4
TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Pisang Tanduk Pisang tanduk merupakan varietas yang memiliki ukuran terbesar dalam komoditas pisang. Varietas ini memiliki panjang berkisar antara 25-40 cm, lebar 6-12 cm, dan diameter buah 4.4-4.8 cm. Pada umumnya dalam satu tandan pisang tanduk, terdapat 1-3 sisir yang dipelihara dengan jumlah buah sebanyak 6-10 buah dalam tiap sisirnya. Pisang tanduk memilki bobot buah 300-320 g per buah, dan memiliki potensi hasil 15 kg per tandannya. Pisang ini memiliki kulit berwarna hijau muda saat mentah dan berubah menjadi kuning pada tahap pematangan dengan kadar beta karoten sebesar 0.71 per 100 g. Pisang tanduk yang matang memiliki daging buah berwarna oranye dengan tekstur halus dan derajat kemanisan sebesar 31-33obrix. Pisang tanduk merupakan buah yang tidak mengenal musim, sehingga tersedia sepanjang tahun dipasaran (Ismail and Khasim, 2005; PKBT, 2009). Pisang tanduk dapat segera dipanen dalam usia 124-139 hari setelah bunga mekar. Pada usia ini, buah pisang tanduk memiliki kandungan pati sebesar 30-33% dan kandungan asam sebesar 0.13-0.16% (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008). Berat tandan, jumlah sisir per tandan, berat buah, jumlah buah per sisir, persentase buah dan kulit, dipengaruhi oleh varietas pisang dan letak buah dalam satu tandan. Bervariasinya ukuran tandan pada varietas yang sama, dapat disebabkan perbedaan lingkungan tumbuh masing-masing tanaman pisang. Pada lingkungan yang baik (cukup nutrisi dan air) tanaman pisang tumbuh subur dan dapat menghasilkan tandan yang besar. Disamping aspek lingkungan, beragamnya ukuran buah pisang dalam satu tandan juga dipengaruhi oleh letak sisir, biasanya makin ke ujung, ukuran buah pisang akan makin kecil dan jumlah buah per sisir juga makin sedikit (Artalina et al., 2005). Produksi pisang yang berkualitas prima dan berkelanjutan dapat tercapai apabila komoditas pisang diusahakan pada lingkungan yang sesuai, sehingga tanaman dapat memperagakan kemampuan genetiknya secara maksimal, baik dari segi produksi maupun kualitas. Penampilan tandan pisang pada budidaya yang baik, nampak pada jumlah sisir per tandan
5
lebih banyak dan ukuran buah nampak besar, padat, dan relatif seragam (Djohar et al. dan Kismosatmoro, 1999). Pisang tanduk dapat ditanam pada berbagai jenis tanah, terutama baik pada tanah aluvial dan gambut dangkal. Pisang ini membutuhkan lereng yang tidak curam karena cukup rentan terhadap kerusakan angin bila ditanam pada daerah perbukitan. Varietas pisang tanduk hanya bisa dipanen sekali selama satu musim tanam. Penanaman kembali harus dilakukan untuk mendapatkan panen pada musim berikutnya. (Ismail and Khasim, 2005). Pisang tanduk atau lebih dikenal di daerah Lumajang dengan nama pisang agung (Musa paradisiaca var. Typica, AAB group) merupakan salah satu jenis pisang golongan plantain yang diunggulkan. Pisang jenis plantain memiliki kandungan pati dan amilosa yang cukup tinggi sehingga sesuai untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi produk pangan fungsional (Abdillah, 2010). Pisang yang termasuk ke dalam jenis plantain umumnya diolah sebelum dikonsumsi, namun penampilan fisik juga perlu diperhatikan dalam budidaya pisang tanduk ini. Penampilan fisik yang baik akan berpengaruh terhadap daya jual sehingga dapat meningkatkan margin harga yang diterima petani dan dapat menarik minat konsumen. Terdapat beberapa jenis hama yang dapat menyerang jenis pisang ini. Pisang tanduk relatif tahan terhadap layu fusarium, namun mudah terjangkit bercak daun Sigatoka dan kumbang. Beberapa hama yang menyerang tandan buah pisang antara lain adalah thrips dan Nacolea octasema yang dapat menyebabkan burik dan kudis pada buah. Selain hama, juga terdapat Cendawan jamur yang dapat menimbulkan noda dan luka pada buah pisang. Hama dan Cendawan Jamur pada Buah Pisang Thrips (Chaetanaphotrips signipennis) Hama ini menyerang bunga dan buah muda, menyebabkan terjadinya bintik-bintik dan goresan pada kulit buah yang telah tua. Gejala serangan hama ini antara lain terlihat pada bagian luar tangkai daun yang terserang berupa goresan
6
noda berbentuk v, luka berair pada buah muda terdapat garis gelap (karat) berbentuk oval, kemerahan pada permukaan buah, dan terdapat luka gelap kemerahan seperti asap di permukaan buah khususnya antara buah (Nakasone and Paull, 1998). Pada serangan yang lebih intensif, akan menyebabkan retak kulit dangkal atau kadang-kadang membelah buah. Hama ini memiliki nilai ekonomi penting pada banyak negara penghasil pisang. Hal ini disebabkan karena ketika buah diserang, nilai jual akan berkurang meskipun kualitas buah tidak terpengaruh. Pisang, anthurium, dan bracaena merupakan inang utama dari hama ini, meskipun tidak spesifik pada varietas pisang tertentu. Hama ini juga tercatat menyerang jeruk, tomat, dan beberapa jenis gulma (Simmond, 1959). Thrips merupakan serangga yang memiliki tubuh lunak dan mempunyai panjang sekitar 2 mm, memanjang dan berbentuk silinder, memiliki kaki yang ramping dan tidak termodifikasi. Serangga ini memiliki bagian mulut yang asimetris dengan sebuah formasi kerucut di dasar kepala dengan organ penusuk berbentuk kerucut. Serangga ini berkembang biak dengan meletakkan telur di bawah epidermis tunas tanaman, tepi kelopak dan daun muda. Telur thrips juga diletakkan pada buah, di dalam daerah terlindung seperti di antara buah. Telur menetas dalam waktu 1-2 minggu, kemudian larva menyerang dan memakan buah selama sekitar satu minggu sebelum jatuh ke tanah untuk menjadi kepompong. Fase kepompong berlangsung selama 7-12 hari dan tumbuh menjadi serangga dewasa selama 27-112 hari (rata-rata 50-55 hari). Serangga dewasa hidup pada setiap bagian terlindung dari tanaman, hidup dalam kelompok, di bawah kelopak atau daun dan tangkai muda. Serangga dewasa dapat menyebar melalui tandan yang terserang atau melalui angin. Pengendalian hama thrips ini dapat menggunakan strategi budidaya atau kimia. Pada awal penanaman, akar bibit pisang harus dikupas dan dicuci dari tanah yang mungkin terinfestasi oleh pupa. Cara pengendalian yang lain yaitu dengan membungkus tandan buah saat bunga akan mekar dengan kantung polyethilen yang diolesi insektisida dan pengolesan tangkai tandan dengan insektisida berbahan aktif monocrotophos untuk mencegah datangnya hama (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008).
7
Burik pada buah (Nacolea octasema) Larva dari ngengat ini memakan buah pisang yang masih muda, hal ini dapat menimbulkan luka pada permukaan kulit pisang. Selama perkembangan buah, bekas luka ini akan berubah menjadi kudis berwarna hitam. Ngengat dari hama ini akan lebih aktif pada saat musim hujan yang memiliki kondisi basah dan lembab (Gold et al., 2002). Serangan menyebabkan perkembangan buah menjadi terhambat, sehingga menurunkan kualitas buah. Hama ini meletakkan telurnya diantara pelepah bunga segera setelah bunga muncul dari tanaman pisang. Hama langsung menggerek pelepah bunga dan bakal buah, terutama saat buah masih dilindungi oleh pelepah buah. Pengendalian hama ini dapat dilakukan dengan membungkus tandan buah saat bunga akan mekar (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008). Bercak pada Buah Noda berbentuk bintik merupakan gejala serangan yang cukup serius pada kulit buah pisang. Bercak ini umumnya disebabkan oleh Jamur Deightoniella torulosa (Syd.) M. B. Ellis. Bintik ini terjadi saat pisang berada pada stadia matang dengan gejala berupa bercak berwarna coklat kemerahan hingga hitam yang memiliki diameter ± 2 mm dan dikelilingi dengan halo berwarna hitam pekat. Gejala serangan ini cenderung lebih berat pada lengkungan luar pada sisir. Jamur ini banyak menyerang saat musim hujan pada daerah dengan tingkat kelembaban yang tinggi dan pada proses budidaya pisang yang tidak terawat (Slabaugh, 1994). Lubang pada Buah Gejala serangan ini disebabkan oleh jamur Pyricularia grisea (Cooke) Sacc. Serangan jamur ini memberikan gejala berupa luka cekungan berwarna coklat yang membulat dengan diameter 4-6 mm yang muncul pada saat buah menjelang stadia kematangan sampai setelah panen. Cekungan ini dikelilingi oleh daerah berwarna coklat kemerahan yang sempit dengan garis hijau yang berair.
8
Cekungan yang terjadi akan membelah atau robek, namun tidak akan sampai mengenai daging buah. Gejala serangan akan nampak lebih parah pada buah pisang bagian luar dari tandan, dan ukurannya luka cekungan akan semakin besar saat pematangan. Selain pada buah, jamur ini juga dapat menyerang tangkai dan mahkota buah pisang, sehingga apabila gejala serangan sudah sangat parah akan menyebabkan gugurnya buah. Serangan jamur ini umumnya dapat dicegah dengan melakukan pemberongsongan tandan pisang yang terlebih dahulu telah disemprot dengan fungisida yang berbahan aktif mancozeb, benomyl dan thiophanate methyl (Slabaugh, 1994). Bintik pada Buah Pisang Bintik pada buah pisang yang disebabkan oleh jamur Phyllostictina musarum (Cooke) menyebar luas pada 2-4 minggu setelah bunga mekar. Gejala serangan jamur ini akan meningkat saat buah mulai matang. Gejala yang dihasilkan berupa permukaan kulit buah pisang yang menjadi hitam akibat bintik yang mengumpul membentuk koloni, namun gejala ini tidak berpengaruh terhadap kualitas makan buah pisang. Gejala serangan ini dapat dicegah dengan melakukan
sanitasi
berupa
pemotongan
daun
yang
telah
tua
dan
pemberongsongan pada tandan buah pisang (Jones, 1994). Pemberongsongan Pemberongsongan
dilakukan
dengan
membungkus
tandan
pisang
menggunakan plastik polyethilen untuk meningkatkan hasil dan menjaga kualitas buah pada pertanaman skala besar (Robinson, 1996). Bahan ini banyak digunakan karena kuat, kedap air, tahan terhadp zat-zat kimia dan harganya yang murah (Pantastico, 1993). Beberapa bahan pembungkus mengandung pestisida untuk mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh thrips dan tungau. Selain itu, pembungkus menghasilkan iklim mikro disekitar tandan dan mencegah terjadinya lecet pada tandan akibat gesekan daun serta melindungi dari debu disaat kondisi berangin (Nakasone and Paull, 1998; Turner, 1997).
9
Kualitas buah yang lebih tinggi dapat diperoleh dengan aplikasi pemberongsongan, karena dapat melindungi tandan buah dari kerusakan mekanis dan patologi (Angeles, 1999). Pemberongsongan dapat dilakukan untuk pengendalian penyakit layu bakteri. Pemberongsongan buah dengan plastik transparan
dilakukan
untuk
mencegah
datangnya
serangga
penular.
Pemberongsongan dilakukan saat tanaman pisang sudah keluar jantung atau paling lama saat sisir pertama muncul (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberongsongan merupakan cara yang sangat efektif untuk menurunkan intensitas dan persentase keparahan gejala serangan hama pada buah pisang. Pemberongsongan dilakukan dengan tujuan untuk mengendalikan serangan hama (Thrips sp dan Nacolea sp), cuaca yang buruk maupun kerusakan mekanis lainnya, pada kasus gejala serangan hama pisang barangan di Sumatra Utara. Manfaat lain dari teknologi ini adalah menghasilkan penampakan kulit buah yang mulus (tanpa bintik) dan sesuai kualitas untuk pasar swalayan maupun ekspor, menghindari buah dari kerusakan mekanis karena cuaca buruk, menghindari serangga yang merupakan vektor penyebab penyakit layu, dan menambah berat buah berkisar antara 5-8 % (BPTP Sumut, 2009). Tabel 1. Persentase Bintik Hitam pada Kulit Buah Pisang Barangan Dengan Perlakuan dan Tanpa Perlakuan Bahan Pemberongsong. Bahan Pemberongsong
Bintik Hitam pada Buah (%) Umur 1 Bulan
Saat Panen
Tanpa pemberongsongan
56.3
95.9
Plastik Biru
00.9
01.0
Net Kasa Putih
00.7
14.0
Sumber : BPTP Sumut, 2009. Bobot buah, warna daging, padatan terlarut total, tingkat keasaman, kekerasan buah dan kualitas makan tidak dipengaruhi oleh pemberongsongan pada buah mangga (Hofman et al.,1997) dan buah persik (Jia et al., 2005). Perlakuan pemberongsongan pada berbagai waktu sebelum panen pada buah
10
mangga (Mangifera indica cv. ‘Keitt’), meningkatkan persentase warna kuning pada buah mangga menjelang matang. Hal yang sebaliknya terjadi pada persentase warna merah pada kulit yang menurun dengan semakin awalnya dilakukan pemberongsongan. Penyakit pasca panen pada mangga, seperti antraknosa dan stem end rot (SER), yang disebabkan oleh Colletotrichum dan Dothoriella spp., juga dapat dikurangi dengan aplikasi pemberongsongan buah mangga saat produksi. Keparahan serangan penyakit SER semakin menurun dengan melakukan perlakuan pemberongsongan yang semakin awal, namun pada penyakit antraknosa tidak terjadi penurunan tingkat keparahan penyakit apabila pemberongsongan dilakukan lebih dari 56 hari sebelum dilakukan pemanenan. Pemberongsongan pada buah mangga juga dapat meningkatkan persentase berat kering dan mempercepat waktu panen buah. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberongsongan dapat menaikkan kualitas buah dan mengurangi intensitas serangan hama penyakit dengan meningkat kekebalan alami buah terhadap hama penyakit selama pematangan melalui peningkatan aktivitas senyawa anti jamur. Pemberongsongan juga mungkin dapat mengurangi pertumbuhan organisme yang menyebabkan gagalnya pembungaan, meskipun memiliki efek negatif terhadap menurunnya kualitas warna dan menurunkan konsentrasi kalium didalam buah mangga (Hofman et al.,1997). Pemberongsongan juga umum digunakan dalam produksi buah pir di Selandia Baru. Pemberongsongan yang dilakukan pada 30 hari setelah pembungaan dapat meningkatkan persentase buah pir yang diterima sebagai komoditas ekspor dari 27.2% menjadi 63.2% . Hal ini dicapai dengan mengurangi kerusakan dan bercak pada kulit (persentase buah yang ditolak untuk ekspor berkurang dari 49.3% menjadi 33.4% setelah dilakukan pemberongsongan) serta dapat mengurangi tingginya tingkat getah kuning kemerahan. Pemberongsongan mengurangi tingkat noda, terutama yang disebabkan oleh gesekan buah terhadap daun dan ranting selama periode angin kencang. Selain itu, pemberongsongan buah dapat mengurangi residu captan (non-sistemik fungisida) dan metil azinphos (non-sistemik insektisida) ketika pohon disemprot dengan pestisida 3 hari sebelum panen. Pemberongsongan pada tahap produksi juga dapat menurunkan
11
luasan bercak pada kulit dari 3.15 cm2 menjadi 1.49 cm2 dan menurunkan tingkat kerusakan perubahan warna kulit dari 1.17 cm2 menjadi 0.51 cm2 akibat gesekan saat buah mulai tumbuh dan proses pemanenan. Penggunaan plastik polyethylene dengan lubang mikro merupakan sebuah teknologi yang menarik untuk industri pir karena dapat mengurangi kerusakan akibat hama burung dan noda bercak pada kulit, serta meningkatkan kualitas pascapanen buah dengan mengurangi perubahan warna akibat gesekan dan residu kimia (Amarante et al., 2002). Perlakuan pemberongsongan dengan menggunakan bahan pemberongsong yang memiliki perbedaan tingkat penyerapan cahaya pada buah pir oriental (Pyrus pyrifolia Nakai) berpengaruh nyata terhadap konsentrasi antosianin, total asam organik dan penampakan visual, namun tidak berpengaruh terhadap total gula terlarut (PTT) dan kekerasan buah. Buah pir oriental yang menerima intensitas cahaya yang lebih tinggi, akan memiliki jumlah total akumulasi zat antosianin yang lebih besar, total asam organik yang lebih rendah, serta penampakan visual yang lebih menarik dibandingkan dengan buah yang menerima intensitas cahaya matahari yang lebih rendah (Huang et al., 2009). Perlakuan pemberongsongan dengan menggunakan bahan pemberongsong yang memiliki perbedaan tingkat penyerapan cahaya juga diterapkan pada produksi buah lengkeng (Dimocarpus longan Lour) pada musim dingin di China. Perlakuan pemberongsongan dapat mempercepat peningkatan perkembangan buah dengan memperbesar ukuran dan berat buah karena peningkatan suhu dan kelembaban. Pemberongsongan tidak dapat meningkatkan jumlah akhir buah dalam satu tangkai (fruit set). Perlakuan ini cenderung untuk meningkatkan jumlah buah yang gugur diawal perkembangan, namun mengurangi buah yang gugur diakhir pekembangan buah. Selain itu, perlakuan ini dapat menurunkan jumlah buah yang mengalami keretakan kulit pada masa akhir perkembangan hingga menjelang panen. Kandungan Gula dalam buah tidak terpengaruh oleh perlakuan, namun kadar asam organik termasuk vitamin C sangat terpengaruh, dimana buah yang diberikan perlakuan pemberongsongan akan memiliki kadar vitamin C dan konsentrasi asam malat yang lebih rendah dibandingkan dengan tanpa pemberongsongan (Yang et al., 2009).
12
Buah manggis yang mendapat perlakuan pemberongsongan pada waktu yang berbeda setelah jatuhnya kelopak bunga, intensitas bekas luka serangan hama thrips meningkat setara dengan penundaan waktu pemberongsongan. Buah yang mendapat perlakuan pemberongsongan lebih awal, akan memiliki tingkat serangan hama thrips yang lebih rendah. Pemberongsongan buah pada umumnya efektif untuk mengurangi intensitas bekas luka karena serangan thrips tanpa mempengaruhi diameter buah (rata-rata diameter 5.78 cm), dimana ukuran buah normal berkisar antara 5.0 - 6.5 cm. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya untuk melindungi buah dari serangan hama harus diaplikasikan sedini mungkin. Intensitas bekas luka pada buah ini juga menentukan harga jual baik ditingkat pengumpul ataupun eksportir. Studi lebih lanjut memperlihatkan bahwa pemberongsongan tidak hanya efektif untuk melindungi buah dari infeksi thrips tetapi juga bisa menjaga penampilan buah (Affandi et al., 2008).