TINJAUAN PUSTAKA Potensi Domba Lokal Populasi ternak domba terus meningkat dari tahun 2003 (7.810.702) sampai 2007 (9.859.667), sedangkan produksi daging kambing dan domba pada tahun 2007 adalah 148,2 ribu ton (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007). Populasi domba lokal terus meningkat, karena produktif untuk dipelihara sepanjang tahun dengan biaya yang rendah (FAO, 2002), mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan tropis, tidak mengenal musim kawin, bersifat prolifik dan kebal terhadap beberapa macam penyakit dan parasit (Rianto et al., 2004). Domba yang dikenal di Indonesia ada tiga bangsa yaitu domba priangan, domba ekor gemuk dan domba ekor tipis atau lebih dikenal dengan nama domba lokal. Domba ekor tipis mempunyai ciri-ciri tubuh yang kecil, ekor relatif kecil dan tipis, bulu badan berwarna putih tetapi kadang-kadang ada warna lain, misal belangbelang hitam sekitar mata, domba jantan bertanduk kecil dan melingkar dan umumnya domba betina tidak bertanduk, berat domba jantan berkisar 30-40 kg dan berat badan betina 15-20 kg. Salah satu keunggulan domba ekor tipis adalah sifatnya yang prolifik karena mampu melahirkan anak kembar dua sampai lima ekor setiap kelahiran (Mulyono dan Sarwono, 2004). Domba ekor gemuk mempunyai bentuk badan besar, bobot domba jantan mencapai 50 kg dan domba betina mencapai 40 kg. Domba jantan bertanduk, tetapi domba betina tidak bertanduk. Ekor panjang, pada bagian pangkalnya besar dan menimbun banyak lemak, ujung ekornya kecil tak berlemak. Domba ini banyak terdapat di Jawa Timur, Madura, Lombok dan Sulawesei. Domba priangan atau domba garut berasal dari Priangan, Garut, Jawa Barat. Memiliki ciri-ciri sebagai berikut: badan besar dan lebar, memiliki leher yang kuat sehingga digunakan sebagai domba aduan dan penghasil daging, domba jantan bertanduk besar, kokoh, dan kuat, melengkung ke belakang berbentuk spiral, pangkal tanduk kanan dan kiri hampir bersatu, betina tidak memiliki tanduk, bulu badan lebih panjang dan halus, dan bobot domba jantan adalah 60-80 kg, sedangkan bobot domba betina adalah 30-40 kg (Mulyono, 2005). Contoh domba priangan atau domba garut disajikan pada Gambar 1.
3
Gambar 1. Domba Priangan atau Domba Garut (Mulyono, 2005) Domba UP3 Jonggol adalah salah satu jenis domba lokal yang sudah dikenal oleh civitas akademik Fakultas Peternakan, IPB. Domba ini memiliki beberapa keunggulan diantaranya memiliki daya adaptasi dan toleransi yang cukup baik terhadap suhu yang cukup panas, sehingga berpotensi dijadikan salah satu sumber genetik untuk dikembangkan pada masa yang akan datang (Ilham, 2008). Populasi ternak domba di UP3 Jonggol yang digembalakan setiap hari yaitu sebanyak 611 ekor (308 betina dan 303 jantan) dan domba dikeluarkan pukul 10:00 dan dimasukkan kembali ke kandang pukul 16:00 (Harahap, 2008). Bobot lahir anak untuk domba yang dipelihara secara ekstensif di padang rumput UP3 Jonggol berkisar 1,56-2,54 kg (Ilham, 2008). Bahan Pakan Jagung Jagung merupakan bahan pakan sumber energi yaitu sumber karbohidrat non struktural yang lambat terdegradasi di dalam rumen. Kandungan karbohidrat jagung sekitar 87,6% (Inglett, 1987). Pati merupakan komponen terbesar yang terdapat dalam biji jagung yang terdiri atas amilosa dan amilopektin (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Kandungan pati jagung yaitu 72-73%, dengan kandungan amilosa dan amilopektin yaitu 25-30% dan 70-75%. Kadar gula sederhana jagung (glukosa, fruktosa, dan sukrosa) berkisar antara 1-3%. Protein jagung (8-11%) terdiri atas lima fraksi, yaitu: albumin, globulin, prolamin, glutelin, dan nitrogen nonprotein. Jagung merupakan butiran yang mempunyai total nutrien tercerna (TDN) dan net energi (NE) yang tinggi. Total nutrien tercerna pada jagung sangat tinggi (81.9%) dan mengandung: 1) bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) yang hampir
4
semuanya pati, 2) mengandung lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan semua butiran dan 3) serat kasar rendah, oleh karena itu sangat mudah dicerna. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa jagung kuning mengandung pigmen cryptoxanyhin, yang merupakan prekusor vitamin A. Penggunaan jagung untuk ruminansia khususnya domba tanpa batasan, tetapi kandungan protein jagung rendah sehingga perlu ditambahkan sumber protein lain untuk memenuhi kebutuhan dalam ransum. Onggok
Onggok adalah salah satu hasil dari pengolahan ubi kayu (Manihot utilissima) menjadi tapioka. Proses pengolahan ubi kayu menjadi tapioca menghasilkan limbah padat yaitu onggok dan menghasilkan limbah buangan berupa cairan yaitu sludge, dari pengolahan tapioka menghasilkan 11,4% onggok (Hidayat, 2011). Onggok merupakan bahan pakan yang kaya akan kandungan pati, yaitu suatu bahan pakan sumber energi yang tergolong karbohidrat mudah terpakai (RAC) (Sumangkut et al., 1976). Ditinjau dari komposisi zat makanannya onggok merupakan sumber energi dengan kandungan karbohidrat sekitar 97,29%, kandungan protein kasar onggok sangat rendah yaitu sekitar 1,45% dengan serat kasar yang tinggi yaitu 10,94 (Halid,1991). Gunawan (1995) menambahkan bahwa onggok mengandung 1,6% protein kasar, 0,4% lemak kasar, 10,4% serat kasar, 0,8% kalsium, 0,6% fosfor, dan 2670 kkal/kg ME. Menurut (Nuraini et al., 2008) diperlukan tambahan bahan lain sebagai sumber nitrogen yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan pakan, namun kandungan air cukup tinggi 81-85% tetapi kaya akan karbohidrat yang mudah dicerna (BETN) bagi ternak serta penggunaannya dalam ransum mampu menurunkan biaya ransum (Rasyid, 1996) karena harganya murah, tersedia cukup, mudah didapat, dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Konsumsi Konsumsi pada umumnya diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak, yang kandungan zat makanan di dalamnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak tersebut (Tillman et al., 1998). Tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor
5
yaitu faktor hewan, faktor makanan, faktor lingkungan (suhu dan kelembaban). Faktor makanan antara lain bentuk, bau, rasa, tekstur dan komposisi nutrien. Faktor hewan antara lain bobot badan, palatabilitas, status fisiologis dan kapasitas rumen serta faktor lingkungan antara lain suhu dan kelembaban udara (Parakkasi, 1999). NRC (2006) menyatakan bahwa domba dengan bobot badan 20-30 kg membutuhkan bahan kering berkisar 3% dari bobot badannya yaitu 600 g/ekor/hari. Mathius (1996) yang menyatakan bahwa domba bunting dan laktasi mengkonsumsi pellet masingmasing yaitu 63,85 dan 69,63 g/kgBB0,75. Kearl (1982) menyatakan bahwa domba yang sedang bunting dan laktasi dapat mengkonsumsi bahan kering masing-masing yaitu 3,3 dan 5% BB. Domba bunting dan laktasi mengalami berbagai macam perubahan, baik perubahan fisik maupun perubahan status fisiologis. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap konsumsi karena pada induk bunting akan mengalami keterbatasan dalam menampung pakan yang dikonsumsi. Robinson (1986) menyatakan bahwa bertambah besarnya perkembangan fetus dalam saluran reproduksi menyebabkan semakin mengecilnya rongga perut yang tersedia untuk dapat menampung pakan. Induk bunting, terutama bunting kembar mempunyai kapasitas rongga perut yang lebih kecil untuk dapat menampung pakan yang dikonsumsi (Orr et al., 1983). Ramsey et al. (1994) menambahkan bahwa semakin banyak fetus yang dikandung maka semakin kecil ruang untuk volume perut, sehingga dapat menurunkan tingkat konsumsi induk domba. Konsumsi pada umumnya akan meningkat kembali setelah beranak. Forbes (2007) menyatakan bahwa konsumi induk meningkat setelah beranak disebabkan produksi susu yang tinggi serta volume perut yang lebih tinggi karena tidak adanya fetus. Konsumsi hijauan pada umumnya akan meningkat ketika laktasi, Mardalena et al. (2008) menyatakan konsumsi hijuan pada kambing PE yang memperoleh Konsentrat Suplemen Blok (KSB) mampu mengkonsumsi hijauan melebihi yang tidak diberi KSB. Konsentrat dan suplemen merupakan sumber protein (non protein nitrogen), energi, mineral dan dapat meingkatkan konsumsi zat-zat makanan dari pakan yang berserat kasar tinggi (Rukmana, 2005).
6
Kebutuhan Zat Makanan Domba Fase Bunting Nutrisi pakan secara langsung menyediakan glukosa, asam amino, vitamin, dan elemen kimia essensial dan secara tidak langsung dapat memodifikasi fungsi hormonal, dimana dapat meningkatkan kematangan sel telur, ovulasi, perkembangan embrio, pertumbuhan fetus, dan daya tahan anak yang lahir (Freer dan Dove, 2002). Pakan merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat penting untuk induk bunting. Pengaruh negatif dari kekurangan pakan terhadap organ reproduksi pada domba muda dapat bersifat permanen (Thalib et al., 2001). Kebutuhan zat makanan untuk domba disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutukan Zat Makanan Domba Zat Makanan Kebutukan Induk
Bobot Badan TDN (kg)
Protein (g)
Ca (g)
P (g)
Akhir Kebuntingan
50
0,94
175
5,9
4,8
Laktasi
50
1,36
304
8,9
6,1
Sumber: NRC (2006)
Ensminger (1980) menyatakan, kebutuhan energi (TDN) untuk domba bunting lebih kurang sebesar 66%. Pulina (2004) membagi masa kebuntingan domba menjadi tiga fase, 1) fase awal kebuntingan (bulan pertama kebuntingan), dimana pada fase ini banyak terjadi kematian embrio saat implantasi di uterus. 2) fase pertengahan kebuntingan (dua sampai tiga bulan kebuntingan), pada fase ini perkembangan plasenta sangat penting karena berpengaruh terhadap bobot lahir anak. Pengaruh nutrisi terhadap perkembangan plasenta dihubungkan oleh bobot badan, skor kondisi tubuh, dan umur induk domba. 3) fase akhir kebuntingan (tiga sampai lima bulan kebuntingan), pada fase ini terjadi perkembangan fetus yang sangat cepat. Hormon plasenta laktogen yang dihasilkan oleh chorion berperan penting dalam mengalirkan glukosa dari induk untuk pertumbuhan fetus.
7
Fase Laktasi Fase laktasi merupakan periode dimana induk domba membutuhkan nutrisi pada tingkat yang tinggi (Robinson, 1986). Produksi susu yang dihasilkan selama laktasi dipengaruhi oleh banyak faktor seperti konsumsi pakan, bobot hidup, komposisi tubuh, potensi genetik, dan kondisi iklim. Nutrisi selama kebuntingan memiliki hubungan yang erat terhadap produksi susu (Wodzika et al., 1991). Pembatasan pemberian pakan akan mengakibatkan menurunnya bobot hidup induk secara drastis. Kebutuhan energi induk domba, baik yang bunting maupun yang sedang laktasi sangat tinggi, maka jumlah energi yang dikonsumsi harus ditingkatkan sebanyak 1,5 sampai 2 kali dari kebutuhan hidup pokok (NRC, 1985). Pertambahan Bobot Badan Induk Pertambahan bobot badan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat dalam pakan menjadi daging. Kecepatan pertumbuhan dapat diketahui dengan melakukan penimbangan berulang setiap hari, minggu atau bulan (Tillmann et al., 1998). Berdasarkan NRC (1985), pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain total protein yang diperoleh setiap harinya, jenis ternak, umur, keadaan genetis, lingkungan kondisi setiap individu dan manajemen tata laksana. Pertambahan bobot badan pada induk domba ketika bunting selain dipengaruhi oleh konsumsi juga dipengaruhi oleh jumlah fetus yang terdapat di dalam kandungan (Robinson, 1986). Meningkatnya umur kebuntingan akan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan fetus, namun laju peningkatannya menurun seiring umur kebuntingan (Sugana, 1988). NRC (2006) menyatakan bahwa pertambahn bobot badan harian domba sekitar 100 g/ekor/hari, sedangkan hasil penelitian Wardhani (2006) dengan induk yang digembalakan dipadang rumput Brachiaria Humidicola dengan tambahan dedak padi dan Saputra (2008) dengan induk dipelihara secara ekstensif tanpa mendapatkan pakan tambahan memiliki ratarata pertambahan bobot badan 47 dan 69,9 g/ekor/hari. Mathius (1996) melaporkan bahwa domba yang sedang laktasi, perubahan bobot badan yang terjadi bernilai negatif, penurunan bobot badan mencapai 10-36 g/ekor/hari. NRC (2006) menyatakan kebutuhan nutrisi domba mencapai level yang tinggi selama bulan pertama laktasi. Penurunan bobot badan terjadi saat bulan 8
pertama laktasi, kemudian akan meningkat kembali setelah satu bulan laktasi (Freer dan Dove, 2002). Hal tersebut disebabkan pada awal laktasi aliran metabolit dari darah terjadi dengan cepat untuk produksi susu, sementara konsumsi induk tidak dapat memenuhi kebutuhan zat makanan induk sehingga penggunaan cadangan lemak tubuh akan dilakukan (Forbes, 2007). Bobot Lahir Bobot lahir adalah bobot pada saat anak dilahirkan, yaitu bobot hasil penimbangan dalam kurun waktu 24 jam sesudah lahir (Hardjosubroto, 1994). Faktor-faktor yang menentukan bobot lahir yaitu jenis kelamin, bangsa, tipe kelahiran, kondisi induk, ransum tambahan saat induk bunting (Sumoprastowo, 1993) dan umur induk (Inounu, 1996). Anak yang memiliki bobot lahir tinggi cenderung memiliki daya hidup yang tinggi saat dilahirkan dan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi (Bourdon, 2000). Inounu (1996) dan Tiesnamurti (2002) menyatakan, bahwa bobot lahir domba Priangan masing-masing adalah 3,4 kg dan 2,39 kg. Setyawati (2000) melaporkan bahwa bobot lahir domba Garut yaitu 1,56 kg. Wisnuwardani (2000), Dudi (2002) dan Inounu et al. (1996) menyatakan bahwa tipe kelahiran pada induk mempengaruhi bobot lahir anak. Bobot lahir anak tunggal lebih berat jika dibandingkan dengan rataan bobot lahir anak kembar (Suryadi, 2006). Harahap (2008) dalam penelitiannya menggunakan induk domba Jonggol berumur satu tahun, yang digembalakan di padang rumput Brachiaria humidicola, memiliki rata-rata bobot lahir anak yaitu 1,82 kg/ekor, sedangkan bobot lahir anak tunggal dan kembar masing-masing yaitu 1,82 dan 1,86 kg/ekor. Perbedaan bobot lahir diduga karena terbatasnya volume uterus induk, sehingga bila dalam uterus terdapat lebih dari satu fetus maka calon anak tersebut pertumbuhannya akan terganggu karena harus berdesak-desakan dalam uterus yang sempit, dibandingkan jika anak tersebut dilahirkan tunggal (Triwulaningsih, 1986). Jenis kelamin berpengaruh juga terhadap bobot lahir. Anak domba jantan selalu lebih berat saat lahir dibandingkan dengan domba betina, dan bobot lahir tersebut akan berkorelasi positif dengan bobot sapih dan pertambahan bobot badan (Ramsey et al., 1994). Sudjatmogo (1998) menyatakan bahwa induk domba yang mendapatkan pakan dengan kualitas baik memiliki rataan bobot lahir anak jantan 1,90 kg dan rataan bobot lahir anak betina 1,74 kg. Harahap (2008) dalam 9
penelitiannya dengan induk domba Jonggol yang berumur satu tahun dan Saputra (2008) dengan induk berumur dua tahun memeiliki rata-rata bobot lahir anak jantan 2,03 dan 1,9 kg/ekor sedangkan betina 1,61 dan 2,42 kg/ekor. Bobot Sapih Bobot sapih merupakan indikator dari kemampuan induk untuk menghasilkan air susu dan kemampuan anak untuk mendapatkan air susu (Hardjosubroto, 1994). Bobot sapih anak dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur sapih, umur induk dan produksi susu induk. Harahap (2008) dan Saputra (2008) menyatakan bahwa bobot sapih anak domba Jonggol dari induk yang dipelihara secara ekstensif yaitu berkisar 3,46-6,58 dan 4,53-7,38 kg/ekor. Bobot sapih pada domba Garut di Desa Sukawargi sebesar 11,6 kg (Wisnuwardani, 2000) dan rataan bobot sapih domba prolifik hasil penelitian Inounu (1999) yaitu sebesar 13,12 kg. Subandriyo (1996) menyatakan bahwa bobot anak saat di sapih dipengaruhi oleh tipe kelahirannya. Harahap (2008) dalam penelitiannya melaporkan bobot sapih anak dengan tipe kelahiran tunggal dan kembar masing-masing yaitu 5,95 dan 5,01 kg/ekor, sementara bobot sapih anak jantan dan betina adalah 5,96 dan 5,47 kg/ekor dengan induk domba jonggol yang penyapihannya dilakukan selama dua bulan. Baliarti (1981) melaporkan bahwa anak domba jantan memiliki berat sapih lebih tinggi dibandingkan anak domba betina. Pertambahan Bobot Badan Anak Pra Sapih Pertambahan bobot badan anak merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan pertumbuhan anak hingga sapih. Selama periode pra sapih peran induk sangat dominan dalam mendapatkan bobot hidup anak sapih yang tinggi dan mengurangi tingkat mortalitas anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak setelah lahir sampai disapih dipengaruhi oleh bobot lahir dan produksi susu induk (Subandriyo, 1990). Hasil penelitian Baliarti (1981) menyatakan bahwa anak domba jantan memiliki kemampuan tumbuh lebih cepat daripada betina. Pertumbuhan periode sapih juga dipengaruhi tipe kelahiran (Subandriyo, 1996). Anak tunggal mempunyai pertumbuhan lebih cepat karena mendapat lebih banyak susu, namun bagaimanapun juga pada induk yang dapat mempunyai anak kembar, total rataan pertambahan bobot hidup anak lebih besar dari pada induk yang memiliki anak
10
tunggal, karena induk yang memiliki anak kembar menghasilkan lebih banyak susu untuk anak kembar (Gatenby, 1991). Saputra (2008) dalam penelitiannya menggunakan domba Jonggol berumur satu tahun dengan induk digembalakan di padang rumput Brachiaria humidicola memiliki rata-rata pertambahan bobot badan anak yaitu sebesar 41,7 g/ekor/hari. Mortalitas Kematian dapat terjadi pada fase embrio maupun fetus. Dixon et al. (2007) menyatakan bahwa kematian pada fase embrio dan fetus sebesar 19,9%. Daya tahan hidup anak dengan tipe kelahiran tunggal berbeda dengan tipe kelahiran kembar. Kemampuan hidup anak domba sebesar 90% pada kelahiran tunggal, 68% pada kelahiran kembar dua, dan 60 – 65% pada kelahiran kembar tiga (Inounu, 1991). Gatenby (1991) menyatakan bahwa kematian anak domba dipengaruhi oleh bobot lahir, umur induk, paritas induk, produksi susu, jumlah anak sekelahiran, dan tingkat laju menyusu induk. Induk domba yang diberi pakan protein kasar 15%, Total Digestibility Nutrient 65,8% dan protein kasar 17%, Total Digestibility Nutrient 77% memiliki mortalitas anak sebesar 11,22% dan 12,5% (Nurachma, 1991). Produksi Susu Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengukur produksi susu induk domba yaitu menggunakan oksitosin, menimbang bobot anak sebelum dan setelah menyusui, dan menggunakan komposisi tubuh anak (Freer dan Dove, 2002). Dove (1988) menyatakan bahwa anak domba yang hanya mengkonsumsi susu menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 160-170 g/hari/kg susu, artinya enam kilogram susu untuk satu kilogram pertambahan bobot badan. Hubungan ini hanya berlaku hingga 4-6 minggu periode laktasi, setelah dari itu kurva hubungan antara produksi susu dan pertambahan bobot badan menurun. Periode laktasi adalah interval waktu selama proses keluarnya air susu induk semenjak anak lahir hingga proses menyusui anaknya (suckling lamb) atau pemerahan (milking) berakhir. Periode laktasi sewaktu induk memproduksi susu merupakan masa yang krusial. Poli (1998) menyatakan bahwa induk domba yang mendapatkan pakan dengan kualitas yang baik akan mencapai puncak laktasi lebih lambat bila dibandingkan dengan induk domba yang mendapatkan pakan dengan
11
kualitas yang lebih rendah. Puncak laktasi induk domba yang mendapatkan pakan dengan kaulitas baik terjadi antara minggu ketiga dan keempat, sedangkan puncak laktasi pada domba yang mendapatkan pakan dengan kualitas rendah terjadi antara minggu kedua dan ketiga laktasi. Produksi susu pada tipe kelahiran kembar lebih tinggi dibandingkan dengan produksi susu tipe kelahiran tunggal. Hal ini disebabkan jumlah fetus yang berkembang sebelum gestation memberikan pengaruh nutrisi dan kualitas susu yang akan diberikan induk kepada anak dan perkembangan jaringan pada ambing (Sumaryadi, 1997). Secara fisiologis induk yang melahirkan anak kembar akan menghasilkan produksi susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelahiran tunggal. Hal ini disebabkan kecukupan makanan untuk anak yang harus disediakan oleh induk, dengan demikian pertumbuhan dan perkembangan sel-sel sekretoris kelenjar ambing harus juga semakin tinggi agar dapat menghasilkan makanan untuk anaknya (Cupuco et al., 2003).
12