KARAK KTERISTIK K HABITA AT DAN PO OTENSI KEPITING BA AKAU (Scylla serrrata, S.tran nsquaberica,, dan S.oliva acea) DI HU UTANMAN NGROVE CIBA AKO, SANC CANG KAB BUPATEN GARUT JA AWA BAR RAT
IRVA AN AVIAN NTO
SEKOLAH S H PASCA SARJANA S IN NSTITUT P PERTANIA AN BOGOR R 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Habitat dan Potensi Kepiting Bakau (Scylla serrata, S.transquaberica, dan S.olivacea) di Hutan Mangrove Cibako, Sancang Kabupaten Garut Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari tesis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013
Irvan Avianto NIM C251090111
RINGKASAN IRVAN AVIANTO. Karakteristik Habitat dan Potensi Kepiting Bakau (Scylla serrata, S.transquaberica, dan S.olivacea) di Hutan Mangrove Cibako, Sancang Kabupaten Garut Jawa Barat. Dibimbing Oleh Sulistiono dan Isdrajad Setyobudiandi Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - Nopember 2011. Lokasi penelitian terdiri dari 6 (enam) stasiun, masing-masing ditempatkan pada 3 (tiga) zona. Stasiun 1 dan 2 ditempatkan di zona A, merupakan kawasan depan hutan mangrove. Stasiun 3 dan 4 ditempatkan di zona B, merupakan kawasan tengah hutan mangrove. Stasiun 5 dan 6 ditempatkan di zona C, merupakan kawasan belakang hutan mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang karakteristik habitat dan potensi kepiting bakau berdasarkan jumlah, jenis, dan distribusi ukuran. Metode penelitian yang digunakan adalah survey. Pengamatan karakteristik habitat dilakukan secara in-situ dengan metode pengambilan sampel line plot transect. Evaluasi pengelompokkan karakteristik habitat menggunakan cluster analysis, sedangkan analisis hubungan potensi kepiting bakau dengan karakteristik habitat menggunakan correspondence analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter kualitas air, fraksi substrat, dan produksi serasah pada stasiun 1 dan 2 terdapat kemiripan, sehingga stasiun tersebut diklasifikasikan sebagai kelompok zona A. Kemiripan nilai parameter pada stasiun 3 dan 4 diklasifikasikan sebagai kelompok zona B, dan kemiripan nilai parameter pada stasiun 5 dan 6 diklasifikasikan sebagai kelompok zona C. S.serrata dominan berada di zona A yang bersubstrat lumpur dengan kisaran salinitas antara 24 – 30 ppt, berjumlah 73 ind. S.tanquaberica dominan berada di zona B yang bersubstrat lumpur dengan kisaran salinitas antara 22 – 25 ppt, berjumlah 94 ind. S.olivacea dominan berada di zone C yang bersubstrat liat dengan kisaran salinitas antara 18 – 23 ppt, berjumlah 45 ind. Kelimpahan kepiting bakau dijumpai pada bulan gelap, dimana kelimpahan di zona A adalah 57 ind, zone B adalah 68 ind, and zone C adalah 32 ind. Kepiting bakau memiliki sifat fototaksis negatif, karena kebiasaannya berdiam dan bersembunyi pada substrat yang tidak terkena cahaya secara langsung. Kerapatan mangrove yang tinggi dijumpai di zona A dan B, dimana ketiga jenis kepiting berasosiasi dengan mangrove yang memiliki kerapatan tinggi, dimana rata-rata bobot serasah sebagai sumber makanan bagi makrozoobentos masing-masing adalah 200.15 g dan 208.72 g . Rata-rata kelimpahan individu makrozobentos yang menjadi sumber makanan kepiting bakau masing-masing adalah 13 ind/m2 dan 17 ind/m2. Oleh karena itu kepiting bakau akan tertarik menempati di zona yang memiliki kelimpahan serasah dan makrozoobentos sebagai sumber makanannya. Kata Kunci : Kepiting Bakau, kelimpahan, kerapatan mangrove, serasah, dan makrozoobentos
SUMMARY Habitat Characteristics and Potency of Mud Crabs Scylla serrata, S.transquaberica, and S.olivacea in Cibako Mangrove Forest, Sancang, Garut Residence, West Java. Supervised by Sulistiono and Isdrajad Setyobudiandi. The research was conducted in August - November 2011. The site contains six stations, each station in three zones. Station 1 and 2 was placed in zona A where zone A in the front area of mangrove forest. Station 3 and 4 was placed in zone B that location in the middle of mangrove forests. Station5 and 6 was placed in zone B where location in behind the mangrove forest. This study aims to obtain data and information on the habitat characteristics and potency of mud crab based on the existence of species, abundance, and size distribution. The method used was a survey. Observations of habitat characteristics performed in-situ by the method of sampling transect line plot. Cluster evaluation of habitat characteristic used cluster analysis. Analysis of habitat characteristics with potency of mud crab used correspondence analysis. The results showed that the parameters of habitat 1 and 2 had been similarity, and this was classified as groups of zone A. The similarity of parameters in station 3 and 4 were classified as group of Zone B, and the similarity of parameters in stations 5 and 6 were classified as group of zone C. S.serrata dominated in zona A where the substrat were mud with range of salinity between 24 – 30 ppt, totaled 73 ind. S.tanquaberica dominated in zone B where the substrat were mud with range of salinity between 22 – 25 ppt, totaled 94 ind. S.olivacea dominated in zone C where the substrat were clay with range of salinity between 18 – 23 ppt, totaled 45 ind. The abundance of mud crabs were in dark moon, where totaled zona A was 57 ind, zone B was 68 ind, and zone C was 32 ind. Mud crabs had possess of negative phototactic, because the habit of mud crab often refuge and hiding on a substrate that was not exposed to light directly. The high density of mangroves were found in zona A and B. which Third of mud crabs associated with mangrove that had density so higher. The average of litter weight as source of food for macrozoobentos, each which of was 200.72 g and 204.83 g. The average of macrozoobentos abundance, each which of was 13 ind/m2 dan 17 ind/m2 . Therefore, mud crabs would interest to settle in zone that had abundance of macrozoobentos as source of food. Keywords: Mud crabs, abundance, mangrove density, litter, macrozoobentos
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK HABITAT DAN POTENSI KEPITING BAKAU (Scylla serrata, S.transquaberica, dan S.olivacea) DI HUTAN MANGROVE CIBAKO, SANCANG KABUPATEN GARUT JAWA BARAT
IRVAN AVIANTO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Judul Tesis
Nama NIM
: Karakteristik Habitat Dan Potensi Kepiting Bakau (Scylla serrata, S.transquaberica, dan S.olivacea) di Hutan Mangrove Cibako, Sancang Kabupaten Garut Jawa Barat : Irvan Avianto : C251090111
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr Ir Sulistiono, M.Sc Ketua
Dr Ir Isdrajad Setyobudiandi, M.Sc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Enan M Adiwilaga
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 24 Juni 2013
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Ridwan Affandi, DEA
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan pendidikan di sekolah pascasarjana Institut Pertanian Bogor program studi pengelolaan sumberdaya perairan. Ucapan terima kasih ini disampaikan kepada : 1. Ayahanda Saeful Abidin dan Ibunda Hestiningsih yang telah memberikan kasih sayang setulus hati dan ketulusan doa dalam membimbing kesabaran, ketabahan, dan kemandirian dalam menjalankan makna hidup. 2. Isteriku Siti Sayidah Haryati dan kedua anakku Ghefira Silviana dan Revanny Maulida yang selalu mendampingi dengan cinta kasih dan menuntun penulis untuk selalu jujur, amanah, dan ikhlas. 3. Dr Ir Enan M Adiwilaga yang telah membimbing selama melaksanakan pendidikan. 4. Dr Ir Sulistiono, M.Sc dan Dr Ir Isdrajad Setyobudiandi yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan Tesis ini . 5. Beasiswa Unggulan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah membantu biaya sekolah pascasarjana. 6. Bapak AB Soesanto yang telah membimbing dan membantu selama melaksanakan pendidikan. 7. Dinas peternakan, perikanan, dan kelautan kabupaten Garut yang telah memberikan izin belajar. 8. BKSDA wilayah V propinsi Jawa Barat yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian di wilayah konservasi hutan mangrove Cibako, Sancang Kabupaten Garut. 9. Perangkat kerja UPTD kecamatan Singajaya, Peundeuy, Cibalong, dan Pameungpeuk yang telah membantu pelaksanaan penelitian kepiting bakau di hutan mangrove Cibako, Sancang Kabupaten Garut 10. Rekan-rekan seperjuangan program studi pengelolaan sumberdaya perairan angkatan 2009. Prawira Atmadja, Rahmi, Astri Wulandari, Kadri, Tri, Supyan dan Kadar Hasani 11. Muhammad Mukhlis yang telah mengingatkan dan membantu menyelesaikan administrasi selama melaksanakan pendidikan 12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam melaksanakan pendidikan di sekolah pascasarjana program studi pengelolaan sumberdaya perairan. Semoga kebaikan ini dibalas oleh Allah Subhanahu wata’aladengan pahala yang berlipat ganda.Amin ya robbal Alamin. Bogor, Juli 2013
Penulis
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus – November 2011 ini adalah Habitat kepiting bakau, dengan judul Karakteristik Habitat Dan Potensi Kepiting Bakau (Scylla serrata, S.transquaberica, dan S.olivacea) di Hutan Mangrove Cibako, Sancang Kabupaten Garut Jawa Barat . Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sulistiono, M.Sc dan Bapak Dr Ir Isdrajad Setyobudiandi, M.Sc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Ridwan Affandi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Enan M Adiwilaga yang telah membantu mengarahkan penulis selama pengumpulan data dan penulisan tesis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013
Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan penelitian Manfaat penelitian Hipotesis
1 1 2 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA
4
Kepiting Bakau Kualifikasi Taksonomi dan Morfologi Habitat Substrat Makanan Suhu Salinitas Kedalaman Air pH Mangrove Hari Bulan dan Pasang Surut Serta Pengaruhnya Terhadap Fauna Laut 3 METODE
10
Lokasi dan Waktu Penelitian Metode dan Desain Penelitian Alat Bahan Metode Kerja Vegetasi Mangrove Substrat Makanan Alami Serasah Makrozoobentos Kualitas Air Ukuran Analisis Data Pengelompokkan karakteristik Habitat Ketersediaan Makanan Alami Kerapatan Jenis Mangrove Distribusi Individu Kepiting Bakau Parameter Kualitas Air Antar Stasiun dan Antar Bulan Distribusi Ukuran Kepiting Bakau Masing-masing Jenis Antar Umur Bulan
4 4 4 5 5 5 6 6 6 7 7 8 10 10 11 11 11 11 12 12 12 12 12 13 13 13 13 14 14 14
Hubungan Sebaran Jenis Kepiting Bakau Masing-Masing Kelas Ukuran Antar Bulan Pada Setiap Stasiun 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Habitat Derah Penelitian Vegetasi Mangrove Produksi Serasah Fraksi Substrat Kelimpahan Makrozoobentos Kualitas air Suhu Salinitas pH Kedalaman Air Pengelompokan Stasiun Berdasarkan Karakteristik Lingkungan Jenis Kepiting Bakau di Hutan Mangrove Cibako Jumlah Individu Kepiting Bakau Distribusi kepiting Bakau Berdasarkan Umur Bulan Hubungan Potensi Kepiting Bakau dengan Karakteristik Habitat Pengelolaan Sumberdaya Kepiting Bakau 5 SIMPULAN DAN SARAN
14 15 15 15 16 18 19 21 21 22 23 24 25 26 27 29 31 36 37
Simpulan Saran
37 37
DAFTAR PUSTAKA
38
LAMPIRAN
42
RIWAYAT HIDUP
44
DAFTAR TABEL Tabel Tabel Tabel Tabel
1. Alat yang digunakan dalam penelitian dan kegunaannya. 11 2. Bahan yang digunakan dalam penelitian dan kegunaannya. 11 3. Kerapatan individu jenis mangrove di stasiun penelitian (ind/ha) 16 4. Rata-rata produksi serasah selama penelitian (g) dan hasil uji BNT antar stasiun dan bulan pengamatan 17 Tabel 5. Rata-rata Fraksi Substrat selama penelitian antar stasiun (%) 18 Tabel 6. Rata - rata jumlah Makrozoobentos selama penelitian antar stasiun (ind/m2) 19 Tabel 7. Rata-rata suhu selama penelitian (0C) dan hasil uji BNT antar stasiun dan bulan pengamatan 21 Tabel 8. Rata-rata salinitas selama penelitian (ppt) dan hasil uji BNT antar stasiun dan bulan pengamatan 22 Tabel 9. Rata-rata pH selama penelitian dan hasil uji BNT antar stasiun dan bulan pengamatan 23 Tabel 10. Rata-rata suhu selama penelitian (0C) dan hasil uji BNT antar stasiun dan bulan pengamatan 24 Tabel 11.Hasil Uji BNT rata-rata nilai parameter habitat antar stasiun dalam bulan pengamatan. 25 Tabel 12. Ciri-ciri morfologis kepiting Bakau yang tertangkap di Mangrove Cibako, Sancang Kabupaten Garut 27 Tabel 13. Hasil uji BNT rata-rata jumlah individu jenis kepiting bakau antar zona penelitian dan antar bulan pengambilan sampel 28 Tabel 14. Hasil uji BNT sebaran rata-rata jumlah individu kelas ukuran kepiting bakau antar umur bulan 29 Tabel 15. Kelimpahan kepiting bakau berdasarkan karakteristik habitat di zona Penelitian 31 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Diagram Alir Pemecahan Masalah 3 Gambar 4. Alat Tangkap Bubu 12 Gambar 3. Skema metode pengumpulan data lapangan 13 Gambar 5. Dendogram kemiripan karakteristik habitat antar stasiun 26 Gambar 6. Peta penglompokkan berdasarkan kemiripan habitatantar stasiun 1 dan 2, 3 dan 4, serta 5 dan 6 26 Gambar 7. Grafik distribusi jumlah individu kelas ukuran S.serrata, S.tranquaberica, dan S.olivacea menurut zona panelitian dan bulan 31 Gambar 8. Grafik analisis faktorial koresponden antara kelas ukuran kepiting bakau dengan zona A, B, C dan bulan pengamatan (8=Agustus, 9 = September, 10 = Oktober, 11 = November) 32
xii
Gambar 9. Grafik analisis faktorial koresponden antara kepiting bakau terhadap kerapatan mangrove, bobot serasah, dan kepadatan mangrove dalam zona penelitian 34
xiii
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan pantai Sancang berada di wilayah pesisir Samudera Hindia yang merupakan bagian wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat. Secara geografis pantai Sncang terletak antara 7°42' 32.15" - 7°45' 32.15" Lintang Selatan dan 107°49'34.15"- 107°52'18.10" Bujur Timur. Kawasan pesisir tersebut memiliki hutan mangrove dengan luas sebesar 144,1 ha (Badan Konservasi Sumberdaya Alam Wilayah V Jawa Barat, 2008). Kondisi kawsasan mangrove di pesisir Sancang ini relatif masih utuh, karena belum ada intervensi dari luar akibat pengalihan fungsi kawasan mangrove dan penebangan liar. Ekosistem hutan mangrove memiliki peranan dan fungsi yang sangat penting sebagai penyangga kehidupan, termasuk kehidupan masyarakat setempat. Secara langsung dan tidak langsung manfaat ini telah dirasakan oleh masyarakat sebagai sumber mata pencaharian dalam menangkap ikan, udang dan kepiting. Disamping itu ekosistem mangrove merupakan salah satu sumberdaya wilayah pesisir yang berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makanan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme. Salah satu organisme yang memiliki hubungan ekologi pada kawasan mangrove adalah kepiting bakau. Kepiting bakau merupakan salah satu hasil perikanan ekonomis penting yang dikonsumsi sebagai sumber makanan hewani yang berkualitas dan dijadikan komoditas ekspor, sehingga kepiting bakauditempatkan sebagai jenis makanan laut ekslusif dengan harga yang cukup mahal. Penangkapan kepiting bakau di kawasan mangrove Cibako, Sancang terus dilaksanakan oleh nelayan sebagai sumber mata pencaharian guna memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga maupun penjualan ke pasar lokal maupun luar dari wilayah Garut. Hingga kini usaha penangkapan kepiting bakau di kawasan hutan mangrove Sancang terus dilakukan, namun pemanfaatan sumberdaya hayati species tersebut sampai saat ini belum dikelola. Oleh karena itu agar sumberdaya kepiting di masa yang akan datang tidak terjadi degradasi populasi akibat meningkatnya penangkapan diperlukan upaya pengelolaan. pengelolaan ini tidak akan berhasil baik tanpa didasari ketersediaan data akurat tentang karakteristik habitat dan potensi kepiting bakau (Scylla spp) di hutan mangrove sancang yang sampai saat ini informasi tersebut belum diketahui secara lengkap. Untuk mendapatkan data dan informasi tersebut, maka perlu dilakukan penelitian. Perumusan Masalah Hasil tangkapan kepiting bakau yang diperoleh oleh nelayan Sancang banyak didominasi oleh kepiting mudaberukuran kecil. Hal ini diduga akibat intensitas penangkapan yang terus meningkat. Penangkapan dilakukan secara terus menerus mengakibatkan kepiting bakau yang memasuki individu baru cenderung menurun, sehingga struktur populasi kepiting bakau di hutan Cibako, Sancang mengalami degradasi. Untuk mengatasi masalah ini, maka perlu dilakukan berbagai upaya pengelolaan agar sumberdaya kepiting bakau tetap terjaga. Salah satu upaya pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mempertahankan populasinya, yaitu mempertahankan habitat yang ideal bagi kepiting bakau dan mengurangi tekanan terhadap populasi, diantaranya dengan
2
pembatasan penangkapan dan upaya penangkapan. Berdasarkan pemikiran di atas, maka upaya pengelolaan untuk mengatasi penurunan populasi kepiting tersebut dapat ditempuh dengan cara (1). Mengidentifikasi tipe habitat kepiting bakau berdasarkan variasi lingkungan yang cocok bagi kepiting baik untuk reproduksi maupun pertumbuhan (2). Mengidentifikasi jenis dan jumlah individu masing-masing jenis dan ukuran kepiting bakau, sehingga dapat diukur struktur populasi di berbagai tipe habitat, dan (3). Menganalisis pola distribusi kepiting bakau di berbagai tipe habitat pada karakteristik habitat yang mempengaruhinya, sehingga dapat dianalisis kecocokan habitat berdasarkan jenis dan ukuran kepiting bakau. Kerangka perumusan masalah di atas dapat dilihat dalam gambar 1. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang karakteristik habitat dan kaitannya dengan keberadaan kepiting bakau berdasarkan jumlah, jenis, dan ukuran di hutan bakau Cibako, Sancang. Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi daerah dan waktu penangkapan dan acuan pengambilan keputusan dalam pengelolaan daerah konservasi kepiting bakau Hipotesis Sumberdaya kepiting bakau (Scylla serrata. S.olivacea, dan S.tranquaberica) di hutan mangrove Cibako, Sancang dapat berkelanjutan akan ditentukan oleh distribusi ukuran dalam kesesuaian karateristik habitat.
3
Kualitas Air dan substrat Mangrove
Habitat Layak ?
Pertumbuhan Somatik dan Gonadik
Searasah dan Makrozoobentos Komunitas Kepiting Bakau
Manajemen Penangkapan
Distribusi Jenis dan Ukuran
Penangkapan
Gambar 1. Diagram Alir Pemecahan Masalah
Intensitas Penangkapan ?
Potensi Sumberdaya kepiting bakau berkelanjutan
4
2 TINJAUAN PUSTAKA Kepiting Bakau Kualifikasi Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae, yang terdiri atas enam subfamili yaitu : Carcininae, Polybiinae, Caphyrinae, Catoptrinae, Podophthalminae, dan Portuninae. Dinamakan kepiting bakau karena banyak ditemukan di wilayah hutan mangrove. Meskipun demikian, kepiting bakau memiliki nama lokal yang beragam. Masyarakat di wilayah jawa mengenalnya dengan nama kepiting, di Maluku tengah di kenal sebagai ketang nene, sedangkan di sebagaian Sumatera dikenal dengan nama ketam batu, kepiting cina, atau kepiting. Estampador (1949a) membagi genus Scylla.atas tiga jenis dan satu varietas, yaitu : S. serrata (Forskal), S. oceanic (Dana), S. tranqueberica (Fabricius) dan S. serrata var. paramamosain (Estampador). Seiiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan metode Allozyme electrophoresis dan Mitocondria DNA. Keenan et al. (1988) menyatakan bahwa kepiting bakau kepiting bakau terdiri atas empat jenis yaitu :S.serrata, S. tranquebarica, S. Paramamosain, dan S. olivacea. Taksonomi dan Morfologi Secara umum, ciri dari jenis-jenis organisme yang tergolong dalam famili Portunidae adalah : Karapas pipih agak cembung, berbentuk heksagonal atau agak persegi, bentuk umum adalah bulat bertelur memanjang atau berbentuk kebulat-bulatan, Karapas umumnya berbentuk lebih besar dari pada panjangnya dengan permukaan yang tidak selalu jelas pembagiannya; tetapi antero-lateral Karapas berduri lima (jarang kurang dari lima kecuali pada subfamili Podophthalminae) sampai sembilan buah; dahi lebar, secara terpisah dengan jelas dari sudut supraorbital dan memiliki jumlah duri dua sampai enam buah; antenna (antenullae) kecil, terletak melintang atau menyerong; pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung, terutama pada dua ruas (ada beberapa genus yang berkaki tidak berbentuk demikian) (Moosa 1981). Untuk membedakan keempat jenis dari genus Scylla, Estampador (1949b) merpergunakan warna sebagai salah satu faktor pembeda utama, walapun menurut Warner (1977), identifikasi jenis berdasarkan warna tubuh saja mungkin akan keliru, karena kondisi setempat seperti cahaya, panas, dan warna latar belakang habitat tempat kepiting bakau hidup, dapat berdampak terhadap disperse pigmen pada tubuh kepiting bakau. S.olivacea dan S. tranquebarica mempunyai warna dasar kehijauan atau hijau keabu-abuan, atau disebut juga warna hijau buah zaitun, sedangkan S.serrata dan S. paramamosain mempunyai dasar hijau merah kecoklatan atau coklat keabu-abuan sampai abu-abu. Estampador (1949a) mengkaji juga beberapa perbedaan morfologis untuk membedakan keempat jenis dari genus S.seperti : sumber pembuat warna, bentuk H pada Karapas, bentuk duri pada dahi Karapas, bentuk duri pada fingerjoint dan bentuk rambut/ setae.
5
Habitat Substrat Tekstur substrat disekitar hutan mangrove umumnya terdiri dari lumpur dan tanah liat. Hal ini sangat memungkinkan karena partikel lumpur atau tanah liat dapat mengendap dengan cepat karena air disekitarnya relatif tenang (Clough et al. 1983). Gerakan air yang lamban ini akan menyebabkan partikel sedimen yang halus cenderung mengendap dan berkumpul di dasar sehingga menghasilkan kumpulan lumpur yang halus. Substrat yang halus banyak mengandung serasah dan bahan organik yang dihasilkan dari daun-daun mangrove yang jatuh ke lumpur sekitar pohon mangrove yang terdekompisisi oleh bakteri, sehingga serasah pada substrat tersebut sangat mendukung bagi makanan organisme tertentu, yaitu organisme pemakan detritus dari kelompok Gastropoda (Ellobiidae dan Potamididae). Gastropda diketahui merupakan salah satu makanan alami kepiting bakau. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Opnai (1986), yang menyatakan bahwa 89% isi lambung kepiting bakau adalah bivalvia, gastropoda, dan moluska lainnya. Dengan demikian dalam kaitannya dengan kehidupan dan distribusi kepiting bakau, kandungan substrat dasar perairan hutan mangrove merupakan faktor pendukung penting, karena mempengaruhi kehidupan dan distribusi moluska yang merupakan makanan alami kepiting bakau. Kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap perairan zona intertidal dan sering membenamkan diri dalam substrat lumpur atau menggali lubang pada substrat yang lunak (Quensland Department of Primary Industries, 1989a; Hutching & Seanger, 1987), sedangkan Pagcatipunan (1972) melaporkan bahwa kepiting bakau sebelum melakukan pergantian kulit (moulting) akan masuk ke dalam lubang hingga Karapasnya mengeras. Makanan Kepiting bakau pada fase megalopa bersifat karnivora, dan setelah dewasa bersifat omnivorous scavenger dan pemakan sesama jenis (cannibal) . Menurut Pagctipunan (1972); Hill (1976); Hutching & Seanger (1987) bahwa kepiting bakau dewasa juga merupakan pemakan organisme bentos atau organisme yang bergerak lambat seperti bivalvia, kepiting kecil, kumang, cacing, jenis-jenis gastropda dan krustase. Hutching & Seanger (1987) menyatakan bahwa kepiting bakau hidup disekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya (pneumatophore). Perairan disekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah cukup tersedia. Pendapat ini didukung oleh Snedaker & Getter (1985) serta Moosa et al. (1985) yang menyatakan bahwa kepiting bakau merupakan organisme bentik pemakan serasah dimana habitatnya adalah perairan intertidal yang bersubstrat lumpur. Menurut Karsy (1996) bahwa kepiting yang akan makan dengan cara menyerang musuhnya dengan menangkap menggunakan capit (chela), selanjutnya merobe-robek makanannya. Sobekan-sobekan makanan tersebut akan dibawa ke mulut dengan bantuan kedua capitnya. Waktu makan kepiting bakau tidak teratur, tetapi umumnya lebih aktif di malam hari daripada siang hari, sehingga kepiting bakau tergolong sebagai hewan nokturnal, yang aktif di
6
malam hari (Queensland Department of Primary Industries, 1989b). Hal ini senada yang dikemukan oleh Hill (1976) bahwa kepiting bakau aktif mencari makan pada malam hari terutama pada periode bulan gelap. Aktivitas mencari makan dilakukan lebih satu kali dalam semalam. Hal ini terbukti dari frekuensi pengisian lambung kepiting bakau yang dapat berlangsung beberapa kali Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pengaturan proses kehidupan dan distribusi organism. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dan permukaan laut (altitude), waktu dalam satu hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman dari badan air tersebut. Hill et al. (1989); Queensland Departement of Primary Industries (1989a) menyatakan bahwa suhu air dapat mempengaruhi pertumbuhan, aktivitas dan nafsu makan, namun suhu air yang rendah di bawah 200C akan mengakibatkan aktfitas dan nafsu makan kepiting bakau menurun secara drastis. Pada saat itu pertumbuhan akan terhenti walaupun kepiting masih tetap hidup. Di perairan hutan mangrove Segara Anakan, kepiting bakau ditemukan pada perairan dengan kisaran suhu 28,8oC – 360C (Wahyuni & Sunaryo, 1981), sedangkan di perairan Laguna Segara Anakan, kepiting bakau ditemukan pada kisaran suhu 13-400C (Sulistiono et al., 1994). Toro (1987) menjumpai kepiting bakau pada perairan dengan kisaran suhu air 27.6-30.50C. Salinitas Keberadaan salinitas akan mempengaruhi keseimbangan cairan, koefesien penyerapan, tekanan osmosis dan viskositas. Menurut Mardjono et al.(1994) mengungkapkan perubahan salinitas akan mempengaruhi sifat fungsional dan struktur organisme. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas, maka kepiting bakauakan mengubah konsentrasi cairan tubuhnya sesuai dengan lingkungan melalui proses osmosis dan difusi. Nybakken (1992) menyatakan bahwa kepiting memiliki pengaturan osmosis yang berkembang dengan baik. Keberhasilan kepiting hidup di daerah estuaria disebabkan oleh kemampuan permeabilitas organ tubuh bagian kerangka luar terhadap pengaturan konsentrasi ion cairan tubuhnya.Pada dasarnya osmoregulasi (pengaturan osmosis) terjadi melalui pengeluaran air oleh organ ekskretod disertai dengan pengambilan ion dari lingkungan untuk mengimbangi kehilangan ion yang tidak dapat dihindari pada saat pengeluaran air. Secara umum kisaran salinitas yang dapat ditolerir oleh kepiting bakau cukup luas. Karsy (1996) melaporkan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15 ppt sampai lebih besar dari 30 ppt, sedangkan Wahyuni & Ismail (1987) menjumpai kepiting bakau dewasa di perairan mangrove Muara Dua Segara Anakan pada kisaran salinitas 2 – 34 ppt. Kedalaman Air Kedalam air biasanya terjadi karena keadaan pasang surut, dimana hal ini mempengaruhi terhadap perkawinan. Namun demikian kepiting bakau juga dapat hidup pada perairan yang dangkal. Wahyuni & Ismail (1987) mendapatkan
7
kepiting bakau pada kedalaman 30 – 79 cm di perairan dekat hutan mangrove, dan kedalaman 30 – 125 cm di muara sungai. Larva kepiting bakau yang berasal dari perairan laut banyak ditemukan di sekitar wilayah estuaria pada kedalaman 50 – 125 cm danpadahutan mangrove pada kedalaman < 30 cm dikarenakan terbawa oleh arus pada saat pasang. Larva-larva tersebut selanjutnya akan menempel pada akar-akar mangrove untuk berlindung. Hutching & Seanger (1987) menyatakan bahwa kepiting bakau tahap juvenil mengikuti pasang tertinggi di zona intertidal untuk mencari makanan kemudian kembali ke zona subtidal pada saat surut. pH. pH merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen. pH juga menunjukan tingkat keasaman air yang dihitung berdasarkan nilai konsentrasi ion H+. Bila ion H+ dalam air makin banyak, maka pH makin rendah dan perairan bersifat asam dan sebaliknya. Menurut Effendie (2002) menyatakan bahwa Nilai pH dapat mempengaruhi aktifitas biokimiawi, perubahan dalam sifat kimia alami perairan dan pencemaran. Pada perairan alami perubahan PH yang tinggi ke pH yang rendah dapat disangga oleh unsur kalsium yang terdapat dalam air.Sifat tanah dasar dan kandungan karbondioksida dalam air merupakan penyebab perubahan pH dalam sutau perairan. Berdasarkan hasil penelitian Sudiarta (1988), dikatakan bahwa pada perairan mangrove Segara Anakan, Kepiting Bakau ditemukan pada kisaran pH 6.16-7.50, sedangkan di pertambakan Muara Kamal, kepiting bakau ditemukan pada kisaran pH 7.0-8.0 (Retnowati, 1991). Mangrove Mangrove merupakan komunitas pohon atau semak belukar yang ditumbuh di wilayah pesisir intertidal maupun untuk individu jenis tumbuhan lainnya yang berasosiasi dengan mangrove. Sedangkan hutan mangrove merupakan suatu ekosistem penghubung antara daratan dan lautan yang meliputi populasi tumbuhan, hewan dan jasad renik serta lingkungan fisiknya, diikat oleh berbagai proses internal dan didalamnya terjadi proses pertukaran dan asimilasi energi. Proses internal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal seperti ketersediaan air, ketersediaan zat hara yang ditentukan oleh beberapa komponen yang saling berinteraksi. Nybakken (1992) menyatakan bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi komunitas hutan mangrove antara lain adalah salinitas, suhu, pH, arus, kekeruhan, dan substrat. Perairan disekitar hutan mangrove memiliki produktivitas tinggi, hal ini terkait dengan serasah mangrove yang berada di perairan sekitarnya baik berupa serasah maupun serasah yang terurai. Serasah mangrove akan dimanfaatkan oleh protozoa dan bakteri yang selanjutnya akan diuraikan sebagai bahan organik dan kemudian akan menjadi sumber energi bagi biota yang hidup diperairan. Makrofauna dan mikroorganisme dipandang sebagai komponen penting dalam proses dekomposisi. Disamping peranannya sebagai pengurai serasah, mikroorganisme yang di ekspor ke perairan sekitarnya juga akan berperan didalam rantai makanan. Menurut Bengen (2001) menyatakan bahwa Jenis-jenis tumbuhan mangrove yang hidup dari pantai sampai ke arah daratan adalah bakau bandul
8
(Rhizophora mucronata), Api-api (Avicenia marina), bogem (Sonneratia alba), nyirih (Xylocarpus moluccensis), tancang (Bruguiera gymnorrhiza), dan nipah (Nypa fructicans). Interaksi jenis-jenis mangrove tersebut dengan lingkungannya mampu menciptakan kondisi yang sesuai bagi berlangsungnya proses biologi beberapa organisme akuatik, seperti pemijahan dan daerah asuhan. Daerah perairan sekitar hutan mangrove diduga memberikan tempat berlangsungnya proses biologi biota laut apabila lingkungannya relatif stabil dan tidak terlalu berfluktuatif, tergenang pada periode dan kedalaman tertentu, serta tersedia makanan bagi larva ikan, kepiting dan udang. Kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap mangrove, dan sering ditemukan membenamkan diri dalam substrat lumpur, atau menggali lubang pada substrat lunak sebagai tempat persembunyian (Qensland Department of Industries 1989a). Lebih lanjut Pagcatipunan (1972), menyatakan bahwa setelah mengganti kulit (moulting), kepiting bakau akan melinduingi dirinya dengan cara membenamkan diri, atau besembunyi dalam lubang sampai karapasnya mengeras. Hutcing & Seanger (1987), menyatakan bahwa kepiting bakau hidup di sekitar hutan mangrove, dan memakan akar-akarnya (pneumatophore). Sementara Hill (1982), menyatakan bahwa perairan disekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau, karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah cukup tersedia. Hari Bulan dan Pasang Surut Serta Pengaruhnya Terhadap Fauna Laut Hari bulan adalah usia bulan yang dihitung sejakbulan gelap hingga bulan gelap berikutnya,biasanya dibagi menjadi empat kuadran. Kuadran adalah sejak gelap pertama sampai dengan bulan berbentuk setengah purnama. Kuadran II adalah sejak setengah pumama sampaibulan bulat penuh (purnama). Kuadran III adalah sejak bulan bulat penuh (purnama) sampai berbentuk setengah pumama kedua. Kuadran IV adalah sejak bulan berbentuk setengah purnama kedua sampai bulan gelap kembali. Perbedaan tampilan tersebut disebabkan posisi relatif bulan terhadap matahari. Lama tiap periode rata-rata tujuh hari, satu bulan terdiri atas 28 hari atau 29 hari (terkadang 30 hari). Kedudukan relatif bulan terhadap matahari tersebut menimbulkan pasang surut atau perubahan tinggi permukaan perairan di bumi (Sirait, 1997). Disamping naik turunnya permukaan air laut akibat kedudukan bulan, kedudukan bulan dapat pula menyebabkan pencahayaan alami pada malam hari yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan perairan. Pada saat bulan purnama, kolom perairan lapisan atas menjadi relative tenang. Keadaan ini dimanfaatkan oleh fauna yang aktif di malam hari yang mengandalkan indera penglihatan untuk mencari makan, melakukan pemijahan dan ruaya. Pasca saat periode bulan gelap, aktivitas fauna-fauna tersebut berbeda. Selain faktor cahaya, faktor lain yang cukup berpengaruh pada fauna perairan dangkal adalah faktor arus. Pada saat pasang naik,fauna laut dapat bergerak ke perairan yang lebih dangkal yakniyang dekat dengan garis pantai. Sebagian fauna akan beruaya ke pantai mencari makan memanfatkan fauna-fauna lain di dasar perairan yang tidak terendam air secara berkala. Sebagian ikan yang beruaya masuk ke muaramuara sungai jauh ke pedalaman. Pada saat surut sebaliknya, fauna umumnya akan menjauhi pantai garis.
9
Pada saat puncak periode bulan gelap dan bulan terang (purnama) jarak bulan terhadap bumi minimum, Sehingga biasanya akan terjadi pasang penuh yang mengakibatkan arus pasang surut yang kuat. Perubahan kondisi permukaan laut ini dapat berpengaruh nyata terhadap hasil tangkap harian, contohnya rajungan. Pada waktu bulan gelap, rajungan tidak aktif mencari makan, sedangkan pada periode bulan terang aktivitas rajungan meningkat. Susilo (1992) menyarankan penangkapan rajungan sebaiknya dilaksanakan pada saat periode bulan sabit pertama, periode bulan terang, dan periode bulan setengah pumama kedua. Keadaan pencahayaan bulan berpengaruh terhadap ikan hasil tangkapan nelayan (Sutowo, 1984). Untuk mengoperasikan alat tangkapikan yang menggunakan cahaya sebagai pemikat untuk mengumpulkan ikan, periode bulan yang paling produktif adalah saat bulan gelap dan periode bulan setengah purnama.
10
3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Cibako, Sancang terletak antara posisi 7°42' 32.15" - 7°45' 32.15" LS dan 107°42'34.15"107°52'18.10" Bujur Timur, dimana secara administrasi kawasan ini merupakan bagian pengelolaan Badan Konservesai Sumber daya Alam (BKSDA) Wilayah V Jawa Barat. Pada hutan mangroveini terdapat sungai Cibako yang terhubung dengan samudera Indonesia dan memiliki estuari, sehingga perairan tersebut sangat dipengaruhi oleh gerakan pasang surut Samudera Indonesia. Penelitian ini akan berlangsung selama empat bulan dengan frekuensi pengambilan contoh sebanyak 16 (enam belas) kali.
Metode dan Desain Penelitian
Gambar 2. Lokasi Penelitian (Sumber : BKSDA Wilayah V Jawa Barat)
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey. Lokasi/ stasiun penelitian terdiri dari 6 (enam) stasiun. Pada seluruh stasiun ini dilakukan pengukuran kualitas air, karakteristik habitat, dan distribusi ukuran, jenis, dan jumlah kepiting bakau. Pengukuran dan Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 16 kali dalam waktu (empat) bulan dengan survey dalam petak pengamatan berukuran 20 x 20 m dengan metode line plots transect (Bengen, 1997). Pengambilan sampel kepiting dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian dengan menggunakan alat tangkap bubu lipat sebanyak 8 unit, sehingga jumlah keseluruhan alat tangkap yang dibutuhkan sebanyak 48 unit. Penentuan stasiun penelitian dibagi atas tiga zona pengamatan yang terdiri dari : • Zona A , terletak di depan hutan mangrove, tepatnya di estuari Cisanggiri. Pada wilayah ini dipengaruhi oleh limpasan pasang air laut. Wilayah ini memiliki tingkat salinitas yang tinggi, kecerahan tinggi , substrat lumpur dan berpasir. Pada zona ini ditempatkan stasiun 1 yang berada di sebealah kiri sungai dan stasiun 2 di sebalah kanan sungai.
11
• Zona B, terletak di wilayah tengah hutan mangrove. Penenetuan lokasi di zona ini, karena Wilayah ini memiliki tingkat salinitas yang tinggi apabila terlewati gerakan pasang air laut, kecerahan rendah, substrat berlumpur, dan sedimentasi tinggi. Pada zona ini ditempatkan stasiun 3 yang berada di sebelah kiri sungai dan stasiun 4 berada di sebelah kanan sungai. • Zona C, terletak di wilayah bagian belakang dari hutan mangrove yang berbatasan dengan wilayah darat. Wilayah ini memiliki kecerahan rendah, substrat berlumpur, dan sedimentasi tinggi. Pada zona ini ditempatkan stasiun 5, berada di sebealah kiri sungai dan stasiun 6, berada di sebelah kanan sungai. Alat Peralatan yang digunakan dalam penilitian ini yaitu alat tangkap, kualitas air, alat ukur dimensi yang menunjukkan ketilitian alat , dokumentasi, dan wadah penyimpanan sampel. Tabel 1.Alat yang digunakan dalam penelitian dan kegunaannya. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Alat Alat tangkap bubu lipat Jangka sorong dengan ketelitian 0,05 mm Botol sampel GPS (Global Pointing System) Hand Refraktometer pH Meter Termometer Pipa Paralon Cool box Meteran Kantung plastik Kamera dijital
Kegunaan Menangkap kepiting bakau Mengukur dimensi ukuran panjang Wadah sampel air Mengukur letak geografis zona penelitian Mengukur parameter Salinitas Mengukur pH Mengukur suhu air Mengambil sampel substrat Menyimpan sampel air, substrat, dan serasah Mengukur Kedalaman air Menyimpan kepiting bakau Mendokumentasikan kegiatan penelitian
Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sampel kepiting, makrozoobentos, dan serasah untuk dilakukan pengamatan jenis dan kelimpahannya serta bahan pengawet untuk mengawetkan organisme yang diteliti pada selang waktu beberapa hari berikutnya. Tabel 2.Bahan yang digunakan dalam penelitian dan kegunaannya. 1 2 3
Bahan Kepiting bakau Formalin 4% Makrozoobentos dan Serasah
Kegunaan objek peneltian mengawetkan kepiting bakau Objek peneltian sebagai makanan kepiting
Metode Kerja Vegetasi Mangrove Data vegetasi mangrove dikelompokan pada masing-masing stasiun dalam petak pengamatanberukuran 10 x 10 m untuk kategori pohon (diameter >10 m), 5 x 5 m untuk kategori anakan/ belta (diameter = 2 – 10 cm),dan 1 x 1 m untuk kategori semai (diameter < 2 cm). Vegetasi mangrove pada tiap petak
12
pengamatan p n diidentifikaasi, diukur diameter baatangnya dann kemudiann dihitung jumlah j indivvidunya untuuk tiap kateggori Substrat Pengambilan subbstrat dilakuukan dengaan menggunnakan pipaa paralon berdiameter b 5 cm dengaan tinggi 15 cm pada maasing-masingg stasiun dallam petak pengamatan p n 1 x 1 m. Selanjutnya S sampel subbstrat di anaalisis di labooratorium untuk u dihituung persentaase fraksi kaategori pasirr, liat, dan luumpur sesuaai dengan kategorinya. k . Makanan M Alami Serasah Penguumpulan serrasah dilakuukan dengann menempaatkan dua buah b jala penampung p serasah diteempatkan pada petak pengamatan p 10 x 10 m,, masingmasing m padaa tegakan maangrove yanng ada di tiapp stasiun, seelanjutnya Serasah S di analisis a di laaboratorium untuk dihituung bobot keeringnya Makrozoo M obentos Penguumpulan maakrozoobentoos dilakukaan dengan penggalian substart sedalam s 15 cm pada peetak pengam matan 1 x 1 m. Sampell dimasukann kedalam kantung k plastik dan dittuangkan larrutan formallin 4%. Sam mpel substraat dibawa ke k laboratorrium untuk disaring daan dianalsisiis klasifikasii jenis dan dihitung jumlahnya j . Sampel yaang telah diamati, selannjutnya diaw wetkan dalam m larutan formalin f 4% % untuk dikoleksi. Kualitas K Air A Penguukuran param meter suhu, pH, salinitaas dilakasannakan dilapaangan (in situ) s dengan n menggunaakan water quality cheecker, sedanngkan kedallaman air diukur d denggan mengggunakan meeteran. Peng gukuran dillakukan pada petak pengamatan p n 20 x 20 m Pengumpu P ulan Conto oh Kepitin ng Bakau Pengambilan conntoh dilakukkan dengann Penangkaapan kepitinng bakau digunakan d b bubu lipat berukuran b 7 x 50 x 30 cm yanng ditempatkkan pada 70 masing-mas m ing stasiun sebanyak 8 unit. Penaangkapan dillakukan padda malam hari. h Sebeluum penangkaapan dilaksaanakan, alat tangkapan diberi umpaan berupa potongan p ik kan kembuung, selar atau cucut. Penangkappan kepitinng bakau dilakukan d paada petak peengamatan 20 x 20 m
Gambar 4. Alat Tangkap Bubu
13
Ukuran U Param meter yang diiukur adalahh panjang daan lebar karaapas. Panjangg karapas (carapace ( l length/ CL) merupakan panjang yang y diukurr secara verrtikal dari puncak p fronnt sampai tep pi coxa, sedaangkan lebarr karapas diuukur secara horizontal h dari d kedua sisi antero latteral karapass (Warner, 1977).
Gambar G 3. Skema S metodde pengumpulan data lappangan An nalisis Data Pengelomp P pokkan ka arakteristik Habitat Pengelompokkan kemiripan antar stassiun digunakkan cluster analysis. Proses P peng gelompokk kan karakterristik lingku ungan antar stasiun diigunakan analisis a Aveerage linkagge clusteringgdengan baantuan softw ware Excel Stat S Versi 2012. 2 Analisis ini digun nakan apabilla jarak antaara kelompokk terdapat kemiripan k objek o yang merupakann jarak terdeekat dari obbjek kelomppok pertamaa dengan kelompok k laainnya (Hair et al. 1998). Ketersedia K aan Makan nan Alamii Untukk menganalisa rata-ratta produksii serasah ppada setiapp stasiun n digunakan d ruumus : X Xi j i
Keterangan : Xi = Rataa-rata produksi pada setiap traansek (g/ m2) Xj = Bobot serasah plott ke-i pada selaang waktu terteentu (g)
Sedaangkan untuuk menganallisa kelimpaahan makrozzoobentos digunakan d rumus r : Ni
N
i
A Keterangan : Ni = Kelimpahan K maakroozobentos jenis-i (ind/ m2) ∑Ni = Ju umlah individu makrozoobenttos jenis-i (ind d) A = Luuasan Areal pengambilan p coontoh (m)
14
Kerapatan Jenis Mangrove
Kerapatan Jenis mangrove diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Ki
n
Keterangan : Ki = Kerapatan mangrove jenis-i (ind/ ha) ∑ni = Jumlah individu jenis-i (ind) A = Luasan Areal pengambilan contoh (ha)
i
A
Distribusi Individu Kepiting Bakau Parameter Kualitas Air Antar Stasiun dan Antar Bulan
Distribusi individu kepiting bakau dan Parameter habitat diuji dengan menggunakan analisis varians (anova) atau uji F dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan bantuan SPSS versi 12. Selanjutnya dilakukan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk membandingkan nilai beda absolut dari dua perlakuan lebih besar dari nilai BNT maka dapat disimpulkan bahwa kedua perlakuan itu berbeda nyata pada taraf nyata α Distribusi Ukuran Kepiting Bakau Masing-masing Jenis Antar Umur Bulan
Distribusi Jumlah rata-rata untuk jenis kepiting bakau (Scylla serrata, S.transquaberica, dan S.olivacea) antar umur bulan dilakukan uji analisis varian (anova) atau uji F dalam RAK dengan bantuan aplikasi SPSS versi 12. Untuk melihat perbedaan penyebarannya dilakukan uji lanjut BNT. Hubungan Sebaran Jenis Kepiting Bakau Masing-Masing Kelas Ukuran Antar Bulan Pada Setiap Stasiun
Sebaran kelas ukuran masing-masing jenis kepiting bakau antar stasiun dan antar bulan dilakukan analisis faktorial koresponden (correspondence analysis). Berdasarkan hasil penelitian Nazar (2002) bahwa sebaran ukuran kepiting bakau di wilayah hutan mangrove Segara Anakan, dianalisis menggunakan faktorial koresponden pada ketiga jenis kepiting bakau, yaitu yang terbagi atas 3 kelompok kelas ukuran, yaitu: S. serrata berukuran kecil < 70 mm (SSk), ukuran sedang antara 70 – 100 mm (SSs), ukuran besar >100 mm (SSb). S. tranquebarica berukuran kecil <60 mm (STk), ukuran sedang antara 60 – 80 mm (STs), ukuran besar > 80 mm (STb). S. olivacea berukuran kecil < 55 mm (SOk), ukuran sedang antara 55 – 65 mm (SOs), dan ukuran besar > 65 mm (SOb).
15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN KarakteristikHabitat Derah Penelitian Vegetasi Mangrove
Secara administrasi hutan mangrove Cibako merupakan bagian dari kawasan pesisir Samudera Indonesia, terletak di wilayah Sancang, Kabupaten Garut. Luas hutan mangrove Cibako kurang lebih 65,4 Ha yang ditumbuhi vegetasi mangrove Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Avicenia marina, Sonetaria alba, Aegiceras corniculatum, Ceriops tagal, Bruguirea gymnorhiza, dan Nypa fruticants. Daratan Sancang sangat dipengaruhi oleh angin laut.Curah hujan rata-rata 1.695 - 2.570 mm pertahun dengan jumlah hari hujan 124 – 178 hari(BKSDA Wilayah V Jawa Barat, 2008).Keberadaan mangrove di wilayah pantai Cibako ini hampir memiliki kesamaan vegatasi mangrove di Segara Anakan yang juga merupakan kawasan perairan pantai selatan jawa. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Murni (1995) yang menemukan 11 jenis vegetasi mangrove di Segara Anakan, diantaranya Soneratia Alba, Nypa fructicants, Rhizophora sp, Ceriops tagal, Aegiceras corbiculatum, Avicenia sp, Hibiscus tiliaceus, Widelia Biforia, Sarcolabus globsus,Acanthus iricifolius. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa vegetasi mangrove jenis R.apiculata, R.mucronata, A.marina, dan S.alba ditemukandi kawasan terdepan hutan mangrove.B.gymnorhyzadan A.corniculatum ditemukandi wilayah bagian tengah dan belakang hutan mangrove. C.tagal ditemukan di kawasan tengah hutan mangrove. Pada stasiun 1 dan 2 dominan ditumbuhi oleh jenis R.apiculata dengan kerapatan 370 ind/ha dan 520 ind/ha dan R.mucronata dengan kerapatan 290 ind/ha dan 330 ind/ha.Jenis vegetasi mangrove lainnya yang ditemukan di stasiun 1 dan 2 adalah S.alba dengan kerapatan 120 ind/ha dan 180 ind/ha dan Avicenia marina dengan kerpatan 130 ind/ha dan 150 ind/ha. Total kerapatan mangrove di stasiun 1 dan 2 yang berada di depan hutan mangrove adalah 910 ind/ha dan 1180 ind/ha (Tabel 3). Menurut Pramudji (2003) mengungkapkan bahwa Famili Rhizophoraceae berada di kawasan muara yang berjarak 10-75 m dari garis pantai yang merupakan zonasi terdepan setalah vegetasi A.marina dan S.alba, dimana habitatnya hidup pada Substrat yang masih berupa lumpur lunak dengan kadar salinitas yang agak rendah.Mangrove pada zona ini masih tergenang pada saat air pasang. Hal lain juga senada dengan Noor (1999) mengungkapkan bahwa jenis R.apiculata biasanya ditemukan pada daerah bersubstrat lumpur halus dan dalam, tergenang pada saat pasang normal, tidak menyukai substrat lebih keras yang bercampur pasir. Biasanya tingkat dominansi dapat mencapai 90% dari vegetasi yangtumbuh disuatu lokasi, menyukai juga perairan surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar secara permanen. Keberadaan Jenis S.alba dan A.marina yang berasosiasi dengan Rhizophora sp di stasiun 1 dan 2, diduga karena jenis tersebut masih toleran dengan habitat substrat yang berlumpur yang bercampur pasir dan tidak toleran dengan air tawar. Hal ini sejalan dengan pendapat Pramudji (2003) bahwa vegetasi S.alba dan A.alba terletak paling luar dari hutan yang berhadapan langsung dengan laut yang hidup di substrat lumpur lembek dan
16
kadar salinitas tinggi. Jenis mangrove tersebut memilliki perakaran yang kuat untuk menahan pukulan gelombang, serta mampu membantu dalam proses penimbunan sedimen. Pada stasiun 3 dan 4 dominan ditumbuhi B.gymnorhiza dengan kerapatan 230 ind/ha dan 280 ind/ha. Jenis vegetasi lainnya yang tumbuh di stasiun 3 dan 4 adalah C.tagal dengankerapatan 90 ind/ha dan 150 ind/ha dan A.corniculatum yang merupakan jenis mangrove tambahan dengan kerapatan 180 ind/ha dan 240 ind/ha. Total kerapatan mangrove di stasiun 3 dan 4 yang berada di wilayah tengah hutan mangrove adalah 500 ind/ha dan 670 ind/ha (Tabel 3). B gymnorhyza biasanya hidup pada substrat lumpur, pasir, dan liat yang banyak ditemukan di daerah pinggir sungai yang kurang terpengaruh air laut. Jenis mangrove tersebut mampu hidup di berbagai kondisi salinitas dari yang rendah dan tinggi hingga air laut, dengan berbagai tingkat penggenangan hutan bakau. Noor (1999) menyatakan bahwa Brugueira gymnorhiza dominan pada hutan mangrove yang berbatasan dengan daratan.Jenis tersebut tumbuh diareal dengan salinitas rendah dan kering, dengan tanah yang memiliki aerasi yang baik. Selain itu B.gymnorhiza toleran terhadap daerah terlindung ataupun yang mendapat sinar matahari langsung dan dapat tumbuh pada daerah pinggir hutan mangrove, sepanjang tambak serta sungai pasang surut dan payau.Substrat terdiri dari lumpur, pasir, d a n gambut berwarna hitam. Terkadang ditemukan juga pada daerah pinggir sungai yang kurang terpengaruh air laut. C.tagal hidup pada substrat yang berpasir dan berlumpur yang membentuk gundukan-gundukan akibat sistem perakaran vegetasi yang khas (Siahainenia, 2000). A.corniculatum memlliki toleransi tinggi terhadap salinitas, tanah, dan cahaya yang beragam. Biasanya jenis ini tumbuh di tepi daratan hutan mangrove yang tergenang oleh pasang naik yang normal,serta dibagian tepi dari jalur air yang bersifat payau secara musiman. Pada staiun 5 dan 6 dominan ditumbuhi oleh B.gymnorhyza dengan kerapatan 190 ind/ha dan 210 ind/ha dan A.corniculatum derngan kerapatan 110 ind/ha dan 170 ind/ha. Total kerapatan mangrove di stasiun 5 dan 6 yang berada di wilayah belakang hutan mangrove adalah 300 ind/ha dan 380 ind/ha (Tabel 3). Tabel 3. Kerapatan individu jenis mangrove di stasiun penelitian (ind/ha) Jenis R. apiculata R. mucronata A. marina S.alba C. tagal B. gymnorhiza A.corniculatum Jumlah
Kerapatan individu Jenis Mangrove tiap stasiun (ind/ha) 1 2 3 4 5 6 370 520 290 330 130 150 120 180 90 150 230 280 190 210 180 240 110 170 910 1180 500 670 300 380
Produksi Serasah
Hasil analisa rata-rata produksi serasah antar stasiun memperlihatkan bahwa rata-rata produksi serasah tertinggi ditemukan di stasiun 2 adalah 206,18 g dan terendah ditemukan pada stasiun 6 sebesar 184,79 g (Tabel 4).
17
Nilai rata-rata produksi serasah tertinggi pada di staisun 2 adalah 206.18 g, diduga karena tingkat kerapatan mangrove lebih tinggi, dimana frekuensi jatuhnya daun mangrove akan lebih besar yang tertangkap oleh jala. Daun R.apiculata dan R.mucronata lebih banyak tertangkap oleh jala dibandingkan dengan Avicena marina dan Soneratia alba. Berdasarkan hasil penelitian Pramudji (1987) menunjukkan bahwa pada tegakan Rhizophora, jumlah jatuhan serasah meningkat secara nyata sesuai dengan pertambahan umur dan jumlah maksimumnya pada usia 10 tahun. Tegakan usia diatas 10 tahun tidak menghasilkan perbedaan nyata, selain itu jarak tumbuh dari garis pantai secara langsung mempengaruhi jumlah serasah yang jatuh. Tabel 4. Rata-rata produksi serasah selama penelitian (g) dan hasil uji BNT antar stasiun dan bulan pengamatan Bulan pengamatan RataSD N rata Agustus September Oktober Nopember b 1 198.35 192.75 182.74 202.36 194.05 8.51 16 2 209.47 208.84 198.89 207.54 206.18b 4.93 16 3 202.47 205.24 201.3 207.86 204.21b 2.94 16 4 216.2 213.11 205.16 218.48 213.23b 5.82 16 5 134.35 148.75 175.28 192.33 162.67a 26.04 16 6 169.8 153.81 126.64 184.79 158.76a 24.87 16 ab ab a b 187.08 181.66 202.22 194.05b Rata-rata 188.44 SD 30.92 28.60 29.34 12.05 N 24 24 24 24 Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama atau berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). Stasiun
Selanjutnya analisa rata-rata produksi serasah antar bulan memperlihatkan bahwa rata-rata produksi serasah tertinggi ditemukan pada bulan November adalah 202,22 g dan terendah ditemukan pada bulan oktober adalah 181,66 g (table 4). Keadaan ini diduga karena pada bulan November terjadi perubahan pergerakan angin dari Barat ke Timur yang cenderung lebih besar menyebabkan daun-daun mangrove banyak yang jatuh. Serasah adalah sisa organik dari tanaman dan hewan, yang ditemukan di permukaan tanah atau di dalam mineral tanah. Serasah terdiri atas guguran cabang, batang utama, daun dan buah yang menumpuk pada permukaan tanah (Spur dan Barness 1980). Menurut Waring & Schlesinger (1985) mengungkapkan bahwa kehilangan tahunan dari daun, bunga, buah, ranting, dan serpihan kulit kayu merupakan bagian utama dari guguran serasah pada ekosistem hutan mangrove. Serasah daun merupakan 70% dari total serasah di permukaan tanah. Hasil analisa produksi serasah menunjukkan bahwa, produksi serasah berbanding lurus dengan kerapatan vegetasi mangrove. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat kerapatan mangrove pada suatu wilayah, semakin tinggi pula nilai produksi serasah pada wilayah tersebut. Hasil analisa produksi serasah di stasiun 2 menunjukkan kerapatan mangrove yang tinggi, memiliki produksi sersasah yang tinggi pula. Sebaliknya ditemukan pada stasiun 5 yang memiliki kerapatan vegetasi mangrove yang rendah, memiliki produksi serasah yang rendah pula.
18
Fraksi Substrat
Berdasarkan Hasil analisa fraksi substrat dasar memberikan gambaran bahwa substrat dasar pada keenam stasiun penelitian, didominasi oleh lumpur, diikuti liat, dan pasir (Tabel 5). Tabel 5. Rata-rata Fraksi Substrat selama penelitian antar stasiun (%) Stasiun 1 2 3 4 5 6
Pasir 21.65 21.83 10.77 11.65 2.93 2.41
Fraksi Substrat (%) Lumpur 47.08 47.20 70.33 71.58 41.75 41.26
Liat 31.28 30.98 18.91 16.77 55.33 56.34
Fraksi substrat di stasiun 1 dan 2 didominasi oleh lumpur. Hal ini diduga karena perakaran mangrove jenis Rhizophora yang rapat dapat menyangga partikel substrat dan berkumpul menjadi lumpur di sekitar perakaran mangrove tersebut. Namun demikian substrat lumpur di stasiun ini masih banyak bercampur dengan pasir, karenakawasan ini cukup kuat dipengaruhi oleh aliran air laut yang membawa partikel pasir di saat pasang. Fraksi substrat di stasiun 3 dan 4 didominasi oleh lumpur. Kawasan ini memiliki persentase lumpur tertinggi dibandingkan dengan stasiun 1 dan 2 maupun stasiun 5 dan 6. Hal ini diduga karena gerakan air tawar yang lambat, menyebabkan partikel substrat halus cenderung mengendap dan berkumpul didasar dan menjadi kumpulan lumpur, disamping itu perakaran mangrove yang cukup rapat dari jenis B.gymnorhyza, A.corniculatum, dan C.tagal dapat menyangga partikel substrat halus dan berkumpul menjadi lumpur. Fraksi substrat di stasiun 5 dan 6 didominasi oleh liat. Hal ini disebakan wilayah ini berbatasan dengan daratan yang jarang digenangi oleh air.Keadaan ini menyebabkan tanah selalu basah membentuk liat. Disamping didugakarena perakaran mangrove kurang dapat menyangga gerakan air,sehingga partikel substrat haluscenderung kurang mengendap di dasar perairan. Menurut Arriola (1940), substrat dasar berlumpur dan berpasir merupakan salah satu habitat yang disenangi oleh kepiting bakau. Snadaker & Getter (1985) serta Moosa et al. (1985) menyatakan bahwa habitat ideal kepiting bakau adalah daerah intertidal bersubstrat lumpur. Nybakken (1992) mengungkapkan bahwa kebanyakan estuari didominasi oleh fraksi lumpur yang sangat lunak. Substrat ini berasal dari sedimen yang dibawa ke estuari, baik oleh air laut mapun air tawar. Sungai yang merupakan sumber air tawar mengikat partikel lumpur dalam bentuk suspensi. Ketika partikel tersuspensi tersebut bercampur dengan air laut di estuari, maka ion yang berasal dari air laut, akan menyebabkan partikel lumpur menggumpal, membentuk partikel yang lebih berat dan besar, kemudian mengendap dam membentuk dasar lumpur yang khas. Air laut juga mengandung materi tersuspensi yang cukup banyak. Ketika air laut masuk ke estuari, kondisi yang terlindung dan tenang akan mengurangi gerakan arus, yang berperan
19
mempertahankan berbagai partikel dalam bentuk suspense. Akibatnya partikel akan mengendap dan membentuk substrat lumpur dan pasir. Kelimpahan Makrozoobentos
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap makrozoobentos ditemukan sebanyak 13 jenis makrozoobentos di 6 (enam) stasiun penelitian. Jenis-jenis tersebut dikelompokan atas 4 (empat) kelas, yaitu :gastropda, bivalvia, polychaeata, dan malacostraca. Hasil analisa kelimpahan individu antar stasiun selama bulan pengamnatan menunjukkan bahwa jumlah kelimpahan makrozoobentos tertinggi ditemukan pada stasiun 4 adalah 18 individu (ind), diikuti oleh stasiun 3 adalah 16 ind, stasiun 2 adalah 14 ind, stasiun 1 adalah 11 ind, stasiun 6 adalah 8 ind, dan stasiun 5 adalah 6 ind (Tabel 6). Hasil analisa jumlah kelimpahan individu kelas makrozoobentos antar stasiun penelitian menunjukkan bahwa jumlah individu tertinggi sampai terendah secara berturutturut dimiliki kelas gastropoda, bivalvia, polychaeta, dan malacostraca. Hasil analisa kelimpahan individu antar stasiun pada kelas gastropoda dimiliki oleh Melanoides tuberculata, sebaliknya terendah dimiliki oleh jenis Littorina scabra. Nilai kelimpahan individu kelas bivalviia tertinggi dimiliki oleh jenis Codacia sp, sebaliknya terendah dimiliki oleh jenis Tellina carpenter. Nilai kelimpahan individu kelas polychaeta tertinggi dimiliki oleh jenis Sigambra Parva, sebaliknya terendah dimiliki oleh jenis Annelida sp. Nilai kelimpahan individu kelas malacostraca tertinggi dimiliki oleh jenis Ostrea sp, sebaliknya terendah dimiliki oleh jenis Coenobita violascens. Tabel 6. Rata - rata jumlah Makrozoobentos selama penelitian antar stasiun (ind/m2) Kelas
Gastropda
Species Terebralia sulcata Brotia Baccata Cerithidea quadrata cypraea annulus Littorina scabra Melanoides tuberculata
Sub Jumlah Bivalvia
Codacia sp Tellina carpenteri Geloina sp
Sub Jumlah Polychaeta
Sigambra parva Annelida sp
Sub Jumlah Malacostraca
Coenobita violascens Ostrea sp
Sub Jumlah Total Makrozoobentos
1 1 2 2 2 7 2 1 3 1 1 0 11
2 2 3 1 1 7 2 1 3 2 2 2 2 14
Stasiun 3 4 2 2 3 2 2 1 2 3 1 2 10 10 2 1 2 2 3 4 2 2 1 2 3 1 1 1 1 16 18
5 2 1 1 4 1 1 1 1 0 6
6 1 2 1 4 2 2 1 1 1 1 8
Hasil analisa kelimpahan makrozoobentos antar stasiun menunjukkan bahwa kelimpahan tertinggi umumnya dijumpai pada stasiun dengan tingkat kerapatan vegetasi mangrove yang relatif tinggi, sebaliknya kelimpahan terendah
20
ditemukan pada stasiun dengan tingkat kerapatan vegetasi mangrove yang rendah. Hal ini disebabkan karena beberapa jenis makrozoobentos sangat bergantung hidupnya pada bagian-bagian vegetasi mangrove. Littorina scabra hidup pada hamper semua zona di hutan mangrove, kecuali zona belakang hutan mangrove yang berbatasan dengan hutan darat dan jauh dari laut. Menurut Sarankura (1976) dalam Rangan (1996) mengungkapkan bahwa genus Littorina hidup di batang, cabang, akar, dan daun mangrove, merayap naik dan menggantung hanya dengan bantuan lendirnya yang kental, dijumpai pada sebagian besar vegetasi mangrove. Selain itu beberapa jenis Telebralia sp yang ditemukan pada hamper semua zona dalam wilayah perairan mangrove Cibako, Sancang yang bersubstrat liat lumpur. Secara umum, distribusi jenis-jenis makrozoobentos dalam suatu wilayah perairan mangrove sangat dipengaruhi oleh tingkat produksi serasah, karena tingginya produksi serasah, diikuti oleh tingginya tingkat produktivitas perairan. Kesuburan perairan merupakan salah satu faktor pendukung distribusi dan kelimpahan makrozoobentos. Dengan demikian kelimpahan distribusi makrozoobentos turut ditentukan oleh tingkat kerapatan vegetasi mangrove. Distribusi jenis organisme makrozoobentos, berbeda antar zona dalam wilayah perairan mangrove. Hynes (1972) dalam Nazar (2002) menyatakan bahwa distribusi jenis dan ukuran populasi makrozoobentos diperairan sangat ditentukan oleh kecepatan arus, temperatur, tipe substrat, kekeruhan, zat makanan, dan kompetisi antar spesies. Tingginya kelimpahan kelas gastropoda pada wilayah perairan mangrove Cibako menunjukkan bahwa kelas gastropoda memiliki sebaran yang sangat luas pada zona-zona dalam wilayah hutan mangrove. Hal ini mendukung pernyataan Rangan (1996), bahwa distribusi gastropoda pada hutan mangrove sangat luas, yakni menyebar pada daun, akar dan batang mangrove,serta pada substrat lumpur, liat maupun pasir diperairan hutan mangrove. Demikian pula dengan Wibowo (1997) dalam Nazar (2002) menyatakan bahwa kelas Gastropoda di pulau Tirang Malang Segara Anakan, memiliki persentase kelimpahan tertinggi, dibandingkan dengan kelas-kelas makrozoobentos lainnya. Melanoides tuberculata mendominasi organisme makrozoobentos dari kelas gastropoda pada wilayah perairan mangrove Cibako, yang mengindikasikan bahwa jenis tersebut memiliki tingkat adaptasi yang baik terhadap perbedaan parameter lingkungan. Sebaliknya jenis organisme makrozoobentos yang mendominasi kelas malacostraca terlihat berbeda antar stasiun.Hal ini diduga disebabkan karena adanya perbedaan kondisi parameter biofisik dan kimia lingkungan. Jenis Codacia sp mendominasi kelimpahan makrozoobentos dari kelas bivalvia pada wilayah perairan mangrove Cibako. Jenis Codacia sp umumnya senang hidup pada substrat dasar berlumpur. Jenis substrat ini menyebar luas pada wilayah perairan mangrove Cibako, karena dibentuk oleh sistem perakaran mangrove. Jenis tersebut banyak ditemukan pada perakaran mangrove Rhizophora yang banyak memiliki substrat lumpur. Dari penjelasan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa kelimpahan dan distribusi makrozoobentos pada wilayah perairan mangrove Cibako sangat terkait dengan produksi serasah dan jenis substrat dasar, yang dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi mangrove.
21
Kepiting bakau merupakan hewan pemakan bangkai (scavenger) (Queensland Department of Primary Indistries 1989a) bahkan pemakan segala bangkai (omnivorous scavengers) (Ariola, 1940). Kepiting dewasa juga merupakan organisme pemakan bentos atau organism yang bergerak lambat seperti bivalvia, jenis klomang (hermit crab), cacing serta jenis-jenis gastropoda dan krustasea (Hutching & Seanger 1987). Dengan demikian kehadiran kepiting bakau pada suatu wilayah perairan turut dipengaruhi oleh distribusi dan kelimpahan makrozoobentos pada wilayah perairan tersebut. Kualitas air Suhu
Berdasarkan hasil Pengukuran suhu selama bulan pengamatan bahwarata-rata suhu di stasiun 1 dan 2 lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 3, 4, 5 , dan 6 (Tabel 7). Hal ini disebabkan stasiuntersebut menerimamasukan air laut yang berlimpah pada saat pasang, dimana suhu air laut lebih meningkat karena pengaruh penetrasi cahaya yang lebih merata, sedangkan suhu di stasiun 3, 4, 5, 6 lebih rendah diduga karena di stasiun tersebutmengalami pencampuran air laut dan tawar, dimana suhu air tawar lebih rendah dibandingkan dengan suhu air laut, disamping itu karena di stasiun tersebut banyak tertutup oleh naungan mangrove, sehingga suhu air tidak meningkat dari pengaruh penetrasi cahaya secara langsung terserap ke perairan. Tabel 7. Rata-rata suhu selama penelitian (0C) dan hasil uji BNT antar stasiun dan bulan pengamatan Bulan pengamatan Stasiun Agustus September Oktober Nopember Rata-rata SD N 1 28.8 27.24 29.87 28.66 28.64c 1.07 16 2 28.75 27.16 29.71 28.8 28.6c 1.05 16 .68 16 3 28.15 26.92 28.44 28.18 27.92b .86 16 4 28.11 26.87 28.39 28.16 27.88b 5 27.4 26.16 28.17 27.76 27.29a .87 16 6 27.15 26.13 28.12 27.78 27.37a .95 16 26.74a 28.78c 28.22b Rata-rata 28.04b SD .67 .48 .79 .43 N 24 24 24 24 Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama atau berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Rata-rata suhu pada bulan Agustus, Oktober, dan November lebih tinggi dibandingkan dengan bulan September (Tabel 7). Hal ini diduga keadaan cuaca di bulan Agustus, Oktober, dan November cukup cerah dan jarang mengalami turun hujan, dimana rata-rata suhu air > 280C. Namun keadaan cuaca di bulan September sering mengalami turun hujan dan masukan air tawar melimpah yang bersuhu rendah, menyebabkan suhu air cenderung menurun <280C. Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi kelangsungan hidup kepiting bakau (Karsy, 1996).Menurut Hill (1982); Hill et al (1989); Queensland Department of Primary Industries (1989a) menyatakan bahwa kepiting bakau bertoleransi pada perairan dengan kisarana suhu 12 – 350C dan tumbuh cepat pada kisaran suhu 23 – 320C. Menurut Baliao (1983) menyatakan bahwa suhu perairan diduga berperan terhadap efisiensi
22
pemanfaatan makanan dan peningkatan kelulus hidupan larva kepiting bakau. Dikatakan juga bahwa kepiting bakau tumbuh lebih cepat pada perairan dengan kisaran suhu 23 - 32 0C. Di perairan hutan mangrove Muara Dua Segara Anakan, kepiting bakau ditemukan pada perairan dengan kisaran suhu 28,8 – 36,0 0C (Wahyuni & Sunaryo, 1981), sedangkan di perairan Laguna Segara Anakan, kepiting bakau ditemukan pada kisaran 130C -40 0C (Sulistiono et al, 1994). Salinitas
Berdasarkan hasil pengukuran salinitas selama bulan pengamatan menunjukkan bahwarata-rata salinitas di stasiun 1 dan 2 lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 3, 4, 5, dan 6 (Tabel 8). Hal ini disebabkan bahwa stasiun 1 dan 2 menerima masukan air laut yang lebih besar dibandingkan dengan air tawar , sehingga salinitas perairan lebih tinggi, sedangkan rata-rata salinitas di stasiun 3 dan 4 menurun akibat terjadinya pencampuran dengan air tawar, dimana masukan air laut disaat pasang berkurang dibandingkan dengan masukan air tawar. Rata-rata salinitas di stasiun 5 dan 6 lebih rendah dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hal ini disebabkan stasiun tersebut menerima masukan air laut yang kecil disaat pasang, mengingat jangkauan pasang air laut jarang melewati wilayah perairan ini, karena jarak stasiun tersebut dari pantai cukup jauh. Tabel 8. Rata-rata salinitas selama penelitian (ppt) dan hasil uji BNT antar stasiun dan bulan pengamatan Bulan pengamatan Rata-rata SD N Agustus September Oktober Nopember c 1 28.42 25.83 27.29 27.72 27.31 1.09 16 2 28.38 25.81 27.31 27.68 27.29c 1.08 16 3 25.18 23.11 25.07 24.18 24.38b 0.96 16 0.94 16 4 25.2 23.13 25.03 24.23 24.39b 0.97 16 5 23.14 21.17 23.26 22.19 22.44a 6 23.17 21.13 23.28 22.16 22.43a 1 16 Rata-rata 25.58c 23.36a 25.20c 24.69b SD 2.36 2.09 1.8 2.5 N 24 24 24 24 Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama atau berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). Stasiun
Analisa Uji BNT antar bulan terlihat bahwa salinitas bulan Agustus, Oktober, dan November berbeda nyata dengan bulan September (Tabel 8). Ratarata salinitas bulan Agustus, Oktober, dan November lebih tinggi di duga karena masukan air laut berlimpah pada saat pasang yang dapat melampui beberapa stasiun penelitian, disamping itu keadaan cuaca cukup cerah, jarang turun hujan, dan masukan air tawar ke wilayah mangrove berkurang, sehingga salinitas cenderung meningkat. Sebaliknya rata-rata salinitas di bulan September cenderung menurun, disebabkan masukan air tawar berlimpah dan sering mengalami turun hujan. Hill et al. (1989) menyatakan bahwa salinitas perairan berpengaruh terhadap tiap fase kehidupan kepiting bakau, terutama pada saat berganti kulit. Walapun demikian menurut Queensland of Department of Primary Industries (1989a), kisaran yang ideal untuk pertumbuhan kepiting bakau belum dapat ditentukan, akan tetapi kepiting bakau pada tingkat zoea sangat sensitive
23
terhadap perairan bersalinitas rendah. sebaliknya kepiting bakau dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan dengan salinitas 16-20% dan kemudian beruaya ke perairan laut dalam untuk memijah (Karsy, 1996). Karsy (1996), melaporkan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15 ppt sampai lebih besar dari 30 ppt. Di Queensland, kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas 2-50 ppt, walaupun belum diketahui pengaruh nilai salinitas tersebut terhadap pertumbuhannya. pH
Hasil Pengukuran pH selama bulan pengamatan menunjukkan rata-rata pHnetral di seluruh stasiun penelitian. Berdasarkan Analisa Uji BNT antar stasiun menunjukkan pH di stasiun 1 dan 2 lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya (Tabel 9). Hal ini disebabkan stasiun 1 tersebut cenderung lebih banyak menerima masukan air laut yang memiliki pH > 7. Rata-rata pH di stasiun 3 dan 4 cenderung menurun, Hal ini didugapada stasiun tersebut mengalami pencampuran air laut dengan air tawar yang memiliki pH < 7. Namun demikian pH perairan di wilayah tersebut masih dalam kondisi netral. Rata-rata pH < 7 di jumpai di stasiun 5 dan 6. Hal ini diduga karena masukan air tawar ke wilayah tersebut berlimpah yang memiliki suhu < 7, disamping itu diduga adanya pelapukan dan dekomposisi dari batang-batang kayu dan daun mangrove yang memiliki nilai pH yang cederung asam. Tabel 9. Rata-rata pH selama penelitian dan hasil uji BNT antar stasiun dan bulan pengamatan Bulan pengamatan Rata-rata Agustus September Oktober Nopember 1 7.82 7.25 7.42 7.76 7.56c 2 7.79 7.24 7.44 7.73 7.55c 3 7.27 6.87 7.09 7.36 7.15b 4 7.24 6.82 7.11 7.39 7.14b 5 7.11 6.51 6.82 7.14 6.90a 6 7.14 6.53 6.85 7.11 6.91a c a b c Rata-rata 7.40 6.87 7.12 7.42 SD 0.33 0.31 0.26 0.26 N 24 24 24 24 Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). Stasiun
SD
N
0.27 0.26 0.22 0.24 0.29 0.28
16 16 16 16 16 16
atau berbeda
Hasil analisa Uji BNT antar stasiun menunjukkan bahwa rata-rata pH di bulan Agustus, Oktober, dan Nopember cenderung merata > 7 (Tabel 9). Hal ini diduga pada bulan tersebut masukan air laut pada saat pasang cukup besar masuk ke wilayah perairan mangrove yang memiliki pH > 7. Pada bulan September rata-rata pH cenderung menurun < 7. Hal ini disebabkan masukan air tawar cukup berlimpah ke wilayah perairan yang memiliki pH < 7 karena debit air dari aliran sungai cukup besar karena seringnya terjadi turun hujan. Wahyuni & Sunaryo (1981) menambahkan pada perairan mangrove Segara Anakan Cilacap, kepiting bakau dijumpai pada kisaran pH 6.16 - 7.50, sedangkan dipertambakan Muara Kamal ,kepiting bakau dijumpai pada kisaran pH 7.0 - 8.0 (Retnowati 1991). Menurut Hutasoit (1991), di Laguna Talanca Cikaso Sukabumi, kepiting bakau dijumpai pada kisaran pH 6.21 - 8.50. Selain
24
itu, penelitian lain melaporkan bahwa kepiting bakau hidup pada kondisi perairan asam, yaitu pada daerah bersubstrat lumpur dengan pH rata-rata 6.16 (Toro 1987); kisaran nilai pH 6.5-7.0 (Walsh 1967); dan pada perairan dengan pH rata-rata 6.5 (Wahyuni& Ismail, 1987). Siahainenia (2008) menyatakan bahwa perairan yang kisaran pH-nya 6,50 - 7,50 di kategorikan perairan yang cukup baik, sedangkan perairan dengan kisaran pH 7,50 - 8,50 d i kategorikan sangat baik. Kedalaman Air
Kedalaman air di stasiun 1, 2, 3, dan 4 lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 5 dan 6 (Tabel 10). Pada stasiun 1 dan 2 memiliki rata-rata kedalaman dari dasar perairan ke permukaan tanah sekitar 140 cm. Substrat dasar perairan di stasiun tersebut didominasi oleh lumpur berpasir, sehingga diduga sering mengalami pendangkalan. Namun demikian ketinggian air sangat dipengaruhi oleh pasang air laut dan masukanair laut ke stasiun tersebut Rata-rata ketinggian air di stasiun 1 dan 2 adalah 108,82 cm dan 106,67 cm. Pada stasiun 3 dan 4 memiliki rata-rata kedalaman dari dasar perairan ke permukaan sekitar 125 cm. Pencampuran air tawar dan air laut disaat pasang ke stasiun tersebut cukup besar dan aliran air mulai melambat dan tergenang. Substrat dasar perairan di stasiun tersebut didominasi oleh lumpur, sehingga kedalaman air cenderung dangkal apabila sedimentasi meningkat. Wilayah tersebut memiliki tofografi dasar perairan yang landai, namun terdapat cekungan ke bagian tengah jalur sungai. Rata-rata kedalaman air di stasiun tersebut adalah 104,89 cm dan 103,67 cm. Ketinggian airdi stasiun 5 dan 6 memiliki rata-rata kedalaman dari dasar perairan ke permukaan sekitar 105 cm.substrat dasar perairan di stasiun tersebut didominasi oleh liat. wilayah tersebut memiliki tofografi dasar perairan yang miring, dimana pergerakan air cukup cepat sehingga dasar perairan jarang mengalami pendangkalan. Rata-rata kedalaman air di stasiun 5 dan 6 adalah 83,57 cm dan 81,58 cm. Tabel 10. Rata-rata suhu selama penelitian (0C) dan hasil uji BNT antar stasiun dan bulan pengamatan Bulan pengamatan Stasiun Agustus September Oktober Nopember Rata-rata SD N 1 98.28 114.88 104.90 103.20 105.32b 6.97 16 2 96.73 111.13 107.65 101.18 104.17b 6.45 16 17.58 16 3 81.85 123.41 97.15 93.15 98.89b 4 85.18 121.20 91.17 90.13 96.92b 16.40 16 9.62 16 5 72.13 92.83 72.75 78.58 79.07a 13.49 16 6 70.38 95.15 64.34 72.45 75.58a Rata-rata 84.09a 109.77b 89.66a 89.78a SD 11.82 13.00 17.56 12.23 N 24 24 24 24 Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama atau berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Analisa Uji BNT antar bulan terlihat bahwa kedalaman air bulan September berbeda nyata terhadap kedalaman air di bulan Agustus, Oktober dan November (Tabel 10). Pada bulan September sering mengalami turun hujan dan masukan air tawar dari sungai lebih berlimpah. Disamping itu dipengaruhi oleh
25
peristiwa pasang tinggi yang sering terjadi dibulan tersebut ,sehingga kedalaman perairan di seluruh stasiun cukup tinggi. Kedalaman air dipengaruhi oleh peristiwa pasang surut dan masukan air tawar. Moosa et al (1985) menyatakan bahwa sebaran kepiting bakau dilihat dari kedalaman, terbatas pada paparan benua dengan kisaran 0-32 m. Dari hasil penelitian Wahyuni & Ismail (1987) bahwa kepiting bakau didapatkan pada kedalaman 30-79 cm diperairan dekat hutan mangrove dan 30 -125 cm dimuara sungai. Hill (1987) menyatakan bahwa pada siang hari kepiting bakau terlihat menuju perairan yang dangkal, sedangkan Pirrene (1978) menyatakan bahwa di pulau-pulau Caroline bagian timur, kepiting bakau jenis S.serrata tertangkap di sekitar hutan mangrove ketika air laut surut. Larva kepiting bakau yang berasal dari laut dan banyak dijumpai di sekitar estuaria dan hutan mangrove karena terbawa arus dan air pasang, akan menempel pada akar-akar mangrove untuk berlindung. Hutching & Seanger (1987) menyatakan bahwa kepiting bakau pada stadia juvenile (first crab) mengikuti pasang tertinggi di zona intertidal untuk mencari makanan, kemudian kembali ke zona subtidal pada saat air surut. Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap zona intertidal, dan sering membenamkan diri dalam substrat lumpur atau menggali lubang pada substrat lunak. Pagcatipunan (1972) menyatakan bahwa kepiting bakau sebelum moulting (premoult), memmbenamkan diri dalam lumpur atau masuk kedalam lubang sampai karapasnya mengeras. Pengelompokan Stasiun Berdasarkan Karakteristik Lingkungan Setelah dilakukan analisis setiap parameter-parameter habitat antar stasiun dan bulan. Selanjutnya dilakukan pengelompokkan seluruh parameter habitat antar stasiun. Pada tabel 11 menunjukkan bahwa parameter substrat, suhu, salinitas, dan pH antara stasiun 1 dan 2, 3 dan 4, serta 5 dan 6 ditemukan kemiripan nilai parameter terdekat. selanjutnya dilanjutkan dengan uji cluster analysis untuk mengetahui kemiripan karaketeristik habitat antar stasiun (gambar 5). Tabel 11.Hasil Uji BNT rata-rata nilai parameter habitat antar stasiun dalam bulan pengamatan. Kualitas air Tekstur Substrat (%) Kepadatan Kerapatan Serasah ST Mangrove Benthos Pasir Lumpur Liat Suhu Salinitas Kedalaman (g) pH (ind/ha) (ind/m2) (0C) (ppt) (m) 1 910 194.05b 21.65 47.08 31.28 11 28.64c 27.31c 7.56c 105.32b 2 1180 206.18b 21.83 47.20 30.98 14 28.6c 27.29c 7.55c 104.17b b 3 500 204.21 10.77 70.33 18.91 16 27.92b 24.38b 7.15b 98.89b 18 27.88b 24.39b 7.14b 96.92b 4 670 213.23b 11.65 71.58 16.77 a a c a 6 27.29 22.44 6.90 79.07a 5 300 162.67 2.93 41.75 55.33 a a c a 6 380 158.76 2.41 41.26 56.34 8 27.37 22.43 6.91 75.58a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama atau berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Pada gambar 5 bahwa karakteristik lingkungan stasiun 1 dan 2 terdapat jarak kemiripannya tidak terlalu dekat. Hal ini disebabkan selisih jumlah individu mangrove cukup besar, sedangkan parameter yang lain telah
26
menunjukka m an nilai jarak terdekat. Begiu pula hal yang saama ditemu ukan pada stasiun s 3 daan 4, namunn selisih inddividu mangrove antar sstasiun terseebut tidak terlalu t besarr, sehingga jarak j kemiriipan antar sttasiun lebih rendah dibaandingkan jarak j kemirripan antara stasiun 1 dan 2. Sebbaliknya paada stasiun 5 dan 6 ditemukan d kemiripan yang dekaat, dimana keseluruhann parameterr habitat memiliki m nillai jarak terddekat. D is ta n c e 60
120
180
240
300
360
420
480
540
600
St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6
Gambaar 5. Dendog gram kemirippan karakterristik habitatt antar stasiuun Kemirripan antar stasiun 1 ddan 2, selannjutnya dikeelompokkan n menjadi kelompok k zona A yangg berada di kawasan deepan hutan m mangrove, kemiripan k stasiun s 3 dan d 4 dikeloompokkan m menjadi kelo ompok zonaa B yang berada b di kawasan k tenngah hutan mangrove, m daan kemiripann stasiun 5 ddan 6 dikeloompokkan menjadi m kelo ompok zonaa C yang beraada di belakaang hutan mangrove m (Gaambar 6).
Gambarr 6. Peta pen nglompokkann berdasarkaan kemiripann habitatantaar stasiiun 1 dan 2, 3 dan 4, sertta 5 dan 6 Jenis Kep piting Bakau u di Hutan Mangrove C Cibako Hasill tangkapann kepiting bbakau yang diperoleh selama melaaksanakan penilitian p addalah jenis S.serrata, S S.ttranquebarica, dan S. oolivacea. Keetiga jenis kepiting k bak kau ini mem miliki ciri-ciiri morfolog gis yang berrbeda dilihaat bagianbagian b bentu uk tubuhnyaa, apabila dillihat secara langsung l daari warna, beentuk duri pada p dahi kaarapas, ruas propondus, p dan carpus cheliped c (Taabel 12).
27
Tabel 12. Ciri-ciri morfologis kepiting Bakau yang tertangkap di Mangrove Cibako, Sancang Kabupaten Garut Jenis
Duri pada ruas Propondorus dan carpus cheliped
Duri pada bagian dahi Karapas
Bervariasi dari ungu sampai hijau dan coklat kehitaman. Pola poligonal terlihat jelas pada semua bagian tubuh
Dua duri yang tajam pada propondorus dan dua duri tajam pada carpus
Duri lebar, tinggi dan agak tumpul, berbentuk segitiga. Empat duri tengah berukuran panjang hampir sama, sehingga lebih rata
Warna hijau tua kehitaman, pola poligonal terlihat melimpah pada dua pasang kaki jalan terakhir dan sedikit atau tidak ada sama sekali pada bagian tubuh lainnya
Terdapat pada duri yang tajam pada duri propondorus dan dua duri tajam pada carpus
Duri agak tinggi, membulat dan tumpul
Variasi hijau kemerahan, orange sampai coklat kehitaman, tidak nampak, pola poligonal pada bagian tubuh manapun
Kedua duri pada propondorus mengalami reduksi sedangkan hanya terdapat satu duri tumpul pada carpus
Duri pendek tumpul
Warna dan Pola Poligonal
S. serrata
S.tranquebarica
S. olivacea
dan
Jumlah Individu Kepiting Bakau Jumlah individu kepiting bakau yang tertangkap di seluruh zona penelitian selama pengambilan sampel kepiting adalah 441 individu (ind), dimana jumlah S.serrata adalah 151 ind, S.tranquaberica adalah 193 ind, dan S.olivacea adalah 97 ind. Jumlah individu yang tertangkap dikelompokkan berdasarkan jenis kepiting bakau. Selanjutnya dilakukan analisis varian (anova)
28
dan Uji BNT rata-rata jumlah sampel kepiting bakau antar zona dan antar bulan pengambilan sampel (Tabel 13). Tabel 13. Hasil uji BNT rata-rata jumlah individu jenis kepiting bakau antar zona penelitian dan antar bulan pengambilan sampel A
Rata-rata Jumlah Std. Dev
Kepiting bakau Ss* St** So*** b b 16.75 17 7.5a 73 66 18 3 4 3
B
Rata-rata Jumlah Std. Dev
11.75b 51 3
Zona
C
Rata-rata Jumlah Std. Dev
Total jumlah
a
9.25 27 5
17. 50b 94 5 a
9.5 45 3
193
Agustus September Oktober
b
13.75 33 4
151
7.25a 34 2
Bulan
97
November
Rata-rata Jumlah Std. Dev Rata-rata Jumlah Std. Dev Rata-rata Jumlah Std. Dev Rata-rata Jumlah Std. Dev
Kepiting bakau Ss St So 12a 14.33a 8.33a 37 43 25 6 5 3 11a 15.33a 7.33a 33 46 22 3 4 4 16.66a 7.66a 13.66a 41 50 23 5 5 2 18b 9a 13.33a 40 54 27 4 6 4 151
193
97
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama atau berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). *) S.serrata, **
) S.tranquaberica, dan ***) S.olivacea
Berdasarkan hasil uji BNT rata-rata jumlah jenis masing-masing jenis kepiting bakau antar zona penelitian diperoleh jenis S.serrata dan S.tranquaberica dominan berada di zona penelitian A dan B. Jumlah individu S.serrata tertinggi ditemukan di zona penelitian A adalah 73 ind, diikuti di zona penelitian B adalah 51 ind , dan di zona penelitian C adalah 27 ind (Tabel 13). Hal ini senada dengan hasil penelitian Siahaninea (2008) bahwa S.serrata melimpah di zona depan hutan mangrove dan zona laut di perairan Desa Blanakan, Tanjung Laut, Mayangan. Jumlah individu S.tranquaberica tertinggi ditemukan di Zona penelitian B adalah 94 ind, diikuti zona A adalah 66 ind, dan di zona penelitian C adalah 33 ind. Menurut Siahainenia (2000) bahwa kepiting bakau jenis S. tranquebarica untuk semua kelas ukuran (besar maupun kecil) ter1ihat menyebar dengan baik pada habitat mangrove Teluk Pelita Jaya, Seram Barat Maluku, artinya jenis tersebut memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan salinitas perairan sehingga dapat hidup di wilayah yang luas, sedangkan menurut Wahyuni & Sunaryo (1981) mengungkapkan bahwa populasi S.olivacea dan S.tranquaberica banyak ditemukan di bagian belakang hutan Muara Dua, Segara Anakan, dimana wilayah tersebut bersalinitas rendah dan ketersediaan makanan alami yang rendah. Hasil Uji BNT Rata-rata jumlah individu S.olivacea dominan di zona penelitian C. Jumah individu S.olivacea di zona penelitian C adalah 45 ind, diukuti zona penelitian B adalah 34 ind, dan di zona penelitian A adalah 18 ind. Selanjutnya hasil uji BNT rata-rata jumlah individu masing-masing jenis kepiting bakau antar bulan tidak ditemukan tidak berbeda nyata (p<0,05). Hal ini diduga setiap jenis kepiting bakau menyebar dengan jumlah yang cenderung merata di setiap bulannya dan menempati wilayah perairan hutan mangrove Cibako.
29
Distribusi kepiting Bakau Berdasarkan Umur Bulan
Berdasarkan hasil uji BNTjumlah rata-rata kelas ukuran S.serrata (SSk,SSs,SSb), S.tranquaberica (STk dan STb) dan S.olivacea (SOs) pada umur bulan gelap lebih banyak dibandingkan dengan umur bulan lainnya, sedangkan S.tranquaberica (STs) dan S.olivacea (SOs dan SOb) menunjukkan tidak berbeda nyata antar bulan. Hal ini ini diduga bahwa jumlah rata-rata kelasukuran tersebut berasal dari masa penetasan telur yang sama antar bulan dan menyebar secara bergerombol pada saat zoea memasuki wilayah mangrove Cibako. Tabel.14. Hasil uji BNT sebaran rata-rata jumlah individu kelas ukuran kepiting bakau antar umur bulan Kelas ukuran kepting bakau Umur Bulan Gelap Seperempat Purnama Tiga Perempat
Mean N Std. Dev Mean N Std. Dev Mean N Std. Dev Mean N Std. Dev
S.Serrata SSk 5b 20 1 3.5a 14 1 1.25a 5 1 4.5ab 18 2
SSs 5.75b 23 2 2.75a 11 1 1.75a 7 1 3.5a 14 1
S.tranquaberica SSb 3.5b 14 1 2.5ab 10 1 1.5a 6 1 2.25a 9 1
STk 6b 24 1 3a 12 2 3.5a 14 1 2.75a 11 1
STs 5a 20 2 4.5a 18 1 2.5a 10 1 4.75a 19 2
STb 6b 24 1 3.5a 14 1 2.75a 11 1 4ab 16 2
S.olivacea SOk 2.5a 10 1 1.75a 7 1 1.5a 6 1 2.25a 9 1
SOs 3.75b 15 1 3.5ab 14 1 1a 4 1 2.25ab 9 2
SOb 1.75a 7 2 1.25a 5 1 1a 4 1 1.75a 7 1
Bulan gelap cukup berpengaruh terhadap keberadaan kepiting bakau di wilayah mangove Cibako. Kepiting bakau termasuk organisme yang bersifat nocturnal, yaitu mempunyai sifat aktif bergerak pada malam hari untuk mencari makanan. Pada malam hari biasanya kepiting bakau akan menuju perairan di sekitar wialah mangrove dan bahkan ke perairan pantai di wilayah subtidal (Moosa et al., 1985). Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Pirrene (1978), bahwa kepiting bakau meninggalkan lubang pada substrat lumpur untuk mencari makan di sekitar mangrove atau wilayah intertidal. Sedangkan pada siang hari, kepiting bakau malas bergerak dan tidak tahan terhadap sinar matahari. Oleh karena itu, kepiting bakau banyak ditemukan di substrat lumpur dan disekitar perakran mangrove yang terdapat dalam substrat lumpur yang tidak terkena matahari secara langsung. Jadi dapat disimpulkan kepiting bakau bersifat fototaksis negatif. Pada saat bulan bulan gelap kepiting bakau, akan bergerak bebas dan beraktivitas di perairan mangrove, karena kepiting bakau merupakan organisme yang bersifat fototaksis negatif. Pada fase bulan purnama kepiting bakau akan bergerak ke arah yang lebih dalam sampai kedalaman lebih dari 20 meter, atau membenamkan diri dalam substrat. Namun demikian kepiting bakau yang berukuran besar > 100 mm yang telah matang gonad akan keluar dari tempat persembunyianya disaat bulan purnama berada di dekat perairan pantai untuk berenang memasuki perairan dalam untuk memijah (Opnai, 1986). Diperairan Pallime, Sulawesi Selatan, pada saat bulan pumama, panjang karapas kepiting bakau (Scylla spp.) yang didapatkan lebih kecil. Hal ini berbeda dengan
30
saat bulan gelap, pada periode ini panjang karapas kepiting yang didapatkan lebih besar (Gunartoet al. 1999). Hal ini diduga berhubungan dengan siklus reproduksi kepiting bakau sendiri di alam, yang memijah pada saat bulan purnama. Kemungkinan yang dapat dijelaskan adalah bahwa kepiting ukuran kecil yang tertangkap pada saat bulan purnama diduga berasal dari proses pemijahan satu bulan sebelumnya (bulan purnama). Menurut Hamasaki (2003) mengungkapkan bahwa larva kepiting bakau , pada saat zoea berifat fototaksis positif. Larva kepiting yang awalnya berada didasar perairan, selanjutnya naik secara vertikal dan bergerombol sampai ke permukaan air untuk kebutuhan makan pada fitoplankton. Zoea kepiting bakau bersifat planktonik yang hidupnya sangat dipengaruhi oleh gerakan arus air yang terkena matahari secara langsung, pada saat itu zoea menyebar mengikuti pergerakan arus air sampai ke pantai dan mencari tempat tinggal di sekitar hutan mangrove. Hal ini senada dengan pendapat Sudiarta (1988) bahwa kelimpahan burayak kepiting bakau diTeluk Hurun, Lampung sebanyak 32,6 individu/m3 zoea 1(79,4%). Puncak kelimpahan burayak yaitu pada saat bulan purnama dan bulan baru. Puncak kelimpahan megalopa adalah 17 hari setelah puncak kelimpahan zoea 1. Kelimpahan, persentase, dan frekuensi zoea 1 tertinggi terdapat di mulut teluk, dan akan semakin turun arah ke muara sungai. Untuk zoea 2 sebaliknya, terendah di mulut teluk dan semakin tinggi arah ke muara sungai. Untuk zoea 3 sebarannya merata di dalam teluk. Menurut Warner (1977) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kepiting pemanjat mangrove Aratuspisonii menyesuaikan pembiakan dan migrasinya kelaut dengan siklus bulan. Telur berkembang dan melekat pada pleopod betina, dan penetasannya disesuaikan dengan bulan baru atau bulan purnama dan pasang pada musim semi. Bila telur menetas, kepiting betina beruaya ke laut menjauhi pantai untuk memijah. Setelah telur menetas, muncul larva tingkat 1 (zoea1) yang akan terus bergantikulit dan terbawaarus ke perairan pantai hingga mencapai Tingkat kepiting muda. Proses dari zoea 1 ke kepiting muda ini membutuhkan waktu lebih kurang satu bulan. Hal ini mungkin dapat menjelaskan fenomena kenapa pada saat bulan purnama panjang karapas kepiting yang ditemukan lebih rendah daripada dibulan lainnya. Peranan arus pasang surut (umur bulan) dan hubungannya dengan aktivitas perikanan diungkapkan juga oleh Wasilun (1988), yang menyatakan bahwa ada perbedaan yang berarti antara aktivitas perikanan disekitar bulan baru dan bulan purnama dengan bulan peralihan antar keduanya di Segara Anakan. Aktivitas perikanan cenderung meningkat disekitar bulan baru dan bulan purnama, periode ini dikenal sebagai perio dengangkat, pada saatini ketinggian air rmaksimum. Sebaliknya pada periode peralihan (bulang gelap), dengan ketinnggian air minimum dan arus lemah, aktivitas perikanan menurun, dikenal dengan periode ngember. Pasang surutnya air laut karena pengaruh bulan secara tidak langsung berpengaruh terhadap pola kebiasaan kepiting. Hal ini karena pada saat pasang, arus menuju pantai, sebaliknya saat surut biasanya menujuke laut lepas pantai. Saat pasang ini biasanya kepiting akan mencari makan, dan pada saat surut biasanya berdiam diri atau bersembunyi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sara (1994) yang mengungkapkan bahwa jumlah kepiting yang tertangkap pada saat pasang lebih banyak karena
31
pada saat pasang, makanan terbawa oleh aliran air, diduga kepiting mengikuti sebaran makanan tersebut. Sebaliknya saat surut, dimana kedalaman air dangkal dan sebaran makanan tidak merata, sehingga pada saat surut jumlah kepiting yang tertangkap lebih sedikit. Hubungan Potensi Kepiting Bakau dengan Karakteristik Habitat Jumlah individu S.serrata, S.tranquebarica, dan S.olivacea di setiap zona penelitian berdasarkan karakteristik habitat yang mempengaruhinya (Tabel 15). Tabel 15. Kelimpahan kepiting bakau berdasarkan karakteristik habitat di zona Penelitian
Zona
A B C
Kualitas air Tekstur Substrat (%) Kepadatan Kerapatan Serasah Mangrove Benthos (g) (ind/ha) (ind/m2) Kedalaman Suhu Salinitas pH Pasir Lumpur Liat (ppt) (m) (0C) 850 200.15 21.74 47.14 31.13 13 28.62 27.3 7.6 104.7 740 208.72 11.21 70.95 17.84 17 27.9 24.38 7.1 97.9 340 160.71 2.67 41.50 55.83 7 27.33 22.43 6.9 77.3
Jumlah kepiting bakau (ind) Ss St So 73 66 18 53 94 34 27 33 45
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama atau berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). Ss = S.serrata, St = S.tranquaberica, dan So = S.olivacea
Berdasarkan hasil pengumpulan sampel kepiting bakaudi setiap zona penelitian, ditemukan berbagai ukuran panjang dan lebar karapas. Selanjutnya dilakukan pengelompokkan kelas ukuran setiap jenis kepiting bakau yang berukuran kecil, sedang, dan besar antar zona penelitian dan bulan pengambilan sampel (Gambar 6). Jumlah Individu (ind)
60 50
SO SOB b
SO SOSs
SOK SO k
STBb ST
20
STS STs
STKk ST
10
SSB
0
SSK
40 30
SSb
SSS
SSs
SSk
A8 B8 C8 A9 B9 C9 A10 B10 C10 A11 B11 C11 Zona A, B, dan C dalam bulan pengambilan sampel (8 = Agustus 9 = September, 10 = Oktober, 11 = November)
Gambar 7. Grafik distribusi jumlah individu kelas ukuran S.serrata, S.tranquaberica, dan S.olivacea menurut zona panelitian dan bulan Grafik distribusi kelimpahan kepiting bakau menurut klasifikasi ukuran antar stasiun dan bulan pengambilan sampel menunjukkan bahwa S.serrata, S.tranquaberica, dan S.olivacea diduga menyebar secara berkelompok dengan jumlah individu yang berbeda di seluruh zona penelitian sepanjang bulan pengambilan sampel untuk mencari makanan dan tempat tinggal guna kebutuhan kelangsungan hidupnya. Analisis sebaran kelas ukuran masing-masing jenis kepiting bakau antar stasiun dan antar bulan yang dihubungkan dengan karakteristik habitat masing
32
masing zona penelitian digunakan correspondence analysis. Berdasarkan hasil analisis metode tersebut bahwa informasi penyebaran kepiting bakau pada karakteristik habitat antar zona penelitian dan bulan terpusat pada 2 sumbu utama (F1 dan F2), dimana masing – masing sumbu utama menjelaskan akurasi 75,38% dan 16,72% dari ragam total (Gambar 8).
F2 16.72%
F1 75.38%
Gambar 8. Grafik analisis faktorial koresponden antara kelas ukuran kepiting bakau dengan zona A, B, C dan bulan pengamatan (8=Agustus, 9 = September, 10 = Oktober, 11 = November) Karakteristik habitat kepiting bakau dalah cirri-ciri khusus dari suatu habitat yang memepengaruhi distribusi kepiting bakau pada habitat tersebut. Data penelitian menunjukkan bahwa kepiting bakau S.serrata, S.tranquaberica, dan S.olivacea pada ketiga zona penelitian tersebut umumnya berdistribusi pada masing-masing wilayah peraira depan, tengah, dan belakang hutan mangrove. Jumlah individu tertinggi seluruh kelas ukuran S.serrata ditemukan di zona penelitian A adalah 73 ind, diikuti zona penelitian B adalah 51 ind, dan zona penelitian C adalah 27 ind.Jumlah Individu tertinggi seluruh kelas ukuran S.tranquaberica ditemukan di zona penelitian B adalah 94 ind, diikuti zona penelitian A adalah 66 ind, dan zona penelitian C adalah 33 ind. Jumlah Individu tertinggi seluruh kelas ukuran S.olivacea ditemukan di zona penelitian C adalah 45 ind, diikuti zona penelitian B adalah 34 ind, dan zona penelitian A adalah 18 ind. Kelompok kelas ukuran kepiting bakau yang menggambarkan keterkaitan yang erat dengan habitat dan bulan pengambilan sampel di wilayah zona penelitian A adalah S. serrata , dimana jumlah individu tertinggi SSk berasosiasi dengan bulan November adalah 9 ind, SSs berasosiasi dengan bulan Oktober adalah 7 ind, sedangkan SSb berasosiasi dengan bulan Agustus dan November , masing-masing adalah 9 dan 8 ind. S. serrata diduga mendominasi di wilayah zona penelitian A yang merupakan kawasan depan hutan mangrove. Jenis tersebut toleran pada salinitas 24 – 30 ppt. Hal ini dapat diduga bahwa kelimpahahan individu jenis tersebut tertinggi berada di zona penelitian A, dimana salinitas di zona tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan zona penelitian lainnya adalah 27.30 0C. Menurut Nazar
33
(2002) mengungkapkan bahwa S.serratabanyak ditemukan di wilayah muara Karang Anyar yang bersalinitas >26 ppt. Pendapat diatas sejalan dengan hasil penelitian Keenan et al. (1988) tentang distribusi kepiting bakau pada tingkat larva dan juvenile, menyatakan bahwa S.serrata dominan pada perairan dengan salinitas diatas 34 ppt dan pada perairan mangrove dengan salinitas tinggi sepanjang tahun. Kelompok kelas ukuran kepiting bakau yang menggambarkan keterkaitan yang erat dengan habitat dan bulan pengambilan sampel di wilayah zona penelitian B adalah S.tranquaberica, dimana jumlah individu tertinggi STk berasosiasi dengan bulan Oktober adalah 10 ind, STS berasosiasi dengan bulan Agustus adalah 8 ind, sedangkan STb berasosiasi dengan bulan September dan November adalah 9 ind dan 11 Ind. diduga mendomiansi di zona penelitian B yang S.tranquaberica merupakan kawasan tengah hutan mangrove . Jenis tersebut diduga toleran pada salinitas 22 – 25 ppt. Kepiting bakau jenis S. tranquebarica untuk semua kelas ukuran ter1ihat menyebar pada wilayah bagian tengah dan belakang hutan mangrove. Artinya jenis ini mempunyai toleransi yang besar terhadap perubahan salinitas perairan sehingga dapat hidup di wilayah yang luas. Menurut Siahainenia (2008) mengungkapkan bahwa S.tranquaberica memiliki preferensi pada zona tengah hutan mangrove pada salinitas < 28 ppt dengan substrat berlumpur. Pendapat tersebut sejalan dengan hasil penelitian Keenan et al. (1988) menyatakan bahwa S.tranquaberica, S.olivacea, dan S.paramamosain melimpah pada perairan yang secara umum dibawah 33 ppt, serta mampu berkoloni pada habitat estuari dengan periode salinitas musiman yang rendah. Kelompok kelas ukuran kepiting bakau yang menggambarkan keterkaitan yang erat dengan habitat dan bulan pengambilan sampel di wilayah zona penelitian C adalah S.olivacea, dimana Jumlah individu tertinggi SOk berasosiasi dengan bulan Oktober adalah 5 ind , SOs berasosiasi dengan bulan Agustus dan November, masing-masing adalah 6 ind , sedangkan SOb berasosiasi dengan bulan September dan November, masing-masing adalah 5 ind. S.olivacea diduga dominan menempati zona penelitian C yang merupakan wilayah belakang hutan mangrove.jenis tersebut diduga toleran pada salinitas 18 – 23 ppt. .Menurut Nazar (2002) bahwa S. olivacea banyak ditemukan di substrat liat yang berada di belakang hutan mangrove Karang Anyar, Segara Anakan, dimana wilayah tersebut bersalinitas < 22 ppt. Keberadaan kepiting bakau dipengaruhi oleh kerapatan mangrove. Kerapatan mangrove yang tinggi dapat meningkatkan rata-rata bobot serasah. kelimpahan serasah ini akan mengundang kehadiran makrozoobentos untuk mengkonsumsi serasah, sehingga kepiting bakau akan tertarik untuk tinggal di zona yang memiliki kelimpahan serasah dan makrozoobentos sebagai sumber makanannya. Berdasarkan hasil analisis correspondence analysis bahwa informasi penyebaran kepiting bakau terhadap kerapatan mangrove, bobot serasah, dan kepadatan makrozoobentos antar zona penelitian dapoat terlihat pada gambar 9.
34 1
A C
F2 (12.19 %)
0.5 S.serrata serasah
Mangrove
0
S.olivacea
Makrozoobentos S.tranquaberica
‐0.5
‐1 B ‐1.5
-1
-0.5
0 F1 (87.81 %)
0.5
1
1.5
2
Gambar 9. Grafik analisis faktorial koresponden antara kepiting bakau terhadap kerapatan mangrove, bobot serasah, dan kepadatan mangrove dalam zona penelitian Pada gambar 9 terlihat bahwa ketiga jenis kepiting berasosiasi dengan mangrove yang memiliki kerapatan tinggi. Rata kerapatan mangrove tertinggi dijumpai pada zona A adalah 850 ind/ha dan diikuti oleh zona B adalah 740 ind/ha. Kerarapan mangrove yang tinggi akan berpengaruh terhadap peningkatan bobot serasah, dikarenakan intensitas jatuhan mangrove lebih besar. Rata-rata produksi serasah sebagai sumber makanan bagi makrozoobentos di zona A dan B, masing-masing adalah 200.15 g dan 208.72 g . Rata-rata kelimpahan individu makrozobentos yang menjadi sumber makanan kepiting bakau di zona A dan B, masing-masing adalah 13 ind/m2 dan 17 ind/m2 yang didominasi oleh kelas Gastropoda dan Bivalvia. Menurut Pagctipunan (1972); Hill (1976); Hutching & Seanger (1987) bahwa kepiting bakau dewasa juga merupakan pemakan organisme bentos atau organisme yang bergerak lambat seperti bivalvia, kepiting kecil, kumang, cacing, jenis-jenis gastropda dan krustase. Sedangkan menurut Siahainenia (2008) mengungkapkan bahwa Kelas gastropoda di wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayangan menunjukkan bahwa kelas gastropoda memiliki sebaran yang sangat luas pada zona-zona wilayah hutan mangrove. Keberadaan substrat di zona penelitian tersebut didominasi oleh lumpur, dimana persentase fraksi substrat zona A dan B, masing-masing adalah 47.14 % dan 70.95 % . Tekstur substrat tersebut disenangi oleh kepiting bakau. Hal ini sejalan dengan pendapat Moosa et al. (1985) bahwa habitat ideal kepiting bakau adalah daerah intertidal bersubstrat lumpur. Substrat lumpur yang halus banyak mengandung serasah dan bahan organik yang dihasilkan dari daun-daun mangrove yang jatuh ke lumpur sekitar pohon mangrove. Produksi serasah yang dihasilkan dari jatuhan daun mangrove adalah. Menurut Opnai (1986) Serasah yang terdapat pada substrat sangat mendukung bagi makanan organisme tertentu, yaitu organisme pemakan detritus dari kelompok Gastropoda (Ellobiidae dan Potamididae).
35
Selanjutnya pada zona C, ketiga jenis kepiting bakau kurang berasosiasi, karena kerapatan mangrove cukup rendah adalah 340 ind/ha, sehingga ketersediaan makanan alami makrozoobentos sebagai sumber makanan alami bagi kepiting bakau berkurang , Rata-rata kelimpahan macrozoobentos adalah 7 ind/m2 dan produksi serasah sebagai sumber makanan makrozoobentos adalah 160.71 g. Snedaker dan Getter (1985), menyatakan bahwa habitat kepiting bakau adalah perairan intertidal, atau daerah dekat hutan mangrove yang bersubstrat lumpur. Sistem perakaran mangrove yang khas dan kompleks menjadi penjebak lumpur sehingga membentukk fraksi substrat dasar yang halus. Menurut Nybakken (1992), gerakan air yang lambat pada daerah hutan mangrove ngkatkan oleh mangrove sendiri. Akar penyangga yang khas, memanjang bawah dari batang dan dahan mangrove, sangar banyak, padat, dan kusut, hingga mengurangi gerakan air. Kondisi ini menyebabkan partikel substrat dasar yang halus akan mengendap di sekelilingi akar mangrove, membentuk kumpulan lapisan sedimen lunak dan sangat sulit dialirkan ke luar. Kepiting bakau memiliki tingkah laku menggali fobang dan membenamkan diri dalam lumpur untuk berlindung, terutama pada saat moulting. Nybakken (1992), menyatakan bahwa lubang-lubang itu juga berguna untuk komunikasi antar vegetasi mangrove (mangal), yaitu dengan cara melewatkan oksigen agar masuk dalam substrat yang lebih dalam, sehingga dapat anoksik, mengingat substrat dasar hutan mangrove dicirikan oleh kadar oksigen yanng rendah. Selain itu kanopi pohon mangrove menciptakan naungan yang sangat baik, sehingga dapat menjadi peredam sinar matahari untuk mencegah peningkatan suhu perairan. Dengan demikian hutan mangrove menjadi daerah perlindungan yang ideal bagi kepiting bakau.; Kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi juga menjadikan hutan mangrove sebagai daerah asuhan dan mencari makan bagi kepiting bakau pada tingkat megalopa dan kepiting muda (juvenil), yang setelah melewati stadia zoea akan kembali memasuki hutan mangrove. Gunarto et al. (1999), menyatakan bahwa setelah menetas, megalopa dan kepiting muda akan terbawa arus ke pantai atau muara sungai untuk mencari makan dan berlindung. kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi, juga menjadi sumber makanan alami bagi berbagai organisme yang berasosiasi di dalamnya termasuk kepiting bakau. Watching & Saenger (1987), menyatakan bahwa kepiting bakau hidup di sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akar (Pneumatophore). Hill (1978) menyatakan bahwa perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau karena sumber makannya,seperti serasah dan bentos cukup tersedia. Sedangkan Moosa et al. (1985) menyatakan bahwa kepiting bakau merupakan organisme bentik pemakan serasah yang hidup pada perairan intertidal bersubstrat dasar lumpur. Tingginya kerapatan vegetasi mangrove secara otomatis menyebabkan tingginya produksi serasah yang berasal dari guguran bagian-bagian tanaman mangrove. Waring & Schlesinger (1985) menyatakan bahwa kehilangan tahunan dari daun, bunga, buah, ranting dan batang kayu merupakan bagian utama dari guguran serasah pada ekosistem hutan mangrove, dan serasah daun merupakan 70% dari total serasah di permukaan tanah. Keberadaan vegetasi mangrove dengan sistem perakaran yang khas sebagai perangkap sedimen dan meminimalkan gerakan air sekitarnya, sehingga menyebabkan tingginya bahan organik yang dihaslikan oleh proses pembusukan serasah mangrove yang terperangkap disitu. Kesuburan akibat tingginya bahan
36
organik akan menyebabkan tingginya kelimpahan organisme penghuni dasar hutan mangrove, termasuk makrozoobentos yang merupakan makanan alami kepiting bakau. Pengelolaan Sumberdaya Kepiting Bakau Jumlah individu kepiting bakau di wilayah hutan mangrove Cibako tertinggi berada pada zona penelitian B, merupakan kawasan tengah hutan mangrove, yang banyak dihuni oleh jenis S.tranquaberica, dikuti oleh S.serrata, dan S.olivacea. Pengelolaan kepiting bakau di hutan mangrove Cibako, perlu dilakukan agar keseimbangan struktur populasi dapat terjaga, sehingga populasi kepiting bakau tidak terdagradasi akibat tekananan eksploitasi yang terus menerus dilakukan. Hal yang perlu dilakukan dalam pengelolaan ini adalah pembatasan penangkapan kepiting bakau di bulan November dan Oktober di zona penelitian A dan B untuk jenis S.serrata dan S.tranquaberica dan bulan Oktober di zona penelitian C pada jenis S.olivacea , karena diduga pada zona tersebut banyak dihuni oleh kepiting bakau berukuran kecil. Oleh karena itu diperlukan upaya pengelolaan dalam upaya pembatasan penggunaan alat tangkap dan intensitas penangkapan agarsumberdaya kepiting bakau dapat terjaga struktur populasinya. penerapan regulasi penangkapan pada waktu dan daerah penangkapan,upaya penangkapan yang tidak berlebih, penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, serta pelarangan menangkap kepiting yang matang gonad dan siap memijah harus diberlakukan kepada nelayan yang melakukan penangkapan di hutan mangrove Cibako agar potensi sumberdaya kepiting bakau dapat lestari dan berkelanjutan .Selain itu penerapan larangan penebangan liar terhadap vegetasi mangrove dan perubahan tata guna lahan di perairan mangrove.
37
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
S.serrata dominan berada di zona A yang bersubstrat lumpur dengan kisaran salinitas antara 24 – 30 ppt, berjumlah 73 ind. S.tanquaberica dominan berada di zona B yang bersubstrat lumpur dengan kisaran salinitas antara 22 – 25 ppt, berjumlah 94 ind. S.olivacea dominan berada di zona C yang bersubstrat liat dengan kisaran salinitas antara 18 – 23 ppt, berjumlah 45 ind. Kelimpahan kepiting bakau dijumpai pada bulan gelap, dimana kelimpahan di zona A adalah 57 ind, zona B adalah 68 ind, and zona C adalah 32 ind. Kepiting bakau memiliki sifat fototaksis negatif, karena kebiasaannya berdiam dan bersembunyi pada substrat yang tidak terkena cahaya secara langsung. Kerapatan mangrove yang tinggi dijumpai di zona A dan B, dimana ketiga jenis kepiting berasosiasi dengan mangrove yang memiliki kerapatan tinggi, dimana rata-rata bobot serasah sebagai sumber makanan bagi makrozoobentos masing-masing adalah 200.15 g dan 208.72 g . Rata-rata kelimpahan individu makrozobentos yang menjadi sumber makanan kepiting bakau masing-masing adalah 13 ind/m2 dan 17 ind/m2. Oleh karena itu kepiting bakau akan tertarik menempati di zona yang memiliki kelimpahan serasah dan makrozoobentos sebagai sumber makanannya.
Saran 1. Perlu adanya kegiatan budidaya kepiting bakau, untuk mengantisipasi
kegiatan penangkapan secara berlebihan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan sebagai mata pencahariannya. 2. Ketiga jenis ini masih dapat terus dirnanfaatkan oleh masyarakat, namun tetap memperhatikan kelestarian dan daya dukung lingkungannya. 3. Perlu upaya peningkatan pendidikan dalam mengelola sumberdaya mangrove, termasuk kepiting bakau agar potensi jenis ini tetap lestari dan berkelanjutan. 4. Diperlukan adanya penelitian lanjutan tentang Bioekologi (Scylla serrata, S. olivacea dan S.tranquebarica) di hutan mangrove Cibako, Sancang
38
DAFTAR PUSTAKA Arriola FJ. 1940. A priminary study of the life history of S. serrata (Forskal). Philip. J. Sci. 73-437-456. Badan Konservasi Sumberdaya Alam Wilayah V Jawa Barat. 2008. Makalah konservasi hutan mangrove di wilayah Sancang, Kecamatan Cibalong, Garut. 15 hal Baliao DD. 1983. Mud crab “Alimango” production in brackishwater pond with Milkfish. SEAFDEC Aquaculture Department.9 p. Bengen DG. 1997. Pedoman lapangan dan pengenalan vegetasi mangrove (contoh mangrove Segara Anakan, Cilacap). Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.IPB Bogor. Bengen DG. 2001. Pedoman teknis pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.IPB Bogor. Clough BF, Boto K.G, Atwil PM. 1983. Mangrove and seawage : An Evaluation. In Hj Teas (ed) Biology and ecology of mangrove. Dr. W. Junk, the Hague, Boston, Lancaster. 151 – 161. Effendie MI. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.163 hal. Estampador EP. 1949a. Studies of S. (Crustacea : Portunidae). I. Revision of The Genus, Phillipp. J.Sci. 78: (95) 108 – 353 Estampador EP. 1949b. Studies of S. (Crustacea : Portunidae). II. Comparative studies on spermatogenesis and oogenesis. Philipp. J. Sci. (78):301-353 Gunarto, R.O Daud, Usman.1999. Kecenderungan penurunan populasi kepiting bakau di perairan muara sungai Cenranae, Sulawesi Selatan ditinjau dari analisis parameter sumber daya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 5(3):30-37. Hair JF, Anderson RE, Tatham RL & Black WC.1998.Multivariate data analysis with reading.Edisi ke-5. New Jersey: Prentice-Hall International. Hartnoll RG. 1969. Mating in the brachyura. Crustaceana. 16 (2): 161 - 181 Hamasaki, K. 2003. Effects of temperature on the egg incubation period, survival anddevelopmental period of larvae of the mud crab Scylla serrata (Forskal) (Brachyura:Portunidae) reared in the laboratory. Aquaculture, 219(1–4): 561–572. Hill BJ. 1976. Natural Food, Foregut clarance rate and activity of the crab, S. serrata in a Estuary. Mar. Bio. 47 : 135 – 141. Hill BJ. 1982. Effects of temperature on feeding and activity in mud crab S. serrata ,Mar. Biol. 59: 189-192. Hill BJ. 1989. The queensland mud crab fishery. Queensland Department of Primary Industry.Series FI 8210. Queensland, 13 p Hutasoit B, 1991. Telaah segi-segi kepiting bakau (Tesis). Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. 132 p. Hutching B. & P. Seanger, 1987. Ecology of mangrove.University of Queensland Press. St. Lucia, Newyork. 388 p Kasry A. 1996. Budidaya kepiting bakau dan biologi ringkas. Penerbit PT. Bhratara Niaga Medan, Jakarta.
39
Keenan CP, Davie PJF, Mann DL. 1988. A Revision of the genus Scylla De Haan, 1983 (Crustacea : Decapoda: Brachyura: Portunidae). The Raffles Bulletin of Zoology 46 (1): 217-245 Mardjono M, Anindiastuti, Hamid N, Djunaidah dan Satyantani WH. 1994. Pedoman pembenihan kepiting bakau (S.serrata ). Balai Budidaya Air Payau, Direktorat Jenderal Perikanan Jakarta Moosa MK. 1979. Observation sur la systematique et la zoogeographicdes crabes potunidae Indo-Outpasifique. Travel Presente Pour l’obtention du Diplome de l’Ecole Practique des Hautes, Sorbonne, Paris. Moosa MK. 1981. Beberapa catatan mengenai rajungan dari teluk jakarta dan pulau-pulau seribu. Sumberdaya Bahari Hayati (Rangkuman Beberapa Hasil Penelitian Pelita II) Jakarta. Moosa MK, Aswandy I, Karsy A. 1985. Kepiting bakau (S. serrata Forskal) di perairan Indonesia.Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Lembaga Oseanologi Nasional, Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia. Jakarta. Murni H.N.C. 1995.Pengembangan peranserta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di Segara Anakan. Program Pasca Sarjana PPSML-LP Universitas Indonesia. Nazar F. 2002. Karakteristik habitat dan kaitannya dengan keberadaan tiga jenis kepiting bakau(S. olivacea, S.Tranquebarica,dan S.serrata) di perairan Karang Anyar,Segara Anakan,Cilacap Jawa Tengah. Tesis.Program Pasca sarjana lnstitut Pertanian Bogor.135 hal. Noor,Y.S.Khazali,M.,dan Suryadiputra.1999. Panduan pengenalan ekosistem mangrove di Indonesia.Wetland Indonesia. Bogor. Nybakken J. 1992. Biologi Laut. Suatu pendekatan ekologi. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta. Odum EP. 1996. Dasar-dasar ekologi. Gajah Mada University Press.Yogyakarta 697 hal. Opnai LJ. 1986. Some aspect of phisiology and ecology of mud crab. S.serrata (Crustacea : Decapoda) in the mangrove system of the Pruari and the Arid Deltas. 117 – 124. In Rep. Of the Workshop on Mangrove Ecosystem of Asia and Hosted by the University of Papua New Guinea. Port Moresby Pagctipunan P. 1972. Observation on the culture of Alimango.S.serrata at Camarines Norte (Philippines), pp. 362 – 365. In T.R.V. Pillay, (ed). Coastal Aquaculture in the Indo Pacific Region.Fishing News (Books). Manila Pirrene D. 1978.The Mangrove crab, Scylla serrata on Ponape (Ponape; East Caroline Island).Marine Resources Division.Trust Territory of the Pacific. Pramudji & L. H. Purnomo. 2003. Mangrove sebagai tanaman penghijauan pantai. Pusat Penelitian Oseanografi Lipi. Jakarta : 1 – 6. Queensland Departement of Primary Industries. 1989a. Life cycle of mudcrab (S.serrata ). QDPI Leaflet.QL.84002. Brisbane. 1 p Queensland Department of Primary Industries. 1989b. Notes of rearing of mud crab (S. serrata ). QDPI Leaflet.QL. 84002. Brisbane. 1 p Rangan JK. 1996. Struktur dan tipologi komunitas gastropoda pada zona bulan mangrove di perairan Kulu. Kab. Minahasa, Sulawesi Utara. (Tesis) Pascasarjana IPB, Bogor, 94 p.
40
Retnowati T. 1991. Menentukan kematangan gonad kepiting bakau (S. serrata )Forskal, secara morfologis dan kaitannya dengan perkembangan gamet. (Skripsi). Fakultas Perikanan, IPB, Bogor. Sara L. 1994. Hubungan kelimpahan kepiting bakau, scylla spp dengan kualitas habitat di perairan Segara Anakan, Cilacap.Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogar. 80 him. Siahainenia L.2000. Distribusi kelimpahan kepiting bakau (Scylla serrata, S. oceanic dan S.tranquebarica) dan hubungannya dengan karakteristik habitat pada kawasan hutan mangrove Teluk Pelita Jaya, Seram BaratMaluku.Tesis. Program Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor.106 him. Siahainenia L 2008.Bioekologi kepiting bakau (Scylla spp) di ekosistem mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat.Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.266 him. Sirait JM. 1997. Kualitas habitat kepiting bakau, S.serrata ,S. Oceanica, S. Transqueberica, di hutan mangrove RPH Cibuaya, Karawang. (Skripsi). Fakultas Pertanian, IPB, Bogor 104 . Susilo,1992.Pengaruhharibulan terhadap hasil tangkapan pukat rajungan diDesa Tanjung Tikar Kecamatan Tanjung Pandan, Belitung. Skripsi.Fakultas Perikanan lnstitut Pertanian Bogar. 51him. Soelistiono S, Watanabe S, Tsuchida. 1994. Biology and fisheries of crabs in Segara Anakan Lagoon, dalam “Ecological Assessment for Management Planning of Segara Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java” Edited by F.Takashima and K. Soewardi. NODAI Center for Internasional Program.Tokyo University of Agriculture. JSPS-DGHE Program :65 – 76 Snadaker SC & Getter CD. 1985. Coastal resources management guidelines research planning institute, Inc Colombia, Melbourne, Sydney. 334 p. Sudiarta IK. 1988. Studi kelimpahan dan penyebaran burayak, kepiting bakau (S. serrata ) di perairan Teluk Hurun, Lampung. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan IPB. 75 p Sutowo,1984.Studitentang pengaruh hari bulan terhadap penangkapan ikan dengan payang lampara di Eretan Wetan, Indramayu. Karya llmiah. Fakultas Perikanan lnstitut Pertanian Bogar. 85him. Toro AV. 1987. Ekologi kepiting bakau niaga, S.serrata (Forskal) di perairan mangrove Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah dalam I Soerianegara S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo, S. Hardjowigeno, M. Sudomo dan .S.R Ongsongo. Red. Prod. Seminar III Ekos.Mangrove. Prog MAB-LIPI, Jakarta 147 – 155. Wahyuni IS & Ismail W. 1987. Beberapa kondisi lingkungan perairan kepiting bakau (S. serrata ,Forskal) di perairan Tanjung Pasir, Tangerang, J. Penelitian Perikanan Laut. 38: 59 – 68. Wahyuni IS & Sunaryo. 1981. Beberapa catatan tentang S. serrata (Forskal) di daerah Muara Dua, Segara Anakam Cilacap. Makalah pada Kongres Nasional Biologi V di Semarang, 26 – 28 Juni. 8 p Wasilun.1989. Kegiatan perikanan hubungannya dengan pola pasang surut di Segara Anakan, Cilacap, Dengan Kegiatan Nelayan Apung Sebagai Bahan Studinya.Seminar ekologi laut dan pesisir. Jakarta. hlm 96 - 99.
41
Waring RH & Schlesinger WH. 1985. Forest ecosystem: concept and management. Academic Press, Limited. London Warner GF. 1977. The Biologi of crab. Elek Science London, England.
42
Lampiran. Lokasi Stasiun Penelitian
Gambar stasiun 1 dan 2 berada di zona depan hutan mangrove Cibako
Gambar stasiun 3 dan 4 berada di zona tengah hutan mangrove Cibako
43
Gambar stasiun 5 dan 6 berada di zona belakang hutan mangrove
44
RIWAYATHIDUP
IRVAN AVIANTO, penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Saeful Abidin dan Hesti Ningsih, dilahirkan pada tanggal 30 Maret 1974 di Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Pendidikan formal yang telah diselesaikan adalah SD Negeri IX Karang Tengah Cibadak tahun 1980 - 1986, SMPN 1 Cibadak tahun 1986-1989, SMAN 1 Cisaat tahun1989-1992. Pada bulan Agustus tahun 1993 melanjutkan studi ke program S1 pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Padjadjaran ,yang diselesaikan pada bulan Agustus 1999. Semenjak bulan Juli 2009 penulis melanjutkan studi ke jenjang S2 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan Program Pasca sarjana lnstitut Pertanian Bogor. Selama masa studi penulis selalu aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler, antara lain OSIS, Ketua Majelis Pennusyawaratan Kelas, dan pengurus Senat.