II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Labi-labi 2.1.1 Taksonomi Menurut Ernst dan Barbour (1989), klasifikasi labi-labi (Amyda cartilaginea) adalah sebagai berikut : Kingdom
:
Animalia
Filum
:
Chordata
Kelas
:
Reptillia
Ordo
:
Testudinata
Sub ordo
:
Cryptodine
Famili
:
Trionychidae
Genus
:
Amyda
Species
:
Amyda cartilaginea (Boddaert 1770).
Di Indonesia, nama daerah untuk labi-labi atau bulus cukup banyak antara lain kuya (masyarakat Pasundan, Jawa Barat), labi (masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat), bidawang (Kalimantan), kura-kura air tawar, dll (Amri & Khairuman 2002). Menurut Auliya (2007), nama lokal untuk A. cartilaginea antara lain labi-labi super (Kalimantan Barat), kuya emas (Jawa), lelabi (masyarakat Iban, Kalimantan). Amyda cartilaginea dikenal juga dengan nama umum Asiatic softshell turtle atau Black-rayed softshell turtle (Inggris), Trionyx cartilagineux (Prancis), Knorpel weichschildkröte (Belanda) (Ernst & Barbour 1989). 2.1.2 Morfologi dan anatomi Bentuk tubuh labi-labi sangat khas, yakni oval atau agak lonjong, dan pipih. Tubuhnya tanpa sisik dan berwarna
abu-abu kehitaman. Kerapas dan
plastron (bagian bawah tubuh yang tidak tertutup cangkang) terbungkus kulit yang liat. Plastronnya berwarna putih pucat hingga kemerah-merahan (Auliya 2007). Ciri khas yang dimiliki oleh labi-labi sebagai salah satu bangsa kura-kura (Ordo Testudinata) adalah perisai punggungnya/batok tidak tertutup oleh zat tanduk, tetapi ditutupi oleh kulit yang tebal sehingga kura-kura ini dikelompokkan
4
ke dalam famili Trionichydae atau dalam istilah Inggrisnya dinamakan Soft-Shell Turtle yang berarti kura-kura bercangkang lunak (Amri & Khairuman 2002). Menurut Iskandar (2000), perisai labi-labi ditutupi oleh kulit dan sebagian dibangun dari tulang rawan. Matanya berukuran relatif kecil dan lubang hidungnya terletak di ujung belalai yang kecil dan pendek. Mulutnya mempunyai bibir yang relatif tebal. Kakinya mempunyai selaput penuh dan jari-jari kaki mempunyai cakar yang relatif kuat dan berujung lancip. Termasuk jenis yang mempunyai leher relatif panjang karena dapat mencapai paling sedikit pertengahan dari perisainya. Termasuk hewan yang galak, sehingga hewan berukuran besar sangat berbahaya kalau dipegang. Labi-labi bernafas dengan paru-paru (pulmo), demikian juga dengan anakanaknya yang baru menetas. Hidung labi-labi memanjang membentuk tabung seperti belalai. Memiliki sepasang tungkai kaki di depannya masing-masing berkuku tiga buah dan berselaput renang, demikian pula sepasang tungkai belakangnya. Dengan dua pasang tungkai tersebut, labi-labi dapat berenang dengan cepat karena selaput renangnya cukup besar dan bisa berlari di daratan. Mata labi-labi berjumlah dua buah terletak pada bagian samping kepala dilengkapi dengan kelopak mata. Alat pendengaran labi-labi adalah membrana tympani. Labi-labi tidak bergigi, tetapi rahangnya sangat kuat dan tajam. Lidahnya tebal, pendek, lebar dan melekat di dasar mulut (Amri & Khairuman 2002). Menurut Ernst & Barbour (1989), pada labi-labi dewasa, warna punggung bervariasi antara coklat, abu-abu sampai hitam pekat, kadang-kadang berbintik kuning pada kepala, tungkai-tungkai dan karapasnya. Plastron berwarna putih sampai abu-abu (pada usia remaja berwarna lebih cerah dibandingkan dengan usia dewasa). Pada usia anak-anak terdapat bintik pada kepala dan tungkai-tungkainya. Menurut Iskandar (2000), pada perisai punggung terdapat bintil-bintil kecil membentuk garis-garis yang terputus-putus dari depan ke belakang. Kepala dan kaki berwarna hitam atau abu-abu, pada hewan muda umumnya dijumpai bintikbintik berwarna kuning. Kadang-kadang dijumpai juga enam sampai sepuluh bercak hitam bertepi putih melengkung pada bagian belakang perisainya, terutama pada individu muda.
5
Sumber foto: Lukito, AM.
Gambar 1 Tukik labi-labi (Amyda cartilaginea)
Sumber foto: Lukito, AM.
Gambar 2 Perbandingan ukuran tubuh dan karapas antara tukik, labi-labi muda ukuran konsumsi dan induk
6
Sumber foto: Lukito, AM.
Gambar 3 Induk betina labi-labi Siklus hidup labi-labi (Amyda cartilaginea) hampir sama dengan reptil lainnya, yakni dari telur menetas menjadi tukik, labi-labi remaja, dewasa dan kemudian melakukan perkawinan, bertelur dan menetaskan telurnya untuk melanjutkan keturunannya.
Sumber foto: Lukito, AM.
Gambar 4 Kelamin labi-labi (sebelah kiri ekor panjang menunjukkan labi-labi berkelamin jantan dan sebelah kanan pendek betina) 2.1.3 Habitat dan Penyebaran Habitat A. cartilaginea umumnya mempunyai ciri-ciri sungai yang mempunyai dasar berpasir disertai dengan batu-batu besar, dimana airnya jernih dan beraliran cukup tenang. Labi-labi dijumpai di sungai yang di sepanjang
7
pinggiran sungai masih ditumbuhi pohon-pohon besar yang utuh dengan suhu air berkisar antara 28°C - 30°C (Setyobudiandi 1997). Menurut Farajallah (1995), labi-labi menyukai sungai-sungai yang beraliran lambat dengan dasar berlumpur. Labi-labi membutuhkan dasar perairan yang sedikit berlumpur sebagai tempat bersembunyi selain di celah atau lubang-lubang di bawah batu, dan juga sebagai breeding ground (Ernst dan Barbour 1989). Labi-labi merupakan jenis yang menyebar luas di Asia Tenggara (Iskandar 2000). Umum dijumpai di daerah yang tenang, berarus lambat, banyak ditemukan di kolam yang berhubungan dengan sungai dan danau. Labi-labi selalu bersembunyi di dalam lumpur atau di dalam pasir di dasar kolam atau sungai. Penyebaran secara luas meliputi Burma, Thailand, Indochina, Malaysia, Singapura, Borneo, Sumatera dan Jawa (Baker 2010). Di Indonesia sendiri, penyebaran jenis ini di Kalimantan termasuk Kalimantan Barat, Sumatera, Jawa, Bali, dan Lombok (Auliya 2007). 2.1.4 Jenis Pakan Di alam, labi-labi memakan ikan dan udang-udang kecil. Di kolam, labilabi bisa diberikan pakan berupa cincangan ikan atau isi perut ternak ruminansia (Amri & Khairuman 2002). Menurut Setyobudiandi (1997), makanan Amyda cartilaginea sebagian besar adalah krustasea (kepiting), disamping moluska (keong dan kerang-kerangan). Menurut Auliya (2007), untuk pemeliharaan dalam kandang, makanan labi-labi terdiri dari udang-udangan, kepiting, siput, remis besar, serangga dan ikan serta beberapa jenis buah-buahan dan sayur-sayuran. Cara makan labi-labi adalah dengan memangsa, kemudian menelan makanannya tanpa mengunyahnya terlebih dahulu karena labi-labi tidak memiliki gigi, tetapi rahangnya sangat kuat dan tajam. Rahang inilah yang menggantikan fungsi gigi sehingga makanan dapat dicerna lebih lanjut. Selain itu, untuk kesempurnaan dalam mencerna makanan, usus labi-labi dilengkapi dengan getah usus (Amri & Khairuman 2002). 2.1.5 Perilaku Labi-labi biasanya tak hanya tinggal di dasar perairan, tetapi kadang tampak di atas batu-batuan untuk berjemur. Menurut Amri dan Khairuman (2002), kebiasaan berjemur labi-labi merupakan salah satu kebutuhan hidup dimana
8
dengan berjemur membuat semua air pada cangkang atas dan bawahnya terjemur kering, sehingga lumut, jamur, parasit yang menempel pada permukaan badannya dapat kering dan terkelupas sehingga labi-labi tidak mudah terserang penyakit atau mendapat gangguan fisiologis. Labi-labi bisa hidup pada iklim yang berbeda, dari musim panas, dingin, semi hingga musim gugur. Termasuk hewan berdarah dingin (poikilotherm), yang artinya suhu tubuhnya tidak tetap, tetapi berubah-ubah mengikuti suhu lingkungan di sekitarnya. Perubahan suhu lingkungan akan mempengaruhi aktivitas hewan tersebut, dimana pada suhu yang tinggi, labi-labi akan menjadi lebih aktif (Amri & Khairuman 2002). Pada kondisi lingkungan bersuhu rendah (kurang dari 30o C), aktifitas labilabi akan menurun, nafsu makan berkurang. Biasanya labi-labi akan menyelam dan membenamkan dirinya dalam lumpur. Di negara-negara yang mengalami 4 (empat) musim seperti di Jepang, pada musim dingin dimana suhu lingkungan sangat rendah, biasanya labi-labi membenamkan diri dan melakukan tidur suri. Dalam kondisi ini labi-labi tidak makan, tidak bergerak, tak tumbuh dan tingkat metabolismenya mencapai tingkat terendah (BBAT 2002). 2.2
Parameter Demografi
2.2.1 Natalitas Menurut Santosa (1996) tingkat kelahiran adalah suatu perbandingan antara jumlah total kelahiran dan jumlah total induk (potensial induk bereproduksi) yang terlihat pada akhir periode kelahiran. Nilai natalitas ditentukan oleh seks rasio dan perilaku kawin, maximum breeding age, minimum breeding age, jumlah anak persarang, jumlah sarang pertahun dan kepadatan populasi (Alikodra 2002). Angka kelahiran kasar merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan terhadap jumlah induk dewasa. Angka kelahiran spesifik merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan pada kelas umur tertentu selama satu periode waktu dengan jumlah induk pada kelas umur tertentu. 2.2.2
Kematangan Seksual Untuk budidaya di penangkaran, induk yang digunakan adalah induk hasil
tangkapan dari alam yang penangkapannya tidak menggunakan alat setrum atau
9
pancing, sebaiknya hasil dari jaring atau diserok. Induk diseleksi dan harus memenuhi syarat: sehat, tidak cacat, gerakan aktif, berat badan tidak boleh kurang dari 1 kg (BBAT 2002). Sedangkan menurut Amri dan Khairuman (2002), induk labi-labi yang telah siap dipijahkan harus berumur tidak kurang dari 2 tahun dengan berat rata-rata 800 gr/ekor dan alat kelamin bulat berwarna kemerahmerahan (Amri & Khairuman 2002). 2.2.3 Laju Reproduksi Labi-labi berkembangbiak dengan bertelur. Pada saat labi-labi betina akan bertelur biasanya dengan kaki belakang akan menggali lubang sedalam 20 cm, untuk menyimpan telur yang baru dikeluarkan ke dalam lubang tersebut. Sebelum induknya kembali ke air, lubang tersebut ditutup kembali dengan pasir (BBAT 2002). Setiap kali labi-labi bertelur mencapai 10-30 butir, telur berwarna krem dengan diameter antara 2-3 cm (Amri & Khairuman 2002). Menurut Liat dan Das (1999), jumlah telur antara 5-30 butir untuk 3-4 sarang. Menurut Iskandar (2000), sekali bertelur dapat menghasilkan sekitar 40 butir telur bercangkang keras dan seekor betina dapat bertelur sampai empat kali dalam setahun, ukuran telurnya sekitar 21 – 33 cm, berbentuk bulat seperti bola tenis meja. Menurut Kusdinar (1995), telur labi-labi berbentuk bundar, berwarna putih, tidak mengkilat, kulitnya rapuh dengan ukuran diameter telur 31,1 – 33,2 mm.
Sumber foto: Lukito, AM.
Gambar 5 Telur labi-labi bulat, berwarna putih kekuningan (krem)
10
2.2.4 Masa Penetasan Sedangkan menurut Carr (1952), masa pengeraman telur kura-kura berlangsung secara alamiah, dan secara normal membutuhkan waktu 60 – 170 hari, tergantung kelembaban dan temperatur. Menurut Liat dan Das (1999), masa inkubasi telur labi-labi antara 61-140 hari. Di penangkaran, telur labi-labi akan menetas setelah 40-45 hari, atau paling lama 60 hari pada suhu ruangan 30º C (Amri & Khairuman 2002). Lama penetasan telur antara 135 – 140 hari (Iskandar 2000). 2.2.5
Jumlah Tukik Permusim Telur Menurut Amri dan Khairuman (2002), di penangkaran, derajat penetasan
telur (tingkat keberhasilan penetasan) akan sangat rendah jika peletakkan telurtelur tersebut terbalik dari posisi semula (saat diambil dari tempat peneluran), selain itu jika posisi telur tersebut berubah dan terlalu banyak goncangan, telur akan rusak dan tidak dapat menetas. Rendahnya hasil reproduksi labi-labi dilaporkan oleh Amri dan Khairuman (2002). Dari penelitian mereka dijelaskan bahwa hanya 3 ekor atau 15% dari jumlah populasi (n=20) yang memijah dan menghasilkan telur sebanyak 39 butir. Telur hasil pemijahan yang dibuahi berjumlah 30 butir (77%), dan dari 30 butir ini yang menetas berjumlah 11 butir (36%) (Amri & Khairuman 2002). 2.2.6 Mortalitas Mortalitas atau tingkat kematian adalah suatu perbandingan antara jumlah total individu yang mati dengan jumlah total individu yang masih hidup (Santosa 1996). Kepadatan populasi dapat berkurang karena adanya mortalitas. Menurut Alikodra (2002), kematian satwaliar dapat disebabkan karena berbagai faktor yaitu: 1) Kematian yang disebabkan oleh keadaan alam, seperti penyakit, pemangsaan, kebakaran dan kelaparan, 2) Kematian yang disebabkan karena kecelakaan, seperti tenggelam, tertimbun tanah longsor atau tertimpa batu, dan kecelakaan yang menyebabkan terjadinya infeksi sehingga mengalami kematian, 3) Kematian yang disebabkan karena adanya perkelahian dengan jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan, dan air serta persaingan untuk menguasai kawasan, dan 4) kematian yang disebabkan karena aktifitas manusia, seperti
11
perusakan habitat, perburuan, mati karena kecelakaan, terperangkap dan sebagainya. Menurut Amri dan Khairuman (2002), di kolam pendederan, mortalitas atau tingkat kehilangan dan kematian selama pendederan berkisar 10-15% dari total benih labi-labi yang ditebar. Dari penebaran 11 ekor dengan berat rata-rata 8,4 gram selama 30 hari mengalami pertumbuhan menjadi berat rata-rata 10,5 gram dengan kematian sebayak 3 ekor (27%). 2.2.7 Struktur Umur Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi. Santosa (1996) mendefinisikan struktur umur sebagai komposisi jumlah individu dalam populasi menurut sebaran umur. Struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangan satwa liar, sehingga dapat dipergunakan pula untuk menilai prospek kelestarian satwa liar. Melakukan identifikasi umur satwa liar di lapangan akan mengalami banyak kesulitan, terutama karena sulitnya menangkap sejumlah contoh satwaliar untuk diperiksa dalam menentukan umurnya, sehingga perlu dicarikan pendekatan-pendekatan tertentu yang lebih sederhana (Alikodra 1990). Menurut Amri dan Khairuman (2002), pengelompokan yang paling sederhana adalah pengelompokan ke dalam kelas umur tukik, labi-labi muda (juvenile), dan dewasa/induk (adult). Dari ukuran tukik, untuk mencapai ukuran 300-600 gram/ekor, memerlukan waktu sekitar 3-6 bulan, dan untuk mencapai ukuran dewasa membutuhkan waktu sekitar 2-3 tahun. Secara umum struktur umur labi-labi dapat diuraikan sebagai berikut: a)
Kelas umur tukik : berumur antara 0 -3 bulan
b) Kelas umur muda : berumur antara 3 bulan – ≤ 2 tahun c)
Kelas umur dewasa : berumur 2 – 5 tahun, yaitu semenjak memasuki kematangan seksual (minimum breeding age) hingga mencapai masa reproduksi yang optimum. Reproduksi labi-labi mulai menurun setelah umur 5 tahun (Amri & Khairuman 2002).
2.2.8 Ukuran Populasi Populasi adalah sekelompok organisme sejenis atau memiliki kesamaan genetik yang secara bersama-sama mendiami wilayah tertentu dan waktu tertentu,
12
serta mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya (Krebs 1999, Alikodra 2002). Ukuran populasi adalah suatu ukuran yang memberikan informasi mengenai jumlah total individu satwaliar dalam suatu kawasan tertentu. Data dan informasi mengenai ukuran populasi dapat digunakan untuk mengetahui status ekologis suatu populasi jenis satwaliar tertentu (Kartono 1994). 2.2.9
Seks Rasio Seks rasio adalah perbandingan antara jumlah individu jantan dengan
jumlah individu betina dari suatu populasi, biasanya dinyatakan sebagai jumlah jantan dalam 100 individu betina (Alikodra 1990). Menurut Santosa (1996), seks rasio adalah suatu perbandingan antara jumlah jantan potensial reproduksi terhadap banyaknya betina yang potensial reproduksi. 2.3
Perdagangan Reptil telah lama dimanfaatkan sebagai sumber ekonomi yang bernilai
penting. Dalam dua dekade terakhir, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pengekspor reptil terbesar di dunia (Soehartono & Mardiastuti 2003). Reptil dalam bentuk hidup, bagian tubuh dan produk olahan telah menjadi komoditas perdagangan yang menguntungkan dan penting di dunia internasional (Mardiastuti & Soehartono 2003). Untuk labi-labi, pemenuhan permintaan baik untuk kebutuhan konsumsi maupun peliharaan masih mengandalkan tangkapan dari alam. Penangkapan yang dilakukan dengan tujuan komersial terhadap spesies tertentu merupakan penyebab utama langkanya spesies tersebut (Gamble & Somins 2003). Trionychidae sebagai komoditas perdagangan melibatkan berbagai simpul yang membentuk suatu mata rantai perdagangan. Shepherd (2000) menyebutkan bahwa ada tiga simpul mata rantai utama yaitu penangkap (trappers), penampung/pengumpul (middlemen), dan eksportir (exporters). 2.4
Metode Catch Per Unit Effort Metode Catch per Unit Effort digunakan untuk menduga besarnya
populasi yang kondisinya agak sulit dalam satu unit area. Penghitungan dilakukan dengan menggunakan metode DeLury yang dianggap memadai terhadap satuan
13
usaha yang variabel (Effendie 1997). Asumsi yang diperlukan untuk menggunakan metode ini adalah: 1) Populasi tertutup, pengaruh migrasi dan mortalitas diabaikan 2) Unit-unit usaha yang digunakan tidak saling bersaing dan konstan selama percobaan berlaku 3) Respon labi-labi terhadap alat penangkapan tetap konstan dalam periode penelitian 4) Tiap labi-labi mempunyai kesempatan yang sama untuk ditangkap Metode DeLury rumusnya adalah:
Dengan: Ct ft q Nt
= = = =
No =
hasil tangkapan satuan usaha sudut/coefisien catchability populasi pada waktu t populasi awal