spermatozoa.
Sebaliknya jika ada gangguan terhadap jumlah dan kualitas
elektrolit, enzim dan substrat akan mengganggu proses maturasi.
16
Pengendalian Spermatogenesis oleh Hormon Spermatogenesis merupakan proses yang kompleks dan sangat bergantung pada kadar hormon reproduksi.
Kelenjar hipotalamus mensekresi GnRH
(Ginadotropin Releasing Hormone), hormon ini kemudian merangsang kelenjar hipofisis untuk melepaskan LH dan FSH (Franchimont et al. 1978).
Kedua
hormon peptida ini penting dalam mengontrol proses seluler pada sel target, antara lain; aliran ion, aktivitas enzim, sintesis protein, sintesis dan sekresi hormon steroid, proliferasi dan diferensiasi sel germinal, motilitas sel, dan komunikasi antar sel (Means et al. 1980).
Pentingnya hormon tersebut dalam
memelihara dan mempertahankan spermatogenesis, yang dikenal dengan proses pengendalian fertilitas melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis. LH merangsang sel Leydig untuk mensintesis dan mensekresikan testosteron. Fungsi FSH yaitu merangsang sel sertoli untuk mensintesis ABP, memelihara pertumbuhan sel germinal, meningkatkan sensitivitas sel Leydig terhadap LH pada proses steroidogenesis, memulai spermatogenesis tahap-tahap mitosis dan menyempurnakan spermatogenesis dalam fase spermiogenesis dan spermiasi (Means et al. 1980; Rommerts 1990). Hormon FSH dan testosteron bekerja sinergis pada sel sertoli untuk menghasilkan zat-zat makanan yang diperlukan untuk proliferasi dan diferensiasi sel-sel germinal dalam rangka menghasilkan spermatozoa yang fungsional. Di samping itu, testosteron yang berdifusi ke sel-sel peritubuler diperlukan untuk menghasilkan sejenis protein yang berfungsi sebagai faktor pemicu sel sertoli (promote mudulation Sertoli), yang penting untuk meningkatkan aktivitas sel sertoli guna menghasilkan zat makanan bagi sel germinal dalam tubulus seminiferus (Rommerts 1990). Protein pengikat androgen (ABP) yang dihasilkan oleh sel sertoli di bawah pengendalian FSH tersebut, berfungsi sebagai alat pengangkut androgen dari jaringan interstisial ke epitel germinal melalui sel Sertoli. Hal ini diperkirakan merupakan salah satu cara FSH untuk meningkatkan aktivitas androgenik dari testosteron (efek sinergis) terhadap spermatogenesis (Means et al. 1980). Hubungan fungsional sel Leydig-Sertoli dapat merupakan faktor penentu terjadinya kasus infertilitas pada sebagian kecil jantan infertil. Kadar ABP dalam
17
jumlah yang mencukupi di dalam lumen tubulus seminiferus testis, selain berperan mengikat androgen untuk spermatogenesis, juga akan membawa androgen dari tubulus seminiferus testis ke dalam epididimis.
Androgen sangat
diperlukan juga pada proses pematangan fisiologis spermatozoa selama berada di dalam tubulus epididimis (Franchimont et al. 1978; Means et al. 1980; Rommerts 1990).
Semen Semen diekskresikan oleh organ reproduksi jantan. Semen terdiri dari spermatozoa dan plasma. Spermatozoa yaitu suatu suspensi yang mengandung sel-sel gamet yang mengandung game jantan, dihasilkan oleh testes. Plasma semen merupakan bagian cairan semen yang diproduksi oleh epididimis, vesikularis dan prostat (Hafez 1987 and Toelihere 1985). Kandungan semen meliputi spermatozoa, air, gula sederhana (sebagai sumber energi bagi sperma), alkali (untuk melindungi sperma dari suasana asam pada saluran jantan uretra atau vagina) prostaglandin (substansi yang menyebabkan terjadinya kontraksi pada uterus, tuba falopii), vitamin C, mineral Zn dan kolesterol. Selanjutnya Toelihere (1985) menyatakan bahwa sebagian sifat fisik dan kimiawi semen ditentukan oleh plasma semen.
Spermatozoa Spermatozoa terbentuk dalam testes melalui serangkaian pembelahan sel yakni proses spermatogenesis. Proses spermatogenesis terdiri atas tiga fase yaitu (1) spermatocytogenesis, yaitu proses berkembangnya spermatogonia menjadi spermatosit, (2) meiosis, tahap matang dari spermatosit yang menghasilkan spermatid dengan jumlah kromosom berkurang (haploid), (3) spermiogenesis, yaitu
proses
transformasi
dari
spermatid
menjadi
spermatozoa.
Spermatocytogensis dikendalikan oleh FSH dari adenohyphophysis dan spermiogenesis berada di bawah pengaruh LH dan testosteron ( Toelihere 1993). Hasil pembentukan spermatozoa yang baru kemudian akan dilepaskan dengan proses yang disebut spermiasi dari sel-sel sertoli dan memasuki lumen tubuli seminiferi menuju rete testis. Pada domba keseluruhan proses spermatogenesis
18
berlangsung antara 46-49 hari (Salisbury and VanDemark 1985; Bearden and Fuquay 2000). Ejakulat pada domba dan kambing dapat berbeda-beda secara kuantitas maupun kualitas. Jumlah spermatozoa per ejakulat tergantung pada volume dan konsentrasi semen.
Motilitas dan morfologi spermatozoa termasuk dalam
karakteristik kualitas. Motilitas spermatozoa sangat penting dan erat kaitannya dengan fertilitas. Bagaimana pun motilitas tidak selalu diindikasikan sebagai kemampuan untuk membuahi dengan baik.
Spermatozoa normal kehilangan
kemampuan membuahi sebelum motilitasnya hilang, namun spermatozoa yang abnormal dapat memperlihatkan pergerakan yang normal tapi untuk selanjutnya tidak mampu untuk membuahi (Garner and Hafez 1993). Abnormalitas spermatozoa merupakan suatu keadaan dimana terjadi kelainan pada kepala, ekor maupun kepala dan ekor yang terpisah. Abnormalitas dapat digolongkan atas tiga kategori yaitu abnormalitas primer, sekunder dan tersier.
Abnormalitas primer
terjadi karena kegagalan dalam proses
spermatogenesis, abnormalitas sekunder terjadi selama perjalanan spermatozoa ke dalam epididimis, sedangkan abnormalitas tersier terjadi selama atau sesudah ejakulasi dan pada waktu proses penanganan semen (Hastono 2001). Spermatozoa yang normal terdiri dari kepala dan ekor. Bagian utama dari kepala yaitu nukleus yang tertutupi oleh akrosom pada bagian depan dan membran postnuclear pada bagian belakang. Sedangkan pada baian ekor terdapat dua fibril sentriol (pada bagian tengah) yang dikelilingi sebuah cincin yang terdiri dari sembilan pasang fibril perifer (Faulkner and Pineda 1975). Panjang kepala spermatozoa sapi, domba dan babi berkisar antara 8-10 μm x 4-4.5 μm, dan tebalnya sekitar 0.5-1.5 μm (Toelihere 1985). Panjang total spermatozoa domba atau kambing sekitar 60 μm dan panjang kepalanya saja adalah 8-10 μm, lebarnya 4 μm dan tebalnya 1 μm (Evans and Maxwell 1987). Bagian kepala spermatozoa mengandung materi inti, di dalamnya terdapat kromosom yang terdiri dari DNA (deoxyribonucleid acid) yang bersenyawa dengan protein. DNA membawa informasi genetik (Foote 1980).
Melalui
pembelahan reduksi selama proses spermatogenesis, spermatozoa hanya membawa setengah DNA dari sel-sel somatik yang ada dengan kode kromosom X
19
untuk seks betina dan Y untuk seks jantan. Morfologi spermatozoa dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5 Morfologi spermatozoa (Kott 2008).
Plasma Semen Plasma semen merupakan cairan ekstraseluler yang menyediakan media dan transfort untuk spermatozoa. Cairan ini disekresikan oleh kelenjar reproduksi pekengkap seperti kelenjar vesica seminalis, kelenjar prostat dan kelenjar bulbourethralis (Mann 1964; Partodihardjo 1987). Plasma semen mempunyai fungsi yang penting pada ejakulasi dan pada fase awal pengangkutan spermatozoa. Selain itu, plasma semen berfungsi sebagai medium suspensi dan dapat juga menjadi substrat metabolisme yang penting bagi spermatozoa dengan kandungan khususnya seperti fruktosa, asam sitrat dan inositol (Mann 1974).
Menurut Bearden and Fuquay (2000), plasma semen
berperan sebagai buffer dan sumber energi bagi spermatozoa. Cairan ini juga mengandung bahan organik dan anorganik dan mempunyai tekanan osmotik plasma sama dengan tekanan darah (ekuivalen dengan NaCl 0.9%).
Derajat
keasaman (pH) cairan tersebut sekitar 7 (Toelihere 1985).
20
Karakteristik Semen Domba Volume satu ejakulat semen domba berkisar antara 0.7-2 ml dengan konsentrasi antara 2-5 juta sel/ μl (Mann 1964). Sedangkan menurut Toelihere (1993), volumenya berkisar antara 0.5-2.5 ml dengan konsentrasi 1.5 juta – 3 juta sel/ml semen dan 90% spermatozoa hidup. Semen dengan konsentrasi yang tinggi bereaksi agak asam, sedangkan semen dengan konsentrasi rendah bereaksi agak basa.
Semen domba yang normal berwarna krem dan konsistensinya kental.
Gerakan massa dari spermatozoa dengan motilitas yang tinggi dapat diobservasi dengan mata telanjang.
Semen yang mengandung spermatozoa mati dalam
jumlah banyak akan berwarna kecoklat-coklatan.
Konsentrasi yang rendah
menyebabkan warna semen seperti air susu atau lebih encer lagi (Terril 1964; Toelihere 1993). Spermatozoa terdiri atas kepala dan ekor (terdiri dari body dan tail) yang keseluruhannya diselubungi oleh membran plasma (Johnson et al. 1997). Pada bagian kepala terdapat inti sel dengan DNA-nya yang merupakan materi genetik jantan dan akrosom dengan enzim-enzim hidrolitik yang diperlukan untuk menembus dinding ovum pada saat fertilisasi. Akrosom tersebut berasal dari aparatus golgi yang banyak mengandung enzim-enzim pencerna protein dan gula. Sebaliknya, pada bagian ekor yang menghubungkan dengan kepala membentuk pilinan mitokondria yang mengandung selubung berserat dan mengandung mikrotubulus tunggal tanpa selubung (Gilbert 1988). Komponen utama suatu inti sel, yaitu kromatin yang mengandung DNA pada saat maturasi, sebagian besar organel pada sitoplasma spermatozoa akan menghilang dan tinggal beberapa organel termodifikasi yang tetap melangsungkan fungsi spermatozoa.
Selain itu, inti haploid mengalami perubahan, sehingga
pilinan serat DNA kromatin mengalami pemadatan menjadi pendek dan tebal. Sebutan kromatin berubah menjadi kromosom (badan berwarna) (Gilbert 1988). Hafez (1987) menyatakan bahwa kromosom yang dikandung spermatozoa disebut dengan kromosom kelamin. Kromosom spermatozoa dibagi menjadi dua bagian yaitu kromosom X (spermatozoa X) dan kromosom Y (spermatozoa Y). Kromosom spermatozoa merupakan faktor penentu pada jenis kelamin anak hasil
21
fertilisasi.
Kromosom X disebut kromosom betina, sedangkan kromosom Y
disebut kromosom jantan.
Penentuan Jenis Kelamin Penentuan jenis kelamin (sexing) atau prenatal sex determination didasari oleh teori genetika yaitu jenis kelamin pada suatu mahluk hidup ditentukan pada saat fertilisasi. Hewan betina mempunyai dua seks kromosom yang sama (X dan X), sedangkan hewan jantan mempunyai dua seks kromosom yang berbeda X dan Y).
Sel somatik diploid dari betina (homogametic) mengandung sepasang
kromosom X, tetapi sel somatik jantan mempunyai seks kromosom XY. Genetik sex ditentukan dalam oviduct pada saat fertilisasi dan seks dari keturunan ditentukan oleh kromosom seks dalam spermatozoa. Kromosom adalah unsur utama dalam penentuan jenis kelamin. Pada mamalia terdapat 46 kromosom yang terdiri atas dua macam kromosom, yaitu XY pada jantan dan XX pada betina. Hafez (1987) menyatakan bahwa kromosom yang dikandung spermatozoa disebut dengan kromosom kelamin, yaitu kromosom X (sperma X) membawa sifat-sifat kebetinaan dan kromosom Y (sperma Y) membawa sifat-sifat kejantanan.
Kromosom spermatozoa merupakan faktor
penentu pada jenis kelamin anak hasil fertilisasi setelah terjadi penggabungan antara kromosom spermatozoa dan kromosom ovum.
Oleh karena itu, jenis
kelamin anak ditentukan oleh kromosom spermatozoa mana yang berhasil membuahi kromosom sel telur induk. Informasi genetik yang dibawa oleh sperma diterjemahkan dan disimpan di dalam molekul DNA yang tersusun oleh nukleotida-nukleotida.
Pada waktu mengalami spermatogenesis, spermatozoa
hanya mengandung setengah jumlah DNA pada sel-sel somatik dari spesies yang sama dan terbentuklah dua macam spermatozoa; spermatozoa yang membawa kromosom X akan menghasilkan embrio betina, sedangkan yang membawa kromoson Y akan menghasilkan embrio jantan. Perbedaan antara spermatozoa Y dan X pada manusia, yaitu kandungan DNA spermatozoa Y lebih rendah 2.78% daripada DNA spermatozoa X (Kaneko et al. 1983); kepala spermatozoa Y lebih kecil dan lebih ringan daripada spermatozoa X; panjang kromosom Y lebih pendek 2.35 kali daripada kromosom
22
X (Shettles 1970; Revay et al. 2004). Spermatozoa Y mempunyai kepala yang panjang, besar, leher dan ekornya lebih kecil daripada spermatozoa X (Cui 1977, diacu dalam Jongbloet 2004). Anonim (2006) menyatakan bahwa spermatozoa Y pada manusia secara fisik mempunyai bobot yang ringan, pergerakannya cepat, waktu hidup pendek. Kebalikannya, spermatozoa X mempunyai bobot yang lebih besar, pergerakan lebih lamban, dan masa hidup lebih panjang. Lebih lanjut dijelaskan, apabila sekresi vagina dan uterus bersuasana asam, maka anak yang dihasilkan akan berjenis kelamin perempuan. Hal ini karena pada suasana asam spermatozoa Y akan mati, sedangkan spermatozoa X lebih tahan pada suasana asam. Apabila sekresi vagina dan uterus bersuasana netral atau basa, maka anak yang dihasilkan akan berjenis kelamin laki-laki. Pada suasana netral atau basa, spermatozoa Y gerakannya lebih cepat karena ukurannya kecil.
Nurwansyah (2006) juga
menyatakan bahwa spermatozoa Y akan lebih kuat dan lebih tahan hidupnya dalam suasana basa.
Sebaliknya, spermatozoa X lebih kuat dan lebih tahan
hidupnya pada suasana asam. Rasio kelamin keturunan dipengaruhi oleh hormon, pH vagina, makanan (Budinurdjaja 2007), tingkah laku seksual, konsentrasi hormon, bencana alam, polusi lingkungan, gangguan endokrin, genetik (Krackow 1997; Pergament et al. 2002), waktu inseminasi, laju koitus, dan bagian tempat ovulasi (James 2004). Dijelaskan oleh James (2004) bahwa apabila ovulasi di bagian kanan, maka anaknya akan laki-laki karena di bagian kanan sekresi estradiol dan testosteron lebih banyak.
Makanan yang tinggi lemak meningkatkan hormon steroid
termasuk testosteron sehingga anak lebih banyak jantan; infeksi parasit (Heligmosomoides polygyrus) menurunkan level testosteron; dioxin menurunkan rasio testosteron/gonadotropin sehingga anaknya banyak perempuan.
Rasio
kelamin jantan lebih besar daripada betina apabila perkawinan dilaksanakan di akhir estrus pada hamster, pH darah lebih tinggi pada tikus, diberi suntikan progesteron di hari ke-8 kebuntingan pada tikus, diberi gonadotropins pada waktu dilakukan penggertakan ovulasi, saluran reproduksi betina mempunyai pH yang lebih tinggi (pH vagina dan pH serviks), suhu tidak panas, viskositas cairan mukus tinggi.
23
Rosenfeld and Roberts (2004) menyatakan bahwa jenis kelamin dipengaruhi oleh makanan dan jika diberi makanan yang mengandung zat lemak (60 kkal%), karbohidrat (20 kkal%), maka peluang untuk mendapatkan anak jantan sekitar 0.51-0.71% (pada tikus).
Sebaliknya, jika diberi makanan mengandung
karbohidrat (70 kkal%), lemak (10 kkal%), maka peluang untuk mendapatkan anak betina < sekitar 0.35-0.48%. Menurut Wauters et al. (1995), induk kijang akan beranak jantan sekitar 75% jika diberi makanan yang tinggi kandungan energinya, sedangkan frekuensi beranak jantan akan turun menjadi sekitar 46% jika diberi makanan yang mengandung energi rendah. Selanjutnya, Tamimi et al. (2003) menjelaskan bahwa jika seorang ibu sedang mengandung bayi laki-laki, maka kebutuhan konsumsi energi meningkat 10% daripada mengandung bayi perempuan. Menurut Papa et al. (1993), elektrolit dalam ransum induk mungkin mempengaruhi rasio seks keturunan pada manusia. Induk yang mengkonsumsi ransum tinggi Na+ dan K+ tetapi rendah Ca2+ mempengaruhi rasio seks turunannya. Penambahan NaCl dari 0.08 menjadi 4.00% akan menurunkan rasio seks jantan dari 57+0.03 menjadi 44+0.03%, tetapi meningkatkan jumlah anak yang dilahirkan sebesar 12.8+0.4 menjadi 13.8+0.6% (Bird and Contreras 1986).
Keseimbangan Kation-Anion Keseimbangan asam-basa dalam organisme tetap terjaga. Keseimbangan asam-basa menyangkut pertukaran ion H+ dan komponen-komponen media internal yang mampu menyumbangkan atau menerima ion.
Substansi yang
mampu menyumbangkan ion adalah asam, sedangkan yang mampu mengikat hidrogen adalah basa. Faktor lain dalam pelepasan ion H+ untuk menjaga keseimbangan asam-basa dengan cara pembentukan amonia yang intensif dalam organisme dan pemasukan sejumlah besar garam-garam potasium. +
Cairan -
intraseluler mengandung ion kation sodium (Na ) dan anion klorida (Cl ) dalam jumlah yang sedikit, tetapi banyak mengandung ion potasium (K+) dan anion organik alami yang tidak bisa melewati membran. Proporsi ion individu dijaga dengan mekanisme yang disebut pompa Na, ion Na+ dipompa keluar dari sel. Pompa ini mencegah perpindahan air yang berlebihan
masuk ke dalam sel.
Penyaringan ion Na+ yang bermuatan positif dari sel mengakibatkan permukaan
24
internal membran menjadi negatif. Pada waktu yang sama pompa memaksa ion K+ masuk ke dalam sel, sehingga konsentrasi K+ lebih tinggi dari sekitarnya. Transfer aktif ion Na+ dan K+ terjadi di dalam eritrosit
(berhubungan
dengan fungsi pernapasan), di dalam epitel saluran ginjal, dan dalam membran organel tertentu. Ion K+ dalam sel darah merah mempengaruhi transportasi O2 dan CO2 oleh haemoglobin. Mineral K juga sepertinya berhubungan langsung dengan proses pembentukan protein. Jika ditambahkan K ke dalam ransum yang kekurangan protein, maka akan menambahkan bobot tubuh anak dan memperbaiki kegunaan makanan. Penetapan mekanisme, terutama homeostasis K dalam tubuh adalah pada ginjal. Regulasinya meliputi mineral corticoids-aldosterone dan deoxycorticosterone. Hormon-hormon ini berpengaruh pada pengeluaran K+ yang merupakan pengaruh kemungkinan kedua, karena kehadiran hormon tersebut akibat adanya penyerapan kembali ion Na+ dalam saluran-saluran ginjal. Namun demikian, kedua proses tersebut saling berhubungan karena hormon aldosteron dipicu/didorong hanya jika level
Na+ dalam plasma menurun dan level K+
meningkat secara bersamaan. Pengeluaran kelebihan ion K+ melalui ginjal dengan mekanisme regulasi mempertahankan rasio Na:K agar konstan dalam cairan ekstraseluler. Yingst et al. (2001) menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi K dari 4 menjadi 10 mM pada tikus mengakibatkan peningkatan aktivitas pump-Na dan konsentrasi ion Ca2+ bebas dalam darah. Kemungkinannya, K meningkatkan pump Na dalam rangka meningkatkan konsentrasi Ca, sehingga meningkatkan pula Ca2+ bebas dalam darah yang ditingkatkan oleh pump-Na dalam beberapa sel. Dijelaskan juga oleh Burnay et al. (1994) dan Capponi et al. (1987) bahwa penambahan konsentrasi K memungkinkan untuk meningkatkan sekresi aldosterone oleh depolarisasi membran yang membuka saluran tegangan Ca serta untuk membiarkan masuknya Ca ekstraseluler.
Pada bagian lain,
polarisasi
mempengaruhi konsentrasi K untuk diturunkan dalam rangka melakukan keseimbangan K (Quinn et al. 1987). Walaupun penambahan konsentrasi K yang berlebihan akan meningkatkan sekresi aldoseteron, juga akan meningkatkan pump Na oleh kehadiran peningkatan jumlah konsentrasi K yang menyelimuti pump (Glynn 1956).
25
Pada semua spesies hewan konsentrasi Na+ dan Cl- dalam plasma lebih tinggi daripada dalam sel darah merah. Konsentrasi Na+ dan Cl- dalam plasma lebih banyak daripada konsentrasi K+ (kira-kira 20:1), tetapi konsentrasi Na+ dan Cl- tidak sama.
Secara keseluruhan, konsentrasi Cl- didistribusikan ke seluruh
tubuh dalam proporsi sama dengan Na+, tetapi pada tulang umumnya dengan posisi lebih rendah; walaupun disertai adanya Cl- dalam sel red bone marrow. Sebaliknya, Cl- lebih tinggi daripada Na+ dalam jaringan lunak. Konsentrasi K+ merupakan kation utama pada lingkungan intraseluler dan sekitar 90% dari jumlah K berada di dalam protoplasma sel.
Pada hewan
konsentrasi K tertinggi dalam darah sebesar 40-50 meq/L. Ion K+ menyebar dari plasma ke dalam permukaan air kristal pertulangan, tetapi tidak berkonsentrasi pada pertulangan tersebut serta tidak dapat menggantikan ion-ion lain. Ion K+ juga ditemukan sel tulang rawan dan jaringan pertulangan. Proses resorpsi dalam tubuh ternak sangat penting selama periode metabolisme mineral yang intensif (kebuntingan, laktasi, dan produksi telur). Kerangka bertindak sebagai
gudang sementara dari substansi mineral, yang
kemudian digunakan oleh janin, kemudian produksi (susu, wol, dan telur). Keberadaan mineral dalam bentuk garam yang larut dalam medium sel, cairan interestitial, darah dan limpa, berpartisipasi langsung atau tidak langsung dalam menjaga homeostasis. Homeostasis merupakan kestabilan komposisi kimia dan fisiokimia dalam medium internal organisme. Garam ketika dilarutkan dalam air, sebagian atau seluruhnya terpecah menjadi kation dan anion. Kation terbentuk dari logam (Na+ ,K+, Ca2+, Mg2+) sedangkan anion terbentuk dari residu asam (Cl-, HCO3-, SO42-, HPO42-, H2PO4-). Ion amonium (NH4+) juga merupakan kation sedangkan asam-asam organik dan protein adalah anion.
Pelarutan garam
menghasilkan tekanan osmotik tertentu dalam cairan tubuh dan pemeliharaan tekanan ini sangatlah penting. Ion-ion garam yang berdisosiasi ke dalam larutan, kemudian ion akan meningkatkan tekanan osmotik yang lebih tinggi daripada non elektrolit (urea dan glukosa) dalam konsentrasi molar yang sama. Tekanan osmotik dalam organisme merupakan faktor fisiologi penting yang mendorong perpindahan air dan substansi terlarut dalam jaringan (Georgevskii et al. 1982). Menurut Harris and Beede (1983), kation diet berasal dari sodium (Na) dan
26
potasium (K) yang bersifat basa, sedangkan anion diet berasal dari khlor (Cl), sulfur (S), dan fosfor (P) bersifat asam. Tabel 1 Mineral
Berat molekul, nilai valensi, berat equivalen dan berat miligram equivalen mineral-mineral yang digunakan untuk menghitung keseimbangan kation-anion ransum Valensi
Na
Berat Molekul (gram) 23.0
+1
Berat Equivalen (gram) 23.0
Berat Miligram-equivalen (meq)* 0.0230
K Cl S
39.0 35.5 32.0
+1 -1 -2
39.0 35.5 16.0
0.0390 0.0355 0.0160
Keterangam: * Berat meq (mg) hasil perhitungan dari berat molekul dibagi nilai valensi dan dibagi 100
Pada proses perhitungan keseimbangan kation-anion, tidak semua mineral dalam ransum yang dihitung. Akan tetapi, hanya beberapa mineral tertentu saja yang perlu diperhatikan. Harris and Beede (1993), menyatakan bahwa mineralmineral yang sering digunakan untuk menghitung keseimbangan kation-anion, yaitu Na dan K untuk kation serta Cl dan S untuk anion.
Berat molekul, nilai
valensi, berat equivalen, dan berat miligram equivalen pada masing-masing mineral tersebut di atas terdapat pada Tabel 1. Dietary cation-anion different (DCAD), yaitu perbedaan miliequevalen antara kation dan anion tertentu dalam ransum dengan cara pengurangan miliequivalen anion dari miliequivalen kation dalam seluruh ransum. Pada umumnya, mineral yang sering digunakan dalam perhitungan DCAD, yaitu dua macam kation (Na dan K) dan dua macam anion (Cl dan S).
Perhitungan nilai
DCAD yang digunakan oleh Harris and Beede (1993), Moore et al. (2000), Roche et al. (2003a), Roche et al. (2003b), dan Borucki Castro et al. (2004), berdasarkan persamaan Tucker et al. 1992 berikut ini. DCAD = ( Na + K ) – ( Cl + S ) (meq/100 g BK ransum). Penelitian-penelitian mengenai keseimbangan kation-anion telah banyak dilakukan, tetapi sebagian besar pada bidang sapi perah. Harris and Beede (1993) menyatakan bahwa ransum dengan keseimbangan kation-anion positif diberikan pada sapi perah selama laktasi untuk meningkatkan produksi susu. Sebaliknya, pemberian ransum dengan keseimbangan kation-anion negatif lebih baik diberikan pada sapi-sapi perah pada waktu masa kering sebelum beranak untuk
27
mengurangi peristiwa milk fever dan selain itu, menurut Hu and Murphy (2004) untuk mencegah parturient paresis. Sarwar et al. (2007) menyatakan bahwa peningkatan nilai PKAR pada ransum domba secara berbanding lurus meningkatkan konsumsi bahan kering tetapi menurunkan kecernaan bahan-bahan organik. Pada sapi perah apabila keseimbangan kation-anion dalam ransumnya semakin bertambah positif, maka terjadi peningkatan pH darah, HCO3 darah, pH urin, tetapi K dan Cl darah menurun serta tidak memengaruhi Na darah (Hu and Murphy 2004); begitu juga terjadi peningkatan pO2 darah, SIDb darah, Na/creat, Cl/creat, S/creat, Hy/creat, tetapi menurunkan konsumsi bahan kering, pertambahan bobot badan, dan kandungan protein susu (Roche et al. 2003a); tidak memengaruhi P dalam feses dan urin (Borucki Castro et al. 2004). Akan tetapi, hasil penelitian Escobosa et al. (1989) serta Delaquis and Block (1995) memperoleh adanya peningkatan jumlah produksi susu dan kandungan protein susu dengan penambahan keseimbangan kation-anion positif sampai dengan +52 meq/100 bahan kering ransum. Apabila dilakukan penurunan keseimbangan kation-anion ransum sampai menjadi negatif (dari +69 menjadi -12 meq/100 g BK), maka terjadi peningkatan Mg darah, Ca darah, pCO2 darah, Ca/creat, Mg/creat, Cl/creat, S/creat, tetapi menurunkan pH darah dan urin, pO2 darah, serta Na/creat (Roche al. 2003b). Stewart (1983) menyatakan bahwa penambahan anion (Cl dan S) ke dalam cairan tubuh melalui penambahan suplemen dalam ransum, maka akan menurunkan pH cairan tubuh. Moore et al. (2000) melaporkan hasil penelitiannya bahwa apabila pH urin menjadi lebih rendah dari 6.0, maka berarti terlalu banyak melakukan penambahan garam-garam anion untuk menurunkan DCAD. Sebaliknya, apabila pH urin menjadi sekitar 7.3, maka kondisi ini tidak efektif untuk mengontrol hipokalsemia. Ransum dengan keseimbangan kation-anion yang negatif, menurut Bushinky et al. (1993) dan Schonewille et al. (1994) akan memengaruhi metabolisme Ca.
Oleh karena itu, Block (1984) dan Goff et al. (1991)
menyarankan ransum untuk sapi perah sebelum beranak, berupa ransum dengan keseimbangan kation-anion negatif untuk memperbaiki homeostasis Ca pada waktu beranak.
28
Nilai pH darah normal menurut Swenson (1993), sekitar 7.27 – 7.49. Perhitungan nilai pH darah menurut Hu and Murphy (2004) hasil modifikasi dari persamaan Henderson-Hassel, yaitu
pH darah = 6.1 + log
10
(HCO3 /
(0.03xpCO2). Perubahan pH urin dan pengeluaran Na, K, dan Cl dalam urin bervariasi sesuai dengan keseimbangan kation-anion ransum apakah bersifat asam atau basa. Rendahnya pH urin menggambarkan pH dalam darah juga rendah (Vagnoni and Oetzel 1998), karena terdapat hubungan antara adanya peningkatan penyerapan Ca pada saluran pencernaan, sehingga pengeluaran Ca pada urin juga tinggi (Vagg and Payne 1970 dan Schonewille et al. 1994). Roche (1999) menyatakan bahwa terjadi peningkatan penyerapan Ca dan pengeluaran Ca urin pada sapi perah, jika ditambahkan garam anion dalam ransum sehingga DCAD menjadi -20 meq/100g. Hydroksiprolin (Hy) yang terdapat pada plasma darah (LeClerc and Block 1989) maupun pada urin (Robin 1994 dan Russel 1997) dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa terdapat penyerapan Ca kembali dari tulang. Garam-garam anion tidak palatabel dan penambahan yang terlalu banyak dalam ransum akan menyebabkan penurunan jumlah ransum yang dikonsumsi pada sapi yang belum beranak (Horst et al. 1994 dan Oetzel and Barmore 1993). Penurunan jumlah yang dikonsumsi dan keseimbangan energi sebelum beranak akan meningkatkan plasma NEFA dan meningkatkan konsentrasi trigliserida hati pada waktu beranak (VanderHaar 1999). Selanjutnya, peningkatan konsentrasi NEFA sebelum beranak berhubungan dengan meningkatnya kejadian ketosis setelah beranak dan mastitis (Cameron et al. 1998). Peran Mineral Na+, K+, Cl-, dan S2Cairan tubuh hewan meliputi darah, cairan interstisial, cairan selomik, dan cairan lain yang terdapat dalam tubuh.
Kehidupan dapat dipertahankan jika
hewan tersebut mampu menjaga stabilitas lingkungan internalnya, seperti pH, suhu tubuh, kadar garam, dan kandungan nutrien. Stewart (1983) menyatakan bahwa keseimbangan ion-ion stabil seperti natrium (Na+), kalium (K+), dan klorida (Cl-) berperan utama sebagai penentu keseimbangan asam-basa dalam cairan biologis.
Ion sulfur (S2-) juga mempengaruhi keseimbangan cairan
29
biologis, walaupun S tidak termasuk ion stabil. Ion SO42- secara langsung bersifat asam terhadap cairan biologis dan dapat mengubah keseimbangan asam-basa jika ditambahkan dalam konsentrasi yang tinggi dalam ransum.
Menurut Block
(1994), keseimbangan asam-basa di dalam tubuh diatur melalui sistem buffer, fungsi ginjal, dan seluler respirasi. Ion-ion Na+, K+, dan Cl- diserap oleh tubuh sebanyak 100%. Kation diserap dari saluran usus dan kation-kation tersebut meningkatkan ion-ion kuat dalam plasma sehingga menghasilkan alkalosis metabolik. Sebaliknya, di bagian akhir usus, terjadi penyerapan ion Cl- (Horst 1997) dan (Riond 2001),
Lebih lanjut
dijelaskan oleh Horst (1997) bahwa Cl- diserap lebih banyak daripada SO42sehingga Cl- merupakan asiditif yang lebih kuat untuk mengasamkan darah. Horst et al. (2004) menyatakan bahwa Cl- diserap sebanyak 1.6 kali daripada SO42-. Urutan zat-zat kimia yang mempunyai sifat keasaman dari terkuat ke terendah ialah HCl, NH4Cl, CaCl2, CaSO4, MgSO4, dan S. Menurut Murray et al. (2003), cairan ekstrasel ditandai dengan kandungan Na+ serta Ca2+ yang tinggi, dan Cl- merupakan anion utama. Kadar glukosa lebih tinggi dalam cairan ekstrasel daripada dalam sel, sedangkan untuk kadar protein terjadi sebaliknya. Pada semua spesies hewan, jumlah konsentrasi Na+ di luar sel lebih banyak daripada di dalam sel (Isnaeni 2006). +
Georgevskii et al. (1982)
-
menyatakan bahwa ion Na dan Cl dalam plasma lebih tinggi daripada dalam sel darah merah.
Konsentrasi Na+ dan Cl- dalam plasma lebih banyak daripada
konsentrasi K+ (sekitar 20:1), tetapi konsentrasi Na+ dan Cl- tidak sama.
Secara
keseluruhan, konsentrasi Cl- didistribusikan ke seluruh tubuh dalam proporsi sama dengan Na+, tetapi pada tulang umumnya dengan posisi lebih rendah, walaupun disertai adanya Cl- dalam sel red bone marrow. Sebaliknya, Cl- lebih tinggi daripada Na+ dalam jaringan lunak. Cairan intraseluler mengandung ion kation Na+ dan anion Cl- dalam jumlah yang sedikit, tetapi banyak mengandung ion K+ (sekitar 90% dari jumlah K berada di dalam protoplasma sel), dan anion organik alami yang tidak bisa melewati membran. Proporsi ion individu dijaga dengan mekanisme yang disebut pompa Na, ion Na+ dipompa keluar dari sel seperti yang terdapat pada Gambar 6.
30
Lingkungan internal sangat kaya akan ion K+ serta Mg2+, sedangkan fosfat merupakan ion utamanya (Murray et al. 2003).
Membran plasma
Gambar 6 Keadaan cairan intraseluler dan ekstraseluler (Campbell et al. 2004). Keadaan cairan intraseluler dan ekstraseluler mempunyai komposisi ionik yang berbeda.
Membran plasma adalah lapisan fosfolipid dengan protein
membran yang terkait. Ion tidak dapat berdisfusi menembus lipid karena tidak dapat larut dalam lipid.
Di dalam sel, kation utama (ion bermuatan positif)
adalah K+, meskipun terdapat Na+; dan anion utamanya protein, asam amino, sulfat, fosfat, dan ion bermuatan negatif lainnya. Ion Cl- dalam jumlah sedikit. Di luar sel, kebalikannya Na+ menjadi kation utama dan konsentrasi K+ berada dalam jumlah jauh lebih rendah (Campbell et al. 2004). Banyaknya ion-ion mineral yang terdapat di cairan intrasel selalu mempertahankan konsentrasi Na+ dalam jumlah yang rendah dan konsentrasi K+ dalam jumlah yang tinggi, bersama-sama dengan potensial listrik yang netto negatif di sisi dalam (Tabel 2). Urutan mineral terbanyak ke terendah pada ekstrasel ialah Na, Cl, K, Ca2+, P, dan Mg2+. Keadaan seperti ini, membran sel bersifat impermeabel terhadap ion
Na+, permeabel terhadap ion K+, dan ada perbedaan potensial antara bagian luar dan dalam membran. Isnaeni (2006) menyatakan bahwa jika di bagian dalam membran sel bermuatan lebih negatif dan di bagian luar membran bermuatan lebih positif maka keadaan tersebut disebut dengan keadaan polar (keadaan sedang tidak menjalarkan rangsangan). Perbedaan komposisi ionik dalam cairan
31
intraseluler dan ekstraseluler menyebabkan membran berpotensial. Campbell et al. (2004) menyatakan apabila terdapat difusi K+ yang stabil keluar sel menuruni gradien konsentrasinya (anion-anion yang terdapat di dalam sel tidak dapat mengikutinya) dan difusi Na+ yang stabil ke dalam sel akan menyebabkan bagian dalam sel menjadi bermuatan negatif. Kehilangan gradien dicegah oleh pompa natrium-kalium dengan menggunakan ATP secara aktif untuk mengangkut Na+ keluar dari sel dan K+ masuk ke dalam sel. Pompa ini mencegah perpindahan air yang berlebihan masuk ke dalam sel. Penyaringan ion Na+ yang bermuatan positif dari sel mengakibatkan permukaan internal membran menjadi negatif. Pada waktu yang sama pompa memaksa ion K+ ke dalam sel sehingga konsentrasi K+ lebih tinggi dari sekitarnya (Georgevskii et al. 1982). Tabel 2 Perbandingan konsentrasi bahan-bahan di luar dan dalam membran sel mamalia Substansi Na+ (mmol/L) K+ (mmol/L) Ca2+ bebas (mmol/L) Mg2+ (mmol/L) Cl- (mmol/L) HCO3- (mmol/L) PO43- (mmol/L) Glukosa (mmol/L) Protein (g/dL)
Cairan ekstrasel 140.0 4.0 2.5 1.5 100.0 27.0 2.0 5.5 2.0
Cairan intrasel 10.0 140.0 0.1 30.0 4.0 10.0 60.0 0.1 16.0
Sumber : Isnaeni (2006)
Apabila terdapat rangsangan, maka membran akan mengalami perubahan elektrokimia dan perubahan fisiologis. Hal ini menyebabkan membran menjadi permeabel terhadap Na+ dan sangat impermeabel terhadap K+ sehingga sejumlah besar ion Na+ akan berdifusi ke dalam sel, sedangkan ion K+ akan lebih banyak ditahan di dalamnya. Keadaan seperti di atas akan mengubah potensial membran sehingga keadaan pada sisi dalam membran menjadi lebih positif dan bagian luar membran menjadi lebih negatif. Pompa yang mempertahankan gradien ini adalah ATPase yang diaktifkan oleh Na+ dan K+. Pompa Na+-K+-ATPase terdapat pada Gambar 7.
32
Gambar 7 Mekanisme pemompaan yang bergantung pada Na+-K+-ATP pada waktu difusi glukosa ke dalam sel (Block 1994). Enzim ATPase merupakan protein integral membran yang memerlukan fosfolipid untuk aktivitasnya. Block (1994) dan Murray et al. (2003) menyatakan bahwa glukosa dan Na+ terikat pada molekul pengangkut glukosa di tempat yang berlainan. Enzim ATPase mempunyai tempat pengikatan baik untuk ATP maupun Na+, tetapi tempat pengikatan ikatan K+ terletak pada sisi ekstraseluler membran. Pompa menggerakkan 3 ion Na+ dari bagian dalam sel
ke bagian luar dan
membawa 2 ion K+ dari bagian luar ke bagian dalam untuk setiap molekul ATP yang dihidrolisis menjadi ADP oleh enzim ATPase yang terikat-membran. Proses pengangkutan aktif berbeda dengan difusi dalam hal molekul yang diangkut untuk menjauhi keseimbangan termodinamik sehingga diperlukan energi dalam bentuk ATP. Mekanisme ini membutuhkan ATP sekitar 40% dari jumlah total energi yang dibutuhkan untuk pemeliharaan sel. Na+ bergerak ke dalam sel dengan mengikuti gradien elektrokimia dan menarik glukosa bersama dengannya. Semakin besar gradien Na+, maka semakin banyak glukosa yang masuk ke dalam sel. Jika jumlah ion Na+ dalam cairan ekstrasel rendah, pengangkutan glukosa akan terhenti. Oleh karena itu, perlu untuk mempertahankan gradien Na+ yang curam. Import Na+-glukosa bergantung pada gradien yang dihasilkan oleh pompa Na+/K+ yang mempertahankan konsentrasi Na+ intrasel yang rendah. Glukosa beserta Na+ dilepas ke dalam sitosol sehingga memungkinkan si pembawa mengangkut lebih banyak. Ion Na+
33
diangkut mengikuti gradien konsentrasi dan pada saat yang bersamaan akan menyebabkan si pembawa mengangkut glukosa melawan gradien konsentrasinya. Energi bebas yang diperlukan untuk pengangkutan aktif diperoleh dari hidrolisis ATP yang terikat dengan pompa natrium yang melepaskan Na+ dari sel dalam proses pertukaran K+. Pengangkutan aktif glukosa dihambat oleh ouabain (suatu inhibitor pompa natrium). Pompa Na+/K+ membutuhkan ATP, masuknya 1 mol glukosa menghasilkan 1 ATP di dalam sel. Ekskresi Na+ dan K+ dalam urin termasuk hubungan timbal balik dimana K+ dilindungi oleh tubuh di saat mengorbankan atau mengeluarkan Na+. Mobilisasi dalam H+ proksimal tubular pada ginjal, sekresi H+ dan produksi NH3 dalam distal tubul ginjal bergantung pada reabsorpsi Na+ untuk secara listrik menetralkan absorpsi HCO3- dari sel ke darah (Gambar 8). Darah dari arteri renal masuk ke dalam glomerulus, kemudian air dan molekul-molekul kecil lainnya mendorong darah masuk ke kapsula Bowman (Gambar 8). Di kapsula Bowman terjadi filtrasi dan cairan yang disaring disebut dengan filtrat. Filtrat mengalir melalui tubula proksimal dan terjadi pengeluaran NaCl, glukosa, HCO3, dan asam amino secara aktif serta diserap kembali oleh pembuluh darah. Selain itu, terjadi pelepasan H+ dan NH3 dari darah ke tubula proksimal. Filtrat menjadi lebih encer daripada pH interstitial, kemudian air ikut keluar secara osmosis. Filtrat bergerak menuju lengkung Henle (menurun) yang permeabeal terhadap air, tetapi tidak terhadap garam-garam sehingga filtrat menjadi lebih pekat karena banyak air yang keluar. Lengkung Henle yang menaik permeabel terhadap garam-garam, tetapi tidak permeabel terhadap air. Garam-garam keluar secara aktif dan diserap kembali oleh darah. Filtrat melanjutkan perjalanannya ke tubular distal dan melakukan pengeluaran NaCl, HCO3 (secara aktif) serta air (secara osmosis), kemudian diserap kembali oleh darah.
Selain itu, terjadi pelepasan ion H+, obat-obatan,
racun, kelebihan K+ dari darah ke tubular distal.
34
Tubuli proksimal Tubuli distal NaCl, glukosa, dan asam amino Kapsul Bowman
Arteri renal (darah) Glomerulus H+, obat, dan racun
Obat dan racun
Lengkung Henle Duktus pengumpul
Urin Gambar 8 Nefron dan duktus dalam sistem ekskresi urin (Campbell et al. 2004). Tubuli distal membantu mengatur pH darah melalui reabsorpsi HCO3 yang merupakan sejenis penyangga (buffer) dan berfungsi sebagai homeostasis K+ dan Na+. Filtrat dialirkan ke duktus pengumpul yang permeabel terhadap air dan urea, tetapi tidak terhadap garam-garam; dan mengalir ke arah medula renal dan dikumpulkan di saluran ini sebelum dikeluarkan menjadi urin. pengumpul, air dan
urea diabsorpsi kembali oleh darah.
Di duktus
Sisa filtrat akan
dikeluarkan berupa urin (Campbell et al. 2004). Selanjutnya, Block (1994) menjelaskan bahwa sekitar 90% dari HCO3direabsorpsi secara langsung dari tubulus proksimal melalui pertukaran Na+- H+. Ion H+ yang disekresi ke dalam lumen tubulus (sebagai penukar Na+) akan berikatan dengan HCO3- yang terdapat dalam filtrat glomerulus sehingga terbentuk asam karbonat (H2CO3). Asam karbonat akan berdisosiasi menjadi air (H2O) dan karbon dioksida (CO2). Karbon dioksida maupun H2O akan berdifusi
35
ke luar lumen tubulus, masuk ke sel tubulus. Dalam sel tubulus tersebut, karbonik anhidrase akan mengkatalisis reaksi CO2 dengan H2O, kembali membentuk H2CO3. Disosiasi H2CO3 menghasilkan HCO3- dan H+. Ion H+ disekresi kembali sedangkan HCO3- akan masuk ke dalam darah peritubular bersama dengan Na+. Ion Cl- ditranspor secara aktif keluar dari bagian asenden dan diikuti secara pasif oleh Na+. NaCl selanjutnya akan secara pasif berdifusi masuk ke bagian desenden lengkung. Jika Cl- yang terdapat pada filtrat glomular berlebih, Cl- dalam filtrat dan HCO3- dalam sel mungkin bertukar. Akibatnya, terjadi reabsorpsi NaCl dan pengurangan absorpsi HCO3-.
Apabila ternak dalam keadaan stress, cairan
ekstraseluler agak asidosis karena ginjal mengubah reabsorpsi ion HCO3-.
Dua
fungsi tubulus distal yang penting adalah pengaturan keseimbangan air dan asambasa. Pada fungsi sel yang normal, pH cairan ekstrasel harus dapat dipertahankan antara 7.35 dan 7.45. Selain reabsorpsi dan penyelamatan sebagian besar dari HCO3-, ginjal juga membuang H+ yang berlebihan.
Asam-asam ini dibuang
melalui cairan tubulus sehingga urin dapat mencapai pH sampai serendah 4.5 (perbedaan ion hidrogen 800 kali lebih besar daripada ion hidrogen dalam plasma). Di sepanjang tubulus, H+ akan disekresi ke dalam cairan tubulus. Ion hidrogen dapat diekskresikan dalam bentuk kombinasi dengan fosfat berbasa dua yang terfiltrasi (HPO42-) atau dengan amonia (NH3).
Dengan demikian, H+
diekskresi sebagai garam asam berbasa satu yang dapat dititrasi (NaH2 PO4) atau sebagai ion amonium (NH4+). Amonia berdifusi dengan mudah ke dalam lumen tubulus, tetapi jika telah berikatan dengan H+ membentuk partikel NH4+ yang bermuatan dan tidak dapat lagi berdifusi kembali ke dalam sel tubulus. Apabila pH urin mencapai 4.5, jumlah H+ bebas yang dapat diekskresi terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, mekanisme amonium (dan mekanisme fosfat) berperanan sangat penting dalam pembuangan beban asam, karena NH4+ tidak mempengaruhi pH urin. Pelepasan H+ oleh NH3 atau HPO42- juga berakibat pada penambahan HCO3- baru ke dalam plasma untuk setiap ion H+ yang diekskresi ke dalam urin. Ion H+ yang disekresi berasal dari H2CO3 yang terdapat dalam tubulus sehingga meninggalkan HCO3-
dalam sel tubulus tersebut.
Sebaliknya, jika HCO3-
direabsorpsi dari cairan tubulus, maka H2CO3- sesungguhnya hanya diselamatkan
36
karena satu H+ akan dikembalikan ke dalam plasma untuk setiap H+ yang disekresi ke dalam cairan tubulus. Keseimbangan asam-basa menyangkut pertukaran ion H+ dan komponenkomponen media internal yang mampu menyumbangkan atau menerima ion. Substansi yang mampu menyumbangkan ion adalah asam, sedangkan yang mampu mengikat hidrogen adalah basa.
Faktor lain dalam pelepasan ion H+
untuk menjaga keseimbangan asam-basa mungkin dengan cara pembentukan amonia yang intensif dan pemasukan sejumlah besar garam-garam kalium. Zatzat yang difiltrasi oleh ginjal ada tiga macam, yaitu elektrolit, nonelektrolit, dan air. Beberapa jenis elektrolit yang paling penting adalah Na+, K+, Ca2+, Mg2+, HCO3-, Cl-, dan HPO42-. Senyawa nonelektrolit yang penting antara lain glukosa dan asam amino.
Metabolit yang merupakan produk akhir dari proses
metabolisme protein, yaitu urea, asam urat, dan kreatinin. Pengeluaran melalui urin merupakan metode utama homeostasis regulasi untuk Na+ dan K+ sehingga konsumsi mineral-mineral tersebut akan langsung mempengaruhi pengeluaran Na+ dan K+ (Miller 1975). Lebih jauh Maltz and Silanikove (1996) menyatakan bahwa pengeluaran melalui urin merupakan homeostasis utama dalam pengaturan Na+, K+, dan Cl-. Pengeluaran urin tersebut sangat berhubungan langsung dengan konsumsi Na+, K+, dan konsumsi N (Bannink et al. 1999; Nennich et al. 2006). Pengeluaran kelebihan ion K+ melalui ginjal dengan mekanisme regulasi untuk mempertahankan rasio Na+:K+ konstan dalam cairan ekstraseluler. Mineralokortikoid atau aldosteron kemungkinan juga mempengaruhi regulasi permeabilitas membran dan mekanisme pasangan Na+:K+. Transfer aktif ion Na+ dan K+ terjadi pada beberapa tempat, yaitu di eritrosit (berhubungan dengan fungsi pernapasan), epitel saluran ginjal, dan membran organel tertentu. Ion K+ dalam sel darah merah mempengaruhi transportasi O2 dan CO2 oleh haemoglobin. Block (1994) menyatakan bahwa keadaan netral selalu dijaga pada sel darah merah dalam jaringan, plasma, dan paru-paru. CO2 dihasilkan dari metabolisme jaringan yang bereaksi dengan H2O untuk membentuk H2CO3 di dalam sel darah merah dengan peranan karbonik anhidrase. Beberapa H2CO3 masuk ke plasma, kemudian bereaksi dengan KHbO2 untuk membentuk HCO3-; pelepasan O2 untuk respirasi dan K+ dari KHbO2. Asam
37
bikarbonat masuk ke plasma mengubah Cl-. Natrium bikarbonat dibentuk dalam plasma dan Cl- yang masuk ke dalam sel darah merah dinetralisir oleh K+ yang menghasilkan perubahan menjadi HCO3- dan Cl-. Kebalikan reaksi ini terjadi di dalam paru-paru, yaitu Cl- dikirim balik ke plasma, melepaskan K+ ke buffer terbentuk KHbO2 baru. Ion klorida yang kembali ke plasma dinetralisir dengan cara mengeluarkan Na+ ketika HCO3- masuk kembali ke sel darah merah untuk mengeluarkan atau menggeser CO2 dalam respirasi.
Jika ion-ion ini tidak
seimbang satu dengan yang lain akan mengakibatkan keracunan yang menghasilkan
alkalosis
atau
asidosis.
Hal
ini
kemungkinan
karena
ketidakseimbangan perubahan HCO3- dan H+. Peningkatan konsentrasi K+ dari 4 menjadi 10 mM pada tikus mengakibatkan peningkatan aktivitas pompa Na+ dan konsentrasi ion Ca2+ bebas dalam darah. Ion K+ meningkatkan pompa Na+ dalam rangka meningkatkan konsentrasi Ca sehingga meningkatkan pula
Ca2+
bebas dalam darah yang
ditingkatkan oleh pompa Na+ dalam beberapa sel (Yingst et al. 2001). Dijelaskan juga oleh Burnay et al. (1994) dan Capponi et al. (1987) bahwa penambahan konsentrasi K+ memungkinkan untuk meningkatkan sekresi aldosteron oleh depolarisasi membran yang membuka saluran tegangan Ca+ serta untuk membiarkan
masuknya
Ca+
mempengaruhi konsentrasi K
ekstraseluler. +
Pada
bagian
lain,
polarisasi
untuk diturunkan dalam rangka melakukan
+
keseimbangan K (Quinn et al. 1987). Walaupun penambahan konsentrasi K+ yang berlebihan akan meningkatkan sekresi aldosteron, juga akan meningkatkan pompa Na+ oleh kehadiran peningkatan jumlah konsentrasi K+ yang menyelimuti pompa (Glynn 1956). Kation diet berasal dari natrium (Na+) dan kalium (K+) bersifat basa, sedangkan anion diet berasal dari khlor (Cl-), sulfur (S2-), dan fosfor (P2-) yang bersifat asam. Level K+ dalam plasma kebanyakan lebih rendah daripada level Na+. Goff (2000) menyatakan bahwa efisiensi S2- pengaruhnya pada penurunan pH darah dan dalam pencegahan hipokalsemia hanya sekitar 25% dari total S2dalam ransum. Underwood and Suttle (1999) menyatakan bahwa penyerapan S2lebih kecil daripada Cl- atau K+.
38
Mineral Seng (Zn) Seng merupakan logam putih kebiru-biruan dengan berat atom 65.37 dan termasuk unsur golongan IIB pada tabel periodik. Seng terdapat secara luas di alam terutama dalam bentuk sphalerite dan marmamite yang merupakan biji seng sulfida (ZnFe)S, dan hampir 90% logam seng yang digunakan saat ini berasal dari senyawa-senyawa tersebut (Abdel-Mageed and Oehme 1990). Seng merupakan mineral esensial bagi tanaman tingkat tinggi, hewan dan manusia. Seng terlibat dalam beberapa aktivitas enzim dan merupakan reseptor bagi beberapa protein (Burns 1980), sehingga defisiensi seng dalam tubuh dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Menurut Abdel-Mageed dan Oehme (1990), seng ditemukan bergabung dengan lebih 70 metaloenzim yang berperan dalam metabolisme penting. Sedangkan menurut Bhagavan (1992), seng berikatan dengan lebih dari 100 metaloenzim yang sudah diketahui.
Selain itu seng juga dibutuhkan untuk
mempertahankan struktur apoenzim. Enzim yang mengandung seng antara lain karbonik anhidrase, karboksi peptidase, alkohol dehidrogenase, glutamat dehidrogenase, laktat dehidrogenase, urikase, alkalin fosfatase, steroiddehidrogenase, DNA dan RNA polimerase. Seng juga ditemukan bergabung dengan insulin yang penting dalam sintesis RNA (Burns 1990). Seng adalah esensial untuk pertumbuhan normal, reproduksi dan mempunyai pengaruh yang berguna terhadap prosese-proses perbaikan jaringan dan penyembuhan luka. Seng juga diperlukan untuk mempertahankan konsentrasi normal vitamin A dalam plasma, seng mungkin diperlukan untuk mobilisasi vitamin A dari hati.
Insulin membentuk kompleks dengan seng, yang
memungkinkan dibentuknya kristal-kristal insulin seng selama pemurnian insulin. Kompleks insulin seng juga terdapat dalam sel R-beta pankreas, dan ada bukti yang menunjukkan bahwa seng dipakai dalam sel-sel ini untuk menyimpan dan melepaskan insulin jika diperlukan (Harper et al. 1979). Menurut Wirakusumah (1993) dan Prasad (1991), seng juga mempunyai manfaat yang memberikan efek aktivitas yang lebih sempurna terhadap enzim-enzim seperti glutation reduktase, katalase peroksidase dan superoksidase dismutase (SOD) yang berfungsi sebagai
39
antioksidan dari sumber makanan. Prasad (1991) juga mengatakan bahwa seng berfungsi sebagai stabilitas membran.
Metabolisme Seng dalam Tubuh Mahluk Hidup Absorpsi seng dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pada tikus, seng yang diobsorpsi sekitar 5-10%, ayam 20-30% dan pada manusia 50.8% (Abdel-Mageed and Oehme 1990). Hewan muda mengabsorpsi seng lebih efisien dibandingkan dengan hewan dewasa (Burns 1980). Menurut Fahy (1987), seng yang masuk ke dalam tubuh mula-mula diserap oleh hati dengan konsentrasi tinggi. Kemudian seng terikat dalam darah merah dan terakumulasi dalam tulang, otot, ginjal dan pankreas. Ruminansia mengabsorpsi seng melalui rumen, abomasum dan usus kecil (Burns 1980). Schell and Kornegay (1996) melaporkan bahwa bioavibiliti seng yang berasal dari ZnSO4 lebih rendah dari ZnO dan intermediat untuk ZnLys dan Zn Met pada ternak babi. Sedangka pada domba bioavibiliti seng organik (ZnLys dan ZnMet) lebih tinggi dibandingkan dengan seng anorganik (ZnSO4 dan ZnO) serta dimetabolisme secara berbeda pada beberapa jaringan (Rojas et al. 1995). Karr et al. (1991) menyatakan bahwa seng bentuk garam diduga menyebabkan tidak aktifnya enzim proteolitik bakteri rumen sehingga mengurangi proteolisis protein ransum.
Disamping itu, seng inorganik di dalam rumen membentuk
kompleks tak larut dengan anion lain (Church 1984). Seng yang diabsorpsi berikatan dengan albumin dan 30-40% dibebaskan ke dalam sirkulasi darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Sekitar 60% seng intraseluler terdapat dalam fraksi sitosol, 10% dalam bagian inti, dan hanya sebagian kecil yang ditemukan dalam mitokondria dan ribosom. Sebagian besar seng dalam sitosol berikatan dengan protein, dan seng yang berlebih berikatan dengan metalotonein di bawah kondisi normal. Pada hewan normal, 65-85% seng
yang masuk ke dalam tubuh
diekskresikan melalui feces dan ±1% diekskresikan melalui urin. Sedangkan ekskresi seng pada hewan yang menderita defisiensi seng hanya 9-25% (Burns 1980).
40
Manifestasi Defisiensi Seng Defisiensi Seng dapat ditimbulkan oleh berbagai faktor, seperti : konsumsi kurang
(primer),
gangguan
penyerapan
(genetik
atau
penyakit)
dan
kehilangan/kebutuhan yang meningkat. Gangguan penyerapan dapat disebabkan oleh penyakit saluran pencernaan, geofagia dan interaksi dengan unsur lain. Peningkatan kehilangan seng dapat karena adanya pendarahan kronis (misal pada infeksi cacing) dan dermatitis kronis. Di daerah beriklim panas, seperti Indonesia, keringat yang banyak juga merupakan jalur kehilangan seng yang berarti (keringat mengandung ±1 mg Zn/l). Ekskresi dalam urin berkisar 0.4-0.6 mg/24 jam dan tidak dipengaruhi oleh seng yang dikonsumsi (Japaries 1988). Defisiensi seng pada manusia menyebabkan pertumbuhan terhambat (Prasad 1991), kedewasaan seksual (hipogonadisme) pria terhambat, gangguan kontrol selera, proses penyembuhan luka terhambat, impotensia, penurunan daya kekebalan tubuh, gangguan neuropsikologis, kelainan pada kulit (Sanstead and Evans 1988), penurunan efisiensi penggunaan ransum (Riyadi 1992) serta gangguan fungsi membran (Prasad 1991). Menurut Japaries (1988), defisiensi seng menyebabkan anoreksia, kulit kering dan kasar, hiperpigmentasi, kuku cekung serupa sendok, distrofi kuku, gejala defiensi vitamin A (rabun senja, adaptasi gelap abnormal) yang bukan disebabkan oleh defisiensi vitamin A, anomali fetus, kurang konsentrasi, mengantuk, berat badan menurun dan diare. Kelebihan konsentrasi seng dalam tubuh juga dapat menyebabkan keracunan dan gangguan kesehatan pada makluk hidup. Jadi konsentrasi seng dalam tubuh harus tepat sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan untuk metabolisme tubuh. Menurut McDonald et al. (1988), konsentrasi normal seng dalam tubuh hewan adalah 10-50 ppm.
Suplemantasi Seng Bagi Ternak Ruminansia Seng merupakan unsur yang esensial bagi tanaman dan hewan. Walaupun demikian, rata-rata konsentrasi Seng dalam hijauan rumput adalah rendah yaitu berkisar antara 30-50 mg/kg BK. mendapatkan
pakan
tambahan
Sapi yang digembalakan di pastura tanpa tidak
bisa
memenuhi
kebutuhan
Seng
(Georgievskii et al. 1982).
41
Berdasarkan hasil observasi di beberapa negara termasuk Indonesia terdapat indikasi defisiensi seng.
Defisiensi
seng menyebabkan perubahan
karakteristik biokimia dan fisiologis pada manusia dan ternak menyangkut kehilangan nafsu makan (Rhains and Shay 1995). Suplementasi seng pada sapi perah (Sutrisno 1983) dan domba (Batubara 1988) meningkatkan pertumbuhan ternak dan aktivitas enzim fosfatase alkali (Batubara 1988) serta anhidrase karbonat serum darah (Sutrisno 1983). Hartati (1998), menguji suplementasi seng pada pedet sapi perah berbobot awal 95.3±11.1 kg dengan menggunakan ransum basal 25% silase pod kakao dan 75% konsentrat dengan kandungan seng 18 ppm. Perlakuan terdiri atas kombinasi empat level suplementasi ZnSO4 (40,5% Zn) sebanyak 0, 25, 50 dan 75 ppm dengan level suplementasi minyak ikan lemuru sebanyak 0, 1,5 dan 3% BK ransum. Suplementasi terbaik dicapai pada level 75 ppm ZnSO4 dengan 1.5% minyak lemuru.
Perbandingan tersebut dengan kontrol memperlihatkan
penurunan protozoa rumen dan kenaikan bakteri rumen dan peningkatan ekskresi alantoin urin. Perubahan itu menyebabkan kenaikan kecernaan protein dan retensi N.
Juga terlihat kenaikan absorpsi Zn yang sejalan dengan kenaikan
Prostaglandin (PGE2) dan aktivitas fosfatase alkalis serum darah. Perubahan ini meningkatkan pertumbuhan sapi.
Lemak Ada tiga bentuk lemak yang ada dalam pakan ternak : (1) Gliserida terutama trigliserida. Bentuk ini adalah bentuk lemak yang disimpan untuk energi dan merupakan bentuk yang paling banyak dalam bahan makanan dan jaringan. (2) Fosfolipid, dan (3) Sterol terutama kolesterol. Trigliserida dapat merupakan 95-98% dari seluruh bentuk lemak terkonsumsi pada semua bentuk makanan. Fosfolipid dan kolesterol dikonsumsi dalam jumlah sedikit dan merupakan komponen utama dinding sel dan sampul mielin (Linder 1992). Struktur lipid ditandai oleh relatif kurangnya mengandung oksigen. Lemak hampir semua terdiri dari karbon (C) dan hidrogen (H) yang menyebabkan hidrofobik dan hampir semuanya tidak dapat bercampur dengan air. Oksigen (O) berhubungan dengan satu atau lebih ikatan ester pada setiap kategori lipid bahan
42
makanan.
Ikatan ester tersebut dipecah dalam proses pencernaan setelah
komponen-komponennya diserap. Fosfolipid yang unik mengandung ujung/kutub polar sehingga mempunyai sifat detergen dengan muatan negatif dan positif dari fosfat dan penyusun dasarnya masing-masing.
Penyusun dasar fosfolipid
menentukan namanya (Linder 1992). Seperti halnya fosfolipid, kolesterol juga merupakan substrat untuk pembentukan zat-zat esensial lain termasuk asam empedu yang dibuat oleh hati yang merupakan rute utama untuk katabolisme kolesterol. Pembentuk hormonhormon steroid (dari glukokortikoid dan aldosteron dalam korteks adrenal sampai progesteron, estrogen dan androgen dalam gonad dan beberapa jaringan lain) dan pembentukan vitamin D.
Asam Lemak Esensial Asam lemak esensial sangat dibutuhkan untuk kesehatan ternak. Asam lemak esensial ditandai dengan ikatan rangkap/tidak jenuh pada C-7 terakhir (dan terutama C-6 dan 7) dalam rantai asam lemak ke arah gugus metil ujung. Asamasam lemak seperti linoleat yang mempunyai sifsat struktur ini tidak dapat disintesis oleh manusia. Dibutuhkan juga asam lemak poli tidak jenuh dengan ikatan rangkap antara C-3 dan 4 dari gugus metil akhir (seperti halnya linoleat). Asam lemak linoleat banyak didapatkan dalam fosfolipid otak (Linder 1992). Kebutuhan asam lemak esensial juga diketahui dengan pemberian asam arakhidonat untuk pembentukan prostaglandin, leukortrin dan tromboksan. Prostaglandin adalah zat yang menyerupai hormon yang disekresikan untuk kerja dalam waktu singkat untuk jaringan disekitarnya.
Zat tersebut dibuat dalam
semua bagian tubuh dengan implikasinya dalam beberapa aktivitas dari induksi aktivitas sampai peradangan, pengaturan tekanan darah dan sakit kepala. Sebagai produk alternatif dari konsumsi arakhidonat, leukortrin dan tromboksan kurang banyak diketahui dan diasosiasikan dengan beberapa penyakit patofisiologi. Secara umum, asam lemak poli tidak jenuh juga dibutuhkan dalam esterifikasi kolesterol plasma, penting untuk pengambilannya sebagai materi pusat lipoprotein berkepadatan rendah (Low Density Lipoprotein, LDL) dan ekskresi sterol-sterol dan asam-asam empedu secara normal (Linder 1992).
43
Ada dua fungsi utama asam lemak esensial bagi ternak yaitu sebagai mediator sintesis lipid dan sebagai unsur pembentuk membran sel. Asam lemak ω6, ekosanoid dan inositol fosfogliserida mempunyai peranan yang besar sebagai media pembentukan lipid. Asam lemak arakhidonat merupakan komponen utama ω6 juga mempunyai peranan dalam proses ini. EPA berperan penting dalam pembentukan ekosanoid, fungsi utama asam lemak ω3 adalah sebagai struktur dari membran sel (Stipanuk 2000). Asam lemak esensial sangat penting untuk ternak. Peranan asam lemak esensial bagi perkembangan embrio berkaitan dengan penyusunan struktur membran sel dan sebagai prekursor prostaglandin selain sebagai sumber energi (Leray et al. 1985). Telah diketahui bahwa hormon-hormon gonadal tersusun dari senyawa lemak yang dikenal sebagai steroid.
Prekursor steroid adalah
pregnenolone yang merupakan derivat dari kolesterol. Pregnenolone dirubah menjadi progesteron di dalam retikulum endoplasma. Hidroksilasi dan dekarboksilasi progesteron menghasilkan formasi androgen di dalam sitoplasma (Hafez 1980). Hal ini menunjukkan bahwa asam lemak sangat dibutuhkan untuk pembentukan hormon-hormon gonadal.
44