TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Taksonomi Tikus Sawah (Rattus argentiventer) Kedudukan tikus sawah dalam klasifikasi binatang menurut Murakami,et al. (1992) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Rodentia
famili
: Muridae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus argentiventer (Robb and Kloss). Tikus sawah dapat dikenali dengan ciri-ciri morfologinya, yaitu berat
badan 100-230 gram, panjang kepala-badan antara 70-208 mm, panjang tungkai belakang 32-39 mm dan panjang telinga 20-22 mm (Murakami, et al. 1992). Ekor biasanya lebih pendek dari panjang kepala-badan. Tubuh bagian dorsal berwarna coklat dengan bercak hitam pada rambut-rambutnya, sehingga memberi kesan seperti berwarna abu-abu. Daerah tenggorokan, abdominal, dan inguinal berwarna putih, dan sisa bagian bawahnya dan sisa bagian bawah lainnya putih keperakan atau putih keabu-abuan. Warna permukaan atas kaki sama dengan warna badan dan banyak yang berwana coklat gelap pada bagian karpal dan tarsal. Ekor berwarna gelap pada bagian atas dan bawah (Aplin et al, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Biologi dan Ekologi Tikus Sawah Tikus betina mempunyai puting susu berjumlah dua belas buah. Ukuran dan berat badan tikus jantan dan betina tidak terdapat perbedaan yang mencolok. Tikus jantan dewasa lebih mudah dikenali dengan melihat perkembangan testisnya. Tikus dapat menjadi dewasa dan siap kawin setelah mencapai umur 5-9 minggu (Sudarmaji, et al. 2007). Tikus betina bunting selama 21 hari, tikus mampu bunting dan menyusui dalam waktu bersamaan dan tikus tersebut kawin lagi dalam waktu 48 jam setelah melahirkan (Sudarmaji, 2004).
Gambar 1. Siklus hidup tikus sawah (Rattus argentiventer) Sumber : B2PTP, 2011 Bagian punggung tikus sawah berwarna cokelat muda bercak hitam, perut dan dada berwarna putih, panjang kepala dengan badan 130-210 mm, panjang ekor 120-200 mm dan tungkai 34-43 mm. Jumlah puting susu betina 12 buah, 3pasang di dada dan 3 pasang diperut. Kepadatan populasi tikus berkaitan denganfase
pertumbuhan
2011).Rattusargentiventermencapai
tanaman umur
padi dewasa
(B2PTP, sangat
cepat,
masakebuntingannya sangat pendek dan berulang-ulang dengan jumlah anak yang
Universitas Sumatera Utara
banyak pada setiap kebuntingan. Masa umur R.argentiventerpada saatdewasa adalah 68 hari, dan bagi betina masa bunting selama 20-22 hari. Jumlah embrio yang dihasilkan oleh induk tikus betina bervariasi pada setiap periode kebuntingan. Terdapat kecenderungan menurunnya jumlah embrio setelah periode kebuntingan pertama. Jumlah embrio tertinggi dihasilkan oleh induk betina yang bunting pada periode stadium awal padi bunting sampai pengisian malai (bunting pertama) dengan rata-rata jumlah embrio 12,83 ± 0,8 embrio, pada kebuntingan kedua (padi matang) 11,49±1,1 embrio dan pada kebuntingan ketiga (panen/bera awal) 7,80±1,0 embrio (Sudarmajiet al.,2007). Habitat merupakan salah satu faktor lingkungan yang menjadi daya dukung perkembangan populasi tikus sawah. Tersedianya habitat yang memadai akan menguntungkan tikus untuk mendapatkan tempat hidup dan tempat berkembangbiak dengan baik (Singleton et al., 2003). Tikus sawah termasuk binatang yang aktif pada malam hari (nokturnal). Pada siang hari tikus berlindung didalam sarang dengan membuat liang didalam tanah atau disemak-semak. Pada siang hari tikus lebih banyak berada diluar daerah pertanaman padi yaitu ditanggul irigasi dan daerah dekat perkampungan (Sudarmaji dan Rahmini, 2002). Hadi (2006) melaporkan, tikus sawah pada siang hari 82% tinggal didaerah pematang dan sebaliknya pada malam hari 95% aktif ditengah pertanaman padi. (Brown et al., 2001) juga melaporkan tidak terdapat perbedaan nyata daya jelajah tikus sawah dihabitatnya antara tikus jantan dan betina. Rata-rata daya jelajah tikus jantan adalah 3,01 ha dan tikus betina 1,97 ha. Distribusi keberadaan tikus sawah sangat luas, karena dapat berdaptasi dengan baik pada berbagai agroekosistem, baik lahan sawah irigasi, lahan sawah
Universitas Sumatera Utara
tadah hujan/lahan kering, maupun lahan rawa (Begon, 2003). Tikus memilih sarang terutama pada habitat yang memberikan perlindungan dan aman dari gangguan predator serta dekat dengan sumber pakan dan air. Sarang tikus berfungsi sebagai tempat berlindung, memelihara anak dan untuk menimbun pakan.Murakami et al. (1992) setelah pertumbuhan tanaman padi mencapai stadium generatif, konstruksi sarang tikus menjadi lebih dalam, panjang dan bercabang-cabang seta mempunyai pintu keluar lebih dari satu pintu. Pada kondisi tersebut tikus mempersiapkan diri untuk melahirkan anak-anaknya. Tanggul irigasi di ekosistem sawah irigasi merupakan habitat penting tikus sawah dan merupakan habitat utama untuk berkembangbiak. Habitat tanggul irigasi dipilih tikus sawah karena apabila terjadi banjir, sarang tikus pada tanggul irigasi tersebut tidak terendam air. Pada umumnya pada umumnya tanggul irigasi dibangun dari tanah berukuran lebar 1-2 meter dengan tinggi lebih dari satu meter (Sudarmaji, et al. 2007). Gejala Serangan Kehadiran tikus di daerah persawahan dapat dideteksi dengan memantau keberadaan jejak kaki (foot print), jalur jalan (run way), kotoran/feses, lubang aktif, dan gejala serangan.Kehilangan hasil produksi akibat serangan tikus cukup besar, karena menyerang tanaman sejak di persemaian hingga menjelang panen. Potensi perkembangbiakan tikus sangat dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas makanan yang tersedia (Manurung dan Ismunadji, 1998). Sudarmajiet al. (2007) menambahkan bahwa penanganan tikus sebaiknya dilakukan sejak dini, sebelum berkembangbiak, karena pada fase generatif pemicu perkembangan tikus adalah padi bunting. Saat padi bunting, tikus memakan dan
Universitas Sumatera Utara
merusak titik tumbuh atau memotong pangkal batang serta memakan bulir gabah. Pada kategori serangan berat semua rumpun padi bisa habis dikonsumsi. Hal ini disebabkan pada fase padi bunting, tanaman padi mengeluarkan aroma dan bulir padi belum mengalami proses pengerasan kulit (proses pengerasan fisik) sehingga lebih mudah untuk dikonsumsi, selain itu kandungan karbohidrat yang ada pada padi sedang mengalami fase transisi dari substansi cairan ke bentuk padat, kondisi ini yang paling disukai oleh tikus. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus sawah pada tanaman padi terjadi mulai dari persemaian hingga padi menjelang panen. Pada persemaian padi berumur dua hari, satu ekor tikus mampu merusak rata-rata 283 bibit padi dalam satu malam. Pada stadium padi anakan (vegetatif) merusak anakan padi rata-rata 79 batang, dan pada stadium padi bunting 103 batang, serta pada stadium padi bermalai 12 batang per malam (Rochman, 1992). Tikus sawah diketahui lebih suka menyerang tanaman padi yang sedang bunting, sehingga pada umumnya padi stadium bunting akan mengalami kerusakan yang paling besar. Kebutuhan pakan tikus setiap hari hanya seberat kurang lebih 10% dari bobot tubuhnya, sedangkan daya rusaknya terhadap malai padi lima kali lebih besar dari bobot malai padi yang dikonsumsi (Sudarmaji dan Anggara, 2006). Persentase kerusakan tanaman padi tertinggi ditemui pada saat umur padi telah siap untuk di panen, pada saat ini tikus cenderung lebih menyukai padi dari pada umpan yang ada di dalam perangkap. Rasio tikus yang banyak terperangkap adalah tikus yang berkelamin jantan (Rusdy dan Irvandra, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Pengendalian Tikus Sawah (Rattus argentiventer Robb and Kloss) Berbagai teknik pengendalian telah dilakukan oleh masyarakat petani seperti kultur teknis, sanitasi, maupun secara fisik dan biologis. Namun teknikteknik pengendalian tersebut tidak selalu memberikan pengaruh yang besar terhadap menurunnya populasi dari hama tersebut. Begitu pula halnya dengan pengendalian kimiawi yang menggunakan bahan-bahan kimia baik berupa umpan beracun, bahan fumigan, penolak dan penarik maupun pemandul (Pakki et al., 2009). Sanitasi dan manipulasi habitat bertujuan untuk menjadikan lingkungan sawah menjadi tidak menguntungkan bagi kehidupan dan perkembangbiakan tikus. Kegiatan sanitasi antara lain melakukan pembersihan tanaman perdu dan gulma pada sekitar pematang sawah, tanggul saluran irigasi dan jalan sawah, karena tikus tidak akan nyaman pada kondisi yang bersih. Tikus sawah pada umumnya menyukai habitat pematang dan tanggul sawah yang tinggi dan lebar, maka dari itu pematang sawah dianjurkan dibuat rendah dengan tinggi kurang dari 30cm (Sudarmaji, 2004). Pengendalian dengan fisik mekanis dilakukan apabila tindakan yang telah dilakukan tidak mendapat hasil yang optimal. Pengendalian secara mekanis yaitu membongkar liang, mengguyur liang dengan air, membunuh dengan gropyokan, pengemposan dengan asap blerang dan membuat tanaman perangkap/TBS. Pengemposan lubang tikus yang aktif dianjurkan untuk dilakukan selama masa reproduksi pada tanaman, yaitu pada saat umpan beracun menjadi tidak efektif. Pengemposan dihentikan apabila tikus tidak lagi hidup di lubang yakni pada saat tanaman mulai menyediakan tempat berlindung yang memadai bagi tikus.
Universitas Sumatera Utara
Pengemposan sarang tikus hanya berpengaruh sebagian saja karena hanya tikus yang masih tinggal disarangnya saja yang mati. Pengemposan tidak hanya akan membunuh tikus dewasa tetapi juga anak-anak tikus (Baco, 2011). Penggunaan perangkap merupakan metode pengendalian fisik mekanis terhadap tikus yang paling tua digunakan. Dalam aplikasinya, metode ini merupakan cara yang efektif, aman, dan ekonomis karena perangkap dapat digunakan beberapa kali dan pemasangan umpan pada perangkap dapat mengintensifkan jumlah tenaga kerja. Perangkap dapat dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu live-trap (perangkap hidup), snap-trap (perangkap yang dapat membunuh tikus), sticky board-trap (perangkap berperekat), dan pit fall-trap (perangkap jatuhan) (Mutiarani, 2009). Pengendalian secara biologis yaitu pengendalian dengan memanfaatkan musuh alami tikus. Musuh alami tikus yang paling dikenal adalah kucing, anjing, ular, dan burung hantu. Predator ini sangat membantu usaha menjaga tetap rendahnya tingkat populasi tikus. Sayangnya predator berkembang biak jauh lebih lambat dibandingkan tikus. Oleh karena itu predator tidak dapat mengurangi populasi tikus yang tinggi dalam jumlah besar. Predator akan membantu petani menjaga populasi tikus agar tetap rendah. Predator juga mungkin memakan tikus yang keracunan, oleh karena itu diperlukan perhatian besar untuk memusnahkan bangkai tikus dari sawah sesudah pengumpanan guna menghindari keracunan pada predator dan hewan pemakan bangkai (Syamsuddin, 2007). Pengendalian dengan rodentisida merupakan tindakan akhir yang dilakukan apabila semua pengendalian tidak mendapatkan hasil yang optimal. Rodentisida merupakan bahan kimia yang apabila masuk ke dalam tubuh tikus
Universitas Sumatera Utara
akan mengganggu metabolisme tikus sehingga menyebabkan tikus keracunan dan mati. Rodentisida dibagi menjadi dua jenis yaitu rodentisida kronis dan akut. Rodentisida kronis atau antikoagulan merupakan racun yang bekerja lambat, gejala keracunan pada hewan sasaran akan terlihat dalam waktu yang cukup lama yaitu 24 jam atau lebih. Rodentisida akut merupakan racun yang bekerja dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian tikus lebih cepat dibandingkan rodentisida kronis. Gejala keracunan hewan sasaran akan terlihat dalam waktuyang relatif singkat yaitu kurang dari 24 jam bahkan dalam waktu beberapa jam saja (Syamsuddin, 2007). Alternatif pengendalian Dalam upaya mengurangi dampak negatif dari penggunaan bahan kimiawi untuk mengendalikan tikus, maka perlu dicari alternatif-alternatif pengendalian yang lainnya. Penggunaan bahan-bahan yang tidak disukai oleh tikus atau penggunaan bahan-bahan yang bersifat toksik bagi tubuh racunmerupakan salah satu cara pengendalian tikus yang relatif lebih aman. Penggunaan bahan-bahan nabati yang bersifat ramah lingkungan sudah sangat berkembang menjadi alternatif pengendalian hama. Pestisida nabati adalah pestisida yang berasal dari tumbuhan, Pestisida nabati bersifat mudah terdegradasi di alamsehingga residunya pada tanaman dan lingkungan tidak signifikan. Dengan pemanfaatan pestisida nabati, para petani diharapkandapat memenuhi kebutuhan bahan pengendali OPT dengan memanfaatkansumberdaya alam yang ada di sekitar mereka, sehingga pada akhirnya diharapkan petani mampu berswasembada pestisida(PUSLITBANGBUN, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Terdapat beberapa jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan dasar rodentisida seperti serai (Cymbopogon nardus), cengkeh (Syzygium aromaticum), akar tuba (Deris eliptica), gadung (Dioscorea hispida), tembakau (Nicotiana tabacum), Sirsak (Annona muricata), jengkol (Archidendron pauciflorum), mengkudu (Morinda citrifolia), biji jarak (Jathropha curcas), babadotan (Ageratum conyzoides) dan lainnya (PUSLITBANGBUN, 2012). Umbi Gadung (Dioscorea hispida L.) Gadung (Dioscorea hispida) merupakan tumbuhan perambat, berumur menahun (perenial), panjang bisa mencapai 10 m. Batang berkayu, silindris, membelit, warna hijau, bagian dalam solid, permukaan halus, berduri. Daun majemuk, bertangkai, beranak daun tiga (trifoliolatus), warna hijau, panjang 20 – 25cm, lebar 1 - 12 cm, helaian daun tipis lemas, bentuk lonjong, ujung meruncing (acuminatus), pangkal tumpul (obtusus), tepi rata, pertulangan melengkung (dichotomous), permukaan kasap (scaber). Bunga majemuk, bentuk bulir (spica),muncul dari ketiak daun (axillaris). Buah lonjong, panjang kira-kira 1 cm. Akar serabut. Kardinan (2005) melaporkan bahwa umbi gadung dapat juga dipakai sebagai rodentisida dengan mencampur dalam umpan yang berupa pakan untuk tikus. Dalam umbi gadung terkandung senyawa alkaloid yang bersifat racun dan diosgenin yang tidak beracun, juga saponin berupa dioscin yang bersifat racun yang dapat mematikan tikus dengan beberapa gejala tertentu, selain itu juga mengandung senyawa sianida yang beracun. Dari umbi gadung segar bisa menghasilkan sekitar 400 mg sianida per kilogram (Koswara, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Umbi gadung mengandung bahan yang mempunyai efek penekan kelahiran (aborsi atau kontrasepsi) yang mengandung steroid dan efek penekan populasi yang mengandung alkaloid. Posmaningsih, et al (2014) mendapatkan hasil bahwa rodentisida kadar 30 % adalah yang paling efektif. Selain itu umbi gadung bersifat antifeedant sehingga menurunkan nafsu makan tikus dan membuat tikus tidak dapat bergerak lincah. Dengan penggunaan umpan gadung dengan dosis yang kurang atau kebal dosis (sub-lethal) meskipun tidak sampai membunuh tetapi dapat menyebabkan kemandulan, sehingga secara tidak langsung dapat menekan populasi tikus. Keunggulan rodentisida nabati yaitu murah dan mudah dalam proses pembuatan, aman terhadap lingkungan, serta sulit menimbulkan resistensi pada tikus, namun memiliki kelemahan juga yaitu daya kerja relatif lambat, kurang praktis serta tidak tahan simpan. Bahan aktif dari rodentisida kronis bekerja dalam tubuh tikus dengan lambat sehingga tikus tidak langsung mati ditempat. Bahan tambahan yang digunakan pada umpan dapat berasal dari olahan hewan atau tumbuhan. Bahan baku penyedap atau penarik pada umpan harus mudah didapat dan mudah dibuat. Bahan penyedap dalam umpan dapat meningkatkan kesempatan tikus menemukan umpan dan makan banyak (Posmaningsihet al., 2014).
Gambar 2.Tanaman umbi gadung (Dioscorea hispida L.) (sumber : Sari,2015)
Universitas Sumatera Utara
Tembakau (Nicotiana tabacum) Tembakau
merupakan
tanaman
semusim
yang berbentuk
perdu,
merupakan anggota dari famili Solanaceae. Tingginya dapat mencapai 2 m. Batangnya berkayu, bulat berbulu dengan diameter sekitar 2 cm dan berwarna hijau. Daunnya tunggal, berbulu, bulat telur, tepinya rata, ujung runcing, pangkalnya tumpul. Panjang daun antara 20-50 cm dan lebarnya 5-30 cm. Bunganya majemuk dan tumbuh di ujung batang. Kelopak bunga berbulu, pangkal berlekatan dan ujungnya terbagi lima. Buah bulat telur, bewarna hijau ketika masih muda dan bewarna coklat dan memiliki akar tunggang. Bagian tumbuhan yang digunakan adalah daun dan batangnya. Batang dan sisa-sisa daun yang tidak terpakai mengandung bahan aktif yangsangat tinggi, yaitu nikotin senyawa organik yang sangat spesifik(PUSLITBANGBUN, 2012). Nikotin pada tembakau dapat bersifat repelent (penolak serangga), fungisida, akarisida, dan rodentisida(PUSLITBANGBUN, 2012).Bagian tanaman pada tembakau yang dapat digunakan yaitu bunga, buah, biji, kulit batang, daun dan akar (Rachmawati, 2013). Mekanisme kerja pestisida dengan bahan aktif tembakau antara lain sebagai repellent, sebagai antifeedant, dapat mengganggu proses pencernaan dan mengakibatkan kemandulan(Indrarosa, 2013). Kemampuan tembakau dalam membunuh hama disebabkan karena kandungan senyawa kimia yang terkandung di dalamnya yaitu nikotin (Rudiyanti, 2010). Dalam kadar rendah tembakau bersifat membius, namun dalam kadar yang tinggi yaitu >30 mg dapat mematikan. Kemampuan nikotin dalam membunuh hama disebabkan karena nikotin merupakan racun saraf yang dapat bereaksi
Universitas Sumatera Utara
sangat cepat. Alkaloid nikotin, sulfat nikotin dan kandungan nikotin lainnya dapat digunakan sebagai racun kontak, fumigan dan racun perut (Hasanah, et al, 2012). Kardinan (2012) menambahkan bahwa nikotin bekerja sebagai fumigan yang akan menguap dan menembus secara langsung ke integumen. Secara umum gejala-gejala keracunan nikotin yaitu rangsangan, kejang-kejang, cacat dan kematian (Matsumura, 1975). Filtrat daun tembakau mengandung senyawa aktif seperti terpenoid yang bersifat antifeedantyang dapat menghambat aktivitas makan serta bersifat sebagai repellent (Anggriani, et al (2013) ; Mayanti, et al (2006). Senyawa ini berperan sebagai racun saraf dan racun perut yang dapat mematikan jika masuk ke dalam saluran pencernaan melalui makanan yang mereka makan, kemudian diserap oleh saluran pencernaan tengah (Junar, 2000); Endah dan Heri (2000). Pestisida nabati yang dihasilkan dari tanaman tembakau dilaporkan yang paling toksik dibanding dari jenis tanaman lainnya dan memiliki nilai LD50antara 50 dan 60 ppm. Pestisida nabati ini merupakan racun saraf yang bekerja cepat dan bekerja secara kontak.
Gambar 3. Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum) (sumber : Nuryanti, 2015
Universitas Sumatera Utara
Biji jarak (Jathropha curcas) Jarak pagar termasuk kedalam famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan ubi kayu, sehingga tanaman ini dapat setinggi ubi kayu (+ 2 m). Batang berkayu, silindris dan bila terluka mengeluarkan getah, percabangan tidak teratur. Daunnya tunggal berlekuk bersudut 3-5, tulang menjari dengan 5-7 tulang utama. Permukaan daun bagian atas dan bawah bewarna hijau, tapi bagian bawah lebih pucat. Bunga tersusun dalam rangkaian (influorescen), biasanya terdiri atas 100 bunga atau lebih. Buah sedikit berdaging bewarna hijau muda, kemudian kuning lalu mengering dan pecah (PUSLITBANGBUN, 2012). Selain daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan, tikus sawah memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi dalam waktu singkat, sehingga populasi tikus sawah dapat meningkat dengan cepat Untuk mengatasi hal ini, diperlukan suatu teknik pengendalian, dengan mempengaruhi tingkat fertilitasnya. Biji jarak (Jathropha curcasL.) diduga mempunyai efek antifertilitas yang diharapkan dapat mengurangi jumlah populasi tikus sawah. Di alam terdapat banyak sumber nabati yang bersifat antifertilitas, di antaranya adalah biji jarak (Jathropha curcasL.), yang mengandung bahan aktif ricin. Menurut Yong (2000) ricin mempunyai aktifitas 6000 kali lebih beracun daripada sianida dan 12.000 kali lebih beracun daripada bisa ular rattlesnake. Menurut Sandhyakumari et al (2003),J. curcasdapat menyebabkan penurunan jumlah spermatozoa tikus, kelainan gerakan dan morfologi spermatozoa serta penurunan hormon testosteron. Dengan demikian dapat digunakan sebagai dasar pertimbangkan untuk pengendalian populasinya.
Universitas Sumatera Utara
Biji jarak mengandung senyawa yang bersifat racun. Pengaruh racun tersebut perlu diuji untuk rnengetahui daya bunuh dan antifertilitas terhadap tikus sawah. Menurut Yong (2000), senyawa ricin yang dicampur dalam umpan terbukti untuk menanggulangi hama tikus. Berdasarkan hal tersebut dan dari hasil penelitian Istriyati dan Febri (2008), maka diuji efek biji jarak terhadap struktur histologis testis tikus. Biji jarak mengandung 40-50% minyak jarak dan juga mengandung alkaloida risinin sementara daunnya mengandung saponin dan senyawa-senyawa flavonoida. Keracunan ricin dapat melalui pernapasan, pencernaan dan injeksi. Risin merupakan suatu protein enzim yang memiliki 2 rantai yaitu rantai A dan rantai B. Rantai
A yang bersifat toksik akan menginaktivasi ribosom yang
mengakibatkan kematian pada sel (Hadi, 2006). Biji jarak memiliki mekanisme kerja sebagai racun perut
pada tikus
melalui proses memakan hingga masuk kedalam organ pencernaan hingga disebarkan oleh tubuh tikus ataupun serangga ke sistem saraf ( Djojosumarto, 2008). Sedangkan Lisdianita (2010) menyatakan bahwa Ekstrak biji dan daun jarak efektif mengendalikan tikus.
Gambar 4. Tanaman jarak (Jathropha curcas) (sumber :Sitorus, 2011)
Universitas Sumatera Utara
Babadotan (Ageratum conyzoidesL.) Ageratum conyzoides (babadotan) adalah sejenistanaman perdu yang tumbuh di daerah basah danberawa. Tanaman ini termasuk ke dalam famili Asteraceae dan banyak dijumpai tumbuh di berbagaidaerah di Indonesia. Secara umum tanaman inimemiliki rasa yang pahit dan mengeluarkan aromayang kurang sedap sehingga kurang diminati olehternak sebagai pakan hijauan . Sekelompok tikusWistar diberi diet yang mengandung tanamanbabadotan sebesar 10-30% setiap hari secara laboratorikmenunjukkan perubahan pada jaringan hatinya secara konsisten (Sani andStoltz, 1993). Perubahanhistopatologis umumnya terlihat berupa anisokariosissel hati, megalositosis dan proliferasi sel saluranempedu. Analisis yang dilakukan Sani et al., (1998) mencoba untuk mengidentifikasisenyawa toksik daun babadotan secara kimiawi danmelaporkan, bahwa tanaman tersebut mengandungsenyawa pirolizidin alkaloida dengan struktur kimiaberupa lycopsamin dan echinatin. Semua kegunaan atau khasiat dari babadotan dikarenakan kandungan senyawa aktif yang terdapat dibagian tubuhnya. A. conyzoides mengandung banyak komposisi senyawa aktif diantaranya flavonoid, fenolik, alkaloid, kumarin, minyak esensial krom, benzofuran, saponin, steroid, terpenoid dan tanin (Roder and Wiedenfeld, 1991).
Gambar 5. Babadotan (Ageratum conyzoidesL.) (sumber :Hafsah, 2013)
Universitas Sumatera Utara