2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Domba Lokal Taksonomi domba lokal (Ovis aries) yaitu (Herren 2000):
Gambar 1 Domba Lokal Kerajaan
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Artiodactyla
Famili
: Bovidae
Subfamili
: Caprinae
Genus
: Ovis
Spesies
: O.Aries
Binomial
: Ovis aries
Cara menghitung umur domba dilihat dari gigi depan, sepasang gigi susu akan digantikan gigi dewasa yang lebih besar setiap tahun. Gigi lengkap domba dewasa berjumlah delapan gigi depan yang akan lengkap sekitar umur empat tahun. Gigi depan kemudian berangsur-angsur hilang akibat pertambahan umur domba (Schoenian 2007). Domba merupakan salah satu spesies yang cocok untuk pengujian bahan implantasi tulang (Ravaglioli et al. 1996). Pada periode 1990-2001, pemakaian domba dalam penelitian ortopedik yang meliputi patah tulang (fraktur), osteoporosis, bone-lengthening dan osteoarthritis sebanyak 9-12%. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada periode 1980-1989 yang hanya sebanyak 5% (Martini et al. 2001, diacu dalam Pearce et al. 2007). Peningkatan penggunaan ini
berkaitan dengan isu-isu etis dan persepsi negatif publik terhadap penggunaan hewan kesayangan untuk penelitian medis. Domba menawarkan keuntungan untuk digunakan sebagai hewan model implantasi tulang karena domba memiliki dimensi tulang panjang yang sesuai untuk implantasi pada pengimplanan manusia dan prostesis (Newman et al. 1995, diacu dalam Pearce et al. 2007). Domba merupakan model yang berharga untuk regenerasi tulang manusia dan aktivitas remodelling (Chavassieux et al. 1987; den Boer et al. 1999; Pastoureau et al. 1989, diacu dalam Pearce et al. 2007). 2.2 Suhu Tubuh, Frekuensi Jantung dan Nafas 2.2.1. Suhu Tubuh Ditinjau dari pengaruh suhu pada lingkungan, hewan dibagi menjadi dua golongan yaitu poikiloterm dan homoiterm. Suhu tubuh poikiloterm dipengaruhi oleh lingkungan. Suhu tubuh bagian dalam lebih tinggi dibandingkan dengan suhu tubuh luar. Hewan seperti ini juga disebut hewan berdarah dingin. Contoh hewan berdarah dingin adalah ular dan ikan. Hewan homoiterm sering disebut hewan berdarah panas (Duke 1995). Hewan berdarah panas suhu tubuh lebih stabil, hal ini dikarenakan adanya reseptor dalam otak sehingga dapat mengatur suhu tubuh. Hewan berdarah panas dapat melakukan aktifitas pada suhu lingkungan yang berbeda disebabkan karena kemampuan mengatur suhu tubuh. Hewan dalam kelompok ini mempunyai variasi suhu normal yang dipengaruhi oleh faktor umur, kelamin, lingkungan, panjang waktu siang dan malam dan makanan yang dikonsumsi (Swenson 1997). Contoh hewan berdarah panas adalah bangsa burung dan mamalia (Guyton & Hall 1993). Domba termasuk hewan berdarah panas. Suhu tubuh normal pada domba adalah 38,9-40,°C (Kelly 1974). Suhu tubuh yang dihitung dengan termometer tidak menunjukkan jumlah total dari panas yang diproduksi, namun hanya merefleksikan keseimbangan (keadaan tetap) antara produksi panas dan kehilangan panas. Suhu permukaan kulit biasanya lebih rendah daripada bagian dalam tubuh. Tingginya suhu tubuh berhubungan penting terhadap kehilangan panas (Kelly 1974).
Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu antara lain: 1. Ukuran hewan, semakin kecil hewan semakin tinggi suhu normal tubuhnya. 2. Jenis kelamin, betina memiliki suhu normal tubuh lebih tinggi daripada jantan. 3. Hewan bunting memiliki suhu normal tubuh lebih tinggi. 4. Umur, hewan muda memiliki suhu normal tubuh lebih tinggi daripada hewan tua. 5. Aktifitas makan, suhu tubuh hewan meningkat setelah makan, terutama apabila makan terlalu banyak. 6. Olahraga (exercise). 7. Parturasi. 8. Terkena suhu atmosfer yang tinggi. 9. Excited, ketika hewan excited suhu tubuhnya meningkat. 10. Prosedur dalam pemeriksaan fisik dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Semua hewan sehat memiliki suhu tubuh bervariasi sepanjang hari. Suhu rendah pada pagi hari, sedikit meninggi pada tengah hari dan mencapai puncak sekitar pukul 6 sore hari. Hewan di bawah pengamatan klinis, suhu tubuh biasanya diukur dua kali sehari (pagi dan malam hari). Perbedaan antara kedua pembacaan tersebut merupakan variasi harian (Kelly 1974). 2.2.2. Frekuensi Jantung Frekuensi jantung domba berkisar antara 70-90 denyut/menit (Kelly 1974). Frekuensi jantung adalah laju jantung berdetak per menit. Peningkatan frekuensi jantung disebut takikardia sedangkan penurunan frekuensi jantung disebut bradikardia. Pulsus didapat di arteri femoralis, di atas daerah inguinal, di bagian medial paha pada domba. Menurut Adisuwirdjo (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi jantung yaitu: 1. Aktivitas, aktivitas yang tinggi dapat meningkatkan frekuensi kerja jantung. 2. Ion kalsium, ion kalsium memicu sistol yaitu kontraksi salah satu ruangan jantung pada proses pengosongan ruangan tersebut. Diastol
adalah reaksi dari satu ruang jantung sesaat sebelum dan selama pengisian ruangan tersebut. 3. Kadar CO2, dapat menaikkan frekuensi maupun kekuatan kontraksi jantung. 4. Asetilkolin, dapat mengurangai frekuensi jantung. 5. Adrenalin, dapat menaikkan frekuensi jantung. 6. Atropin dan nikotin, dapat mempercepat frekuensi jantung. 7. Morphin, dapat memperlambat frekuensi jantung. 8. Suhu tubuh, semakin tinggi suhu maka frekuensi jantung juga semakin besar. 9. Berat badan, semakin berat badan seseorang atau hewan maka frekuensi jantung juga semakin besar. 10. Umur, umur muda memiliki frekuensi jantung yang lebih cepat. Kelly (1974) menambahkan faktor lain yang mempengaruhi frekuensi jantung yaitu ukuran hewan, kondisi fisik, jenis kelamin, kebuntingan, parturasi, laktasi, excitement, olahraga, postur, proses pencernaan makanan, ruminasi dan suhu lingkungan. Menurut Ville et al. (1988) laju pompa jantung dipengaruhi oleh aktivitas mamalia atau manusia itu sendiri. Jantung pada berbagai hewan dapat berkontraksi dengan sendirinya tanpa ada rangsangan dari luar. Jantung mamalia sensitif terhadap pasokan oksigen dan suhu (Kay 1998). 2.2.3. Nafas Bernafas adalah tindakan membawa udara ke dalam dan kemudian mengeluarkan udara dari paru-paru. Paru-paru adalah struktur komplek yang dirancang untuk memberikan pertukaran gas yang mudah, terutama oksigen dan karbon dioksida antara udara dan darah. Kisaran pernafasan normal domba adalah 20-30 nafas/menit (Kelly 1974). Frekuensi dan ritme pernafasan dapat diketahui dengan menempatkan satu tangan di daerah flank bawah pada hewan. Frekuensi nafas juga dapat diketahui dengan memperhatikan pergerakan nostril atau lebih efisien dengan auskultasi pada thorak atau trakea. Tindakan bernafas diatur secara sengaja dan reflek dengan memonitor fungsi pusat pernafasan di medulla oblongata. Faktor-faktor
yang dapat meningkatkan frekuensi nafas antara lain excitement, ketakutan, suhu lingkungan yang tinggi, kelembaban, setelah olahraga dan obesitas (Kelly 1974). 2.3 Tulang Tulang adalah jaringan biologis dinamis terdiri dari metabolisme sel-sel aktif yang diintegrasikan ke dalam kerangka kerja yang kaku (Kalfas & FACS 2001). Porsi yang signifikan dari kerangka masih terdiri dari tulang rawan pada hewan yang baru lahir. Kerangka tulang yang matang berkembang selama pertumbuhan karena kemampuan sel yang disebut osteosit untuk deposit garam tulang (terutama garam kalsium) di lamela atau lembaran (Heath & Olusanya 1985). Kehadiran pembuluh darah sangat penting untuk kehidupan osteosit sekitarnya dan pemeliharaan tulang itu sendiri. Tulang memiliki pori yang dapat digunakan sebagai saluran untuk aliran darah dan menyediakan cara tulang untuk hidup dengan mengusahakan tulang itu sendiri berbaur dengan implan secara permanen (Schowengerdt 2002). Tulang adalah jaringan hidup dan bahkan pada hewan dewasa terus-menerus mengalami perubahan. Sel yang disebut osteoklas menghancurkan tulang tua sementara osteosit memproduksi tulang baru. Pada orang dewasa tulang dapat membentuk kembali dengan sendirinya sebagai respon terhadap kerusakan bagian tulang walaupun kemampuan ini berkurang dengan bertambahnya umur (Heath & Olusanya 1985). Pada penampang longitudinal dan transversal dari suatu tulang panjang tampak bahwa tulang terdiri atas dua bagian yaitu substansi compacta dan substansi spongiosa. Substansi compacta merupakan bagian luar yang padat. Tebal bagian ini berbeda-beda, tergantung dari pengaruh tenaga tekan dan tarik yang dialami tulang (Soesetiadi 1977). Substansi spongiosa merupakan bagian dalam tulang yang terbentuk oleh trabekula-trabekula tipis yang membentuk jalinan seperti sepon atau bunga karang (spongy) (Astawan 2002). Cavum medullaris adalah ruangan yang terdapat pada tulang panjang yang berisi sumsum tulang. Pada hewan muda, sumsum tulang berupa sumsum tulang merah yang dapat membuat sel-sel darah dan dengan meningkatnya usia, sumsum tulang merah ini digantikan dengan sumsum tulang kuning yang teridri atas jaringan lemak biasa (Soesetiadi 1977).
Gambar 2 Pori pada Tulang (Schowengerdt 2002) Kesatuan struktural yang membentuk tulang dinamakan osteon yang terdiri atas: 1. Saluran havers, yaitu suatu saluran yang terletak di tengah dan berisi darah pada hewan muda. Pada hewan dewasa saluran ini kosong. Saluran havers berjalan sejajar dengan bidang longitudinal dan dapat dihubungkan satu sama lain oleh saluran volkman. 2. Lamela, yaitu daun-daun yang dibentuk oleh serabut-serabut kolagen dengan arah yang sejajar dengan bidang longitudinal tulang. Jurusan serabut kolagen pada suatu lamela bersilangan dengan serabut pada lamel yang ada disebelahnya. 3. Osteosit, atau sel tulang mempunyai penjuluran yang bercabang. 4. Bahan intraseluler, terdiri atas bahan organik dan anorganik (Soesetiadi 1977). Tulang merupakan jaringan ikat khusus. Seperti halnya jaringan ikat yang lain, tulang terdiri dari sel-sel tulang dan matriks, namun pada tulang matriksnya mengalami mineralisasi. Mineral tulang adalah kalsium fosfat dalam bentuk kristal hidroksiapatit. Mineralisasi tersebut menyebabkan tulang menjadi jaringan yang keras sehingga mampu menjadi penunjang dan pelindung (Astawan 2002). Sel-sel tulang terdiri dari empat jenis, yaitu: 1. Osteoprogenitor, dapat tumbuh dan berkembang menjadi osteoblast. 2. Osteoblast, mensintesis matriks tulang.
3. Osteosit, merupakan perkembangan dari osteoblast yang sudah dikelilingi oleh matriks hasil sekretanya. 4. Osteoklas, adalah sel yang mampu menyerap tulang (fagositosis) pada proses pertumbuhan tulang, bisa terletak pada permukaan tulang. Sel osteoklas tumbuh dari sumsum tulang (Astawan 2002). Berat tulang sekitar 20% adalah air (Recker 1992, diacu dalam Kalfas & FACS 2001). Berat tulang kering terdiri atas kalsium fosfat anorganik (65-70%) dan matriks organik protein fibrous dan kolagen (30-35%) (Copenhaver, Kelly, Wood 1987, diacu dalam Kalfas 2001). Osteoit adalah matriks organik yang tidak dimineraliasi yang dikeluarkan oleh osteoblas. Osteosit terdiri dari 90% tipe I kolagen dan 10% substansi dasar yang terdiri dari protein nonkolagenus, glikoprotein, proteoglikan, peptida, karbohidrat dan lipid (Prolo 1990, diacu dalam Kalfas 2001). Isi anorganik tulang terutama terdiri dari kalsium fosfat dan kalsium karbonat, dengan sedikit magnesium, fluorid dan sodium. Bentuk kristal mineral hidroksiapatit yang presipitat tersusun teratur disekitar serat kolagen dari osteoit. Kalsifikasi osteoit awal biasanya terjadi dalam beberapa hari dari sekresi tetapi lengkap setelah beberapa bulan (Kalfas 2001). 2.4. Persembuhan Tulang Hewan normal dapat memproduksi dengan segera jaringan embrionik untuk menyembuhkan bagian yang rusak pada tulang. Proses persembuhan tulang diawali dengan proses transformasi menjadi fibro kartilago dan kemudian menjadi tulang, terdapat berturut-turut kalus kartilago dan kalus tulang. Terakhir jika diterima tersusun dari tulang cancellated. Setelah kalus lengkap dan telah membentuk penyatuan yang solid antara bagian yang rusak maka kalus berkurang volumenya kemudian terjadi pemisahan antara fragmen kalus. Ketika pemisahan telah sedikit, kalus menjadi tidak terasa setelah selang beberapa bulan (Connor 1980). Proses persembuhan tulang dapat dilihat pada Gambar 3.
Proses Persembuhan Fraktur Minggu Ke-1
Minggu Ke-2 sampai ke-3
Hematoma (atau Inflamasi)
Kalus Halus
Minggu Ke-4 sampai ke-16
Kalus Keras
Minggu Ke-17 sampai seterusnya
Remodelling
Gambar 3 Proses Persembuhan Tulang (Anonim2 2010) Persembuhan tulang pada tulang yang patah atau rusak terdiri dari beberapa fase, yaitu: 1. Fase hematoma Tiap fraktur biasanya disertai putusnya pembuluh darah sehingga terdapat penimbunan darah di sekitar fraktur. Pembuluh darah robek dan membentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Hematoma ini disertai dengan pembengkakan jaringan lunak. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblas. Ujung tulang yang patah terjadi iskemia sampai beberapa milimeter dari garis patahan yang mengakibatkan matinya osteosit pada daerah fraktur tersebut. Stadium ini berlangsung 24–48 jam (Rizka 2010). 2. Fase proliferatif Terjadi proliferasi dan diferensiasi sel-sel periosteal dan endosteal menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum, endosteum dan sumsum tulang yang telah mengalami trauma pada stadium ini. Hematoma akan terdesak oleh proliferasi ini dan diabsorbsi oleh tubuh. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam,
osteoblas beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Bersamaan dengan aktivitas sel-sel sub-periosteal maka terjadi aktifitas sel-sel dari kanalis medularis dari lapisan endosteum dan dari sumsum tulang masing-masing fragmen. Proses dari periosteum dan kanalis medularis dari masing-masing fragmen bertemu dalam satu proses yang sama, proses terus berlangsung kedalam dan keluar dari tulang tersebut sehingga menjembatani permukaan fraktur satu sama lain. Saat ini mungkin tampak dibeberapa tempat pulaupulau kartilago yang banyak sekali, walaupun adanya kartilago ini tidak mutlak dalam penyembuhan tulang. Terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah dalam beberapa hari. Sudah terjadi pengendapan kalsium pada fase ini. Fase berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya (Rizka 2010). 3. Fase pembentukan kalus Area kecil tulang muda berhenti di sekitar pembuluh darah dalam seminggu. Tulang dewasa dibentuk lebih lambat di lamella paralel (tulang lamellar), tenunan tulang ini dibentuk secara cepat disekitar pembuluh darah di jaringan penghubung muda dan merupakan penanganan luka pertama yang ideal untuk memperbaiki fraktur dengan tujuan untuk menggantikan dalam kaitannya dengan bagian tulang lamellar muda (Watson-Jones et al. 1952). Kalus fibrous terbentuk lalu pada fase ini tulang menjadi osteoporotik akibat resorbsi kalsium. Sel-sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik yaitu mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblas dan osteoklas yang mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Sel-sel osteoblas mengeluarkan matriks intraseluler terdiri dari kolagen dan polisakarida yang segera bersatu dengan garam-garam kalsium membentuk tulang muda atau kalus muda. Massa sel yang tebal dengan tulang muda dan kartilago, membentuk kalus pada permukaan endosteal dan periosteal. Akhir stadium ini akan terdapat dua macam kalus yaitu didalam disebut kalus internal dan diluar disebut kalus eksternal. Tulang yang muda (anyaman tulang) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu (Rizka 2010).
4. Fase konsolidasi Kalus yang terbentuk mengalami maturisasi lebih lanjut oleh aktivitas osteoblas, kalus menjadi tulang yang lebih dewasa (mature) dengan pembentukan lamela-lamela pada fase ini. Proses penyembuhan pada stadium ini sebenarnya sudah lengkap. Terjadi pergantian kalus fibrous menjadi kalus primer. Fase ini terjadi sesudah empat minggu, namun pada umur-umur lebih muda lebih cepat. Secara berangsur-angsur kalus tulang primer diresorbsi dan diganti dengan kalus tulang sekunder yang sudah mirip dengan jaringan tulang yang normal. Proses ini lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal (Rizka 2010). 5. Fase remodelling Kalus tulang sekunder sudah ditimbuni kalsium yang banyak dan tulang sudah terbentuk dengan baik, serta terjadi pembentukan kembali dari medula tulang pada fase ini. Apabila penyatuan sudah lengkap, tulang baru yang terbentuk pada umumnya berlebihan, mengelilingi daerah fraktur di luar maupun di dalam kanal, sehingga dapat membentuk kanal medularis. Kalus yang sudah mature secara pelan-pelan terhisap kembali dengan kecepatan yang konstan sehingga terbentuk tulang yang sesuai dengan aslinya dengan mengikuti stres/tekanan dan tarik mekanis, misalnya gerakan, kontraksi otot dan sebagainya (Rizka 2010). 2.4.1 Peradangan Inflamasi merupakan respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera (Dorland 2002). Tanda-tanda radang mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa sakit) dan tumor (pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir yaitu functio laesa (perubahan fungsi) (Abrams 1995; Rukmono 1973; Mitchell & Cotran 2003). Rasa sakit disebabkan oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang (Abrams 1995; Rukmono 1973). Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran cairan dan
sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat meradang (Abrams 1995; Rukmono 1973). Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland 2002). Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal akan tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang meradang (Abrams 1995). Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan dan pembengkakan sel jaringan (Guyton & Hall 1993). 2.5. Implan Tulang (Bone Graft) Bahan yang dapat mengganti tulang disebut sebagai material implan. Implan tulang atau bone graft adalah prosedur medis penggantian tulang yang rusak atau hilang dengan implan. Jika implan tulang berhasil, ada kesempatan baik bahwa area tersebut akan sembuh dengan baik sehingga memungkinkan pasien untuk menggunakan tulang seperti biasa (Anonim1 2010). Implan tulang dimungkinkan karena jaringan tulang memiliki kemampuan untuk regenerasi sepenuhnya jika tersedia ruang untuk tumbuh. Ketika tulang asli tumbuh, umumnya akan menggantikan material implan sepenuhnya yang menghasilkan daerah terintegrasi sepenuhnya oleh tulang baru. Mekanisme biologi
menyediakan
dasar
rasional
untuk
pengimplanan
tulang
yaitu
osteokonduktif, osteoinduktif dan osteogenesis (Klokkevold & Jovanovic 2002). Material implan tulang harus osteokonduktif. Osteokonduksi terjadi ketika material implan tulang berfungsi sebagai scaffold untuk pertumbuhan tulang baru yang dihidupkan terus-menerus oleh tulang asli. Osteoblas dari margin kerusakan pada daerah yang diimplan memanfaatkan material implan tulang sebagai kerangka yang dapat menyebar dan menghasilkan tulang baru. Osteoinduksi melibatkan stimulasi sel osteoprogenitor berdiferensiasi menjadi osteoblas yang kemudian pembentukan tulang baru dimulai. Material implan tulang yang osteokonduktif dan osteoinduktif tidak hanya berfungsi sebagai scaffold untuk
menghasilkan osteoblas tetapi juga akan memicu pembentukan osteoblas baru, secara teoritis mempercepat integrasi dari implan. Osteogenesis terjadi ketika osteoblas penting yang berasal dari bahan implan tulang berkontribusi untuk pertumbuhan tulang baru seiring dengan pertumbuhan tulang yang dihasilkan melalui osteokonduktif dan osteoinduktif (Klokkevold & Jovanovic 2002). Jenis dan sumber jaringan pada implan tulang yaitu: 1. Autograft Implan tulang yang melibatkan pemanfaatan tulang yang diperoleh dari individu penerima implan tersebut. Tulang autologous yang paling banyak digunakan karena memiliki sedikit resiko dari penolakan implan karena implan berasal dari tubuh pasien itu sendiri (Wang 2009). Aspek negatif implan autologous adalah sebuah situs bedah tambahan diperlukan sehingga menimbulkan nyeri dan komplikasi pasca operasi pada situs tersebut (Anonim3 2006). Laurencin 2009 juga mengatakan pemanenan autograft membutuhkan operasi tambahan di lokasi donor yang dapat mengakibatkan komplikasi sendiri seperti radang, infeksi dan nyeri kronis yang kadang-kadang lebih lama dari rasa sakit prosedur pembedahan yang asli. Jumlah jaringan tulang yang dapat dipanen juga terbatas sehingga perlu sumber lain. 2. Allograft Tulang allograft berasal dari individu pendonor. Tulang allograft diambil dari kadaver yang telah menyumbangkan tulang mereka sehingga dapat digunakan untuk orang yang membutuhkan, hal ini biasanya bersumber dari bank tulang (Anonim1 2010). Allograft adalah alternatif untuk autograft dan diambil dari donor atau kadaver, menghindari beberapa kelemahan autograft dengan menghilangkan morbiditas donor-situs dan masalah suplai yang terbatas. Allograft juga memiliki resiko yaitu resiko penularan penyakit dari donor kepada penerima. 3. Xenograft Tulang substitusi xenograft berasal dari spesies lain seperti sapi. Xenograft biasanya hanya didistribusikan sebagai matriks kaku (Anonim1 2010).
4. Varian Sintetis Tulang buatan dapat diperoleh dari keramik seperti kalsium fosfat (misalnya hidroksiapatit dan trikalsium fosfat), bioglass dan kalsium sulfat. Semua yang secara biologis aktif untuk derajat yang berbeda tergantung pada kelarutan dalam lingkungan fisiologis (Hench 1991). Material-material ini dapat diolah dengan faktor pertumbuhan, ion seperti strontium atau dicampur dengan aspirasi sumsum tulang untuk meningkatkan aktivitas biologis (Anonim1 2010). Autograft dan allograft memberikan manfaat namun masing-masing memiliki
keterbatasan
sehingga
dibutuhkan
alternatif.
Peneliti
telah
mengembangkan beberapa alternatif dengan menggunakan dua kriteria dasar implan yang baik yaitu osteokonduktif dan osteoinduktif, beberapa diantaranya tersedia untuk penggunaan klinis dan hal lain yang masih dalam tahap perkembangan. Alternatif dapat menggunakan berbagai material termasuk polimer alam, polimer sintetik, keramik dan komposit (Laurencin 2009). Salah satu alternatif yang banyak digunakan adalah varian sintetik yaitu implan tulang terbuat dari keramik seperti kalsium fosfat (misalnya hidroksiapatit dan trikalsium fosfat), bioglass dan kalsium sulfat (Anonim1 2010) dan polimer seperti kitosan. 2.5.1. Hidroksiapatit (HA) Hidroksiapatit (HA) adalah suatu kalsiurn fosfat keramik, terdiri atas kalsium dan fosfat dengan perbandingan 1:67, berasal dari rangka sejenis binatang karang dan melalui proses hidrotermal bahan ini akan diubah menjadi HA [Ca10(PO4MOH)2]. HA memiliki sifat fisis, kimia, mekanis dan bioiogis yang mirip dengan struktur tulang, melekat pada tulang secara biointegrasi yang berarti implan yang terbuat dari HA berkontak dan menyatu secara kimiawi dengan tulang. HA adalah implan tulang sintetik yang paling banyak digunakan saat ini karena sifat osteokonduksi, keras dan dapat diterima oleh tulang. Penggunaan HA memiliki banyak keuntungan antara lain sifat biokompatibilitas yang tinggi dan mempunyai sifat bioaktif, mudah didapat dalam jumlah yang diinginkan dan lainlain (Pane 2008). Sifat lain yang dimiliki HA adalah berpori, terserap tulang (resorpsi), bioaktif, tidak korosi, inert dan tahan aus, walaupun HA memiliki kelemahan yaitu getas dan mudah patah (Putri 2008), sehingga penggunaan HA sering dikombinasikan dengan material lainnya.
Sampai dengan 50% dari tulang terdiri dari sebuah bentuk modifikasi dari mineral anorganik HA. HA dapat ditemukan di gigi dan tulang dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, biasanya digunakan sebagai pengisi untuk menggantikan tulang yang diamputasi atau sebagai lapisan untuk meningkatkan pertumbuhan implan menjadi tulang. Kerangka koral dapat diubah menjadi HA oleh suhu tinggi. Struktur pori HA memungkinkan pertumbuhan ke dalam relatif cepat (Junqueira et al. 2003). HA dapat menyatukan pembentukan tulang dan persembuhan lesion selama tiga bulan tetapi pada lesion besar di tulang panjang setelah 18-24 bulan. Tidak ada komplikasi seperti kehancuran implan, keadaan sakit yang berulang pada lesion, reaksi benda asing dan reaksi antigenik dengan HA. Terdapat pembentukan tulang yang baik, persembuhan lesion dan penyatuan dalam penggunaan HA. HA adalah substitusi implan tulang yang baik sekali untuk menunjang kasus ortopedik dan memfasilitasi pembentukan tulang dan merupakan biokompatibel dan bahan remodeling yang lambat. Percobaan secara mekanik memperkuat pendapat HA menyatu ke dalam tulang lebih kuat daripada tulang itu sendiri. Pembentukan tulang dan penggabungan HA baik di semua kasus (Reddy, Renuka & Swamy 2005). Hubungan HA dengan reaksi imunologi yaitu saat diimplankan ke hewan atau manusia. HA memproduksi sedikit atau tidak sama sekali respon tubuh terhadap benda asing (Laksin 1985, diacu dalam Aprilia 2008) sehingga tidak menimbulkan respon imun berupa respon penolakan terhadap implan. 2.5.2. Trikalsium Fosfat (TKF) Trikalsium fosfat (TKF) [Ca3(PO4)2] adalah keramik berpori yang memiliki sifat biologis non-reaktif dan resorbable, bertindak sebagai scaffold untuk pertumbuhan ke dalam tulang sehingga penggantian tulang dapat mengalami degradasi progresif (Lange et al. 1986). Tahun 1920, Albee dan Morrison melaporkan penggunaan TKF sebagai stimulus bagi pertumbuhan tulang. Hasil yang didapat yaitu patah tulang dan kerusakan tulang menunjukkan pertumbuhan tulang yang lebih cepat dan berikatan ketika TKF disuntikkan ke dalam celah antara ujung tulang daripada tulang kontrol tanpa perlakuan. TKF banyak digunakan dalam kombinasi dengan
HA karena memberikan efek yang baik yaitu osteokonduksi dan kemampuan diresorbsi. HA dan TKF juga merupakan bahan sintetik yang memiliki umur simpan panjang, menyebabkan reaksi inflamasi yang minimal, memiliki resiko penularan agen dan reaksi imunologi yang rendah (Wounds 2002). 2.5.3. Kitosan Kitosan adalah biokopolimer yang terdiri dari glukosamin dan Nacetyloglucosamine yang diperoleh dari deasetilasi kitin. Memiliki nilai komersial dan kemungkinan dalam penggunaan sebagai biomedikal. Kitosan berasal dari cangkang udang dan crustacean laut lainnya, termasuk Pandalus (Shahidi & Synowieski 1991). Kitosan dapat digunakan sebagai perekat atau implan dalam bedah ortopedi (Ratajska et al. 2008), juga dapat meningkatkan rasio persembuhan luka, wound strength, mendukung pertumbuhan sel dan memberikan hasil yang baik dalam aplikasi pada bidang rekayasa jaringan. Kitosan juga menunjukkan bakteriostatik dan fungistatik yang mencegah infeksi (Aprilia 2008) serta memiliki sifat biokompatibel dan biodegradabel. Kualitas kitosan yang dimurnikan tersedia untuk aplikasi biomedis. Kombinasi HA-Kitosan baik untuk memproduksi scaffold (Ratajska et al. 2008).