TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba merupakan salah satu sumber pangan hewani bagi manusia. Domba merupakan salah satu ruminansia kecil yang dapat mengkonnsumsi pakan kualitas rendah dan dipelihara untuk memproduksi daging, susu, wol, kulit dan hasil limbah yang dapat digunakan sebagai pupuk menurut Gatenby (1991). Damron (2006) menyatakan bahwa domba diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia, phylum Chordata, subphylum Vertebrata, class Mammalia, order Artiodactyla, suborder Ruminata, family Bovidae, genus Ovis dan species Ovies aries. Badan Pusat Statistik (2009) melaporkan bahwa populasi domba di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun yaitu 9.514.000 ekor pada tahun 2007, sebesar 10.199.000 ekor pada tahun 2009 dan meningkat menjadi 10.392.000 juta ekor domba pada tahun 2010. Populasi domba terbesar di Indonesia ditemukan di Jawa Barat. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2008) populasi domba di Jawa Barat pada tahun 2007 sebesar 4.605.417 ekor, sedangkan pada tahun 2008 sebesar 5.311.836 ekor. Menurut FAO (2004) terdapat tiga jenis domba di Jawa yaitu domba Ekor Tipis yang ditemukan di seluruh Pulau Jawa, domba Priangan dari Jawa Barat dan domba Ekor Gemuk dari Jawa Timur. Domba Garut Domba Garut atau dikenal sebagai domba Priangan ditemukan di Jawa Barat yaitu Bandung, Garut, Sumedang, Ciamis dan Tasikmalaya (FAO, 2004). Asal mula domba Garut menurut Merkens dan Soemirat (1926) yang diterjemahkan FAO (2004) merupakan hasil persilangan domba Merino dan Kaapstad dengan domba Lokal pada tahun 1864. Domba Merino didatangkan dari Australia pada tahun 1860, sedangkan domba Kaapstad berasal dari Afrika Selatan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa domba Merino dan Kaapstad disilangkan dengan domba Lokal milik K. F. Holle dan disebar ke Garut dan sekitarnya sehingga didapatkan domba Garut. Mansjoer et al. (2007) menyatakan bahwa domba Garut memiliki tingkat kesuburan tinggi (prolifik), memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai sumber daging dan dapat dijadikan sebagai daya tarik pariwisata daerah. Domba ini banyak dipelihara sebagai domba aduan (tipe tangkas) dan sebagai sumber pedaging (tipe daging). Domba Garut tipe Tangkas memiliki telinga yang pendek dengan 2
tanduk yang kekar dan besar. Domba Garut tipe Daging banyak menyebar di Kecamatan Wanaraja dan Sukawening. Domba ini mempunyai tubuh yang kompak, telinga yang panjang, memiliki wol yang halus dengan warna dasar dominan putih, serta memiliki paha belakang yang cukup besar. Menurut Gunawan dan Noor (2005) keunggulan domba Garut yaitu memiliki produktivitas cukup baik dan memiliki keunggulan komparatif dalam performa, kekuatan dan bobot badan yang dapat bersaing dengan domba impor dalam hal kualitas dan produktivitas. Riwantoro (2005) menyatakan bahwa domba Garut memiliki prestasi dalam seni ketangkasan domba sehingga pelestarian plasma nutfah domba Garut perlu dilakukan. Mulliadi (1996) menyatakan bahwa domba Garut Tangkas memiliki ukuranukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan domba Garut Daging. Domba Garut Tangkas dipelihara lebih intensif dan telah melalui seleksi lebih ketat ke arah domba aduan sehingga memiliki tubuh yang lebih besar, aktif dan mempunyai karakteristik tertentu. Sifat tangkas pada domba Garut kemungkinan berasal dari domba Lokal. Domba Garut Daging mempunyai asal-usul yang sama dengan domba Garut Tangkas karena jantan yang telah diafkir dikawinkan dengan betina domba Lokal. Sifat kualitatif domba Garut menurut Einstiana (2006) memiliki warna bulu putih, hitam, coklat dan kombinasi, bentuk ekor tipis atau sedang dan bentuk telinga pendek. Mulliadi (1996) menyatakan performa domba Garut dipengaruhi tiga bangsa yaitu domba Kaapstad yang mempengaruhi tinggi, domba Merino yang mempengaruhi sifat tanduk dan domba Lokal yang mempengaruhi sifat tangkas. Tabel 1 menyajikan ukuran-ukuran tubuh domba Garut Tangkas dan Garut Daging pada umur lebih dari satu tahun menurut Mulliadi (1996). Tabel 1. Ukuran Tubuh Domba Garut Tangkas dan Garut Daging pada Umur Satu Tahun Ukuran Tubuh Tinggi pundak Panjang badan Lebar dada Dalam dada Lingkar dada Lingkar kanon
Satuan cm cm cm cm cm cm
Garut Tangkas
Garut Daging
Jantan
Betina
Jantan
Betina
68,34±4,95 63,00±5,79 17,36±2,45 29,98±3,19 81,63±7,06 8,59±1,00
63,36±4,42 56,01±4,00 15,72±2,09 27,16±2,58 74,33±5,91 7,12±0,67
62,27±4,50 58,44±5,60 15,64±2,19 26,90±2,74 72,34±7,16 7,34±0,79
58,20±4,26 56,09±4,71 15,04±2,18 25,58±2,65 68,83±6,07 6,66±0,64
Sumber: Mulliadi (1996)
3
Domba Ekor Tipis Bradford dan Inounu (1996) menyatakan domba Ekor Tipis menyebar di Jawa Barat, Semarang dan Sumatra. Domba Ekor Tipis dikenal sebagai domba Lokal, domba pribumi atau domba asli. Domba ini banyak ditemukan di Jawa Barat dan Jawa Tengah (FAO, 2004). Sifat kualitatif domba Ekor Tipis menurut Einstiana (2006) memiliki warna bulu putih dan kombinasi (dua warna atau tiga warna), bentuk ekor tipis dan bentuk telinga panjang. Menurut FAO (2004) domba Ekor Tipis berwarna putih dan ditemukan bintik hitam di sekeliling mata dan hidung, kadang-kadang di tempat lain serta pada ekor tidak ditemukan banyak lemak. Jantan memiliki tanduk melingkar dan betina tidak bertanduk. Ukuran telinga medium dengan posisi menggantung dan domba ini menghasilkan wol yang kasar. Tabel 2. Karakteristik Domba Ekor Tipis di Indonesia Domba Ekor Tipis Karakteristik Warna Kualitas bulu Tanduk
Jawa
Semarang
Sumatera
Putih, hitam, coklat Rendah Betina: tidak ada Jantan: bertanduk ukuran besar
Putih Rendah Betina: tidak ada Jantan: bertanduk, ukuran medium
Putih, coklat terang Rendah Betina: tidak ada Jantan: bertanduk, ukuran medium
Sumber: Bradford dan Inounu (1996)
Tabel 3. Ukuran Tubuh Domba Ekor Tipis di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) pada Umur Lebih dari Satu Tahun Ukuran Tubuh
Satuan
Jantan
Betina
Tinggi pundak Panjang badan Lebar dada Dalam dada Lingkar dada
cm cm cm cm cm
55,66±3,37 51,60±3,59 15,30±1,95 28,18±5,06 71,46±4,78
57,87±4,26 57,56±3,50 18,23±1,86 32,83±3,47 71,12±4,56
Sumber: Einstiana (2006)
Tabel 2 menyajikan karakteristik domba Ekor Tipis di Jawa, Semarang dan Sumatera menurut Bradford dan Inounu (1996). Tabel 3 menyajikan sifat kuantitatif domba Ekor Tipis yang meliputi ukuran tubuh domba Ekor Tipis di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol pada umur lebih dari satu tahun, berdasarkan 4
Einstiana (2006). Prahadian (2011) melaporkan bahwa lingkar dada merupakan variabel ukuran linear permukaan tubuh yang ditemukan paling tinggi pada domba Ekor Tipis di Tawakkal Farm yaitu sebesar 63,54±4,23 cm. Domba Ekor Gemuk Domba Ekor Gemuk banyak ditemukan di Madura, Jawa Timur Lombok, Sumbawa, Kisar dan Sawa. Asal mula domba ini ditemukan pertama kali di Asia Barat Daya oleh para pedagang Arab. Pada tahun 1731, pemerintah mendatangkan domba Kirmani dari Persia. Domba Kirmani ini merupakan domba yang memiliki ekor gemuk dan bulu kasar. Domba Kirmani tersebut kemudian dikembangkan di Pulau Madura dan mulai dikenal sebagai domba Ekor Gemuk. Domba Ekor Gemuk memiliki tubuh yang lebih besar dibandingkan domba Ekor Tipis (FAO, 2004). Sifat kualitatif domba Ekor Gemuk menurut Einstiana (2006) memiliki warna bulu dominan putih maupun kombinasi dua warna, bentuk ekor gemuk, besar dan bentuk telinga panjang. Menurut FAO (2004), bobot jantan dewasa 45-50 kg dan betina 25-35 kg. Warna bulu putih, tidak bertanduk dengan bulu wol kasar. Domba Ekor Gemuk merupakan domba yang tahan terhadap iklim panas dan kering. Karakteristik domba Ekor Gemuk menurut Bradford dan Inounu (1996) memiliki ekor besar, lebar dan panjang, sedangkan domba Ekor Gemuk di Pulau Madura mempunyai ekor gemuk yang ekstrim dengan bagian pangkal ekor besar dan bagian ujung ekor kecil. Djajanegara et al. (1992) melaporkan bahwa sifat kuantitatif yang meliputi panjang badan dan tinggi pundak pada domba Ekor Gemuk ditemukan sebesar 58,4±2,85 dan 57,9±3,48 cm. Tabel 4 menyajikan ukuran-ukuran tubuh domba Ekor Gemuk di Pulau Madura dan Rote menurut Wijonarko (2007). Tabel 4. Rataan Ukuran Tubuh Domba Ekor Gemuk Umur Dewasa Pulau Madura Ukuran Tubuh Tinggi pundak Panjang badan Lebar dada Dalam dada Lingkar dada
Pulau Rote
Satuan cm cm cm cm cm
Jantan
Betina
Jantan
Betina
64,95±5,48 64,74±5,30 14,46±1,68 28,83±2,50 77,56±6,25
61,77±3,63 57,85±4,43 15,36±2,05 28,54±3,45 70,67±6,64
62,30±4,46 56,02±4,23 14,06±0,94 30,62±2,64 75,80±10,10
57,34±3,17 51,35±3,62 13,25±1,68 26,47±1,28 63,68±5,90
Sumber: Wijonarko (2007)
5
Ukuran dan Bentuk Tubuh Domba Morfologi merupakan ilmu mengenai form atau shape yang biasa digunakan untuk mempelajari karakteristik eksternal seperti anatomi, sedangkan morfometrik yaitu suatu cara pengukuran sesuatu yang diamati (Biology Online Team, 2005c). Morfometrik mencakup ukuran atau size dan bentuk atau shape. Ukuran dapat diartikan sebagai dimensi, besar, volume, ukuran relatif (Biology Online Team, 2005b). Bentuk dapat diartikan sebagai model, pola, karakteristik sebagai pembeda penampilan eksternal (Biology Online Team, 2005a). Heritabilitas bobot badan ditemukan lebih kecil dibandingkan heritabilitas ukuran tulang tubuh pada domba Suffolk menurut Janssens dan Vandepitte (2003). Dijelaskan lebih lanjut bahwa heritabilitas bobot badan ditemukan sebesar 0,49; sedangkan heritabilitas ukuran tulang tubuh yang meliputi tinggi pundak, panjang badan, dalam dada, lebar pinggul dan lingkar kanon memiliki heritabilitas ditemukan berkisar antara 0,35-0,57. Heritabilitas adalah proporsi dari total variasi suatu sifat yang diakibatkan oleh pengaruh genetik yang dapat diwariskan ke generasi berikutnya (Noor, 2008). Ukuran-ukuran tubuh menurut Mulliadi (1996) dapat digunakan untuk memberikan gambaran hubungan morfogenetik suatu ternak dan penyebarannya pada satu wilayah atau negara. Diwyanto (1982) menyatakan bahwa ukuran tubuh dapat digunakan untuk menaksir bobot badan dan karkas, serta memberi gambaran bentuk tubuh ternak sebagai ciri khas suatu bangsa tertentu. Pengukuran ukuran linear permukaan tubuh ternak sebagai sifat kuantitatif dapat digunakan dalam seleksi (Mulliadi, 1996). Dijelaskan lebih lanjut bahwa pengukuran ukuran linear permukaan tubuh tersebut dilakukan untuk memperoleh perbedaan ukuran-ukuran tubuh dalam populasi ternak. Ukuran-ukuran tubuh sangat berguna sebagai peubah seleksi, karena memiliki nilai heritabilitas dan keragaman yang cukup besar (Diwyanto, 1982). Everitt dan Dunn (1998) menyatakan bahwa bentuk suatu kelompok ternak merupakan hal yang diminati ahli taksonomi karena berhubungan erat dengan karakteristik suatu bangsa. Menurut Scanes (2003) perbedaan ukuran tubuh pada saat dewasa kelamin dapat memberikan penampakan yang berbeda pada setiap ternak.
6
Amano et al. (1981) menyatakan bahwa pengukuran linear permukaan tubuh dapat dilakukan menurut metode yang dibakukan pada ternak sapi berdasarkan Wagyu Cattle Registry Association, Jepang (1979). Variabel pengukuran terdiri atas 10 buah, yaitu: withers height (tinggi pundak), hip height (tinggi pinggul), body length (panjang badan), chest width (lebar dada), chest depth (dalam dada), hip width (lebar pinggul), rump width (lebar kelangkang), rump length (panjang kelangkang), chest girth (lingkar dada) dan cannon circumference (lingkar kanon). Menurut Diwyanto (1982) beberapa ukuran yang juga perlu dilakukan pada domba adalah panjang tanduk, lebar muka, lebar ekor, panjang ekor dan berat badan. Mulliadi (1996) menyatakan bahwa ukuran-ukuran tubuh berkorelasi dengan bobot badan jantan dan betina pada domba Garut. Ukuran-ukuran tersebut meliputi tinggi pundak, tinggi kelangkang, panjang badan, panjang kelangkang, lebar dada, dalam dada, lebar pangkal paha, lebar tulang tapis, lingkar dada, lingkar kanon, panjang tengkorak, lebar tengkorak, tinggi tengkorak, panjang dan lebar ekor. Statistik Deskriptif dan T2-Hotelling Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) statistik deskriptif meliputi nilai tengah, ragam, simpangan baku dan koefisien keragaman. Nilai tengah atau rataan adalah ukuran pemusatan data yang menimbang data menjadi dua kelompok yang memiliki massa yang sama. Rataan merupakan suatu nilai dasar yang digunakan untuk membandingkan setiap individu dalam contoh (Warwick et al., 1995). Ragam atau variance menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) yaitu ukuran penyebaran data yang mengukur rata-rata jarak kuadrat semua titik pengamatan terhadap titik pusat (rataan), sedangkan simpangan baku (standard deviation) populasi yaitu akar dari ragam. Koefisien keragaman atau coefficient of variation merupakan simpangan baku yang dinyatakan sebagai persentase dari rata-rata (Warwick et al., 1995). Gaspersz (1992) menyatakan bahwa statistik T2-Hotelling bertujuan untuk mendapatkan perbedaan vektor nilai rata-rata diantara dua populasi. Pengujian statistik ini dapat dilakukan sekaligus atau secara bersamaan pada banyak variabel pengukuran. Apabila hasil T2-Hotelling diperoleh nyata, maka dapat dilanjutkan untuk pengujian lebih lanjut seperti Analisis Komponen Utama dan Analisis Diskriminan.
7
Analisis Komponen Utama Menurut Gaspersz (1992), Analisis Komponen Utama (AKU) atau Principal Component Analysis (PCA) bertujuan untuk menerangkan struktur ragam-peragam melalui kombinasi linear dari variabel-variabel. Analisis ini digunakan untuk menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara menyusutkan (mereduksi) data dan mengintrepetasikannya. AKU juga merupakan tahap antara pada kebanyakan penelitian. Pada Analisis Regresi Komponen Utama, AKU merupakan tahap antara karena komponen utama dipergunakan sebagai input dalam membangun analisis regresi (Gaspersz, 1992). Gaspersz (1992) menyatakan bahwa komponen utama pertama merupakan kombinasi linear terbobot variabel asal yang dapat menerangkan keragaman data dalam persentase (proporsi) terbesar. Komponen utama kedua adalah kombinasi linear terbobot variabel asal yang tidak berkorelasi dengan komponen utama pertama serta memaksimumkan sisa keragaman data setelah diterangkan oleh komponen utama pertama. Keunggulan teknik komponen utama yaitu suatu teknik analisis untuk mengatasi masalah multikolinearitas dalam analisis regresi klasik yang melibatkan banyak variabel bebas (Gaspersz, 1992). Menurut Otsuka et al. (1980), hasil analisis ini dapat ditampilkan dalam diagram kerumunan berdasarkan skor komponen utama pertama (skor ukuran) dan skor komponen utama kedua (skor bentuk). Analisis Regresi Komponen Utama Menurut Gaspersz (1992), Analisis Regresi Komponen Utama (ARKU) atau Principal Component Regression Analysis (PCRA) merupakan teknik analisis regresi yang dikombinasikan dengan teknik AKU. Pada analisis ini, AKU dijadikan sebagai tahap analisis antara untuk memperoleh hasil akhir dalam analisis regresi. Penggunaan ARKU dilakukan pada studi penelitian yang melibatkan banyak variabel bebas dari sistem konkrit dan hubungan atau saling ketergantungan diantara variabelvariabel bebas tersebut dapat ditemukan. Keunggulan teknik komponen utama dalam analisis regresi adalah mengatasi masalah multikolinearitas diantara variabel-variabel bebas dan meningkatkan ketepatan pendugaan parameter model regresi dengan cara meningkatkan derajat bebas galat. ARKU dapat dilakukan melalui proses komputasi
8
dengan aplikasi MICROSTAT, STATGRAPHICS, SAS, SPSS dan STATPRO (Gaspersz, 1992). Korelasi antara Bobot Badan dan Ukuran-Ukuran Tubuh Domba Pleiotropy adalah aksi gen-gen tertentu yang mempengaruhi ekspresi dua sifat atau lebih sehingga menyebabkan adanya hubungan atau korelasi antara sifatsifat tertentu pada ternak (Martojo, 1990). Mulliadi (1996) melaporkan bahwa ukuran-ukuran tubuh berkorelasi positif dengan bobot badan domba Garut jantan dan betina. Tinggi pinggul, lebar dada, dalam dada, lebar pinggul, panjang kelangkang dan lebar kelangkang berkorelasi positif dengan bobot badan domba Garut jantan masing-masing sebesar 0,82; 0,79; 0,82; 0,79; 0,66; 0,79. Lingkar dada, lingkar kanon dan panjang badan memiliki korelasi positif pada domba Garut betina, masing-masing sebesar 0,80; 0,60; 0,64. Menurut Utami (2008) tinggi pundak, lebar dada dan dalam dada berkorelasi positif dengan bobot badan domba Ekor Tipis betina, masing-masing sebesar 0,51; 0,62; 0,55; sedangkan pada jantan korelasi positif ditemukan pada lebar dada dan dalam dada sebesar 0,66 dan 0,68. Prahadian (2011) melaporkan bahwa tinggi pinggul berkorelasi positif terhadap bobot badan pada jantan dan betina domba Ekor Tipis di Tawakkal Farm, masing-masing elastisitas sebesar 4,28 dan 0,42. Menurut Doho (1994) tinggi pundak, lingkar dada dan panjang badan memiliki korelasi positif dengan bobot badan pada domba Ekor Gemuk, masingmasing sebesar 0,65; 0,78; 0,65. Fourie et al. (2002) melaporkan bahwa tinggi pundak dan lingkar kanon memiliki korelasi positif dengan bobot badan domba Dorper jantan sebesar 0,59 dan 0,46. Hanibal (2008) juga melaporkan bahwa lingkar dada dan panjang badan berkorelasi positif terhadap bobot badan domba silangan Lokal Garut jantan pada kelompok Cikadu dengan elastisitas sebesar 0,89 dan 0,70. Gunawan et al. (2006) menyatakan bahwa lingkar dada berkorelasi positif terhadap skor ukuran pada domba Garut Pedaging Cinagara. Dijelaskan lebih lanjut bahwa bobot badan berkorelasi positif terhadap skor ukuran (Hanibal, 2008). Mulliadi (1996) menyatakan bahwa bobot badan dipengaruhi kondisi pemeliharaan dan pengaruh pemberian pakan.
9