II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi dan Morfologi Rajungan Rajungan merupakan salah satu jenis dari kelas crustacea yang hidup sepenuhnya di air laut. Rajungan merupakan sebutan umum di Indonesia untuk jenis kepiting (crab) dari seksi brachyura
yang hidup sepenuhnya di laut
sedangkan kepiting biasanya digunakan sebagai sebutan untuk kepiting yang hidup di daerah mangrove atau intertidal, dan secara awam dikenal dapat hidup di air laut dan di darat. Menurut Secor et al. (2010) perikanan swimming crab diseluruh dunia didominasi oleh tiga spesies yaitu blue crab (Portunus trituberculatus)(50%), Portunus pelagicus (blue swimming crab) (25%) dan Calinectes sapidus (blue crab) (25%). FAO menyebutkan rajungan dari spesies Portunus pelagicus, Linneaus sebagai blue swimming crab. Dalam literatur asing rajungan biasa disebut blue swimming crab atau blue swimmer crab (McPherson dan Brown, 2001; Lestang et al., 2003a;
Chande dan Mgaya, 2003; Josileen
dan Menon, 2004 ;Xiao dan Kumar, 2004; Svane, dan Hooper,2004; Bryars dan Havenhand, 2004). Peneliti lain ada yang menamakan blue manner crab (Potter et al. 1983) atau blue manna crab (Edgar, 1990) dan sand crab (Sumpton et al, 1994). Ada pula yang hanya menamakannya dengan sebutan blue crab (Batoy, et al. 1980). Razek et al. (2006) hanya menyebutnya dengan edible crab dan Tan et al. (1988) menyebutnya flower crab. Berdasarkan taksonomi, rajungan menurut Stephenson dan Champbell (1959) termasuk dalam : Kingdom
: Animalia
Sub Kingdom
: Eumetazoa
Grade
: Bilateria
Divisi
: Eucelomata
Section
: Protostomia
Phylum
: Arthropoda
Sub phylum
: Mandibulata
Kelas
: Crustacea
Sub kelas
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
10
Sub Ordo
: Reptantia
Seksi
: Brachyura
Sub Seksi
: Brachyurincha
Famili
: Portunidae
Genus
: Portunus
Spesies
: Portunus pelagicus Kelas Crustacea menurut Webber dan Thurman (1991) beranggautakan
31.000 spesies yang tersebar luas dan umumnya ditemui di habitat laut. Berdasarkan kajian Marine Species Identification Portal (2010) terdapat 22 jenis rajungan dari genus Portunus yaitu Portunus aburatsubo, P. argentatus, P.brocki, P.gracilimanus, P. gracilimus, P. haani, P. Hastatoides, P. iranjae, P. macropthalmus, P. nipponenis, P. orbitosinus, P. pelagicus, P. petreus, P. pubercesis, P. pulchricristatus, P. sanguinolentus, P. speciosa, P. suborbicularis, P. tenuipes, P. trituberculatus, P. granulatus P. yoronensis (Tabel 1). Lovett (1981) mengidentifikasi jenis lain seperti P.innominatus,
P. gladiator, P.
rubromarginatus, P. tweedei, dan P. longispinus. Rajungan dari genus Portunus yang ditemukan di Indonesia adalah P. argentatus, P. brocki, P. gracilimanus, P. granulatus, P. pulchricristatus, P. hastatoides, P. macropthalmus, P. nipponenis, P. orbitosinus, P. pelagicus, P. pubercesis, P. sanguinolentus, P. tenuipes, dan P. trituberculatus. Untuk spesies P. trituberculatus tidak dilaporkan oleh Marine Species Identification Portal (2010) ditemukan di Indonesia tetapi Nontji (2007) menemukan jenis ini di Indonesia. Jenis-jenis tersebut tersebar sangat luas di berbagai perairan (Tabel 1). Tubuh crustacean dibagi dalam bagian thoraks dan abdomen.
Pada
beberapa crustacea yang umum dijumpai seperti udang, lobster dan jenis-jenis crab, bagian thoraks ditutupi oleh sebuah karapas yang melindungi permukaan dorsal tubuhnya. Rajungan dengan mudah dapat dikenali dari bentuk tubuhnya yang memiliki karapas yang lebar. Karapas rajungan berbentuk semitriangular dengan ornamen berbentuk titik-titik putih. Karapas rajungan dibagi menjadi beberapa bagian (Gambar 2). Ornamen pada bagian-bagian tersebut dapat menjadi ciri kematangan kelaminnya. Pada bagian dorsal tubuh rajungan terdapat toraks
11
(thorachic sterna) dan lipatan abdomen yang berwarna putih. Bentuk lipatan abdomen berbeda antara jantan dan betina. Tabel 1 Distribusi jenis rajungan dari genus Portunus. No.
Spesies
Asia
Afrika
Australia Eropa
Indonesia
1.
P. aburatsubo
+
-
-
-
-
2.
P. argentatus
+
+
+
-
+
3.
P. brocki
+
-
+
-
+
4.
P. gracilimanus
+
-
+
-
+
5.
P. gracilimus
+
-
-
-
-
6.
P. haani
+
+
+
-
+
7.
P. hastatoides
+
+
+
-
+
8.
P.iranjae
+
+
-
-
+
9.
P.macropthalmus
+
-
-
-
+
10.
P.nipponenis
+
-
-
-
+
11.
P. orbitosinus
+
+
+
-
+
12.
P. pelagicus
+
+
+
-*)
+
13.
P. petreus
+
+
+
-
-
14.
P. pubercesis
+
+
+
-
+
15.
P. pulchricristatus
+
-
+
-
+
16.
P. sanguinolentus
+
+
+
-
+
17.
P. speciosa
+
-
-
-
-
18.
P. suborbicularis
+
-
-
-
-
19.
P. tenuipes
+
-
+
-
+
20.
P. trituberculatus
+
-
-
-
+
21.
P. yoronensis.
+
-
-
-
-
22.
P. granulates
+
+
+
-
+
*)ditemukan di perairan Rhodes Island Turki dan disebut sebagai lessepsian species (Fokaet et al. 2004).
12
Gambar 2 Struktur karapas dan bagian-bagiannya (Keterangan: 1. Karapas, 2. Orbit, 3.Dahi, 4. Protogastrik, 5.Mesogastrik, 6. Metagastrik, 7. Epibrankial, 8. Lekuk Servik, 9.Meso Brankial, 10.Kardiak, 11. Pascakardiak, 12. Median Pascakardiak). Rajungan memiliki tanda seksual dimorpisme atau perbedaan bentuk antara jantan dan betina. Umumnya rajungan jantan memiliki ukuran lebih besar dari yang betina. Jenis kelamin rajungan dapat dikenali pula dengan ornamen pada karapasnya. Ornamen putih pada rajungan jantan lebih jelas dan besar dibandingkan yang betina. Pada rajungan betina memiliki ornamen berupa bentuk titik-titik putih kecil dan tidak jelas (Gambar 3). Warna biru lebih terlihat pada rajungan jantan yang mendominasi hampir seluruh tubuh bagian dorsalnya terutama pada kaki dan capitnya. Rajungan betina memiliki warna karapas hijau kekuningan. Pada bagian ventral, tempat abdomen berada, warna tubuhnya putih baik pada jantan maupun betina.
13
Gambar 3 Bentuk dan ornamen karapas rajungan (Portunus pelagicus) jantan (atas) dan betina (bawah).
14
Tubuh bagian dorsoventral rata dan lebih lebar daripada panjangnya. Bentuk tubuh ini memungkinkan sebagian besar jenis crab termasuk rajungan dapat berjalan kesamping bahkan jenis rajungan dapat berenang dengan baik. Menurut Barnes (1987) jenis kepiting dari famili Portunidae memiliki kemampuan berenang paling baik jika dibandingkan krustacea lainnya meskipun termasuk organisme bentik.
Di bagian anterolateral terdapat duri-duri yang
berjumlah sembilan buah. Duri ke-9 merupakan duri terbesar yang terletak di sisi karapas. Seperti umumnya ordo decapoda rajungan memiliki 5 pasang kaki jalan (periopod), dan satu diantaranya berubah menjadi cheliped atau capit yang berfungsi menangkap mangsanya. Kaki jalan ke-5 dimodifikasi menjadi kaki pendayung yang berfungsi untuk berenang (Barnes,1987; Webber dan Thurman 1991) (Gambar 4). Pada Seksi Brachiura, uropoda biasanya tidak ada, abdomennya direduksi dan menempel dengan kuat di bawah torak atau dada (Hegner dan Engemann, 1970; Barnes,1987; Oemarjati dan Wardhana, 1990; Webber dan Thurman 1991). Tepat dibawah karapasnya terdapat beberapa organ penting seperti gonad, insang, kelenjar pencernaan dan jantung.
Gambar 4 Morfologi rajungan (Keterangan : 1.Carpus 2. Karapas 3.Propodus 4.Dactylus 5. Merus 6.Kaki renang 7. Coxa 8.Basis 9. Ischium 10.Abdomen 11.Thoracikc sterna 12.Capit 13.Maksilliped peraba 14.Maksilliped ke-3 15.Mata 16. Basi-ischium)
15
Menurut Nontji (2007) ada beberapa jenis rajungan yang biasa ditemui di Indonesia
seperti
rajungan
(Portunus
pelagicus),
rajungan
bintang
(Portunus sanguinolentus), rajungan angin (Podopthalmus vigil) dan rajungan karang (Charybdis feriatus) (Gambar 5). Rajungan bintang (P. sanguinolentus) dicirikan dengan terdapatnya tiga titik besar pada karapasnya. Ciri ini yang menjadi salah satu kunci identifikasinya (Lovett, 1981). Karena keberadaan tiga titik ini maka rajungan ini dalam literatur asing dikenal dengan sebutan three spot crab (Nicholson, et al, 2008; Rasheed dan Mustaquim, 2010). Ciri menonjol dari rajungan angin (Podopthalmus vigil) adalah ukuran tangkai matanya yang panjang hampir menyamai lebar karapasnya. Ukuran karapas relatif kecil jika dibandingkan jenis lainnya. Rajungan karang (Carybdis veriatus) mudah dikenali dari ornamen pada karapasnya yang menyerupai bentuk palang, dan warna karapasnya yang merah-kekuningan.
Gambar 5 Morfologi beberapa jenis rajungan.(A) Rajungan (Portunus pelagicus), (B) Rajungan Bintang/three spots crab (P. sanguinolentus), (C) Rajungan Angin (Podopthalmus vigil), (D) Rajungan Karang (Charybdis feriatus). 2.2 Distribusi dan Preferensi Habitat Rajungan Rajungan (Portunus pelagicus) memiliki penyebaran yang sangat luas. Rajungan dapat hidup pada perairan tropis maupun subtropis. Beberapa fakta
16
keberadaannya terbukti dari beberapa penelitian yang telah dilakukan. Beberapa Penelitian di daerah tropis telah dilakukan antara lain oleh
Sukumaran dan
Neelakantan (1996), Josileen dan Menon (2004) yang mengambil sampel di pantai India, Chande dan Mgaya (2004) dengan mengambil sampel di perairan Pantai
Dareel Salam Tanzania,, Batoy, et al. (1980) yang mengambil sampel di perairan Pilipina.
Klinbunga et al.(2004)
dan Oniam et al.(2010) di Thailand; dan
Parluhutan (2007) mendapatkan sampel rajungan di Laut Jawa; Adam et a.l (2006), dan Arshad et al. (2006) mengambil sampel di perairan Sulawesi. Efrizal (2006) mendapatkan sampel penelitiannya dari perairan Port Dickson Negara Sembilan Malaysia. Maheswarudu, et al. (2008) mengambil sampel di Perairan Palk Bay India. Sumiono dan Priyono (1989) melakukan survai rajungan dengan alat tangkap trawl di perairan Laut Jawa, Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Barat Sumatera dan Irian Jaya, bahkan Sumiono dan Priyono (1989) menemukan rajungan pada seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia. Penelitian pada daerah subtropis dilakukan antara lain oleh Smith (1982) di Australia Selatan, Sumpton et al. (1994) di Teluk Moreton Queensland Australia pada kordinat 27oLS dan 153oBT., de Lestang et al. (2000), Nalan Go¨ ko, et al. (2003) yang mengambil sampel rajungan di Teluk Antalya Turki. Foka (2004) menemukan rajungan di Rhode Islands. Svane dan Hooper (2004), de Lestang, et al. (2003b), Bellchambers dan de Lestang (2005) mengambil sampel rajungan di Estuari Peel-Harvey di barat daya Australia pada kordinat 32 o32’ LS dan 115o47’ BT,
Bryars dan Havenhand (2006), Xiao dan Kumar (2004)
mengambil sampel di Teluk Spencer dan Teluk St.Vincent Australia Selatan. McPherson dan Brown (2001) mengoleksi sampel penelitiannya dari estuari Hawkesbury River di utara Sydney. Yokes et al. (2007) menemukan spesies Portunus pelagicus di Teluk Gökova Bay di Laut Aegean sebelah Barat Turki pada kordinat 36°56'26" LU dan 28°11'29"BT. Berdasarkan
identifikasi
yang
dilakukan
oleh
Marine
Species
Identification Portal (2010) dan beberapa peneliti, species Portunus pelagicus memiliki lokasi jenis (type locality) di Ambon-Indonesia dan sebarannya sangat luas meliputi banyak lokasi (Tabel 2).
17
Tabel 2 Distribusi rajungan jenis Portunus pelagicus. Negara Uni Emirat Arab Pakistan Saudi Arabia Yaman Mesir Zanzibar Mozambique Afrika Selatan Madagaskar Oman
India
Wilayah Perairan Selat Hormus Abu Dhabi Laut Merah Teluk Aden Suez dan Massana
Inhambane, Beira Delagon Bay Durban Bay & Natal
Referensi Stephensen (1945)* Cooper (1997)* Chapgar (1957)* Klunzinger (1913)* Parisi (1916)* Kossmann (1877)* ,Parisi (1916)* Barnard (1950)* dan Barnard (1950)*
Teluk Persia Teluk Oman Bombay, Karwar, dan Okha Pantai Barat Daya India Palk Bay
Srilangka Thailand Malaysia
Jepang
Colombo Mergui Archipelago Selat Malaka Teluk Prachuap Port Dickson Kota Baru & Trengganu Selat Malaka Sarawak Teluk Tokyo & Kochi Nagasaki, Okinawa, Gottoretto Uwajima Shimoda Kamakura &Shimoda Teluk Sagami Okinawa-Jima&IriomoteJima Teluk Sagami-Selat Okinawa, Teluk Tsuruga & Yonago. Amakusa Yamagata Sungai Okukubi, Okinawa.
Barnard (1950)* Crosnier (1962)* Stephensen, (1945)*, Apel & Spridonov (1988)*Chapgar (1957)* Chapgar (1967)* ; Sukumaran & Neelakantan (1996) Maheswarudu et al. (2008), Josileen dan Menon (2004). Stephenson(1972)* Stephensen (1972)* Oniam, et al. (2010) Efrizal (2006) Lanchester (1902)* Stephensen (1972)* Ikhwanuddin dan Oakley (1999) Ortmann (1893)* Parisi (1916)* Yokoya (1933)* Sakai (1933)* Sakai (1933)* Sakai (1965)* Minei (1971)*
Sakai (1976)* Yamaguchi et al (1976)* Suzuki (1979)*
18
Ginowan Okinawa Korea
Sogwipo Cheju
Taiwan
China
Singapura
Philipina
Indonesia
Palau Papua Nugini Caledonia Baru
Australia
I-Lan, Lan-Yu, Kaohsiung, Peng-Ho. Chi-Lung, An-Ping & Hsiakunsen Provinsi Tai-tung Provinsi Tai-Nan Provinsi Kaoshiung Peng-Hu &Chi-Lung Pantai China Hongkong Ningbo,Liuwutien, Xiamen & Hainan Island Guangdong, Guangxi, Fujian & Zhejiang -
Shokita et al (1998)* Shokita et al (2000)* Kamita (1941)* Kim & Chang (1985)* Parisi (1916)* ; Sakai (1939)* Lin (1949)*
Huang & Yu (1997)* Stimpson (1907)* Shen (1934)* Shen (1940)*
Dai & Yang (1991)* Dana (1852)*, Nobili (1903)*, Shen (1937)*, Stephenseon (1972)*, Moosa (1981)* Batoy et al. (1980) Masbate Miers (1886)* Mindanao&Palawan Stephenson (1972)* Teluk Manila Moosa (1981)* Ambon&Kep.Noordwachter De Mann (1888)* Makassar Rathbun (1910)*; Adam, et al. (2006);Arshad et al. (2006). Lai et. al (2010). Padang, Lombok, Manado Stephenson (1972)* Kepulauan Kai Sumiono dan Priyono Laut Jawa (1998).Nontji (2007) Sunarto (2007); Parluhutan (2007); Stephenson (1972)* Stephenson (1972)* Noumea Stephenson (1972)*, Takeda & Nunomura (1976)* Double Island Point,Platypus bay (Queensland). Rathbun (1923)* Broome. Rathbun (1924)* Thursday Island-
19
Southport(Queensland), Coffs Harbour-Bateman’s Bay, Teluk Spencer (Australia Selatan), Cape Bossut, Roebuck Bay, Exmouth Gulf, Fremantle (Australia Barat), Port Essington, Darwin, Groote Island & Sir Edward Peelew Stephenson & Group ( Australia utara). Champbell (1959)* Teluk Moreton Smith (1982) Sumpton et al. (1994) Stephenson (1968)*, Chambell & Stephenson (1970)* Peel-Harvey Svane & Hooper (2004);de Lestang et al (2003b); Bellchamber & de Lestang (2005) Teluk Spencer Bryars & Havenhand (2004); Teluk St. Vincent Xiao& Kumar (2004). Port Haching (New South Wales) Griffin (1972)* Selandia Baru* Tahiti* Tanzania Turki
Dar El Salam Teluk Antalya
Chande &Mgaya (2004) de Lestang et al (2000): Nalan Go” ko. (2003). Teluk Gokova Yokes et al (2007) Rhode Island Foka et al. (2004) *Referensi diambil dari Marine Spesies Identification Portal (2010). Kailola et al. (1993) dalam Svane dan Hooper (2004) menyatakan bahwa distribusi rajungan tersebar sepanjang pinggir pantai perairan tropis dari bagian barat Samudera Hindia sampai bagian timur Samudera Pasifik. Sumiono dan Priyono (1989) menyatakan bahwa daerah penyebaran rajungan kurang lebih sama dengan daerah penyebaran udang penaeid yaitu di perairan pantai yang relatif dangkal sampai kedalaman 65 m. Rajungan mampu beradaptasi untuk hidup pada perairan yang lebih hangat. Pada kondisi yang lebih dingin, di bagian wilayah Australia beriklim sedang, siklus hidupnya berkembang sempurna untuk pertumbuhan dan reproduksi pada saat bulan-bulan lebih hangat dimana suhu perairan menyerupai kondisi di daerah tropis. Pada bulan-bulan lainnya rajungan
20
bertahan pada suhu yang relatif lebih dingin di lingkungan selatan Australia dengan mengurangi aktivitas. Menurut Razek (1988); Holtius
(1987) dalam
Nalan Go¨ ko, Dlua, dan Py´ nar Yerlikayaa (2003) spesies ini tersebar pada kedalaman 10-60 m di pantai Mediteranian dan Afrika. Menurut Moosa (1980) jenis kepiting dan rajungan di Indopasifik barat berjumlah mencapai 234 jenis. Sedangkan di Indonesia ada sekitar 124 jenis dan 4 diantaranya dapat dimakan. Menurut Dahuri (2003) terdapat lebih dari 1 502 spesies crustacea, 83 spesies diantaranya termasuk jenis udang dari suku Penaeidae dan 5 spesies dari kelompok kepiting atau rajungan. Rajungan hidup pada habitat yang bermacam-macam seperti pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, berpasir putih atau pasir lumpuran dengan rumput laut di pulau-pulau karang dan di laut terbuka. Menurut Nontji (2007), rajungan dewasa hidup di dasar perairan sedangkan stadia larva dan megalopa berenang terbawa arus dan hidup sebagai plankton. Habitat rajungan adalah perairan dengan dasar pasir berlumpur. Selain pada daerah dengan substrat pasir berlumpur beberapa jenis kepiting juga menempati daerah berbatu atau karang seperti jenis Charybdis feriatus yang biasa disebut rajungan karang. Menurut Kennish (1990) kepiting dari jenis Callinectes sapidus dan Uca pugilator menjadikan ekosistem salt marsh sebagai habitatnya. Berbagai jenis crab merupakan organisme yang hidup pada dasar perairan (bentik) (Barnes dan Hughes, 1992). Rajungan juga terdapat pada habitat lamun dan rumput laut yang tersebar luas dan pada substrat lumpur dan pasir dari zona intertidal sampai pada kedalaman mencapai 50 m (Williams, 1982; Edgar, 1990). Rajungan dewasa mampu menempuh jarak hampir 20 km per hari (Kangas, 2000). Baik dewasa maupun juvenil P. pelagicus menempati lingkungan dasar pantai yang terlindung dan betinanya bermigrasi ke laut lepas untuk memijah dan kembali ke estuari selama beberapa waktu setelah memijah. Baik jantan maupun betina bermigrasi dari estuari sebagai reaksi rendahnya salinitas (Potter et al.1983). Nybakken (1988) menyatakan bahwa blue crab dari spesies Callinectes sapidus yang dewasa menempati daerah estuari di sebelah timur Amerika dan teluk Chesapeake sementara betinanya bermigrasi ke perairan dengan salinitas
21
tinggi untuk menetaskan telurnya.
Setelah stadia larvanya terlewati rajungan
muda bermigrasi kembali ke daerah hulu estuari. Menurut Herrnkind (1983) rajungan dari Famili Portunidae ini menempati zona litoral pada perairan laut tropis maupun subtropis. Blue crab biasanya menempati daerah litoral pada saat air pasang untuk mencari makan, kawin, moulting dan akan kembali ke laut (offshore) ketika surut. Menurut de Lestang et al.(2003b) sejumlah besar Portunidae sering memasuki estuari sebagai juvenil dan tinggal di habitat ini untuk waktu yang panjang. Meskipun betina portunidae kadang-kadang ditemui di estuari namun beberapa individu keluar dari perairan itu (emigrasi) menuju perairan laut untuk melepas telur-telurnya. Sebaliknya individu-individu portunidae yang menempati pinggiran laut ini sering tidak meninggalkan lingkungan laut ini untuk memijah dan pada keadaan terdapat perbedaan salinitas, rajungan memijah pada daerah dengan salinitas tinggi pada daerah/sistem tersebut. Pada perairan pantai rajungan yang lebih kecil ditemukan pada perairan lebih dangkal sedangkan yang dewasa ditemukan pada perairan lebih dalam. Juvenil rajungan terdapat pada daerah mangrove dan hamparan lumpur (mud flat) selama 8 sampai 12 bulan hingga mencapai ukuran lebar karapas 80-100 mm. Di selatan Australia ada perbedaan pola pergerakan musiman rajungan dewasa menuju perairan lebih dangkal pada bulan-bulan lebih hangat yaitu September sampai April dan menuju perairan lebih dalam selama bulan-bulan dingin yaitu Mei sampai Agustus (Smith,1982). 2.2.1 Fraksi Substrat Rajungan merupakan organisme yang dalam kondisi tidak aktif membenamkan diri dalam substrat dasar perairan. Rajungan ditemukan pada berbagai fraksi substrat. Foka et al. (2004) menemukan rajungan pada substrat lumpur berpasir. Yokes et al. (2007) mendapatkan rajungan pada pantai berbatu (gravel beach) dan substrat pasir halus. Seperti halnya tanah, dasar perairan laut memiliki komposisi dan tekstur yang berbeda-beda pada setiap lokasi. Umumnya substrat perairan terdiri dari tiga fraksi utama yaitu pasir, lumpur dan liat.
22
Menurut Purohit dan Ranjan (2003), ada beberapa kelompok tekstur berdasarkan persentase komposisi pasir (sand), lumpur (silt) dan liat (clay) (Tabel 3). Tabel 3 Klasifikasi tekstur berdasarkan kandungan pasir, lumpur dan liat (%). Kelompok Tekstur
Pasir
Lumpur
Liat
Pasir
80-100
0-20
0-20
Lempung Berpasir
50-80
0-50
0-20
Lempung
30-50
30-50
0-20
Lempung Berlumpur
0-50
50-100
0-20
Lempung Liat Berpasir
50-80
0-30
20-30
Lempung Liat Berlumpur
0-30
50-80
20-30
Lempung Liat
20-50
20-50
20-30
Liat Berpasir
50-70
0-20
30-50
Liat Berlumpur
0-20
50-70
30-50
Liat
0-50
0-50
30-100
Umumnya perairan yang dekat dengan daratan memiliki substrat dengan ukuran partikel yang lebih besar dibandingkan dengan perairan yang lebih jauh dari daratan. Partikel-partikel sedimen yang lebih besar dan lebih berat akan lebih cepat mengendap sedangkan partikel yang lebih kecil akan lebih lama mengendap dan terbawa arus menjauhi daratan. Pergerakan masa air yang lebih dinamis di estuari mengakibatkan partikel sedimen yang kecil cenderung terbawa lebih jauh dari daerah tersebut sehingga pada daerah estuari umumnya memiliki partikel dasar relatif lebih besar. 2.2.2 Suhu Suhu mampu mengendalikan faktor fisika di perairan laut seperti arus, gelombang dan densitas. Perbedaan temparatur antara satu tempat dengan tempat lainnya baik secara vertikal maupun horizontal mampu menimbulkan arus atau pergerakan massa air. Suhu juga dapat mengendalikan keberadaan unsur kimia yang terlarut dalam air seperti oksigen, salinitas, dan karbon. Semakin tinggi suhu maka akan semakin rendah kandungan oksigennya. Pada umumnya air laut
23
memiliki salinitas semakin besar dengan berkurangnya suhu. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Peningkatan suhu dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas seperti gas-gas O2, CO2, N2 dan CH4. Kondisi biologi laut juga sangat dipengaruhi oleh kondisi suhu perairan seperti proses metabolisme, reproduksi, migrasi dan distribusi. Suhu air merupakan faktor penting dalam kehidupan organisme laut. Perubahan suhu lingkungan dapat mengakibatkan perubahan laju metabolisme. Peranan suhu sangat menonjol dalam metabolisme organisme laut. Hampir semua organisme laut kecuali burung-burung dan mamalia laut bersifat poikilithermik atau ektotermik yang berarti suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu massa air sekitarnya. Pada umumnya organisme yang tidak dapat mengatur suhu tubuhnya, proses metabolismenya meningkat dua kali untuk tiap peningkatan suhu sebesar 10oC (Nybakken, 1988). Proses metabolisme hanya berlangsung dalam kisaran suhu yang relatif sempit, biasanya antara 0-40oC walaupun ada yang mentoleransi di luar kisaran tersebut (Nybakken,1988). Di dalam kisaran suhu dimana proses-proses kehidupan berlangsung, metabolisme bergantung pada suhu. Pada beberapa kasus perubahan suhu berfungsi sebagai faktor pertanda suatu rangsangan alami yang menentukan dimulainya beberapa proses seperti pemijahan, migrasi dan sebagainya. Kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air memperlihatkan peningkatan dengan naiknya suhu yang selanjutnya dapat meningkatkan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10oC dapat meningkatkan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat (Effendi, 2000; Nybakken, 1988; McLarent 1966 dalam Parsons et al. 1984). Variasi harian suhu di permukaan laut jarang melebihi 2o atau 3oC meskipun dapat mencapai 2o atau 3oC di perairan pantai yang dangkal. Variasi suhu musiman juga sangat kecil berkisar dari 2 oC di ekuator sampai 8 oC pada lintang 35o sampai 45o dan semakin kecil variasi suhunya ke arah lintang yang lebih tinggi. Variasi musiman di perairan pantai yang dangkal dapat mencapai 15oC. Variasi harian 0.3oC pada perairan laut terbuka dan 2-3oC pada perairan dangkal (Millero dan Sohn,1992).
24
Fakta-fakta tentang luasnya sebaran rajungan baik di daerah tropis maupun subtropis telah mebuktikan bahwa rajungan termasuk organisme eurytermal yang dapat beradaptasi pada rentang suhu yang sangat besar. Suhu merupakan faktor penting dalam distribusi, aktifitas dan pergerakan rajungan. Di bagian barat daya Australia pada musim panas rajungan dapat ditangkap dengan mudah karena rajungan aktif tetapi pada musim dingin rajungan tidak aktif (Kangas,2000). Meagher (1971) dalam Kangas (2000) menemukan selama penelitian di laboratorium bahwa rajungan tidak aktif pada suhu di bawah 13oC, sementara jantan lebih aktif dari betina pada suhu antara 13oC dan 21oC. Meskipun tidak aktif pada suhu kurang dari 14oC namun kecepatan pergerakannya tidak terganggu apabila secara buatan dibangkitkan pada suhu lebih dari 9 oC. Pergerakan rajungan dapat terjadi pada musim dingin dari perairan lebih dangkal (lebih dingin) ke perairan lebih dalam. Terdapat penurunan jumlah rajungan di estuari barat-daya Australia selama musim dingin ketika salinitas dan suhu perairan menurun pada tingkat terendahnya yaitu dibawah 25 ppt dan 10 oC. Di Laboratorium Smith dan Sumpton (1989) menunjukkan bahwa aktivitas rajungan menurun ketika suhu air turun di bawah 20oC. 2.2.3 Salinitas Toleransi organisme terhadap perubahan salinitas berbeda-beda. Setiap organisme memiliki salinitas optimum untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Pada siklus hidupnya, rajungan melakukan migrasi dari daerah yang memiliki salinitas relatif rendah seperti di estuari menuju perairan lebih dalam dengan salinitas lebih tinggi dan sebaliknya.
Hal ini menunjukkan bahwa
rajungan memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan salinitas. Semula salinitas didefinisikan sebagai total jumlah bahan terlarut dalam satu kilogram air laut. Definisi ini tidak tepat karena pada prakteknya bahan terlarut hampir tidak mungkin dapat diukur terutama gas yang mudah menguap. Air laut juga tidak dapat diuapkan sampai kering karena klorida akan hilang pada tahap akhir pengeringan (Stewart, 2002). Dewan Eksplorasi Laut Internasional (International Council for the Exploration of the Sea) membentuk suatu komisi pada tahun 1889 untuk menghindari kesulitan ini dan merekomendasikan bahwa
25
salinitas didefinisikan sebagai
total jumlah material padat dalam gram yang
terlarut dalam satu kilogram air laut ketika semua karbonat telah dikonversi menjadi oksida, brom dan iod diganti dengan klorine dan seluruh bahan organik telah teroksidasi secara penuh.
Definisi ini dipublikasikan pada tahun 1902
(Stewart, 2002). Biasanya satuan salinitas adalah ppt atau part per thousand (Pond dan Pickard,1989; Barnabe dan Barnabe-Quet, 2000; Stewart, 2002) atau psu (practical salinity units) (Stewart, 2002). Air laut memiliki salinitas 38 ppt artinya dalam satu liter air laut terkandung komponen garam sebesar 38 gram (Nybakken, 1988; Stewart, 2002). Menurut Stewart (2002) kisaran salinitas sebagian besar air laut antara 34.6 sampai 34.8 ppt.
2.2.4 Derajat keasaman (pH) Nilai pH menggambarkan konsentrasi ion-ion hydrogen; pH = - log 10 +
[H ]. Nilai pH menunjukkan keasaman dan alkalinitas air, dengan skala dari 014. Pada skala antara 0-7 air menunjukkan asam, pada skala 7 air netral dan pada skala di atas 7 menunjukkan air bersifat basa (alkalin) (Charton dan Tietjen, 1988). Nilai pH air laut bervariasi antara 7.9 dan 8.3 bergantung wilayahnya (Barnabe dan Barnabe-Quet, 2000). Kimia lingkungan sangat dipengaruhi oleh pH, sebagai contoh keseimbangan antara NH4+ dan NH3 dalam air dipindahkan menjadi bentuk NH3 yang sangat toksik bagi organism air ketika pH meningkat. Organisme air memiliki kisaran pH optimum untuk mempertahankan hidupnya. Air yang tidak toksik pada pH 6.7 dapat membunuh hewan-hewan pada pH 8. Keseimbangan pH bergantung pada interaksi-interaksi yang lain, terutama pada sistem CO2-Karbonat dan pH mengatur kekayaan karbonat air. 2.2.5 Kedalaman Kedalaman berhubungan erat dengan sifat-sifat perairan. Beberapa sifat kimia dan fisika air berubah sesuai dengan kedalaman. Suhu umumnya menurun sejalan dengan penambahan kedalaman, sebaliknya kelarutan oksigen meningkat dengan penambahan kedalaman (Millero dan Sohn 1992). Kedalaman berkaitan erat dengan distribusi dan migrasi rajungan. Pada umumnya rajungan bermigrasi ke arah laut yang lebih dalam ketika akan melakukan pemijahan. Hal ini
26
mengindikasikan bahwa terdapat preferensi rajungan terhadap kedalaman. Rajungan ditemukan pada kedalaman hingga 60 m (Razek ,1988); Holtius (1987) dalam Nalan Go¨ ko, et al. (2003) menyatakan bahwa spesies ini tersebar pada kedalaman 10-60 m di pantai Mediteranian dan Afrika. Rajungan juga terdapat pada zona intertidal sampai pada kedalaman mencapai 50 m (Williams, 1982; Edgar, 1990). Foka et al (2004), menemukan rajungan pada kedalaman 2 m. Yokes et al.(2007) menemukan rajungan pada kedalaman 0.5 m. 2.2.6 Bahan Organik Keberadaan bahan organik sangat penting bagi kehidupan rajungan. Rajungan merupakan organisme bentik yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan bahan organik. Sumber bahan organik bisa berasal dari perairan itu sendiri (autochthonous) maupun disuplai dari ekosistem lain (allochthonous). Bahanbahan organik di air hadir dalam bentuk makluk hidup dan sisa-sisa organisme (bangkai, humus, debris dan detritus) baik dalam ukuran partikel besar, kecil dan terlarut. Bahan organik dalam bentuk partikel biasanya dikenal dengan istilah POM (particulate organic matter) sedangkan yang terlarut dikenal dengan DOM (dissolved organic matter) (Parsons et al. 1984: Mc. Naughton dan Walf,1990). Particulate organic matter (POM) yang berasal dari lapisan euphotic merupakan sumber makanan utama bagi organisme bentik. Kecepatan tenggelam partikel bergantung pada asal, komposisi dan ukuran partikel. Ketika tenggelam melewati lapisan air, partikel-partikel tersebut dirubah melaui proses grazing, degradasi mikrobial dan proses-proses kimiawi. Proses-proses ini mempengaruhi nilai nutrisi partikel-partikel tersebut yang umumnya menurun selama proses tenggelam (Boetius dan Lochte, 1994). Partikel-partikel besar umumnya dimakan oleh hewan-hewan besar seperti ikan, crustacean (termasuk rajungan), moluska dan sebagainya, sedangkan hewanhewan filter feeder memakan partikel-partikel berukuran kecil.
Dekomposer
seperti bakteri memanfaatkan bahan organik dalam bentuk terlarut. Penelitian de Lestang et al. (2000) menemukan isi perut rajungan berisi bahan-bahan cangkang kekerangan dan polichaeta, yang merupakan organisme
27
dasar yang memakan sisa-sisa organisme berupa bangkai, humus , debris dan detritus. 2.3 Siklus Hidup Rajungan Secara umum siklus hidup rajungan melalui beberapa fase yaitu telur, zoea, megalopa, rajungan muda dan rajungan dewasa (Gambar 6). Larva rajungan yang baru menetas disebut zoea dan memiliki bentuk berbeda dari rajungan dewasa. Zoea memiliki ukuran mikroskopik dan bergerak di dalam air sesuai dengan pergerakan arus air. Setelah 6 atau 7 kali moulting, zoea berubah menjadi bentuk post-larva yang dikenal sebagai megalopa yang memiliki bentuk mirip rajungan dewasa. Sebagian besar megalopa bersifat planktonis dan dipengaruhi oleh sirkulasi arus di dasar perairan hingga akhirnya menetap (settle) dan bermetamorfosis menjadi rajungan muda. Siklus hidup P. pelagicus tersusun atas lima tingkat larva yang dilalui selama 26-45 hari (Kangas, 2000). Menurut Romano dan Zeng (2007), tahap juvenil meliputi tingkat crab I-VII. Crab I didefinisikan sebagai moulting pertama dari tahap larva megalopa sampai tahap crab I. Lama perkembangan dari Crab I sampai Crab VII mendekati 40 hari. Menurut Juwana dan Romimohtarto (2000) terdapat empat fase zoea dan satu fase megalopa selama perkembangan larva rajungan. Perkembangan zoea I menjadi zoea II membutuhkan waktu dua sampai tiga hari.
Perkembangan dari zoea II, zoea III dan Zoea IV masing-masing
membutuhkan waktu 2 hari. Setelah fase zoea terlewati maka rajungan memasuki fase megalopa dan selanjutnya menjadi crab I sampai crab IV yang masingmasing fasenya berselang sekitar lima sampai 10 hari dan kemudian menjadi rajungan muda (young crab). Rajungan dapat mencapai kematangan atau menjadi dewasa dalam 12 sampai 18 bulan. Umur rajungan betina dapat mencapai 2 tahun sedangkan jantan mencapai 3 tahun. Menurut Arshad et al. (2006) siklus hidup rajungan dilalui melalui fase zoea, megalopa dan instar I. Terdapat empat fase zoea, satu fase megalopa dan satu fase Instar I yang dilalui selama 14-19 hari. Fase zoea I dan II dilalui masing-masing selama 3-4 hari, Fase zoea III dan IV dilalui masing-masing selama 2-3 hari, fase megalopa dilalui selama 3-4 hari. Setelah fase megalopa, rajungan bermetamorfosa menjadi fase instar pertama.
28
Menurut Charnmantier-Daures dan Charnmantier (1991) secara umum jumlah fase zoea pada portunidae bervariasi antara 4-7.
Gambar 6 Siklus hidup rajungan dan habitatnya. (Sumber : Nyabakken dan Bertness, 2004). Jantan dan betina umumnya mencapai kematangan kelamin pada ukuran lebar karapas 70-90 mm, ketika umurnya mendekati satu tahun. Jantan dan betina akan membentuk pre-korpula selama 8-10 hari sebelum ecdysis betina. Setelah ecdysis betina, ketika betina memiliki cangkang yang lunak terjadi kopulasi selama 6–8 jam (Meagher, 1971). Musim pemijahan dilewati selama 3-4 bulan melewati periode musim panas/gugur. Durasi musim pertumbuhan bervariasi antar individu, karena rajungan yang menempati (settling) pada awal musim panas akan memiliki waktu pertumbuhan lebih lama dibandingkan yang menempati pada pertengahan atau akhir musim panas. Di perairan Australia Selatan rajungan mencapai ukuran legal minimal (110 mm) pada umur mendekati 14-18 bulan, telah matang kelamin dan betina telah memproduksi paling tidak dua kantong telur dalam satu musim (Kumar et al. 2003) Telur-telur yang bersifat planktonis menetas antara tengah malam sampai pagi setelah sekitar 15 hari pada suhu 24 oC. Selama fase larva rajungan dapat terhanyut sejauh 80 km ke laut sebelum kembali menetap pada perairan dangkal di perairan dekat pantai. Rajungan baru dapat menetap (settle) pada ukuran lebar
29
karapas sekitar 15 mm.
Juvenilnya bergerak ke perairan lebih dalam untuk
tumbuh dan matang. Juvenil umur satu tahun bergerak keluar dari estuari pada musim dingin di inlet Peel-Harvey di dekat Mandurah bagian barat Australia dan menuju perairan lebih dalam pada musim panas di Selatan Queensland. Rajungan jantan yang matang melepaskan cangkangnya (moulting) beberapa minggu sebelum periode moulting betina. Rajungan jantan membawa seekor betina yang dijepit dibawahnya selama 4 sampai 10 hari sebelum betina moulting. Ketika rajungan jantan menjepit rajungan betina ini disebut sebagai ”berpasangan” atau coupling. Perkawinan terjadi setelah betina moulting dan ketika cangkangnya masih lunak.
Sperma disimpan secara internal dalam
spermatheca tetapi pembuahan terjadi secara eksternal. Telur-telur yang telah dibuahi diletakkan dalam bagian abdomennya dan memiliki bentuk seperti busa atau sponge. Rajungan betina yang menggendong telur-telurnya yang telah dibuahi diistilahkan dengan sponge crab. Edwards (1979) dan Kumar et al. (2003) mengistilahkannya dengan berried female. Sumpton et al. (1994) menyebutnya ovigerous female. Telur pada ovigerous female yang masih muda berwarna oranye dan secara bertahap berubah menjadi coklat dan hitam. Rajungan jantan dapat kawin dengan sejumlah betina pada saat musimnya. Rajungan betina dapat mengerami sampai 2 juta telur per kantongnya. Pemijahan rajungan terjadi sepanjang tahun baik di perairan tropis maupun sub tropis meskipun betina lebih sering memijah pada musim kering di perairan tropis dan dimusim semi di perairan sub tropis. Jenis kelamin rajungan dapat dikenali dari ukuran, warna karapas dan bentuk sisi abdomennya. Rajungan betina umumnya memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil dibandingkan jantan (Xiao dan Kumar, 2004; Sunarto, 2007). Karapasnya berwarna hijau kecoklatan dengan ornamen berupa titik-titik putih kotor.
Rajungan jantan memiliki karapas dengan warna dasar biru dengan
ornamen titik-titik putih. Selain dari bentuk dan warna karapas, jenis kelamin betina sangat mudah dibedakan dari bentuk abdomennya.
Menurut Edwards
(1979) dan de Lestang et al. (2003b), rajungan betina memiliki bentuk penutup abdomen yang lebar dengan bentuk menyerupai kubah sedangkan rajungan jantan memiliki bentuk sempit, memanjang dan meruncing pada ujungnya.
Pada