5
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepiting Bakau 2.1.1 Klasifikasi kepiting bakau Klasifikasi kepiting menurut Kordi (1997) adalah sebagai berikut: Filum
: Arthropoda;
Subfilum
: Mandibula;
Kelas
: Crustacea;
Super ordo Ordo
: Eucarida; : Decapoda;
Subordo Famili Genus Spesies
: Branchyura; : Portunidae; : Scylla; dan : Scylla serrata (Gambar 1).
Gambar 1 Scylla serrata Penamaannya di banyak tempat di daerah Indo-Pasifik sangat beragam. Kepiting adalah nama dari kepiting bakau yang dikenal di daerah Jawa, sedangkan di Sumatera, Singapura dan Malaysia dikenal dengan nama ketam batu, kepiting cina atau kepiting hijau. Masyarakat Filipina mengenal kepiting bakau dengan nama alimango, sedangkan di Australia dikenal dengan nama kepiting bakau lumpur atau kepiting bakau. Adapun masyarakat Hawai menyebutnya dengan nama samoon crab (Kasry 1996).
6
Berdasarkan faktor ekologi dan faktor fisik yang mempengaruhi perkembangan kepiting, genus Scylla diklasifikasikan menjadi tiga spesies, yaitu S. serrata, S. oceanica dan S. tranquebarica) (Estamphador 1949 diacu dalam Asmara 2004). Selanjutnya Keenan (1999) menambahkan bahwa atas dasar perbedaan sifat morfologi dan ekologi, kepiting bakau yang hidup di alam dikelompokkan atas empat spesies, yaitu S. serrata, S. tranquebarica, S. paramamosain dan S. olivacea (Gambar 2).
(a) S. serrata
(b) S. tranquebarica
(c) S. paramamosain
(d) S. olivacea Sumber: Keenan (1999)
Gambar 2 Spesies kepiting bakau
7
2.1.2 Morfologi kepiting bakau Ciri kepiting bakau adalah memiliki karapas berwarna seperti lumpur atau sedikit kehijauan. Lebar karapasnya kurang lebih dua pertiga dari panjangnya. Permukaan karapas hampir licin, kecuali pada beberapa lekukan yang bergranula halus di daerah branchial. Dahi di antara kedua tangkai mata terdiri atas empat duri dengan ukuran panjang yang hampir sama. Pada bagian kiri dan kanan (anterolateral) karapas terdapat duri tajam sebanyak sembilan buah dan berukuran hampir sama. Sudut pots-lateral di bawah duri anterolateral melengkung dan bagian sambungan ruas menebal (Moosa et al. 1985 diacu dalam Tuhuteru 2004). Kepiting bakau memiliki 5 pasang kaki yang terletak pada bagian kiri dan kanan tubuhnya. Urutannya adalah sepasang capit, 3 pasang kaki jalan dan sepasang kaki renang. Setiap kaki terdiri atas 6 ruas yang secara berturut-turut dari bagian dekat tubuh ke arah luar disebut coxa, basi-ischium, merus, carpus, propondus dan dactylus (Gambar 3) (Siahainenia 2008).
(a) Cheliped
(b) Kaki jalan
(c) Kaki renang Sumber: Siahainenia (2008)
Gambar 3 Bentuk dan bagian – bagian kaki kepiting bakau
8
Capit kepiting jantan dewasa memiliki panjang hampir dua kali panjang karapasnya, sedangkan capit betina dan jantan muda lebih pendek. Pada tepi anterior merus terdapat tiga duri kokoh. Bagian luar anterior merus berbentuk bulat dan kadang-kadang dilengkapi dengan satu atau dua duri kecil. Propodus memiliki tiga duri atau bentol. Satu diantaranya terletak di muka persendian karpus dan dua lainnya terletak bersisian dengan persendian daktilus (Chairunnisa 2004). Menurut Siahainenia (2008), capit sangat berfungsi ketika kepiting makan. Struktur capit sangat kokoh, terutama pada bagian chela, dilengkapi dengan duriduri tajam dan kuat yang umumnya digunakan untuk mencabik-cabik makanan dan memasukannya ke dalam mulut. Selain itu, capit juga digunakan untuk pertahanan diri. Tiga pasang kaki selain capit disebut kaki jalan yang berfungsi untuk berjalan selama kepiting bakau berada di darat dan juga berguna saat reproduksi, terutama pada kepiting jantan. Pada proses percumbuan, kaki jalan digunakan oleh kepiting jantan untuk mendekap kepiting betina di bagian bawah tubuhnya, sehingga tubuh mereka menyatu. Posisi ini disebut doubllers. Pada kepiting betina, kaki berfungsi untuk membantu proses penetasan telur. Kepiting bakau betina yang sedang berkontraksi akan berdiri dengan menggunakan kedua capitnya, sedangkan bagian dactylus pada kaki jalan terakhir (kaki jalan ke-2 dan ke-3) digunakan untuk menggaruk zygote secara terus-menerus sehingga butiranbutiran telur terurai dan terlepas dari rambut-rambut pleopod (Siahainenia 2008). Kaki renang adalah sepasang kaki terakhir yang terdapat pada bagian ujung abdomen. Bentuknya agak membulat dan lebar. Bagian dactylus dan propondus berbentuk pipih. Fungsi kaki renang ini adalah sebagai alat bantu semacam dayung pada saat berenang (Siahainenia 2008). Menurut Siahainenia (2008), mulut terletak pada bagian ventral tubuh, tepatnya berada di bawah rongga mata dan di atas tulang rongga dada. Mulut kepiting bakau terdiri atas tiga pasang rahang tambahan (maxilliped) yang berbentuk lempengan. Nama setiap bagian mulut berturut-turut dari bagian terdekat dengan rongga mulut ke arah luar adalah maxilliped I, maxilliped II, maxilliped III dan rongga mulut. Ketiga pasang maxilliped menutup rongga mulut yang diduga berfungsi untuk mencegah lumpur atau air masuk ke dalam rongga
9
mulut. Rongga mulut kepiting, menurut Siahainenia (2008), selalu dalam keadaan terbuka. Kepiting memiliki sepasang antena yang berada pada bagian dahi karapas, yaitu di antara kedua rongga mata. Antena berfungsi untuk mendeteksi adanya bahaya melalui gerakan angin (Kasry 1996). Antena merupakan organ peraba dan perasa yang dapat mendeteksi secara detail perubahan pergerakan air dan kimia air (Phelan et al. 2005 diacu dalam Siahainenia 2008). Kepiting memiliki sepasang mata. Mata kepiting dilindungi oleh dinding rongga mata yang menyerupai duri-duri besar yang kokoh dan terletak pada bagian dahi karapas. Bila dalam keadaan terancam, tangkai mata akan ditempelkan rapat-rapat ke dalam rongga mata sehingga hanya tampak duri-duri yang kokoh tersebut (Siahainenia 2008). Gambar 4 menunjukkan morfologi tubuh kepiting dan Tabel 1 menjelaskan ciri-ciri morfologi dari keempat jenis kepiting bakau (Keenan et al. 1998 diacu dalam Tuhuteru 2004). Perbedaan bentuk morfologi keempat jenis kepiting bakau terletak pada bentuk duri di antara mata dan keberadaan duri pada korpus (Gambar 5) (Keenan 1999). 6 16
7
5 4
14 1
2
3 8
12 15
11
10
9 13 Gambar 4 Morfologi kepiting bakau Keterangan: 1 : Frontal spine; 2 : Antenna; 3 : Eye; 4 : Carpus; 5 : Propodus; 6 : Dactylus; 7 : Claw or Chela; 8 : Merus;
9 10 11 12 13 14 15 16
: : : : : : : :
Walking legs; Carapace length; Carapace width; Carapace; dan Swimming legs; Cheliped; Lateral spine; dan Pollex.
10
Tabel 1 Ciri - ciri morfologi kepiting bakau Uraian
Jenis kepiting bakau S. serrata
S. tranquebarica
S. paramamosain
S. olivacea
Ungu, hijau
Ungu, hijau
Ungu, hijau
Oranye,
kecoklatan
kecoklatan
kecoklatan/kehitaman
coklat/hitam
kehitaman
kehitaman
Duri pada
Agak
Tumpul, cukup
Runcing berbentuk
Kecil dan
dahi
runcing,
besar dan lebar
segitiga
tumpul
Warna
besar Duri di
Sepasang
Sepasang duri
Duri menghilang atau
Duri hilang
luar karpus
duri
menonjol
sangat kecil dan
atau sedikit
tumpul
kelihatan
Sedang dan runcing
Menghilang,
menonjol Duri di
Besar dan
Besar dan
luar
keduanya
keduanya jelas
propodus
jelas
tumpul dan menempel
S. serrata
S. paramamosain
S. tranquebarica
S. olivacea
Sumber: Keenan (1999)
Gambar 5 Perbedaan morfologi dari keempat spesies Scylla
11
2.1.3 Perbedaan kepiting bakau jantan dan betina Membedakan jenis kelamin dari kepiting bakau jantan dan betina dapat dilakukan dengan mengamati bentuk luar tubuhnya. Hal ini dituturkan oleh Moosa et al. (1985) diacu dalam Rosmaniar (2008) yang menyebutkan bahwa organ kelamin kepiting jantan berbentuk segitiga agak runcing yang menempel di bagian perutnya, sedangkan organ kelamin kepiting betina berbentuk segitiga yang relatif lebar dan bagian depannya agak tumpul. Cara lain membedakan jenis kelamin kepiting adalah dengan memperhatikan ruas-ruas abdomennya. Ruas abdomen kepiting jantan jauh lebih sempit dibandingkan dengan ruas abdomen kepiting betina (Gambar 6).
(a) S. serrata betina (b) S. serrata jantan Gambar 6 Abdomen kepiting bakau betina dan jantan 2.2 Habitat Kepiting Bakau Habitat kepiting bakau sebagian besar berada di hutan-hutan bakau perairan Indonesia. Spesies ini adalah spesies khas yang berada di kawasan bakau. Kepiting bakau yang masih berupa juvenil lebih suka membenamkan diri ke dalam lumpur sehingga jarang terlihat di daerah bakau. Juvenil kepiting bakau lebih menyukai tempat-tempat terlindung, seperti alur-alur air laut yang menjorok ke daratan, saluran air, di bawah batu, di bentangan rumput laut dan di sela-sela akar pohon bakau (Kanna 2002). Hutan mangrove adalah daerah yang umumnya banyak dihuni kepiting bakau (Kordi 1997). Daerah berlumpur dan tepian muara sungai juga banyak ditemukan kepiting (Arriola 1940 diacu dalam Kasry 1985). Kepiting bakau tidak jarang tertangkap di luar bakau (Mossa et al. 1985 diacu dalam Rusdi 2010).
12
2.3 Distribusi Kepiting Bakau Kepiting bakau memiliki sebaran geografis yang sangat luas, meliputi pantai Timur Afrika, India, Srilangka, Indonesia, Filipina, Thailand, Cina, Taiwan, Jepang, Papua Nugini, Australia dan pulau-pulau di utara Selandia Baru. Kepiting bakau ditemukan di daerah air payau dan sebagian besar tertangkap di wilayah pesisir Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya) (Sulistiono et al. 1994 diacu dalam Asmara 2004). Penyebaran kepiting bakau yang luas menyebabkan timbulnya daerah yang menjadi pusat pengusahaan kepiting bakau. Hal ini berhubungan dengan habitat kepiting yang masih baik. Daerah-daerah yang dimaksud, antara lain terdapat di selatan Jawa (Cilacap), utara Jawa (Tanjung Pasir, Pamanukan), barat Sumatera (Bengkulu, Riau), timur Kalimantan (Kota Baru, Pasir, Balikpapan), Sulawesi (Teluk Bone, Teluk Kolono, Kendari), Nusa Tenggara Barat (Teluk Waworada, Teluk Bima) dan Irian Jaya (Teluk Bintuni, Biak Numfor) (Asmara 2004). 2.4 Siklus Hidup Kepiting Bakau Kepiting bakau mengalami beberapa fase pertumbuhan, antara lain fase zoea, megalopa, kepiting muda dan kepiting dewasa. Selain itu, kepiting juga mengalami beberapa kali proses pergantian kulit (moulting) (Gambar 7). Tubuhnya akan menjadi lebih besar setelah mengalami proses moulting. Larva tingkat I (Zoea I) muncul setelah telur menetas. Larva akan berganti kulit secara terus menerus sambil terbawa arus pantai sebanyak lima kali (Zoea V). Selanjutnya, larva akan berganti kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa. Bagian yang masih tersisa adalah ekor yang panjang (Tiku 2004).
13
Sumber: Phelan dan Grubert (2007)
Gambar 7 Kepiting bakau yang sedang moulting Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut. Induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan bakau untuk berlindung, mencari makan atau membesarkan diri. Kepiting melakukan perkawinan di perairan bakau, selanjutnya secara perlahan-lahan kepiting betina akan beruaya dari perairan bakau ke tepi pantai. Apabila telah mencapai ke tengah laut, maka kepiting akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok sebagai tempat untuk memijah, khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut (Kasry 1991). Kepiting pada tingkat megalopa mulai beruaya menuju pantai melewati muara sungai dan selanjutnya memasuki perairan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan (Gambar 8). Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau yang telah dewasa akan berada di perairan bakau, di tambak atau di sekitar perairan pantai yang berlumpur yang memiliki makanan berlimpah (Kasry 1991).
14
Sumber: Kasry (1991)
Gambar 8 Siklus hidup kepiting bakau Daur hidup kepiting bakau diperkirakan melewati berbagai kondisi perairan. Pada saat pertama kali kepiting menetas, suhu air laut umumnya berkisar antara 25oC - 27oC dan salinitas 29‰ - 33‰. Kepiting muda yang baru berganti kulit dari megalopa dapat memasuki muara sungai, karena memiliki kemampuan mentolerir salinitas air yang rendah (10-24‰). Pada tingkat zoea terjadi pergantian kulit yang berlangsung lebih kurang 3-4 hari sebelum memasuki fase berikutnya. Tingkat megalopa berlangsung selama 11-12 hari pada salinitas 29‰ 33‰ sebelum berganti kulit menjadi tingkat kepiting pertama. Megalopa di alam bergerak ke arah pantai memasuki perairan payau (brackish water) pada salinitas air antara 21‰ - 27‰ (Kasry 1996). Kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun pada kondisi lingkungan yang memungkinkan. Pada umur 12-14 bulan, kepiting sudah dianggap dewasa dan dapat memijah. Kepiting mampu menghasilkan jutaan telur dalam sekali pemijahan (Kordi 1997).
15
2.5 Pemijahan Pemijahan adalah salah satu bagian dari reproduksi dan juga mata rantai daur hidup yang menentukan kelangsungan hidup spesies (Serosero 2005). Adapun menurut Siahainenia (2008), pemijahan pada kepiting adalah proses pengeluaran telur dari kepiting bakau betina. Proses ini terjadi setelah sel telur mengalami vitelogenesis sempurna dan inti sel telur telah bergerak ke tepi atau setelah sel telur mencapai matang sempurna. Proses pemijahan umumnya berlangsung pada substrat dasar perairan berpasir atau pasir berlumpur. Apabila kepiting bakau betina telah siap memijahkan telur-telurnya, maka kepiting tersebut membuat lubang dangkal pada substrat dengan bantuan tutup abdomennya. Kepiting aktif memijah antara bulan Mei-September dengan jumlah telur yang dihasilkan sekitar dua juta butir dan selanjutnya kembali matang telur setelah lima bulan sejak telur dierami. Pemijahan kepiting umumnya berlangsung sepanjang tahun dengan masa pemijahan berlangsung selama lima bulan. Puncak pemijahan kepiting berbeda setiap tahun. Pemijahan berlangsung pada perairan yang dalam dengan mengikuti periode bulan. Jarak ruayanya tidak lebih dari satu kilometer dari pantai, namun pada saat-saat tertentu kepiting tersebut juga pernah ditemukan memijah di tambak dan estuaria (Kasry 1996). Kepiting bakau di Hawai melakukan pemijahan pada awal bulan Mei sampai akhir Oktober, yaitu saat suhu air berkisar antara 24oC - 28oC, sedangkan di Australia, pemijahan berlangsung dari awal musim semi hingga musim gugur dengan puncaknya pada bulan November-Desember (akhir musim semi hingga awal musim panas). Adapun puncak pemijahan di Thailand berlangsung dari bulan Juli-Desember (pertengahan awal musim panas hingga musim hujan) (Kasry 1996). 2.6 Kematangan Gonad Kepiting Bakau Tingkat kematangan gonad merupakan tahap perkembangan gonad sebelum dan sesudah pemijahan. Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari reproduksi sebelum terjadi pemijahan. Perkembangan gonad terjadi akibat adanya proses vitelogenesis, yaitu proses akumulasi kuning telur pada
16
setiap sel telur (Serosero 2005). Selama proses berlangsung, sebagian besar hasil metabolisme ditujukan untuk perkembangan gonad (Serosero 2008). Tingkat kematangan gonad dapat ditentukan secara morfologis dan histologis. Penentuan tingkat kematangan gonad secara morfologis dapat dilihat dari bentuk, panjang, berat, warna dan perkembangan isi gonad, sedangkan secara histologis dapat dilihat dari perkembangan bentuk anatomi gonadnya (Effendie 2002). Petunjuk penentuan tingkat kematangan gonad kepiting bakau dijelaskan oleh Kasry (1996) diacu dalam Serosero (2008) dengan sedikit modifikasi, yaitu: 1. TKG I: Belum matang (immature) a.
Ciri morfologis: Ovarium yang berwarna kuning keputihan dan berbentuk sepasang filamen ditutupi oleh selaput peritoneum tipis yang mengarah ke punggung.
b.
Ciri histologis: Epitel folikel yang menutupi sel telur tidak begitu jelas. Sitoplasma pun berwarna agak lemah, akan tetapi nukleus dan nukleolus sangat jelas. Sebagian besar ovarium yang belum matang mempunyai bentuk yang tidak beraturan dan sel telur mengalami atresia relatif banyak.
2. TKG II: Menjelang matang (maturing) a.
Ciri morfologis: Ukuran ovarium bertambah dan meluas, baik ke arah lateral maupun antero-posterior, namun butiran telur belum kelihatan hanya berwarna kuning keemasan.
b.
Ciri histologis: Kuning telur masih terlihat dengan ukuran yang kecil walaupun ovari masih kecil. Kuning telur tersebar di dalam sitoplasma.
3. TKG III: Matang (mature) a.
Ciri morfologis: Ovarium kepiting semakin membesar. Warna dari ovarium mulai dari oranye muda sehingga butiran telurnya sudah kelihatan, namun masih dilapisi oleh kelenjar minyak.
b.
Ciri histologis: Butiran kuning telurnya makin membesar dan hampir seluruh sitoplasma tertutup kelenjar minyak.
4. TKG IV a.
Ciri morfologis: Butir-butir telur bertambah besar dan terlihat sangat jelas berwarna oranye sehingga dapat dipisahkan dengan mudah karena lapisan
17
minyaknya sudah semakin berkurang. b.
Ciri histologis: Butiran kuning telurnya lebih besar dari TKG III dan lapisan minyaknya menutupi seluruh sitoplasma.
5. TKG V a.
Ciri morfologis: Ukuran ovarium kembali mengecil dan di bagian abdomen terdapat banyak telur. Butiran telur tersebut ada yang tidak dikeluarkan saat proses pemijahan sehingga masih terlihat keberadaan butiran telur ini.
b.
Ciri histologis: Sel-sel telurnya seperti pada TKG I, namun telah ditemukan sel telur yang sudah matang.
Ovarium berkembang menjadi matang setelah mencapai proses kopulasi. Kematangan gonad kepiting bakau dapat dicapai jika telah mengalami proses kopulasi untuk pertama kalinya. Pencapaian matang gonad biasanya ditunjukkan dengan lebar karapas kepiting bakau yang berkisar antara 105-123 mm atau 99,1114,2 mm. Keadaan tersebut dapat dicapai antara lima bulan sampai satu tahun (Hartnoll 1969 diacu dalam Serosero 2005). Kepiting bakau betina di Indonesia yang telah matang kelamin mempunyai panjang karapas 42,7 mm dan lebarnya 80 mm (Aldrianto 1994 diacu dalam Serosero 2005). Adapun Kanna (2002) berpendapat bahwa ciri kepiting bakau yang telah matang gonad memiliki lebar karapas 9-10 cm dan warna abdomen telah menyerupai warna karapasnya. Selain itu, tingkat kematangan gonad dari kepiting dapat diketahui dengan menekan batas perut bagian belakang dan karapas. Warna gonad kepiting yang telah matang gonad adalah oranye atau kuning (Syafitriyanto 2009 diacu dalam Rusdi 2010). 2.7 Makanan dan Kebiasaan Makan Kepiting bakau bersifat omnivorus scavengers atau pemakan segala makanan, cenderung pemakan bangkai dan bersifat kanibal. Kepiting bakau memakan organisma yang bergerak lambat atau diam, terutama hewan yang biasa terpendam di dasar perairan, seperti kerang-kerangan, keong-keongan, krustase lainnya dan cacing. Alga dan busukan dari potongan kayu, bambu dan benda lainnya juga dimakan oleh kepiting (Moosa et al. 1985 diacu dalam Rusdi 2010). Kepiting bakau pada tahap larva termasuk pemakan plankton. Makanan larva
18
kecil di alam terdiri atas berbagai organisme plankton, seperti diatom, moluska dan cacing (Kasry 1991). Kepiting bakau yang lebih besar menyerang kepiting bakau yang lebih kecil. Perilaku tersebut terjadi pada lingkungan hutan bakau. Kepiting besar melumpuhkan kepiting kecil dengan merusak umbai-umbainya dan kemudian merusak karapas menjadi potongan-potongan. Setelah itu, kepiting besar mulai memakannya dengan mengambil bagian lunak dari tubuh mangsanya (Rosmaniar 2008). Kanibalisme pada kepiting merupakan hal yang sering terjadi, terutama pada ruangan yang terbatas, baik rajungan atau kepiting dewasa maupun yang masih larva (Nontji 1993 diacu dalam Lastari 2007). Ada beberapa faktor yang menyebabkan nafsu makan kepiting bakau berkurang, yaitu suhu dan pergantian kulit. Aktivitas makan kepiting bakau menurun pada suhu di bawah 20oC (Hill 1975). Kepiting bakau termasuk hewan nokturnal dan keluar dari persembunyiannya setelah matahari terbenam. Pergerakannya berlangsung sepanjang malam, terutama untuk mencari makan. Pergerakan kepiting bakau pada malam hari dapat mencapai jarak antara 219-910 m. Kepiting kemudian akan membenamkan dirinya kembali pada saat matahari akan terbit (Kordi 1997). 2.8 Bubu 2.8.1 Deskripsi bubu Bubu merupakan alat tangkap yang ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan perangkap. Pengoperasian bubu menggunakan perahu. Bubu banyak digunakan pada daerah pesisir laut untuk menangkap berbagai jenis krustase, ikan, gurita dan kerang. Bubu terdiri atas berbagai ukuran dan bentuk yang dapat menarik berbagai jenis organisme yang akan tertangkap dengan menggunakan ikan (Sainsbury 1996). Alat tangkap bubu telah lama dikenal oleh nelayan. Ini disebabkan karena biaya pembuatan relatif murah, cara pembuatan dan pengoperasiannya mudah, bahan pembuatannya mudah didapat, tidak merusak organisme hasil tangkapan dan tidak merusak sumberdaya secara ekologis maupun teknis. Bubu dapat dioperasikan pada tempat-tempat yang alat tangkap lain tidak dapat dioperasikan, seperti daerah karang, celah karang, lubang-lubang di antara bebatuan, perairan
19
yang sangat dalam atau perairan dengan pantai yang tinggi dan terjal. Adanya berbagai kelebihan tersebut menyebabkan nelayan-nelayan bermodal kecil sangat menyukainya (Puspito 2009). Prinsip penangkapan dengan bubu adalah memerangkap organisme laut yang masuk ke dalam bubu dan tidak dapat keluar lagi. Ada banyak penyebab organisme laut masuk ke dalam bubu, diantaranya tertarik oleh makanan, mengira bubu sebagai tempat tinggalnya, terbawa arus, sebagai tempat berlindung dari kejaran pemangsa, tidak sengaja masuk ke dalam bubu dan tergiring oleh nelayan. Oleh karena itu, pengoperasian atau pembuatan bubu umumnya didasarkan atas semua faktor penyebab tersebut (Puspito 2009). 2.8.2 Klasifikasi bubu Bubu digolongkan ke dalam kelompok perangkap (trap) (Brandt 1984). Berdasarkan lokasi pemasangannya, bubu diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu (Sainsbury 1996): 1. Inshore potting. Alat tangkap ini dioperasikan pada daerah yang arusnya tidak terlalu deras, seperti daerah karang, estuaria, laguna, teluk dan perairan dekat pantai sampai kedalaman 75 m. Bubu dioperasikan menggunakan perahu kecil dengan panjang antara 25-45 kaki. Nelayan yang mengoperasikan hanya berjumlah 1-2 orang. 2. Offshore potting. Alat tangkap ini dioperasikan di perairan laut dalam sampai kedalaman 900 m. Bubu dioperasikan menggunakan kapal besar menggunakan peralatan yang mendukung selama pengopersian berlangsung. Selain itu, bubu juga dikelompokkan menjadi 2 kelompok berdasarkan metode pengoperasiannya, yaitu: 1. Sistem tunggal. Bubu dipasang menetap di dasar perairan secara satu per satu. Biasanya dipasang di daerah berkarang dan berbatu dengan jarak yang cukup jauh antara bubu yang satu dengan lainnya. Bubu ini dilengkapi dengan pemberat agar bubu tidak berpindah. Selain itu, bubu ini juga dilengkapi dengan pelampung tanda yang dihubungkan dengan tali agar posisi bubu dapat diketahui. Pemasangan bubu dengan sistem tunggal dapat dilihat pada Gambar 9.
20
Sumber: Sainsbury (1996)
Gambar 9 Pengoperasian bubu sistem tunggal 2. Sistem rawai. Bubu dipasang dalam jumlah banyak dan dirangkai menggunakan tali antara bubu yang satu dengan yang lainnya. Daerah pengoperasian biasanya pada perairan laut dalam. Setiap bubu dilengkapi tali cabang dan terhubung ke tali utama dengan pengait (snap). Satu rangkaian bubu ditandai dengan pelampung tanda pada kedua ujungnya dan dilengkapi pemberat agar bubu tidak berpindah tempat. Pemasangan bubu dengan sistem rawai dapat dilihat pada Gambar 10.
Sumber: Sainsbury (1996)
Gambar 10 Pengoperasian bubu sistem rawai Subani dan Barus (1989) membagi bubu menjadi tiga golongan, yaitu bubu dasar (ground fishpot), bubu apung (floating fishpot) dan bubu hanyut (drifting fishpot). Rinciannya adalah: 1. Bubu dasar Bubu ini dioperasikan di dasar perairan. Ukurannya bervariasi menurut kebutuhan. Bubu yang berukuran kecil umumnya memiliki panjang 100 cm, lebar 50-75 cm dan tinggi antara 25-30 cm, sedangkan bubu yang berukuran
21
besar dapat mencapai ukuran panjang 350 cm, lebar 200 cm dan tinggi 75-100 cm. Pengoperasian bubu ini dilakukan secara tunggal (untuk bubu yang berukuran besar) dan dapat pula dioperasikan secara ganda (untuk bubu berukuran kecil atau sedang) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan tali panjang pada jarak tertentu dan bubu diikatkan tali tersebut. Tempat pemasangan bubu dasar biasanya di perairan karang, di antara karang-karang atau bebatuan. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan dua sampai tiga hari setelah bubu dipasang, bahkan beberapa hari setelah dipasang. 2. Bubu apung Alat tangkap ini dioperasikan dengan cara diapungkan. Bubu ini dilengkapi dengan pelampung yang terbuat dari bambu. Bentuk bubu apung ada yang silinder dan ada yang seperti kurungan. Pada pengoperasiannya ada pula bubu yang diikatkan pada rakit bambu, kemudian rakit bambu tersebut dirangkai dan diikatkan pada jangkar. Panjang tali jangkar tergantung dari kedalaman perairan, namun panjang tali umumnya 1,5 kali dalam perairan. 3. Bubu hanyut Bubu yang pengoperasiannya dengan cara dihanyutkan, yaitu mengikuti arus. Bubu ini dirangkai atas beberapa bubu berukuran kecil yang berjumlah antara 20 – 30 bubu. Pakaja, luka atau patorani adalah bubu hanyut yang umumnya dikenal. Pakaja adalah bubu berukuran kecil berbentuk silinder dengan panjang 0,75 m. Pada saat pengoperasian, beberapa bubu disatukan menjadi beberapa kelompok. Patorani adalah sebutan untuk bubu yang digunakan untuk menangkap ikan torani dan tuing-tuing atau ikan terbang (flying fish). 2.8.3 Konstruksi bubu Konstruksi bubu secara umum terdiri atas rangka, badan dan pintu masuk. Selain itu, ada yang dilengkapi dengan pintu untuk mengambil hasil tangkapan, kantung umpan sebagai tempat untuk menyimpan umpan dan celah pelolosan (Lastari 2007). Konstruksi bukaan mulut bubu merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan penangkapan dengan menggunakan bubu (Wibyosatoto 1994).
22
2.8.3.1 Bentuk Bubu Bentuk bubu yang dioperasikan berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Sainsbury (1996) mengatakan bahwa perbedaan bentuk bubu biasanya disesuaikan dengan target tangkapan di setiap daerah. Bentuk bubu yang dipakai bisa juga berbeda walaupun hasil tangkapan yang diperoleh sama. Alat tangkap bubu digunakan di berbagai daerah di seluruh dunia, seperti Perancis, India, Malaysia, Jepang, Cina, Australia dan di pantai timur dan barat Amerika Utara, yaitu di wilayah New Zealand serta di sekitar Laut Utara. Bubu berbentuk seperti tong atau drum berasal dari Perancis, sedangkan bubu berbentuk hati atau lebih dikenal dengan bubu Madeira berasal dari India dan Sri Lanka. Selain itu, terdapat juga bubu yang berbentuk huruf Z yang disebut Antillean Zpot yang berasal dari Karibia. Bubu yang terdapat di Indonesia dan Thailand disebut dengan tubular traps yang memiliki bentuk seperti corong dan tidak mempunyai mulut (funnel) dengan bagian ujung bubu terbelah-belah (Brandt 1984). Bubu mempunyai bentuk yang beraneka ragam seperti bentuk bujur sangkar, silinder, gendang, segitiga memanjang, trapesium, setengah silinder, segi banyak, dan bulat setengah lingkaran (Subani dan Barus 1989). Adapun menurut Martasuganda (2003), bentuk bubu ada yang berbentuk segi empat, trapesium, silinder, lonjong dan persegi panjang. Beberapa jenis bubu yang biasa digunakan di Indonesia untuk menangkap kepiting adalah bubu wadong (Gambar 11), pintur/rakkang (Gambar 12) dan bubu lipat (Gambar 13).
(a) Gambar 11 Konstruksi bubu wadong
23
(b) Gambar 12 Konstruksi bubu pintur Sumber: Martasuganda (2003)
3
4 5
1 2 (c) Gambar 13 Konstruksi bubu lipat standar Keterangan (a) :
Keterangan (b) :
Keterangan (c) :
1. Rangka 2. Pintu 3. Pintu masuk 4. Tiang penyangga 5. Penusuk umpan
1. Tali penyangga 2. Rangka 3. Jaring 4. Pemberat 5. Umpan
1. Rangka 2. Mulut bubu 3. Badan bubu 4. Engsel 5. Tempat umpan
2.8.4 Umpan Umpan merupakan salah satu faktor yang berpengaruhnya terhadap keberhasilan suatu usaha penangkapan (Sadhori 1985 diacu dalam Rusdi 2010). Rusdi (2010) lebih lanjut menjelaskan bahwa umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi organisme tertentu pada proses penangkapannya. Penggunaaan umpan dalam proses penangkapan ikan menggunakan bubu sudah dikenal luas oleh nelayan. Umpan disebut baik apabila memenuhi syarat, yaitu efektif untuk menarik ikan target, mudah dipasang pada berbagai posisi di dalam bubu, tahan lama, harga murah, mudah disimpan dan diangkut. Bubu yang menggunakan umpan
24
berupa ikan yang dipotong-potong memiliki hasil tangkapan lebih baik dibandingkan dengan menggunakan umpan buatan (Slack and Smith 2001). 2.8.5 Metode pengoperasian bubu Cara pengoperasian bubu dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu bubu dasar (stationary fish pots), bubu apung (floating fish pots) dan bubu hanyut (drifting fish pots). Bubu dasar biasanya dioperasikan di perairan karang atau diantara karang dan bebatuan. Agar lokasi pemasangan bubu mudah diketahui, bubu dilengkapi pelampung yang dihubungkan dengan tali panjang (Subani dan Barus 1989). Tipe bubu apung dilengkapi dengan pelampung terbuat dari bambu atau rakit bambu. Bubu diletakkan di bagian atas pelampung atau digantungkan pada rakit bambu. Hasil tangkapan bubu apung adalah jenis-jenis ikan pelagis. Bubu hanyut dioperasikan dengan cara dihanyutkan. Bubu hanyut yang dikenal, yaitu pakaja, luka atau pataroni yang dikhususkan untuk menangkap ikan terbang (flying fish) (Subani dan Barus 1989). Metode pengoperasian bubu diawali dengan penentuan daerah penangkapan. Apabila telah sampai di daerah penangkapan, bubu yang dioperasikan tanpa umpan dapat langsung diturunkan. Bagi bubu yang menggunakan umpan, maka umpan terlebih dahulu diletakkan ke dalam kantung umpan atau dikaitkan pada kawat yang ada di dalam bubu. Setelah itu, bubu ditenggelamkan ke dalam perairan. Pada umumnya pengoperasian bubu dimulai dengan menurunkan pelampung tanda, kemudian dilanjutkan dengan penurunan bubu satu persatu beserta pemberat ke dalam perairan (Sudirman dan Mallawa 2004 diacu dalam Lastari 2007).