3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jati Jati merupakan salah satu komoditas kayu mewah yang bernilai komersil tinggi (Sumarna 2003; Irwanto 2006). Hal ini berbanding lurus dengan kualitas kayunya yang tinggi. Kayu jati termasuk kelas kuat I dan kelas awet II (Irwanto 2006). Berdasarkan taksonomi, jati mempunyai penggolongan sebagai berikut (Sumarna 2003): Divisi Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus Spesies
: : : : : : :
Spermatophyta Angiospermae Dicotyledonae Verbenales Verbenaceae Tectona Tectona grandis Linn. f.
Tectona grandis Linn.f. disebut juga jati (Indonesia), sagun (India), lyiu
(Burma), mai sak (Thailand), teak (Inggris), teck (Perancis), teca (Spanyol), java teak (Jerman). Penyebaran alaminya meliputi India, Myanmar, Thailand, dan bagian barat Laos (Dephut 2002). Jati bukan tanaman asli Indonesia, namun sudah tumbuh sejak beberapa tahun 1842 di Pulau Kangean, Muna, Sumbawa, dan Jawa. Dengan berkembangnya teknik budidaya jati, tanaman ini sudah menyebar di berbagai negara Asia Tenggara, Wilayah Pasifik, Afrika, dan Amerika (Dephut 2002; Irwanto 2006). 2.1.1. Morfologi Menurut Sumarna (2003) dan Dephut (2002), tanaman jati memiliki tinggi yang mencapai 30–45 m. Pada tapak bagus dan dengan pemangkasan, batang bebas cabang dapat mencapai 15–20 m atau lebih. Diameter batang dapat mencapai 220 cm. Pohon tua memiliki batang yang beralur dan berbanir. Kulit kayunya tebal berwarna kecokelatan atau abu-abu yang mudah terkelupas. Daun jati berbentuk elips atau bulat telur dengan ujung daun meruncing. Tata daunnya berbentuk opposite dengan lebar 15–40 cm dan panjang 20–50 cm (Dephut 2002). Daun muda (petiola) berwarna hijau kecokelatan. Sedangkan daun
4
tua berwarna hijau kecokelatan dengan bagian bawah berwarna abu-abu dan tertutup bulu berkelenjar berwarna merah. Menurut Sumarna (2003) secara fenologis, tanaman jati tergolong tanaman yang menggugurkan daun (deciduous) pada saat musim kemarau (antara bulan November hingga Januari). Setelah gugur, daun akan tumbuh lagi pada bulan Januari atau Maret. Masa pertumbuhan akan berlangsung antara bulan Juni– Agustus atau September. Buahnya masak pada bulan November dan akan jatuh pada kisaran bulan Februari atau April. Pada tanaman jati konvensional, sifat fisik dan kimianya ditentukan oleh kondisi lahan, iklim, serta lingkungan tempat tumbuh. Pada kawasan hutan dataran rendah dengan kandungan hara optimal, curah hujan antara 750–1.500 mm/th, suhu udara nisbi antara 34–42oC, dan kelembaban sekitar 70%, akan diperoleh kualitas produk kayu yang memiliki struktur kambium dengan tebal kulit kayu 0,4–1,8 cm. Serat halus berwarna cokelat terang dan bagian teras berwarna cokelat tua atau cokelat keemasan (Sumarna 2003). 2.1.2. Lahan Pengembangan Perencanaan secara matang untuk pengembangan tanaman jati untuk skala luas dan profesional harus dilakukan. Perencanaan ini didahului dengan pengamatan yang meliputi letak lahan (topografi), kondisi ekologis, iklim, dan kesuburan lahan. Menurut Sumarna (2003), persyaratan tumbuh optimal tanaman jati dapat diprediksi berdasarkan asumsi berikut. 1. Secara teknis, letak lokasi erat hubungannya dengan kondisi topografi, kualitas lahan, serta kesesuaian lingkungan tempat tumbuh. Kesesuaian tempat tumbuh dapat dilakukan dengan mempelajari pendekatan kondisi endemik asal-usul tempat tumbuh jati. 2. Pemilihan lahan pengembangan dapat pula dengan memperhatikan tingkat keberhasilan tumbuh serta kualitas produk kayu yang dikembangkan. 3. Untuk pengembangan di luar daerah tersebut, idealnya didasarkan atas hasil uji kesesuaian tempat tumbuh dengan memperhatikan parameter-parameter standar ekologis.
5
2.1.2.1.Iklim Dalam pertumbuhannya, tanaman jati membutuhkan iklim dengan curah hujan minimum 750 mm/th, optimum 1.000–1.500 mm/th, dan maksimum 2.500 mm/th (jati masih dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 3.750 mm/th). Suhu udara minimum yang dibutuhkannya yakni 13-17oC, optimum 32-42oC dan maksimum 39-43oC. Pada fase vegetatif, kelembaban lingkungan optimal 80%. Sedangkan pada fase generatif antara 60-70% (Sumarna 2003). 2.1.2.2.Tempat Tumbuh Kondisi tempat tumbuh akan berpengaruh terhadap fisiologis tanaman yang ditunjukkan oleh perkembangan riap tumbuh. Menurut Sumarna (2003) secara geologis, tanaman jati tumbuh di tanah dengan batuan induk berasal dari formasi limestone, granite, gneis, mica schist, sandstone, quartzite, conglomerate, shale,
dan clay. Idealnya, tanaman jati ditanam di areal dengan topografi yang relatif datar (hutan dataran rendah) atau memiliki kemiringan lereng kurang dari 20%. Jati akan tumbuh lebih baik pada tekstur tanah dengan fraksi lempung, lempung berpasir, atau pada lahan liat berpasir. Jati memerlukan kondisi solum lahan yang dalam dan keasaman tanah (pH) optimum 6,0. Namun pada pH rendah (4–5), tanaman jati masih dapat tumbuh dengan baik. Jati sensitif terhadap rendahnya nilai pertukaran oksigen dalam tanah. Sehingga jati membutuhkan tanah yang memiliki porositas dan drainase yang baik untuk pertumbuhannya agar mudah menyerap unsur hara. Tanaman yang tumbuh dengan kandungan unsur hara makro yang optimal akan memiliki perakaran yang baik sehingga proses penyeraparan unsur haranya semakin cepat dan kemampuan pohon untuk menghasilkan produksi pun semakin tinggi. Unsur hara makro yang penting dalam mendukung pertumbuhan jati yakni sebagai berikut (Sumarna 2003). 1. Kalsium (Ca), merupakan unsur penting yang mendukung pertumbuhan meristem batang dan merupakan elemen pembentukan dinding sel. Tanaman jati yang ditanam di lahan dengan kandungan Ca rendah (8,18-9,27%) menunjukkan pertumbuhan yang kurang menguntungkan. 2. Fosfor (P) optimum yang dibutuhkan tanaman jati berkisar 0,022-0,108% atau 19-135 mg/100g di dalam tanah. Secara fisiologis, lahan yang kekurangan
6
unsur P akan tampak pada pertumbuhan jati. Daun jati akan cepat gugur sehingga proses fotosintesa terganggu dan pertumbuhannya lambat. 3. Kalium (K) yang dibutuhkan oleh tanaman jati pada lapisan permukaan berkisar 0,54-1,80% (45-625 ppm/100g) dan permukaan di bawahnya antara 0,40-1,13% (113-647 ppm/100gr). 4. Nitrogen (N) yang dibutuhkan tanaman jati pada lapisan permukaan tanah antara 0,072-0,13% dan pada lahan di bawahnya antara 0,0056-0,05%. Sedangkan rataan N yang dibutuhkan oleh tanaman jati sekitar 0,0039%. 2.1.3. Jati Unggul Nusantara (JUN) Dengan berkembangnya teknologi di bidang rekayasa genetik (pemuliaan pohon/tree improvement), telah hadir beberapa jati varietas unggul. Jati yang dihasilkan diharapkan memiliki keunggulan komparatif berdaur pendek (±15 tahun) dengan sedikit cabang, batang lurus dan silindris. Berbagai merek dagang varietas unggul yang telah beredar di pasaran disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Berbagai merek dagang jati varietas unggul yang telah beredar di pasaran (Irwanto 2006; Soeroso dan Soetardjo 2009; Perum Perhutani 2011) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama Dagang Jati Plus Perhutani (JPP) Jati Super Jati Emas Jati Unggul Jati Kencana JUL Jati Unggul Nusantara (JUN)
Produsen Perum Perhutani PT Monfori PT Katama Suryabudi PT Bumindo, PT Fitotek PT Dafa Teknoagro Mandiri KBP Lamongan PT Setyamitra Bhaktipersada
Materi Asal Jawa Thailand Birma Jawa Jawa Timur Thailand Indonesia (JPP)
Menurut Sumarni et al. (2009), istilah jati cepat tumbuh merupakan nama atau sifat umum sebagai sebutan yang digunakan untuk membedakan dengan jati lokal atau jati konvensional. Jati cepat tumbuh ini merupakan jati yang dihasilkan dari pembiakan vegetatif melalui proses bioteknologi yakni teknik kultur jaringan (cloning) dan memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat. Bibit induk yang diklon untuk menghasilkan jati unggul merupakan tanaman jati terbaik setelah diseleksi dan dipilih dari tanaman jati biasa yang mempunyai sifat-sifat lebih dari populasi jati yang ada. Setiap jenis jati unggul biasanya memiliki spesifikasi tersendiri yang berkaitan dengan sifat unggul yang dimilikinya. Salah satu yang penting dari jati unggul yakni dapat dipanen pada umur 10–15 tahun. Sifat-sifat unggul lainnya yaitu mempunyai sifat keseragaman
7
yang tinggi, tahan terhadap penyakit, pertumbuhan cepat, batang bebas cabang relatif tinggi, lurus, dan dapat diproduksi dalam jumlah banyak (Sumarni et al. 2009). Sejak tahun 1982, pemuliaan pohon jati telah dimulai oleh Perum Perhutani. Pemuliaan pohon ini dimulai dengan eksplorasi dan seleksi awal pohon plus dari hutan alam maupun hutan tanaman jati di Indonesia. Saat ini telah dihasilkan koleksi 600 pohon plus yang terdiri dari 300 pohon dari Pulau Jawa dan 300 pohon dari luar Jawa. Materi genetik pohon plus tersebut disimpan atau ditanam di dalam Bank Klon, Kebun Benih Klonal (KBK), dan Kebun Pangkas. Koleksi ini ditujukan untuk konservasi genetik (bank gen) maupun untuk kegiatan pemuliaan lebih lanjut (Perum Perhutani 2011). Salah satu hasil program pemuliaan pohon adalah diperolehnya klon unggulan hasil uji klon. Sebelum klon-klon tersebut dikembangkan, dilakukan tes pembuktian lapangan di beberapa lokasi dengan menerapkan silvikultur intensif. Salah satu produk dari program pemuliaan pohon ini adalah JPP (Jati Plus Perhutani). JPP dikembangkan melalui pembiakan vegetatif (stek pucuk dan kultur jaringan) dan generatif dengan menggunakan biji asal kebun benih klonal (KBK) (Perum Perhutani 2011). JPP yang diproduksi secara vegetatif (stek pucuk) ini kemudian disebut Jati Unggul Nusantara (JUN).
A
B
C
Gambar 1 Perakaran jati dari (A) biji, (B) kultur jaringan, (C) stek pucuk JUN (Soeroso dan Soetardjo 2009)
Menurut PT Setyamitra Bhaktipersada (2011b), bibit JUN diproduksi dengan bioteknologi melalui pembiakan (propagasi) vegetatif (kloning) dengan stek pucuk dan dilakukan modifikasi sistem perakaran sehingga menghasilkan akar
8
tunjang majemuk. Tanaman JUN ini cepat tumbuh, kokoh, dan dapat dipanen mulai umur 5 tahun dengan hasil kayu bundar (log) 0,2 m3/pohon. Klon Jati Unggul Nusantara (JUN) memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan klon jati lainnya. Oleh karena itu, pembangunan hutan jati dengan menggunakan bibit dari klon JUN merupakan salah satu alternatif untuk memproduksi kayu jati dengan kualitas fenotipe yang tinggi dengan masa tanam yang cepat. 2.2.Uji Klon Perbanyakan secara aseksual (seperti stek pucuk) menjamin tidak akan berubahnya genotipe tanaman. Hal ini merupakan alat yang penting untuk beberapa metode konservasi. Perbanyakan aseksual mempunyai arti khusus untuk mengekalkan genotipe, populasi atau jenis dari bahaya kepunahan (Finkeldey 2005). Suatu fenotipe dari tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Sifat-sifat yang mempengaruhi hasil dari hutan tanaman diamati dalam uji coba lapangan. Analisis variasi yang diamati harus berdasarkan metode genetika kuantitatif. Dalam beberapa kasus, beberapa sifat diamati dalam suatu pengujian yang dilakukan secara periodik. Tipe pengujian yang dilakukan tergantung pada tujuan penanaman yang akan dilakukan (Finkeldey 2005). Sifat yang diamati di dalam pengujian ini seperti daya sintas, pertumbuhan dan kesehatan tanaman. Seluruh sifat tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik. Namun, hanya beberapa dari sifat-sifat tersebut yang diukur dalam skala kontinyu dan dalam hal ini bersifat kuantitatif. Sebagian besar sifat yang mencirikan pertumbuhan adalah kuantitatif. Daya sintas adalah suatu sifat dengan dua kemungkinan ekspresi pada setiap tanaman (hidup atau mati). Kesehatan tanaman juga kualitatif dengan dua ekspresi saja (infeksi atau tidak terinfeksi) atau dicatat dalam kelas diskrit (Finkeldey 2005). Beberapa sifat yang dicatat dalam pengujian lapangan berasosisasi erat dengan kondisi keteradaptasian pohon terhadap kondisi lingkungan di tempat pengujian dan fitness dari tanaman. Hal ini berlaku jelas untuk daya sintas dan sifat-sifat yang mencirikan kesehatan tanaman. Sifat-sifat pertumbuhan tidak selalu berkorelasi positif dengan fitness.
9
Ketika dilakukan pengukuran secara berturut-turut terhadap sifat yang ada pada sekelompok individu, superioritas atau inferioritas yang dimiliki sebelumnya akan berelasi sama seperti biasa pada pengukuran selanjutnya. Konsistensi posisi relatif ini dari relasi subjek satu sama lain selama pengukuran yang dilakukan secara berturut-tutut disebut repeatability (Tunner & Young 1969 dalam Carvalho dan Cruz 2003).