4
2 TINJAUAN PUSTAKA Kepiting Bakau Kualifikasi Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae, yang terdiri atas enam subfamili yaitu : Carcininae, Polybiinae, Caphyrinae, Catoptrinae, Podophthalminae, dan Portuninae. Dinamakan kepiting bakau karena banyak ditemukan di wilayah hutan mangrove. Meskipun demikian, kepiting bakau memiliki nama lokal yang beragam. Masyarakat di wilayah jawa mengenalnya dengan nama kepiting, di Maluku tengah di kenal sebagai ketang nene, sedangkan di sebagaian Sumatera dikenal dengan nama ketam batu, kepiting cina, atau kepiting. Estampador (1949a) membagi genus Scylla.atas tiga jenis dan satu varietas, yaitu : S. serrata (Forskal), S. oceanic (Dana), S. tranqueberica (Fabricius) dan S. serrata var. paramamosain (Estampador). Seiiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan metode Allozyme electrophoresis dan Mitocondria DNA. Keenan et al. (1988) menyatakan bahwa kepiting bakau kepiting bakau terdiri atas empat jenis yaitu :S.serrata, S. tranquebarica, S. Paramamosain, dan S. olivacea. Taksonomi dan Morfologi Secara umum, ciri dari jenis-jenis organisme yang tergolong dalam famili Portunidae adalah : Karapas pipih agak cembung, berbentuk heksagonal atau agak persegi, bentuk umum adalah bulat bertelur memanjang atau berbentuk kebulat-bulatan, Karapas umumnya berbentuk lebih besar dari pada panjangnya dengan permukaan yang tidak selalu jelas pembagiannya; tetapi antero-lateral Karapas berduri lima (jarang kurang dari lima kecuali pada subfamili Podophthalminae) sampai sembilan buah; dahi lebar, secara terpisah dengan jelas dari sudut supraorbital dan memiliki jumlah duri dua sampai enam buah; antenna (antenullae) kecil, terletak melintang atau menyerong; pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung, terutama pada dua ruas (ada beberapa genus yang berkaki tidak berbentuk demikian) (Moosa 1981). Untuk membedakan keempat jenis dari genus Scylla, Estampador (1949b) merpergunakan warna sebagai salah satu faktor pembeda utama, walapun menurut Warner (1977), identifikasi jenis berdasarkan warna tubuh saja mungkin akan keliru, karena kondisi setempat seperti cahaya, panas, dan warna latar belakang habitat tempat kepiting bakau hidup, dapat berdampak terhadap disperse pigmen pada tubuh kepiting bakau. S.olivacea dan S. tranquebarica mempunyai warna dasar kehijauan atau hijau keabu-abuan, atau disebut juga warna hijau buah zaitun, sedangkan S.serrata dan S. paramamosain mempunyai dasar hijau merah kecoklatan atau coklat keabu-abuan sampai abu-abu. Estampador (1949a) mengkaji juga beberapa perbedaan morfologis untuk membedakan keempat jenis dari genus S.seperti : sumber pembuat warna, bentuk H pada Karapas, bentuk duri pada dahi Karapas, bentuk duri pada fingerjoint dan bentuk rambut/ setae.
5
Habitat Substrat Tekstur substrat disekitar hutan mangrove umumnya terdiri dari lumpur dan tanah liat. Hal ini sangat memungkinkan karena partikel lumpur atau tanah liat dapat mengendap dengan cepat karena air disekitarnya relatif tenang (Clough et al. 1983). Gerakan air yang lamban ini akan menyebabkan partikel sedimen yang halus cenderung mengendap dan berkumpul di dasar sehingga menghasilkan kumpulan lumpur yang halus. Substrat yang halus banyak mengandung serasah dan bahan organik yang dihasilkan dari daun-daun mangrove yang jatuh ke lumpur sekitar pohon mangrove yang terdekompisisi oleh bakteri, sehingga serasah pada substrat tersebut sangat mendukung bagi makanan organisme tertentu, yaitu organisme pemakan detritus dari kelompok Gastropoda (Ellobiidae dan Potamididae). Gastropda diketahui merupakan salah satu makanan alami kepiting bakau. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Opnai (1986), yang menyatakan bahwa 89% isi lambung kepiting bakau adalah bivalvia, gastropoda, dan moluska lainnya. Dengan demikian dalam kaitannya dengan kehidupan dan distribusi kepiting bakau, kandungan substrat dasar perairan hutan mangrove merupakan faktor pendukung penting, karena mempengaruhi kehidupan dan distribusi moluska yang merupakan makanan alami kepiting bakau. Kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap perairan zona intertidal dan sering membenamkan diri dalam substrat lumpur atau menggali lubang pada substrat yang lunak (Quensland Department of Primary Industries, 1989a; Hutching & Seanger, 1987), sedangkan Pagcatipunan (1972) melaporkan bahwa kepiting bakau sebelum melakukan pergantian kulit (moulting) akan masuk ke dalam lubang hingga Karapasnya mengeras. Makanan Kepiting bakau pada fase megalopa bersifat karnivora, dan setelah dewasa bersifat omnivorous scavenger dan pemakan sesama jenis (cannibal) . Menurut Pagctipunan (1972); Hill (1976); Hutching & Seanger (1987) bahwa kepiting bakau dewasa juga merupakan pemakan organisme bentos atau organisme yang bergerak lambat seperti bivalvia, kepiting kecil, kumang, cacing, jenis-jenis gastropda dan krustase. Hutching & Seanger (1987) menyatakan bahwa kepiting bakau hidup disekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya (pneumatophore). Perairan disekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah cukup tersedia. Pendapat ini didukung oleh Snedaker & Getter (1985) serta Moosa et al. (1985) yang menyatakan bahwa kepiting bakau merupakan organisme bentik pemakan serasah dimana habitatnya adalah perairan intertidal yang bersubstrat lumpur. Menurut Karsy (1996) bahwa kepiting yang akan makan dengan cara menyerang musuhnya dengan menangkap menggunakan capit (chela), selanjutnya merobe-robek makanannya. Sobekan-sobekan makanan tersebut akan dibawa ke mulut dengan bantuan kedua capitnya. Waktu makan kepiting bakau tidak teratur, tetapi umumnya lebih aktif di malam hari daripada siang hari, sehingga kepiting bakau tergolong sebagai hewan nokturnal, yang aktif di
6
malam hari (Queensland Department of Primary Industries, 1989b). Hal ini senada yang dikemukan oleh Hill (1976) bahwa kepiting bakau aktif mencari makan pada malam hari terutama pada periode bulan gelap. Aktivitas mencari makan dilakukan lebih satu kali dalam semalam. Hal ini terbukti dari frekuensi pengisian lambung kepiting bakau yang dapat berlangsung beberapa kali Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pengaturan proses kehidupan dan distribusi organism. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dan permukaan laut (altitude), waktu dalam satu hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman dari badan air tersebut. Hill et al. (1989); Queensland Departement of Primary Industries (1989a) menyatakan bahwa suhu air dapat mempengaruhi pertumbuhan, aktivitas dan nafsu makan, namun suhu air yang rendah di bawah 200C akan mengakibatkan aktfitas dan nafsu makan kepiting bakau menurun secara drastis. Pada saat itu pertumbuhan akan terhenti walaupun kepiting masih tetap hidup. Di perairan hutan mangrove Segara Anakan, kepiting bakau ditemukan pada perairan dengan kisaran suhu 28,8oC – 360C (Wahyuni & Sunaryo, 1981), sedangkan di perairan Laguna Segara Anakan, kepiting bakau ditemukan pada kisaran suhu 13-400C (Sulistiono et al., 1994). Toro (1987) menjumpai kepiting bakau pada perairan dengan kisaran suhu air 27.6-30.50C. Salinitas Keberadaan salinitas akan mempengaruhi keseimbangan cairan, koefesien penyerapan, tekanan osmosis dan viskositas. Menurut Mardjono et al.(1994) mengungkapkan perubahan salinitas akan mempengaruhi sifat fungsional dan struktur organisme. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas, maka kepiting bakauakan mengubah konsentrasi cairan tubuhnya sesuai dengan lingkungan melalui proses osmosis dan difusi. Nybakken (1992) menyatakan bahwa kepiting memiliki pengaturan osmosis yang berkembang dengan baik. Keberhasilan kepiting hidup di daerah estuaria disebabkan oleh kemampuan permeabilitas organ tubuh bagian kerangka luar terhadap pengaturan konsentrasi ion cairan tubuhnya.Pada dasarnya osmoregulasi (pengaturan osmosis) terjadi melalui pengeluaran air oleh organ ekskretod disertai dengan pengambilan ion dari lingkungan untuk mengimbangi kehilangan ion yang tidak dapat dihindari pada saat pengeluaran air. Secara umum kisaran salinitas yang dapat ditolerir oleh kepiting bakau cukup luas. Karsy (1996) melaporkan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15 ppt sampai lebih besar dari 30 ppt, sedangkan Wahyuni & Ismail (1987) menjumpai kepiting bakau dewasa di perairan mangrove Muara Dua Segara Anakan pada kisaran salinitas 2 – 34 ppt. Kedalaman Air Kedalam air biasanya terjadi karena keadaan pasang surut, dimana hal ini mempengaruhi terhadap perkawinan. Namun demikian kepiting bakau juga dapat hidup pada perairan yang dangkal. Wahyuni & Ismail (1987) mendapatkan
7
kepiting bakau pada kedalaman 30 – 79 cm di perairan dekat hutan mangrove, dan kedalaman 30 – 125 cm di muara sungai. Larva kepiting bakau yang berasal dari perairan laut banyak ditemukan di sekitar wilayah estuaria pada kedalaman 50 – 125 cm danpadahutan mangrove pada kedalaman < 30 cm dikarenakan terbawa oleh arus pada saat pasang. Larva-larva tersebut selanjutnya akan menempel pada akar-akar mangrove untuk berlindung. Hutching & Seanger (1987) menyatakan bahwa kepiting bakau tahap juvenil mengikuti pasang tertinggi di zona intertidal untuk mencari makanan kemudian kembali ke zona subtidal pada saat surut. pH. pH merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen. pH juga menunjukan tingkat keasaman air yang dihitung berdasarkan nilai konsentrasi ion H+. Bila ion H+ dalam air makin banyak, maka pH makin rendah dan perairan bersifat asam dan sebaliknya. Menurut Effendie (2002) menyatakan bahwa Nilai pH dapat mempengaruhi aktifitas biokimiawi, perubahan dalam sifat kimia alami perairan dan pencemaran. Pada perairan alami perubahan PH yang tinggi ke pH yang rendah dapat disangga oleh unsur kalsium yang terdapat dalam air.Sifat tanah dasar dan kandungan karbondioksida dalam air merupakan penyebab perubahan pH dalam sutau perairan. Berdasarkan hasil penelitian Sudiarta (1988), dikatakan bahwa pada perairan mangrove Segara Anakan, Kepiting Bakau ditemukan pada kisaran pH 6.16-7.50, sedangkan di pertambakan Muara Kamal, kepiting bakau ditemukan pada kisaran pH 7.0-8.0 (Retnowati, 1991). Mangrove Mangrove merupakan komunitas pohon atau semak belukar yang ditumbuh di wilayah pesisir intertidal maupun untuk individu jenis tumbuhan lainnya yang berasosiasi dengan mangrove. Sedangkan hutan mangrove merupakan suatu ekosistem penghubung antara daratan dan lautan yang meliputi populasi tumbuhan, hewan dan jasad renik serta lingkungan fisiknya, diikat oleh berbagai proses internal dan didalamnya terjadi proses pertukaran dan asimilasi energi. Proses internal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal seperti ketersediaan air, ketersediaan zat hara yang ditentukan oleh beberapa komponen yang saling berinteraksi. Nybakken (1992) menyatakan bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi komunitas hutan mangrove antara lain adalah salinitas, suhu, pH, arus, kekeruhan, dan substrat. Perairan disekitar hutan mangrove memiliki produktivitas tinggi, hal ini terkait dengan serasah mangrove yang berada di perairan sekitarnya baik berupa serasah maupun serasah yang terurai. Serasah mangrove akan dimanfaatkan oleh protozoa dan bakteri yang selanjutnya akan diuraikan sebagai bahan organik dan kemudian akan menjadi sumber energi bagi biota yang hidup diperairan. Makrofauna dan mikroorganisme dipandang sebagai komponen penting dalam proses dekomposisi. Disamping peranannya sebagai pengurai serasah, mikroorganisme yang di ekspor ke perairan sekitarnya juga akan berperan didalam rantai makanan. Menurut Bengen (2001) menyatakan bahwa Jenis-jenis tumbuhan mangrove yang hidup dari pantai sampai ke arah daratan adalah bakau bandul
8
(Rhizophora mucronata), Api-api (Avicenia marina), bogem (Sonneratia alba), nyirih (Xylocarpus moluccensis), tancang (Bruguiera gymnorrhiza), dan nipah (Nypa fructicans). Interaksi jenis-jenis mangrove tersebut dengan lingkungannya mampu menciptakan kondisi yang sesuai bagi berlangsungnya proses biologi beberapa organisme akuatik, seperti pemijahan dan daerah asuhan. Daerah perairan sekitar hutan mangrove diduga memberikan tempat berlangsungnya proses biologi biota laut apabila lingkungannya relatif stabil dan tidak terlalu berfluktuatif, tergenang pada periode dan kedalaman tertentu, serta tersedia makanan bagi larva ikan, kepiting dan udang. Kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap mangrove, dan sering ditemukan membenamkan diri dalam substrat lumpur, atau menggali lubang pada substrat lunak sebagai tempat persembunyian (Qensland Department of Industries 1989a). Lebih lanjut Pagcatipunan (1972), menyatakan bahwa setelah mengganti kulit (moulting), kepiting bakau akan melinduingi dirinya dengan cara membenamkan diri, atau besembunyi dalam lubang sampai karapasnya mengeras. Hutcing & Seanger (1987), menyatakan bahwa kepiting bakau hidup di sekitar hutan mangrove, dan memakan akar-akarnya (pneumatophore). Sementara Hill (1982), menyatakan bahwa perairan disekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau, karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah cukup tersedia. Hari Bulan dan Pasang Surut Serta Pengaruhnya Terhadap Fauna Laut Hari bulan adalah usia bulan yang dihitung sejakbulan gelap hingga bulan gelap berikutnya,biasanya dibagi menjadi empat kuadran. Kuadran adalah sejak gelap pertama sampai dengan bulan berbentuk setengah purnama. Kuadran II adalah sejak setengah pumama sampaibulan bulat penuh (purnama). Kuadran III adalah sejak bulan bulat penuh (purnama) sampai berbentuk setengah pumama kedua. Kuadran IV adalah sejak bulan berbentuk setengah purnama kedua sampai bulan gelap kembali. Perbedaan tampilan tersebut disebabkan posisi relatif bulan terhadap matahari. Lama tiap periode rata-rata tujuh hari, satu bulan terdiri atas 28 hari atau 29 hari (terkadang 30 hari). Kedudukan relatif bulan terhadap matahari tersebut menimbulkan pasang surut atau perubahan tinggi permukaan perairan di bumi (Sirait, 1997). Disamping naik turunnya permukaan air laut akibat kedudukan bulan, kedudukan bulan dapat pula menyebabkan pencahayaan alami pada malam hari yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan perairan. Pada saat bulan purnama, kolom perairan lapisan atas menjadi relative tenang. Keadaan ini dimanfaatkan oleh fauna yang aktif di malam hari yang mengandalkan indera penglihatan untuk mencari makan, melakukan pemijahan dan ruaya. Pasca saat periode bulan gelap, aktivitas fauna-fauna tersebut berbeda. Selain faktor cahaya, faktor lain yang cukup berpengaruh pada fauna perairan dangkal adalah faktor arus. Pada saat pasang naik,fauna laut dapat bergerak ke perairan yang lebih dangkal yakniyang dekat dengan garis pantai. Sebagian fauna akan beruaya ke pantai mencari makan memanfatkan fauna-fauna lain di dasar perairan yang tidak terendam air secara berkala. Sebagian ikan yang beruaya masuk ke muaramuara sungai jauh ke pedalaman. Pada saat surut sebaliknya, fauna umumnya akan menjauhi pantai garis.
9
Pada saat puncak periode bulan gelap dan bulan terang (purnama) jarak bulan terhadap bumi minimum, Sehingga biasanya akan terjadi pasang penuh yang mengakibatkan arus pasang surut yang kuat. Perubahan kondisi permukaan laut ini dapat berpengaruh nyata terhadap hasil tangkap harian, contohnya rajungan. Pada waktu bulan gelap, rajungan tidak aktif mencari makan, sedangkan pada periode bulan terang aktivitas rajungan meningkat. Susilo (1992) menyarankan penangkapan rajungan sebaiknya dilaksanakan pada saat periode bulan sabit pertama, periode bulan terang, dan periode bulan setengah pumama kedua. Keadaan pencahayaan bulan berpengaruh terhadap ikan hasil tangkapan nelayan (Sutowo, 1984). Untuk mengoperasikan alat tangkapikan yang menggunakan cahaya sebagai pemikat untuk mengumpulkan ikan, periode bulan yang paling produktif adalah saat bulan gelap dan periode bulan setengah purnama.