218 Pengembangan Inovasi Pertanian 4(3), 2011: 218-230
Ismeth Inounu
PEMBENTUKAN DOMBA KOMPOSIT MELALUI TEKNOLOGI PERSILANGAN DALAM UPAYA PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA LOKAL1) Ismeth Inounu Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jalan Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16151 Telp. (0251) 8322185,8328383 Faks. (0251) 8328382, 8380588 e-mail:
[email protected] Diajukan: 3 Mei 2011; Disetujui: 4 Agustus 2011
ABSTRAK Untuk meningkatkan mutu genetik domba lokal telah dilakukan penelitian dengan menggunakan perkawinan silang yang dilanjutkan dengan seleksi untuk membentuk bangsa domba komposit. Pada tahun 1995-1996, perkawinan silang reguler antara domba pejantan st. croix (HH) dan betina garut (GG) memperoleh domba HG (50% H, 50% G). Pada tahun berikutnya (1996), perkawinan silang antara domba pejantan m. charolais (MM) dan betina garut (GG) dengan menggunakan inseminasi buatan menghasilkan domba MG (50% M, 50% G). Domba hasil persilangan dua bangsa tersebut, HG dan MG, kemudian diseleksi dan dikawinkan untuk memperoleh domba komposit HMG (25% H, 25% M, 50% G) dari hasil perkawinan pejantan HG dan betina MG serta domba komposit MHG (25% M, 25% H, 50% G) dari pejantan MG dan betina HG. Pengujian keragaan sifat-sifat produksi yang penting secara ekonomi, antara lain jumlah anak sekelahiran, total bobot lahir, produksi susu induk, umur saat mencapai bobot 35 kg, dan parameter genetik telah dilakukan. Disimpulkan bahwa domba komposit HMG dapat dianjurkan untuk dikembangkan sebagai domba komersial. Upaya perbanyakan ternak hasil pemuliaan terkendala oleh keterbatasan lahan, dana, dan dukungan kebijakan. Untuk itu, diperlukan dukungan kebijakan investasi, kebijakan penelitian dan pengembangan, serta kerja sama pengembangan domba komposit dengan asosiasi peternak atau pihak swasta lainnya. Kata kunci: Domba garut, domba komposit, domba lokal, persilangan
ABSTRACT The Establishment of Composite Sheep Through Cross-Breeding Technology in Efforts to Improve Genetic Quality of Local Sheep A research to improve the genetic quality of local sheep has been done using cross-breeding followed by selection to form a composite breed. From the results of regular cross-breeding between sheep of st. croix rams (HH) with garut ewes (GG) was obtained HG sheep (50% H, 50% G) in 1995-1996. In the following year (1996), MG sheep (50% M, 50% G) was obtained from cross-breeding between m. charolais rams (MM) with garut ewes (GG) using artificial insemination. Then the two hybrid sheep
1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 30 Desember 2010 di Bogor.
219
Pembentukan domba komposit melalui teknologi ...
breeds of HG and MG were selected and mated to generate composite breed (HMG and MHG sheep). HMG sheep (25% H, 25% M, 50% G) was resulted from the mating between HG rams and MG ewes and MHG sheep (25% M, 25% H, 50% G) from the mating between MG rams and HG ewes. Performance test for production traits of economic importance value such as the number of lambs born, the total weight of birth, dam’s milk production, the age when they reach 35 kg, and genetic parameters was done. It is recommended that this composite sheep (HMG) could be developed as a commercial sheep breed. Multiplication of sheep resulted from breeding is constrained by limited land, funds, and policy support. It required support from investment policy, research and development policy as well as cooperation with farmer associations or with other private parties. Keywords: Garut sheep, composite sheep, local sheep, cross-breeding
PENDAHULUAN Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang mempunyai peran ganda bagi masyarakat Indonesia, baik dari segi teknis dan ekonomi maupun sosial, budaya, serta spiritual keagamaan. Dalam pasokan daging nasional, domba dan kambing merupakan pemasok keempat terbesar setelah unggas, sapi, dan babi. Domba lokal dapat dibedakan berdasarkan tipe ekor, yaitu domba ekor tipis yang banyak berkembang di Jawa Barat dan domba ekor gemuk yang berkembang di Jawa Timur (Devendra dan McLeroy 1982). Domba ekor tipis yang berkembang di Jawa Barat lebih dikenal sebagai domba garut, yang memiliki keistimewaan sebagai salah satu domba prolifik dunia (Bradford dan Inounu 1996), yang dikendalikan oleh gen tunggal FecJ (Elsen et al. 1991). Domba garut mencapai umur pubertas pada usia dini (Sutama et al. 1988), tidak kawin secara musiman, dapat beranak sepanjang tahun, bunting kembali sebulan setelah beranak sehingga memperpendek jarak kelahiran, dan tahan terhadap parasit internal (Bradford dan Inounu 1996; Diwyanto dan Inounu 2001). Pada kondisi peternakan rakyat, domba garut umumnya dipelihara secara tradisional dengan skala kepemilikan kecil.
Perhatian peternak dalam penyediaan pakan sangat terbatas sehingga keunggulan sifat prolifik tidak selalu termanfaatkan. Jumlah anak yang banyak dari seekor induk ternyata diikuti pula oleh tingkat kematian yang tinggi pada periode prasapih. Kalaupun hidup semua, laju pertumbuhannya rendah (Inounu et al. 1999). Selain itu, perbanyakannya dilakukan secara tradisional dan alami sehingga mutu genetik bibit yang dihasilkan rendah dan potensi sifat prolifik tidak termanfaatkan secara optimal. Akibatnya, laju perkembangan domba lokal Indonesia belum optimal. Makalah ini memaparkan strategi peningkatan mutu genetik domba lokal melalui identifikasi gen major pada domba ekor tipis serta seleksi dan pembentukan rumpun baru domba komposit menggunakan satu rumpun domba temperate eksotik dan domba rambut tropis.
KERAGAAN DAN PELUANG PENGEMBANGAN DOMBA LOKAL Domba lokal Indonesia, terutama domba garut, sangat potensial ditingkatkan produktivitasnya, walaupun terdapat kendala seperti penyakit ternak dan terbatasnya ketersediaan pakan. Peluang pengem-
220
Ismeth Inounu
bangannya cukup besar mengingat permintaan terhadap domba cukup tinggi, terutama pada hari-hari besar keagamaan seperti Idul Adha.
Potensi Genetik Besarnya potensi genetik domba lokal diindikasikan antara lain oleh populasi dan galur domba, umur pubertas, masa produktif, dan potensi prolifikasi yang sangat baik. Populasi domba di Indonesia dewasa ini tercatat 10,4 juta ekor, dengan produksi daging 62.300 t/tahun (Ditjennak 2008). Populasi domba terbanyak terdapat di Jawa dan Madura (92%), dan sebagian besar terkonsentrasi di Jawa Barat (50%). Populasi domba lebih terkonsentrasi di wilayah barat Indonesia yang jarang sapi balinya. Hal ini karena domba diduga sebagai pembawa (carrier) penyakit malignant catarrhal fever (MCF), di mana sapi bali sangat rentan terhadap penyakit tersebut, walaupun domba itu sendiri dalam kondisi sehat. Domba ekor tipis merupakan kelompok domba yang paling banyak berkembang di Jawa (Javanese thin tailed) dan mendominasi populasi domba di Jawa Barat. Oleh karena itu, domba ekor tipis lebih dikenal sebagai domba priangan. Domba priangan berkembang dengan baik di daerah Garut, yang kemudian dikenal dengan nama domba garut. Garut terletak di dataran tinggi dan acara adu ketangkasan domba merupakan aktivitas penting dan sebagai hiburan yang telah membudaya di daerah ini. Galur lain dari domba ekor tipis adalah domba jawa tengah dan domba sumatera. Domba sumatera adalah domba ekor tipis dari Jawa yang telah beradaptasi baik dengan lingkungan Sumatera. Ukurannya
lebih kecil, ekornya lebih pendek, dan mempunyai pola warna yang berbeda, yang menandakan perbedaan galur (Reece et al. 1990). Domba ekor tipis jawa betina dapat mencapai pubertas pada umur 6-8 bulan (Sutama et al. 1988), dan bereproduksi sepanjang tahun atau tidak dipengaruhi oleh musim. Tingkat konsepsi domba ekor tipis lebih rendah pada musim kemarau (April-September) dibandingkan pada musim hujan, tetapi hal ini tidak terjadi pada domba sumatera (Iniguez et al. 1991a; Setiadi et al. 1995). Dengan manajemen intensif, selang beranak domba ekor tipis jawa sekitar 203 hari (Fletcher et al. 1985), sementara domba sumatera 201 hari (Iniguez et al. 1991b). Domba garut cenderung lebih prolifik dibandingkan dengan domba yang berasal dari Bogor, dengan jumlah anak sekelahiran rata-rata 1,86 dibanding 1,58, bila keduanya dipelihara pada flok yang sama (Obs et al. 1980). Perbedaan ini karena domba ekor tipis mengalami segregasi gen yang berpengaruh besar pada laju ovulasi dan jumlah anak sekelahiran, dengan heritabilitas untuk jumlah anak sekelahiran 0,5 dan ripitabilitas laju ovulasi 0,6 (Bradford et al. 1986).
Kendala Kendala pengembangan domba terutama terkait dengan jumlah dan kualitas pakan, penyakit, tenaga kerja, dan sistem manajemen. Pakan domba umumnya berasal dari lingkungan sekitar melalui penggembalaan, atau rumput pakan diarit dan dibawa ke kandang (cut and carry). Keterbatasan sarana dan tenaga kerja menyebabkan tiap keluarga petani di Jawa rata-rata hanya mampu memelihara 5 ekor
221
Pembentukan domba komposit melalui teknologi ...
domba. Hal ini sebagai salah satu penyebab tidak berkembangnya teknologi pemuliaan domba. Oleh karena itu, upaya peningkatan kualitas genetik domba menjadi kandas karena populasi yang terlibat sangat kecil. Kendala lain adalah penyakit yang banyak menjangkiti domba, antara lain penyakit cacing dan antraks di beberapa daerah endemis. Meskipun demikian, domba lokal, yakni domba ekor tipis dan domba ekor gemuk, mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Manajemen usaha ternak domba sebagian besar belum mengarah pada usaha komersial dan masih terbatas sebagai tabungan atau penyedia dana tunai pada saat kebutuhan mendadak, atau belum berorientasi agribisnis. Oleh karena itu, dalam pemasaran, peran pedagang pengumpul di perdesaan sangat dominan sebagai pelaku tata niaga ke konsumen akhir yang umumnya berada di daerah perkotaan. Akibatnya, posisi tawar peternak pada saat menjual ternaknya menjadi lemah.
Peluang Pengembangan Sampai saat ini, konsumsi daging domba maupun kambing masih sangat rendah, sekitar 5% dari total kebutuhan daging atau 0,24 g/kapita/tahun (Ditjennak 2008). Walaupun laju permintaan daging domba relatif rendah, permintaan domba untuk kurban dan akikah diperkirakan cukup tinggi. Apabila diasumsikan keluarga muslim yang berkurban meningkat 10%/ tahun maka potensi pasar domba untuk keperluan kurban meningkat 4-5 juta ekor/ tahun. Untuk keperluan akikah, dengan asumsi tingkat kelahiran bayi muslim 1,5% maka dibutuhkan 4,3 juta ekor domba/tahun. Ini
berarti untuk keperluan prosesi keagamaan terdapat tambahan permintaan terhadap domba minimal 9 juta ekor/tahun. Apalagi jika mempertimbangkan potensi pasar daging domba di Arab Saudi, Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia mempunyai peluang besar sebagai pemasok utama (Budi 2010). Pakan domba jarang disediakan secara khusus. Pendekatan low external input sustainable agriculture (LEISA) umumnya sudah berjalan karena adanya keterbatasan yang dihadapi petani. Penyediaan pakan komplit (termasuk serat) merupakan alternatif karena terbatasnya lahan. Sebenarnya, lahan di areal perkebunan karet, kelapa sawit, lada, tebu, dan kelapa merupakan sumber pakan ternak melalui pengembangan sistem integrasi tanamanternak (SITT). Untuk mengembangkan domba agar dapat memenuhi pasar dalam negeri maupun luar negeri diperlukan dukungan teknologi pemuliaan ternak dan strategi pengembangan yang tepat.
DINAMIKA PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA LOKAL Peningkatan mutu genetik domba dapat diupayakan melalui seleksi dan persilangan. Sistem seleksi mengalami dinamika sejalan dengan kebutuhan, preferensi, dan motivasi ekonomi. Metode persilangan dalam perspektif peningkatan produktivitas adalah pembentukan domba komposit.
Seleksi Seleksi adalah pemilihan tetua tertentu untuk menghasilkan generasi berikutnya yang memiliki pertumbuhan, jumlah anak
222
sekelahiran, dan produksi susu yang lebih tinggi. Kemajuan sifat produksi domba lokal melalui seleksi sangat rendah, hanya sekitar 1%/tahun (Smith 1984). Sejalan dengan dinamika kebutuhan, preferensi, keuntungan ekonomi, dan efisiensi maka sistem seleksi domba lokal secara alami juga mengalami dinamika dan memiliki keragaman yang unik. Korelasi genetik dapat mengakibatkan terpengaruhnya sifat-sifat negatif yang tidak diinginkan selama berlangsungnya kegiatan seleksi. Dengan demikian, perlu diketahui arah seleksi dan korelasi genetik antara sifat yang satu dan yang lainnya. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya pengaruh negatif yang tidak dikehendaki dari seleksi pada suatu sifat yang dapat merusak program perbaikan mutu genetik secara keseluruhan. Seleksi yang dilakukan peternak domba di daerah Garut lebih mengarah ke domba tangkas. Ternak ini mendapat perlakuan pakan dan pemeliharaan yang istimewa dibandingkan dengan domba dari daerah lain. Seleksi yang dilakukan meliputi sifat agresivitas, bentuk tanduk, telinga, dan bobot badan. Seleksi dan perlakuan khusus tersebut menghasilkan domba garut tangkas yang unik. Untuk memenuhi tuntutan ritual keagamaan dan kegiatan sosial budaya seperti kurban, hajatan/kenduri, dan ketangkasan domba maka sistem indigenous yang berkembang di masyarakat diarahkan untuk menyeleksi ternak agar dapat memenuhi persyaratan untuk kegiatan tersebut, misalnya domba yang bertanduk bagus dan kuat, tangkas, dan berwarna bulu tertentu. Metode seleksi domba secara tradisional umumnya didasarkan pada sifat fenotipe atau penampakan visual, dan belum banyak dilakukan seleksi secara genotipe melalui analisis keunggulan
Ismeth Inounu
genetik dengan cara analisis kuantitatif dan genetika molekuler.
Persilangan Salah satu upaya meningkatkan produktivitas domba dengan metode persilangan adalah pembentukan domba komposit. Pembentukan bangsa komposit (composite breed) berdasarkan persilangan dapat dilakukan dengan persilangan reguler dan rotasi (Nicholas 1996). Pembentukan bangsa komposit ternak domba yang paling tua di Indonesia dimulai sejak tahun 1800-an, yaitu domba garut atau juga dikenal domba priangan. Domba garut berasal dari persilangan tiga bangsa, yaitu domba lokal, domba merino, dan domba ekor gemuk (Iniguez et al. 1991a). Dari persilangan tersebut dihasilkan domba yang sangat adaptif terhadap kondisi lingkungan Jawa Barat, terutama di daerah Priangan (Garut, Tasikmalaya, Sumedang, dan Bandung). Di dunia terdapat 418 bangsa domba komposit dari 75 negara, yang dibentuk menggunakan dua atau lebih bangsa domba yang berbeda. Targetnya adalah peningkatan produktivitas, sifat reproduksi, kualitas daging, kombinasi daging dan wol, wol untuk tekstil atau untuk karpet, dan produksi susu (Rasali et al. 2006). Pembentukan domba komposit cenderung bertujuan untuk memperoleh bangsa domba yang cocok untuk kondisi lokal dan untuk memenuhi permintaan khusus, seperti tanduk besar, pertumbuhan cepat, dan agresif. Oleh karena itu, pembentukan domba komposit termasuk upaya pemecahan masalah pada wilayah tertentu, baik ditinjau dari segi agroekosistem maupun sosial-ekonomi dan budaya (Rasali et al. 2006) untuk meningkatkan produktivitas
Pembentukan domba komposit melalui teknologi ...
dan daya tahan terhadap penyakit (Moreno et al. 2001; Vanimisetti et al. 2004). Pembentukan domba komposit masih terus berlangsung hingga kini. Domba komposit greeline dibentuk selama 40 tahun sejak 1969 untuk meningkatkan jumlah anak sekelahiran dengan bobot sapih dan pertumbuhan yang baik serta bobot karkas lebih dari 20 kg. Domba greeline dibentuk dari persilangan antara domba east friesian, texel, dan domba coopworth (1/4 east friesien, 3/8 texel, dan 3/8 coopworth). Saat ini, semen beku untuk persilangan telah tersedia dan diekspor ke Australia (Greeline 2010).
INOVASI PEMBENTUKAN DOMBA KOMPOSIT INDONESIA Untuk meningkatkan mutu genetik domba lokal telah dilakukan serangkaian penelitian yang sangat panjang dengan menggunakan metode seleksi dan perkawinan silang reguler tiga bangsa, yang dilanjutkan dengan seleksi untuk membentuk bangsa komposit.
Seleksi Inovasi teknologi seleksi, berupa seleksi laju ovulasi dan jumlah anak sekelahiran yang dikembangkan selama hampir 15 tahun (1981-1995), berhasil memisahkan domba garut menjadi tiga galur prolifikasi, yaitu galur prolifik (FecJF FecJF), nonprolifik (FecJ+ FecJ+), dan galur medium prolifik (FecJF FecJ+) (Inounu et al. 1993, 1999; Inounu dan Soedjana 1998). Analisis segregasi laju ovulasi dari induk betina dengan anaknya membuktikan bahwa sifat prolifik pada domba ekor tipis dipengaruhi oleh gen major, yaitu FecJF (Inounu et al.
223
1993). Untuk keperluan tersebut ditetapkan kriteria klasifikasi genotipe sebagai berikut: (Bradford et al. 1991; Inounu et al. 1993): a. FecJ + /FecJ + : induk tidak pernah mempunyai corpora lutea (CL) atau jumlah anak sekelahiran > 2 dengan jumlah catatan > 3 dan rata-rata CL atau jumlah anak sekelahiran < 1,7. b. FecJF/FecJ+: induk minimal mempunyai satu catatan (CL atau jumlah anak sekelahiran) sama dengan 3, tetapi tidak pernah > 3 atau dengan frekuensi catatan CL atau jumlah anak sekelahiran > 2 (pada tiga catatan atau lebih mempunyai rata-rata CL atau jumlah anak sekelahiran > 1,7). c. FecJF/FecJF: betina dengan satu atau lebih catatan CL atau jumlah anak sekelahiran > 4. Dengan menggunakan sistem klasifikasi tersebut dan seleksi selama lebih dari 10 tahun diperoleh galur prolifik (FecJF FecJF), medium (FeJF FecJ+), dan nonprolifik (FecJ+ FecJ+) (Bradford et al. 1991; Inounu et al. 1993). Rata-rata CL untuk galur ternak prolifik (FecJF FecJF), medium (FeJF FecJ+), dan nonprolifik (FecJ + FecJ +) masing-masing adalah 1,19; 2,12; dan 2,96 buah/induk (Bradford et al. 1991; Inounu et al. 1993), dan menghasilkan jumlah anak sekelahiran masingmasing 1,2; 2,0; dan 2,5 ekor anak/induk. Satu duplikat gen FeJF mampu meningkatkan jumlah anak sekelahiran 0,8 ekor/ induk (Inounu et al. 1999). Kemajuan teknologi di bidang genetika molekuler dapat digunakan untuk mengklasifikasi domba prolifik berdasarkan genotipenya. Davis et al. (2002) menyatakan domba ekor tipis membawa gen Booroola (FecB) pada domba garole dari India. Hasil penelitian tersebut juga membuktikan bahwa penggunaan klasifikasi
224
Ismeth Inounu
genotipe konvensional dengan beberapa kali pencatatan CL maupun jumlah anak sekelahiran sama akuratnya dengan hasil uji dengan teknologi DNA darah betina.
membentuk domba komposit MHG dan masih dilanjutkan dengan seleksi untuk memperkecil keragamannya (Inounu et al. 2007a, 2009a, 2009b).
Perkawinan Silang
Pembentukan Bangsa Komposit
Perkawinan silang pada domba telah banyak dilakukan di Indonesia, tetapi belum terarah dan belum konseptual. Hasil penelitian pada tahun 1980-an (Fletcher et al. 1985) mengindikasikan bahwa perbaikan pakan dapat meningkatkan bobot hidup domba garut hingga 45 kg, atau hampir dua kali lipat domba di peternakan rakyat di Bogor. Domba garut lebih efisien dibandingkan dengan domba hasil persilangan dengan domba suffolk wilthshire horn dan dorset. Hal ini dicerminkan oleh rasio antara total bobot sapih dan unit konsumsi pakan yang lebih tinggi. Efisiensi ini dicapai melalui konsumsi pakan yang lebih rendah, beranak lebih awal, selang beranak lebih pendek, kematian induk lebih rendah, dan kematian anak prasapih lebih rendah. Perkawinan silang reguler antara domba pejantan st. croix (HH) dan betina garut (GG) pada tahun 1995-1996 menghasilkan domba HG. Pada tahun 1996, perkawinan silang antara domba pejantan m. charolais (MM) dan betina garut (GG) dengan teknologi IB menghasilkan domba MG (Inounu et al. 1998a). IB secara intrauterine menggunakan teknik laparoscopy menghasilkan 71% domba yang berhasil beranak (Inounu et al. 1996, 1998b). Hasil seleksi berdasarkan bobot sapih dan bobot umur setahun, yang kemudian dikawinkan dengan domba HG dan MG membentuk domba komposit MHG (25% M, 25% H, dan 50% G). Sejak 1997 sampai sekarang, seleksi dan perkawinan intense mating
Tantangan utama pengembangan galur domba yang dihasilkan melalui seleksi, yang memisahkan domba garut menjadi galur prolifik (FecJF FecJF), medium (FeJF FecJ+), dan nonprolifik (FecJ + FecJ+) adalah tingkat kematian anak yang tinggi akibat bobot lahir yang rendah (Inounu et al. 1993). Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan persilangan untuk membentuk domba komposit untuk meningkatkan produktivitas. Pembentukan domba komposit pada tahun 1995 dilakukan dengan cara mengawinkan domba garut betina (GG) sebanyak 34 ekor dengan pejantan domba st. croix (HH) untuk menghasilkan domba persilangan (HG). Bobot lahir anak domba GG, HG, dan MG untuk kelahiran tunggal masing-masing adalah 3,1; 3,2; dan 3,4 kg, untuk tipe kelahiran kembar dua masingmasing 2,3; 2,2; dan 2,3 kg, dan untuk kelahiran kembar tiga masing-masing 1,5; 1,9; dan 1,8 kg (Djemali et al. 2009). Hal yang paling mengesankan adalah bobot hidup domba GG, HG, dan MG pada umur 12 bulan untuk tipe kelahiran tunggal masing-masing 21,3; 31,0; dan 35,5 kg, untuk tipe kelahiran kembar dua masingmasing 20,1; 28,0; dan 31,5 kg, dan untuk tipe kelahiran kembar tiga masing-masing 20,2; 24,7; dan 27,1 kg (Inounu et al. 1998b). Berdasarkan hasil yang menggembirakan tersebut, penelitian dilanjutkan untuk memperoleh domba dengan komposisi darah 25% H, 25% M, dan 50% G, atau disebut domba komposit. Domba hasil
225
Pembentukan domba komposit melalui teknologi ...
persilangan dua bangsa tersebut, HG (50% st.croix, 50% garut) dan MG (50% m. charolais, 50% garut) kemudian diseleksi dan dikawinkan untuk menghasilkan domba persilangan tiga bangsa atau komposit, yaitu domba HMG (50% garut, 25% m. charolais, 25% st. croix) dari perkawinan antara pejantan HG dan betina MG, serta domba MHG (50% garut, 25% m. charolais, 25% st. croix) dari perkawinan antara pejantan MG dan betina HG. Hasil perkawinan tersebut dinamakan domba komposit Balitnak. Uji keragaan sifat-sifat produksi yang penting secara ekonomi telah dilakukan, meliputi jumlah anak sekelahiran, total bobot lahir, total bobot sapih, produksi susu induk, umur pada saat bobot 35 kg, dan parameter genetik. Jumlah Anak Sekelahiran Rata-rata jumlah anak sekelahiran pada domba GG, MG, HG, MHG, dan HMG berturut-turut adalah 1,9; 1,6; 2,0; 1,8; dan 1,5 ekor anak/induk (Inounu et al. 1998b). Jumlah anak sekelahiran memengaruhi bobot lahir dan daya hidup anak. Meningkatnya jumlah anak sekelahiran biasanya diiringi oleh menurunnya bobot lahir dan daya hidup anak (Inounu et al. 1993). Total Bobot Lahir Total bobot lahir per induk galur domba garut, HG, MG, MHG, dan HMG masingmasing adalah 4,7; 4,8; 5,5; 5,2; dan 4,7 kg/ induk (Inounu et al. 2005). Kenaikan jumlah anak sekelahiran diikuti oleh rendahnya rata-rata bobot lahir per individu anak. Bobot lahir individu anak domba garut, HG, MG, MHG, dan HMG masingmasing adalah 2,5; 2,7; 2,8; 2,9; dan 2,8 kg (Inounu et al. 2003). Bobot anak pada saat
lahir untuk kelahiran tunggal, kembar dua, dan kembar tiga berturut-turut adalah 2,6; 1,8; dan 1,5 kg (Inounu et al. 2003). Faktor yang memengaruhi bobot lahir anak adalah kondisi intra-uterine (lingkungan fetus), genotipe induk dan anak, lingkungan induk, paritas, nutrisi, jenis kelamin, dan umur induk (Hansard dan Berry 1969). Pertumbuhan prenatal lebih ditentukan oleh ukuran plasenta karena penyaluran zat gizi dari induk ke fetus melalui plasenta (Gruenwald 1967; Hafez 1969). Faktor genetik, jumlah anak sekelahiran, jenis kelamin, status gizi, dan kondisi kesehatan induk dapat menimbulkan keragaman bobot fetus pada sepertiga akhir kebuntingan. Anak domba jantan tumbuh lebih cepat pada periode prenatal dibanding anak domba betina (Hansard dan Berry 1969; Gruenwald 1967).
Produksi Susu Domba m. charolais mempunyai daya tumbuh yang tinggi dan produksi susu yang juga tinggi (Farid dan Fahmy 1996). Produksi susu domba GG, MG, HG, MHG, dan HMG masing-masing adalah 53,4; 59,5; 55,9; 44,8; dan 54,7 kg/induk/laktasi (Inounu et al. 2006). Sebelum seleksi, ratarata produksi susu domba GG di tempat yang sama hanya 43,6 kg/induk/laktasi (Tiesnamurti et al. 2002). Penelitian ini menunjukkan bahwa seleksi dan persilangan dapat meningkatkan produksi susu induk yang selanjutnya memengaruhi daya hidup anak (Inounu et al. 1993) .
Bobot Umur Setahun Bobot hidup domba GG, HG, dan MG pada umur 12 bulan adalah 21, 31, dan 36 kg
226
Ismeth Inounu
untuk tipe kelahiran tunggal dan 20, 28, dan 33 untuk tipe kelahiran kembar dua. Untuk kelahiran kembar tiga, bobotnya masing-masing adalah 20, 25, dan 27 kg.
Umur Saat Mencapai Bobot 35 kg Pembentukan domba komposit Balitnak dapat mempercepat pencapaian bobot 35 kg, yaitu pada umur 15, 19, 14, dan 15 bulan masing-masing pada domba MG, HG, MHG, dan HMG, lebih cepat dibandingkan dengan domba GG yang baru dapat mencapainya pada umur 25 bulan (Inounu et al. 2008). Domba komposit juga lebih efisien secara biologis maupun ekonomis dibanding domba GG (Inounu et al. 2006). Bobot badan dewasa domba GG, MG, HG, MHG, dan HMG berturut-turut adalah 37,0; 44,1; 40,0; 43,3; dan 44,4 kg (Inounu et al. 2008). Bobot badan tersebut jauh lebih tinggi dari bobot badan domba komposit sumatera yang hanya 31,6 kg yang dicapai pada umur 54 bulan (Inounu dan Priyanti 2009).
Parameter Genetik Untuk dapat melakukan seleksi dengan baik, selain jumlah populasi juga perlu diketahui parameter genetik, khususnya nilai heritabilitas dan korelasi genetik. Nilai dugaan heritabilitas (h2) bobot lahir dan bobot sapih domba garut adalah 0,36 dan 0,22, sedangkan untuk domba komposit 0,66 dan 0,75. Nilai duga heritabilitas masing-masing sifat satu galur dapat berbeda, bergantung pada jumlah pengamatan dan metode yang digunakan (Inounu et al. 2007b). Pada domba komposit sumatera, nilai duga heritabilitas untuk total
bobot lahir dan total bobot sapih masingmasing adalah 0,40 dan 0,37 (Subandriyo et al. 2000). Korelasi genetik antara bobot lahir dan bobot sapih domba garut adalah 0,23 dan pada domba komposit garut 0,55 (Inounu et al. 2007b). Dengan demikian, seleksi untuk bobot lahir juga berdampak terhadap peningkatan bobot sapih. Tren genetik bobot lahir dan bobot sapih domba garut dan domba komposit berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun positif (Inounu et al. 2007b). Hal ini menunjukkan seleksi yang dilakukan mendapatkan respons positif.
ARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN DOMBA KOMPOSIT Arah Pengembangan Dua jenis galur domba komposit yang dihasilkan melalui perkawinan silang di Balai Penelitian Ternak, yaitu galur domba komposit sumatera dan galur domba komposit garut mempunyai berbagai keunggulan (Inounu et al. 1998b). Oleh karena itu, peningkatan mutu genetik yang diindikasikan oleh produktivitas, seperti total bobot lahir, produksi susu, dan umur saat mencapai bobot 35 kg, harus diarahkan pada pembentukan domba komposit dengan memanfaatkan galur domba komposit yang telah dihasilkan, baik melalui seleksi maupun persilangan.
Strategi Pengembangan Strategi pengembangan domba komposit dalam upaya meningkatkan mutu genetik domba lokal adalah sebagai berikut:
227
Pembentukan domba komposit melalui teknologi ...
1. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penerapan teknologi pemuliaan dalam memperbaiki mutu dan produktivitas domba komposit. Upaya ini dapat dilakukan melalui seleksi domba lokal dan perkawinan silang antara domba lokal dengan domba rambut st. croix dan domba eksotik m. charolais yang membentuk domba komposit (25% domba st. croix; 25% domba m. charolais, dan 50% domba garut). Domba komposit ini memiliki pertumbuhan cepat, produksi susu tinggi, dan beradaptasi baik dengan lingkungan tropis basah. 2. Membuka seluas-luasnya kemungkinan penerapan bioteknologi, seperti marker-assisted selection (MAS), inseminasi buatan (IB), embryo transfer (ET), dan cloning dalam peningkatan mutu genetik dan produktivitas domba komposit yang dihasilkan. 3. Meningkatkan efisiensi teknologi dan manajemen budi daya domba komposit serta membentuk model pengembangan inti-plasma. 4. Mempercepat diseminasi teknologi domba komposit kepada para peternak secara terintegrasi dengan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan atau kehutanan yang kemudian dapat dibentuk sebagai suatu kawasan usaha ternak domba.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
posit Balitnak dengan komposisi genetik 25% domba st. croix, 25% domba m. charolais, dan 50% domba garut dapat dianjurkan untuk dikembangkan sebagai domba komersial. Pengembangan domba komposit dapat dilakukan melalui sistem dua strata inti-plasma secara terintegrasi di lahan perkebunan atau kehutanan dengan memanfaatkan bibit unggul dan inovasi teknologi Balitnak serta melibatkan pekebun/masyarakat sekitar hutan dan memanfaatkan hijauan maupun produk samping perkebunan dan kehutanan.
Implikasi Kebijakan Upaya perbanyakan ternak hasil pemuliaan dihadapkan pada masalah keterbatasan lahan, dana, dan dukungan kebijakan. Untuk itu diperlukan dukungan kebijakan, antara lain: 1. Kebijakan investasi untuk mendukung pengembangan teknologi pembentukan domba komposit. 2. Kebijakan penelitian dan pengembangan dalam upaya mempercepat pengembangan (perbanyakan bibit) galur-galur domba komposit yang dihasilkan. 3. Kerja sama pengembangan domba komposit (25% domba st. croix; 25% domba m. charolais, dan 50% domba garut) dengan kelompok peternak, asosiasi peternak domba, atau dengan pihak swasta lainnya.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Untuk meningkatkan mutu genetik domba di Indonesia telah dibentuk domba komposit melalui perkawinan silang yang dilanjutkan dengan seleksi. Domba kom-
Bradford, G.E., J.F. Quirke, P. Sitorus, I. Inounu, B. Tiesnamurti, F.L. Bell, I.C. Fletcher, and D.T. Torell. 1986. Reproduction in Javanese sheep: Evidence
228
for gene with large effect on ovulation rate and litter size. J. Anim. Sci. 63(2): 418-431. Bradford, G.E., I. Inounu, L.C. Iniguez, B. Tiesnamurti, and D.L. Thomas. 1991. The prolificacy gene of javanese sheep. p. 67-74. In J.M. Elsen, L.Bodin, and J. Thimomier (Eds.). Major Genes for Reproduction in Sheep. Proc. 2nd Int. Workshop, Tolouse, France, 16-18 July 1990. Bradford, G.E. and I. Inounu. 1996. Prolific breeds of Indonesia. p. 137-145. In M. H. Fahmy (Ed.). Prolific Sheep. CAB International, Cambridge. Budi, G. 2010. Kebijakan pemerintah dalam mendukung pemasaran ternak kambing-domba (KADO) bagi peningkatan kesejahteraan peternak. Makalah disampaikan pada Seminar Peluang dan Tantangan Pembangunan Kemandirian Peternakan Rakyat Usaha Ternak Kambing-Domba, Jakarta, 24 Februari 2010. Davis, G.H., S.M. Galloway, I.K. Ross, S.M. Gregan, J. Ward, B.V. Nimbkar, P.M. Ghalsasi, C. Nimbkar, G.D. Gray, Subandriyo, I. Inounu, B. Tiesnamurti, E. Martyniuk, E. Eythorsdottir, P. Mulsant, F. Lecerf, J.P. Hanrahan, G.E. Bradford, and T. Wilson. 2002. DNA test in prolific sheep from eight countries provide new evidence on origin of the Booroola (FecB) mutation. Biol. Reprod. 66(6): 1869-1874. Devendra, C. and G.B. McLeroy. 1982. Goats and Sheep Production in the Tropics. 1st Ed. Oxford Univ. Press, Oxford. 290 pp. Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan). 2008. Statistik Peternakan 2008. Ditjennak, Jakarta. Diwyanto, K. dan I. Inounu. 2001. Kemajuan dan hasil-hasil pemuliaan ternak
Ismeth Inounu
di Indonesia. hlm. 105-120. Prosiding Simposium Nasional Pengelolaan Pemuliaan dan Plasma Nutfah. Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia. Djemali, M., S. Bedhiaf-Romdhani, L.C. Iniguez, and I. Inounu. 2009. Saving threatened native breeds by autonomous production, involvement of farmers organization, research and policy makers: The case of Sicilo-Sarde breed in Tunisia, North Africa. Livest. Sci. 120(3): 213-217. Elsen, J.M., L. Bodin, and J. Thimonier. 1991. Major Genes for Reproduction in Sheep. INRA, France. 462 pp. Farid, A.H. and M.H. Fahmy. 1996. The east friesian and other europian breeds. p. 93-108. In M.H. Fahmy (Ed.). Prolific Sheep. CAB International, Cambridge. Fletcher, I.C., B. Gunawan, D.J.S. Hetzel, B. Bakrie, N.G. Yates, and T.D. Chaniago. 1985. Comparison of lamb production from indigenous and exotic x indigenous ewes in Indonesia. Trop. Anim. Hlth. Prod. 17(3): 127-134. Greeline. 2010. Greeline composite sheep Genetics equal to the best in New Zealand. http//www.greelinesheep.co.nz. [20 May 2010]. Gruenwald, P. 1967. Growth of the human foetus. In A. McLaren (Ed.). Advances in Reproductive Physiology. Vol. II. Academic Press, New York. Hafez, E.S.E. 1969. Prenatal growth. p. 2139. In E.S.E. Hafez and I.A. Dyer (Eds.). Animal Growth and Nutrition. Lea & Febiger, Philadelphia. Hansard, S.L. and R.K. Berry. 1969. Fetal nutrition. p. 40-59. In E.S.E. Hafez and I.A. Dyer (Eds.). Animal Growth and Nutrition. Lea & Febiger, Philadelphia. Iniguez, L.C.,T.D. Soedjana, and Subandriyo. 1991a. Revisiting Merkens and Soemirat’s Landmark Paper on Small
Pembentukan domba komposit melalui teknologi ...
Ruminant Research in Indonesia. Publication of the Indonesian Small Ruminant Network (ISRN), Bogor, Indonesia. 7 pp. Iniguez , L.C., M. Sanchez, and S.P. Ginting. 1991b. Productivity of Sumatran sheep in a system integrated with rubber plantation. Small Rumin. Res. 5(4): 303-317. Inounu, I., L.C. Iniguez, G.E. Bradford, Subandriyo, and B. Tiesnamurti. 1993. Production performance of prolific Java-nese ewes. Small Rumin. Res. 12(3): 243-257. Inounu, I., E. Handiwirawan, B. Tiesnamurti, dan A. Priyanti. 1996. Peningkatan produktivitas domba melalui pembentukan domba komposit (JTT × M. Charolais × St. Croix). Laporan Penelitian Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Inounu, I. dan T.D. Soedjana. 1998. Produktivitas ternak domba prolifik: Analisis ekonomi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(4): 215-224. Inounu, I., B. Tiesnamurti, E. Handiwirawan, A. Priyanti, and N. Hidajati. 1998a. Body weight of Javanese sheep and its crossed with charolais and st. croix rams. Buletin Peternakan Universitas Gadjah Mada (Edisi Tambahan): 282-288. Inounu, I., B. Tiesnamurti, E. Handiwirawan, T.D. Soedjana, dan A. Priyanti. 1998b. Optimalisasi keunggulan sifat genetis domba lokal dan persilangannya: Keragaan produksi dan analisis ekonomi. hlm. 990-1006. Inovasi Teknologi Pertanian. Seperempat Abad Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Inounu, I., B. Tiesnamurti, Subandriyo, dan H. Martojo. 1999. Produksi anak pada
229
domba prolifik. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 4(3): 148-160. Inounu, I., N. Hidayati, Subandriyo, B. Tiesnamurti, dan L.O. Nafiu. 2003. Analisis keunggulan relatif domba garut anak dan persilangannya. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 8(3): 170-182. Inounu, I., Subandriyo, B. Tiesnamurti, N. Hidajati, and L.O. Nafiu. 2005. Relative superiority analysis of garut ram and its crossbred. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 10(1): 17-26. Inounu, I., S. Sukmawati, dan R.R. Noor. 2006. Keunggulan relatif produksi susu domba garut dan persilangannya. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 11(4): 281-288. Inounu, I., D. Mauluddin, R.R. Noor, dan Subandriyo. 2007a. Analisis kurva pertumbuhan domba garut dan persilangannya. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 12(4): 286-299. Inounu, I., Subandriyo, E. Handiwirawan, dan L.O. Nafiu. 2007b. Pendugaan nilai pemuliaan dan trend genetik domba garut dan persilangannya. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 12(3): 225-236. Inounu, I., D. Mauluddin, dan Subandriyo. 2008. Karakteristik pertumbuhan domba garut dan persilangannya. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 13(1): 1322. Inounu, I. and A. Priyanti. 2009. Biological and economic consequences of the FecB mutation in Indonesian thin tailed sheep. p. 135-141. In S.W. WalkdenBrown, J.H.J. Van der Werf, C. Nimbkar, and V.S. Gupta (Eds.). Proceedings of the Helen Newton Turner Memorial International Workshop held in Pune, Maharashtra, India, 10-12 November 2008. Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra.
230
Inounu, I., D. Ambarwati, dan R.H. Mulyono. 2009a. Pola warna bulu pada domba garut dan persilangannya. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 14(2): 118-130. Inounu, I., Erfan, and R.H. Mulyono. 2009b. Characteristics of body measurement and shape of garut sheep and its crosses with other breeds. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 14(4): 295306. Moreno, C., J. Bouix, J.C. Brunel, J.L. Weisbecker, D. Francois, F. Lantier, and J.M. Elsen. 2001. Genetic parameter estimates for carcass traits in INRA401 composite sheep strain. Livestock Prod. Sci. 69(3): 227-232. Nicholas, F.W. 1996. Introduction to Veterinary Genetics. Oxford Univ. Press, Oxford. p. 277-291. Obs, J.M., T. Boyer, and T.D. Chaniago. 1980. Reproductive performance of Indonesian sheep and goats. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. 13: 321-325. Rasali, D.P., J.N. Shrestha, and G.H. Crow. 2006. Development of composite sheep breeds in the world: A review. Can. J. Anim. Sci. 86(1): 1-24. Reece, A.A., S.W. Handayani, S.P. Ginting, W. Sinulingga, G.R. Reese, and W.L. Johnson. 1990. Effect of energy supplementation on lamb production of
Ismeth Inounu
Javanese thin-tail ewes. J. Anim. Sci. 68(7): 1827-1840. Setiadi, B., Subandriyo, and L.C. Iniguez. 1995. Reproductive performance of small ruminant in outreach pilot project in West Java. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1(2): 73-80. Smith, C. 1984. Rates of genetic change in farm livestock. Res. Dev. Agric. 1: 7985. Subandriyo, B. Setiadi, E. Handiwirawan, dan A. Suparyanto. 2000. Performa domba komposit hasil persilangan antara domba lokal sumatera dengan domba rambut pada kondisi dikandangkan. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 5(2): 73-83. Sutama, I K., T.N. Edey, and I.C. Fletcher. 1988. Studies on reproduction of Javanese thin-tail ewes. Aust. J. Agric. Res. 39(4): 703-711. Tiesnamurti, B., I. Inounu, dan Subandriyo. 2002. Kapasitas produksi susu domba priangan peridi: I. Pertumbuhan anak prasapih. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 7(4): 227-236. Vanimisetti, H.B., S.P. Greiner, A.M. Zajac, and D.R. Notter. 2004. Performance of hair sheep composite breeds: Resistance of lambs to Haemonchus contortus. J. Anim. Sci. 82(2): 595-604.