19
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pisang Tanaman pisang berbunga pada saat berumur 9-12 bulan setelah tanam. Pemotongan tandan dilakukan pada umur 80-110 hari setelah berbunga dan biasanya pada umur 110 hari buah pisang mulai menguning. Ukuran, warna dan citarasa buah pisang berbeda-beda tergantung dari varietasnya. Selain itu, pertumbuhan tanaman pisang dipengaruhi oleh keadaan tanah, iklim dan cara pemeliharaannya (Simmonds 1966). Berdasarkan cara penggunaannya, buah pisang digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu banana dan plantain. Banana adalah golongan pisang yang dimakan dalam bentuk segar setelah buahnya matang (Musa paradisiaca var. sapientum, Musa nana Lour atau Musa cavendishii), contohnya antara lain pisang ambon, pisang raja sereh, pisang raja bulu, pisang susu, pisang seribu dan lain-lain. Plantain adalah golongan pisang yang dimakan setelah diolah terlebih dahulu, contohnya antara lain pisang kepok, pisang siam, pisang kapas, pisang rotan, pisang sri wulan, pisang tanduk, pisang uli dan lain-lain. Golongan banana mempunyai bentuk buah yang ujungnya tumpul dan rasanya enak bila telah masak, sedangkan golongan plantain mempunyai warna buah yang mengkilap serta bila masak memiliki rasa yang kurang enak (Simmonds 1966). Golongan plantain memiliki daging buah dengan kandungan pati yang tinggi (17%), rasa manis yang kurang, digunakan pada saat pisang belum matang dan membutuhkan pengolahan lebih lanjut (Emaga et al. 2007). Komponen utama buah pisang adalah air dan karbohidrat dengan nilai energi pisang sekitar 136 kalori yang secara keseluruhan berasal dari karbohidrat (Anonim 2007). Pisang termasuk buah-buahan yang mudah dicerna dengan daya cerna 54-80%. Pisang merupakan komoditas pertanian yang mengandung karbohidrat siap cerna (sekitar 30% dari bagian yang dapat dimakan). Pisang banyak mengandung komponen karbohidrat terutama pati sehingga pisang juga sering ditepungkan atau terkadang diambil patinya.
20
Pisang memiliki rasa yang sangat enak, dapat mengenyangkan, sumber pro-vitamin A, mengandung vitamin C sekitar 20mg/100g bobot segar, dan vitamin B dalam jumlah sedang. Hancuran pisang mengandung dopamin dan vitamin C dalam jumlah tinggi. Selain vitamin, daging buah pisang mengandung alkali yang bersifat alkalis sebanyak 0.70-0.75% dari berat daging buah. Abu pada pisang mengandung unsur mineral fosfor sebanyak 290 ppm, kalsium 80 ppm dan besi 60 ppm (Loesecke 1950). Komposisi kimia buah pisang bervariasi tergantung pada varietasnya. Tingkat kematangan pisang juga mempengaruhi komposisi kimia daging buah seperti kadar pati, gula reduksi, sukrosa dan suhu gelatinisasi (P. Zhang et al. 2000). Menurut (Eggleston et al. 1992) pati pisang plantain, plantain hybrids dan cooking bananas secara umum memiliki tingkat kepekaan terhadap enzim aamilase yang meningkat dengan meningkatnya kadar amilosa dan proteinnya. Komposisi pati pisang olahan (plantain) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi pati pisang olahan/plantain Pati
Amilosa Protein (%) (%)
Plantain Ihitisim Agbagba Obino L’Ewai Bobby Tannap Plantain hybrids 548/4 548/9 582/4 566.32 Cooking bananas Blugoe Fougamou
Kadar Abu (%)
Fosfor (%)
Kepekaan terhadap aAmilase (%)
11.2 11.9 11.1 11.3
0.94 0.87 0.98 1.07
0.34 0.27 0.32 0.30
0.022 0.020 0.020 TD
1.10 1.27 1.70 1.83
10.3 10.3 9.1 12.0
1.08 1.06 TD TD
TD TD 0.28 0.32
0.024 0.031 0.031 TD
1.87 1.83 1.82 1.51
12.9 17.2
0.99 1.02
0.41 0.35
0.021 0.027
2.64 2.23
(Eggleston et al. 1992) keterangan : TD = tidak diidentifikasi
21
2.2 Tepung Pisang Tepung pisang merupakan produk antara yang cukup prospektif dalam pengembangan sumber pangan lokal. Buah pisang cukup sesuai untuk diproses menjadi tepung mengingat bahwa komponen utama penyusunnya adalah karbohidrat
(17.2-38%).
Berdasarkan
kandungan
nutrisi,
buah
pisang
dibandingkan sayuran hijau memiliki kandungan zat besi yang paling kaya dan juga mengandung nutrisi lainnya (Aremu dan Udoessien 1990). Manfaat pengolahan pisang menjadi tepung antara lain yaitu lebih tahan disimpan, lebih mudah dalam pengemasan dan pengangkutan, lebih praktis untuk diversifikasi produk olahan, mampu memberikan nilai tambah buah pisang, mampu meningkatkan nilai gizi buah melalaui proses fortifikasi selama pengolahan, dan menciptakan peluang usaha untuk pengembangan agroindustri pedesaan. Tepung pisang dapat dibuat dari buah pisang muda dan pisang tua yang belum matang. Prinsip pembuatannya adalah pengeringan dengan sinar matahari atau dengan menggunakan alat pengering kemudian digiling. Produk yang sudah digiling kemudian dilewatkan pada penyaring berukuran 100 mesh (Adeniji et al. 2006). Judoamidjojo dan Lestari (2002) melaporkan bahwa kadar pati dari tiga jenis pisang plantain (nangka, uli dan siam) cukup tinggi yaitu berkisar dari 5562%. Perbandingan karakteristik jenis tepung pisang nangka, uli dan siam dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Sifat fisikokimia tepung pisang nangka, siam dan uli Karakteristik Rendemen (%)
nangka 30.02
Jenis Pisang siam 30.11
uli 39.6
Kadar air (%)
9.04
12.05
10.82
Kadar total gula (%)
9.58
12.82
26.56
Kadar pati (%)
61.61
56.82
55.23
Kadar amilopektin (%)
54.29
49.63
48.54
Kekentalan (cp)
1.2075
1.4056
-
Derajat putih (%)
42.96
57.08
41.6
(Judoamidjojo dan Lestari 2002 )
22
Tepung pisang dari buah pisang muda mengandung pati lebih tinggi bila dibandingkan dengan tepung pisang dari pisang tua matang, sedangkan kandungan gula sederhananya sebaliknya. Pisang yang akan digunakan untuk pembuatan tepung pisang sebaiknya dipanen pada saat telah mencapai tingkat kematangan ¾ penuh, kira-kira 80 hari setelah berbunga. Hal ini dikarenakan pada kondisi tersebut, pembentukan pati mencapai maksimum dan tanin sebagian besar terurai menjadi ester aromatik dan fenol, sehingga dihasilkan rasa asam dan manis yang seimbang (Crowther 1979). Pisang yang terlalu muda (kurang dari ¾ penuh) akan menghasilkan tepung pisang yang mempunyai rasa sedikit pahit dan sepat, karena kadar asam dan tanin yang relatif masih tinggi, sedangkan kadar patinya rendah. Hardiman (1982) berpendapat bahwa sifat sepat pisang akan berkurang banyak sejalan dengan berubahnya senyawa tanin selama proses pengeringan. Meningkatnya tingkat kematangan pisang akan menyebabkan perubahan komposisi kimia dari tepung pisang yang dihasilkan, sehingga untuk memperoleh tepung pisang dengan kadar pati yang cukup tinggi diperlukan pemilihan tingkat kematangan pisang yang sesuai. Komposisi kimia pisang dari berbagai tingkat kematangan pisang dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi kimia pisang pada berbagai tingkat kematangan Komposisi (%) Tingkat kematangan Muda sekali
Muda
Agak tua
Tua
Air
8.18
5.58
7.73
6.81
Protein
3.78
3.84
3.81
3.66
Total karbohidrat
87.25
87.62
83.85
85.00
Sukrosa
5.76
7.26
3.23
13.25
Gula pereduksi
5.68
31.80
41.50
41.25
Pati
67.51
43.35
35.00
25.98
Selulosa
4.22
4.25
3.58
3.61
Lemak
1.15
1.11
1.02
1.13
Abu
3.23
3.28
3.17
3.19
(Loesecke 1950)
23
Pembuatan tepung pisang terdiri dari dua cara yaitu cara basah dan cara kering. Cara yang paling banyak dan paling umum digunakan adalah cara kering. Proses pembuatan tepung pisang secara kering adalah buah yang masih hijau tapi sudah cukup tua, dikupas dan dipotong-potong agak tipis. Setelah itu langsung dikeringkan. Pengeringan dapat dilakukan dengan penjemuran, menggunakan alat pengering seperti tray dryer (Loesecke 1950). Pengeringan adalah salah satu metode pengawetan makanan yang paling tua (Adams 2004). Tepung pisang dari berbagai cara pengeringan kering menghasilkan komposisi kimia tertentu. Komposisi dan karakteristik kimia tepung pisang dengan empat metode pengeringan terdapat dalam Tabel 4.
Tabel 4 Komposisi dan karakteristik kimia (% bk)* dari tepung pisang yang dikeringkan dengan empat metode pengeringan** Parameter Metode Pengeringan Lyophilization
Drum dryer
Microwave
Air
2.36±0.10c
5.46±0.11b
6.73±0.20b
Chamber dryer 11.75±0.73a
Abu
1.98±0.08ab
2.19±0.047a
1.95±0.03a
2.02±0.17a
Lemak
0.83±0.01a
0.5±0.05b
0.17±0.15d
0.31±0.01cb
Protein
2.92±0.10a
3.30±0.25a
3.12±0.18a
3.08±0.08a
Serat Pangan
9.67±0.05a
9.01±0.19a
9.43±0.20a
9.37±0.45a
Pati
74.65±2.08c
63.50±0.55a
64.52±0.25a
74.30±2.32ab
Gula pereduksi
1.37±0.18a
1.74±0.21a
1.65±1.53a
1.27±0.53a
Total gula
6.98±0.77b
15.78±1.50a
14.95±1.53a
4.23±0.67b
Amilosa
38.29±0.61c
35.84±0.54a
34.29±0.51a
33.26±1.80b
61.67
64.16
65.71
66.74
Amilopektin
(Pacheco-Delaheya et al. 2008) *bk : berat kering **Data adalah rata-rata dari tiga kali pengulangan ± standar error. Data pada satu baris yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada level 5% ***N x 6.25 ****berdasarkan pada 100% pati
Maldonado dan Pacheco-delahaye (2000) menyatakan bahwa kandungan serat pangan, pati resisten, protein dan mineral dalam cookies meningkat ketika
24
mensubstitusi terigu dengan 7% tepung pisang. Selain itu, dilaporkan juga bahwa pati merupakan komponen utama dalam tepung pisang, yaitu sebanyak 84%, protein 6.8%, lemak 0.3%, abu 0.5% dan serat pangan 7.6%. Juarez-Garcia et al. (2006) juga melaporkan bahwa tepung pisang memiliki total pati 73.36% dan serat pangan 14.52% dari total pati, sedangkan data lainnya menunjukkan bahwa total pati dalam tepung pisang alami adalah 56.29% dan pati resisten 17.50%.
2.3 Modifikasi Pati Pati merupakan homoglikan yang terdiri dari satu jenis unit D-glukosa dan dihubungkan dengan ikatan glukosida. Unit glukosa pati membentuk dua jenis polimer yaitu amilosa dan amilopektin. Umumnya pati
mengandung 15-30%
amilosa, 70-85% amilopektin dan 5-10% bahan antara seperti lipid, protein, dan mineral. Waliszewski et al. (2003) melaporkan kandungan amilosa pada bagian yang dapat dimakan dari pisang adalah 40.70%. Amilosa adalah homoglikan Dglukosa dengan ikatan a-(1,4) dari struktur cincin piranosa, sedangkan amilopektin adalah homoglikan D-glukosa dengan ikatan a-(1,4) dan a-(1,6) dari struktur cincin piranosa. Amilosa umumnya dinyatakan sebagai bagian linier dari pati meskipun sebenarnya jika dihidrolisis dengan ß-amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil hidrolisis yang sempurna. Enzim ß-amilase menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutuskan ikatan a-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa menghasilkan maltosa dan limit dekstrin (suatu inti yang tahan hidrolisa enzim), sedangkan enzim a-amilase mampu memutuskan ikatan a-(1,4) menghasilkan maltosa dan dekstrin (Suhartono 1989). Enzim yang berperan dalam pemecahan ikatan a-(1,6) adalah a-(1,6)-glukosidase. Aktivitas a-amilase ataupun ß-amilase dan a-(1,6)-glukosidase dapat menguraikan amilopektin secara sempurna menjadi glukosa dan sejumlah kecil maltosa (Lehninger 1993). Kemampuan amilosa berinteraksi dengan iodin membentuk kompleks berwarna biru merupakan cara untuk mendeteksi adanya pati. Pati dapat dibedakan berdasarkan difraksi sinar X, aktivitas enzim dan karakteristik nutrisi. Klasifikasi pati berdasarkan aktivitas enzim terbagi tiga, yaitu pati yang dapat dicerna dengan cepat (rapidly digestible starch), pati yang dicerna
25
dengan lambat (slowly digestible starch) dan pati resisten (resistant starch/RS). Klasifikasi pati berdasarkan karakteristik nutrisi terbagi dua yaitu pati yang dapat dicerna dan yang tidak dapat dicerna (RS) (Sajilata et al. 2006). Pati dapat dimodifikasi melalui cara hidrolisis, oksidasi, ikat silang (crosslinking atau cross bonding) dan subtitusi. Modifikasi secara hidrolisis dapat terjadi karena adanya enzim a-amilase yang dapat memecah pati menjadi unit-unit yang lebih kecil dengan memotong ikatan-ikatan glikosidiknya. Kerja enzim amilase pada amilosa berlangsung dalam dua langkah yaitu langkah pertama terjadi degradasi secara sempurna menjadi maltosa dan maltotriosa oleh hasil serangan enzim secara acak. Ciri terjadinya hidrolisis ini adalah penurunan kekentalan dan kemampuan dalam mengikat iodium dengan sangat cepat. Langkah kedua jauh lebih lambat dari yang pertama dan meliputi hidrolisis oligosakarida dengan pembentukan glukosa dan maltosa. Bakteri asam laktat telah dilaporkan dapat memfermentasi bahan pangan yang mengandung amilosa seperti singkong dan serealia. Oleh karena itu bakteri ini disebut bakteri asam laktat amilolitik. Diantara strain yang telah diisolasi dari bahan pangan berpati yaitu Lactobacillus plantarum, L. fermentum yang telah diisolasi dari fermentasi pati singkong di Colombia dan juga makanan tradisional Filipina yang terbuat dari ikan nasi dan makanan tradisional Nigeria (Sanni et al. 2002). Bakteri ini mampu menghasilkan enzim a-amilase yang menghidrolisis sebagian pati seperti pati jagung, kentang, atau singkong dan beberapa substrat berpati lainnya (Reddy et al. 2008).
2.4 Pati Resisten Pati ada yang dapat dicerna dan ada yang tidak dapat dicerna (Sajilata et al. 2006). Sejumlah besar pati yang tidak dapat dicerna yang masuk ke dalam usus besar merupakan substrat terpenting bagi mikroflora kolon. Pati tersebut dapat resisten terhadap pencernaan sehingga disebut pati resistan (resistant starch/RS). Pati resisten tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan di usus halus dan ketika mencapai usus besar dimanfaatkan oleh mikroflora kolon (Asp dan Bjorck 1992). RS digolongkan sebagai serat pangan (British Nutrition Foundation 2005). Jumlah rata-rata konsumsi serat pangan adalah 12-17 gram (USDA 2000). CSIRO
26
Division of Human Nutrition Australia, merekomendasikan konsumsi RS sebanyak 20 gram setiap hari untuk memperoleh manfaat kesehatan. Kadar pati resisten dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin. Kadar amilosa yang tinggi berkorelasi positif dengan kadar RS yang dihasilkan. Makanan yang mengandung amilosa tinggi, contoh tepung jagung (kadar amilosa 70%) memiliki kadar RS lebih tinggi, yaitu 20g/100g berat kering, dibandingkan tepung jagung (kadar amilosa 25%) dengan kadar RS 3g/100g berat kering (Sajilata et al. 2006). Menurut Sajilata et al. (2006) panjang rantai amilosa tidak berpengaruh terhadap derajat polimerisasi (DPn) RS yang dihasilkan. DPn RS berkisar antara 19-29 yang berasal dari panjang rantai amilosa yang berbeda (DPn amilosa berkisar antara 40-610). Hal ini menunjukkan RS mungkin dibentuk oleh aggregasi rantai amilosa dengan residu 24 unit glukosa. Thompson (2000) melaporkan bahwa panjang rantai amilosa dengan DPn meningkatkan RS menjadi diatas 28%, sedangkan amilosa dengan DPn diatas 260 menghasilkan RS kurang dari 28%. Ada empat macam resistant starch (RS) yang dikelompokkan berdasarkan asal terbentuknya. RS tipe I adalah jenis pati yang terperangkap di dalam matriks sel, seperti pati pada polong-polongan. RS tipe II adalah pati alami yang berupa granula dan resisten terhadap enzim pencernaan, contohnya pati jagung yang kaya amilosa dan pati pisang mentah (native banana starch). RS tipe III adalah pati yang sudah mengalami retrogradasi karena pemanasan dan pendinginan berulangulang. RS tipe IV adalah pati yang telah dimodifikasi secara kimia yang banyak digunakan oleh industri makanan (Gonzales et al. 2004; Aparicio-Saguilan et al. 2005). Klasifikasi RS berdasarkan mekanisme dan struktur yang berkontribusi terhadap ketahanannya dalam enzim pencernaan. RS I, resisten dalam saluran pencernaan disebabkan pati ini dilindungi dari enzim pencernaan oleh komponen lain yang secara normal ada dalam matriks pati. RS II, resisten terhadap saluran pencernaan diakibatkan struktur granula dan arsitektur molekulnya. RS III, sifat resistennya diakibatkan bentuknya tidak bergranula (struktur kristal), pati ini terutama dihasilkan selama proses pemasakan dan pendinginan pati saat pengolahan makanan (pati terlepas dari struktur granulanya dan mungkin rantai
27
glukosanya membentuk kristal atau retrogradasi sehingga sulit untuk dicerna). RS IV, sifat resistensinya diakibatkan ikatan kimia yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan (Englyst et al. 1992; Eerlingan dan Delcour 1995; Skrabanja dan Kreft 1998; Topping dan Clifton 2001; Onyango et al. 2006; Okoniewska dan Witwer 2007). RS tipe III merupakan tipe pati resisten yang paling sering digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional. Pembentukan RS tipe III terjadi karena granula pati mengalami gelatinisasi. Granula dirusak dengan pemanasan dan terjadi pelepasan amilosa dari granula ke dalam larutan. Pada saat pendinginan, rantai polimer terpisah sebagai ikatan ganda membelit (double helix) dan distabilkan oleh ikatan hidrogen (Wu dan Sarko 1978 di dalam Sajilata et al. 2006). Menurut Mangala et al. (1999) perlakuan suhu berpengaruh terhadap kadar pati resisten yang dihasilkan. Suhu autoklaf meningkatkan kadar RS pati beras baik yang difermentasi maupun yang tidak difermentasi terlebih dahulu. Setelah diberi perlakuan pemanasan suhu tinggi sehingga terjadi gelatinisasi, pati dapat mengalami pembentukan kembali ke struktur awalnya secara perlahan membentuk struktur kompak yang distabilkan oleh ikatan hidrogen yang dikenal dengan istilah retrogradasi (Winarno 1997). Penelitian Murangga et al. (2007) pada hewan percobaan tikus menunjukkan bahwa bioavailabilitas tepung pisang meningkat jika tepung pisang mendapatkan proses perlakuan panas (dimasak atau diekstrusi), dibandingkan dengan bioavailabilitas tepung pisang dasar (tanpa proses perlakuan panas). Pati dari native banana mengandung RS yang tinggi dan memiliki daya cerna yang rendah (Englyst et al. 1992). Tabel 5 menunjukkan bahwa RS yang terkandung pada pati alami pisang adalah 1.51% dan mengalami peningkatan 10 kali setelah diberi perlakuan pemanasan bertekanan pada suhu 121°C selama 1 jam (autoclaved starch) (Aparicio-Saguilan et al. 2005). Pati resisten tertinggi diperoleh pada suhu otoklaf 120ºC (Sievert dan Pomeranz 1989) dan suhu retrogradasi 4ºC (Niba 2003). Pati resisten tipe III yang berasal dari pati kacang polong dilaporkan oleh Lehmann et al. (2003) memiliki suhu transisi antara 146.8ºC dan 150.4ºC, dimana tingginya suhu transisi menunjukkan bahwa pati resisten ini stabil terhadap pemanasan. Jumlah RS tipe III dapat meningkat saat
28
makanan dipanggang atau dalam bentuk pasta dan produk sereal (Shamai et al. 2003).
Tabel 5 Komposisi kimia pati pisang alami (native), diasamkan (lintnerized) dan yang diotoklaf (autoclaved) (%) Native Lintnerizeed NativeLintnerizedKandungan autoclaved autoclave a b c Air 4.89±0.53 7.99±0.09 9.31±0.14 5.69±0.2a Protein 1,2
1.69±0.12a
0.45±0.03b
0.96±0.03c
0.46±0.03b
Lemak1
2.31±0.27a
0.13±0.02b
1.65±0.25c
0.12±0.03b
Abu
0.45±0.1a
0.14±0.03b
0.71±0.17a
0.15±0.01b
Amilosa
37.0±0.5a
44.8±1.4b
43.2±0.9b
45.5±1.9b
Pati Resisten1
1.51±0.1a
2.61±0.13b
16.02±0.24c
19.34±0.54d
(Aparicio-Saguilan et al. 2005) nilai dengan huruf yang sama dalam satu baris tidak berbeda secara signifikan (p<0.05) 1 dry basis 2 Nx 5.85
Amilosa pati RS tipe III bersifat stabil terhadap panas, sangat kompleks dan tahan terhadap enzim amilase. Sebagian pendapat menyebutkan bahwa RS tidak memenuhi kriteria sebagai prebiotik karena efeknya tidak spesifik. Namun berdasarkan hasil metabolitnya terlihat bahwa penggunaan beberapa RS pada makanan oleh bakteri-bakteri kolon dapat bersifat mendukung kesehatan. Di samping itu, pati jagung yang kaya amilosa terbukti merupakan bahan bifidogenik yang sangat potensial, terutama dalam bentuk yang dimodifikasi secara kimiawi. Jumlah pati resisten pada pisang mentah lebih tinggi yaitu 4.7 gram dibandingkan kentang (3.2 gram) pada takaran penyajian yang sama (Mendosa 2008). Aparicio-Saguilan et al. (2005) melaporkan bahwa pati pisang cavendish (Musa paradisiaca) yang sudah tua tapi belum matang mengandung pati resisten (RS) sebesar 1.51% (bk). Kadar RS pada pisang ini akan meningkat sebanyak dua kali jika dihidrolisis dengan asam (litnerized starch) dan meningkat sebesar 12-13 kali (Tabel 5) jika kemudian dilanjutkan dengan pemanasan pada suhu 121°C selama 1 jam (autoclaved starch) (Aparicio-Saguilan et al. 2005). Linierisasi amilopektin menggunakan asam organik (asam laktat) dan enzim pululanase secara signifikan meningkatkan pembentukan RS selama pemanasan
29
pada suhu autoklaf (Sajilata et al. 2006). Onyango et al. (2006) melaporkan bahwa RS III tertinggi dihasilkan dari konsentrasi asam laktat 10 mmol/L. Manfaat yang dapat diperoleh dari perlakuan fermentasi baik dengan cara spontan maupun dengan penambahan kultur adalah adanya asam laktat yang diproduksi oleh bakteri asam laktat sehingga membantu dalam meningkatkan kadar pati resisten. Beberapa strain bakteri asam laktat (BAL) yang tumbuh pada fermentasi spontan dapat menghasilkan beberapa jenis asam organik terutama asam asetat, asam laktat dan asam n-butirat (Greenhill et al. 2008). Fermentasi secara tradisional pada tepung singkong dalam pembuatan tepung fufu dengan menggunakan BAL, yaitu kultur Lactobacillus plantarum SL 14 dan L. plantarum SL 19 dapat meningkatkan kadar amilosa tepung fufu jika dibandingkan dengan kontrol (tanpa fermentasi) (Sobowale et al. 2007). L. plantarum L137 yang diisolasi dari makanan fermentasi tradisional (ikan dan nasi) menghasilkan enzim amilolitik dan pululanase (amilopululanase) yang mampu menghidrolisis ikatan amilosa dan amilopektin (Kim et al. 2008; Kim et al. 2009). Pati resisten (RS) memiliki potensi efek fisiologis dalam usus halus dan usus besar. Respon insulin setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung sejumlah RS lebih rendah jika dibandingkan dengan setelah mengkonsumsi pati yang dapat dicerna (Cherbuy et al. 2004). RS dalam usus halus menurunkan respon glikemik dan insulemik pada manusia penderita diabetes, hiperinsulemik, dan disiplidemia (Okoniewska dan Witwer 2007). Suplemen serat pangan dan RS berpotensi dalam memperbaiki sensitifitas hormon insulin (Robertson et al. 2005). Menurut Lehmann (2002), dibandingkan FOS (Fruktooligosakarida), RS memiliki beberapa keuntungan diantaranya tidak menyebabkan konstipasi, mampu menurunkan kolesterol, mampu menurunkan indeks glikemik, dengan sumber yang lebih banyak (beragam). Pati resisten (RS) tidak memberikan pengaruh terhadap konsentrasi insulin postprandial, glukosa, triasilgliserol, dan asam lemak bebas dalam darah (Higgins et al. 2004), tidak mengubah serum lipid, urea, H2, dan CH4 dalam serum (Jenkins et al. 1998) dan memperbaiki profil lipid darah (British Nutrition Foundation. 2005). Reduksi respon glikemik ditingkatkan oleh kombinasi RS dan serat pangan
30
yang larut. Konsumsi makanan yang mengandung serat pangan ini memperbaiki metabolism glukosa (Behall et al. 2006). Perubahan jumlah asupan RS mampu mengubah aktivitas fermentasi dalam kolon (Le Leu et al. 2003). RS memberikan efek yang signifikan terhadap kesehatan kolon pada manusia dan memudahkan defekasi (Phillips et al. 1995). RS mampu mereduksi kehilangan cairan fekal dan memperpendek durasi diare pada anak remaja dan orang dewasa yang menderita kolera (Ramakrishna et al. 2000). Jenie et al. (2006) melaporkan RS III dan RS IV (penambahan 0.2% POCl3 dari berat tepung) yang berasal dari umbi garut, singkong dan kimpul dapat dimanfaatkan oleh bakteri probiotik yaitu Lactobacillus casei, Lactobacillus plantarum, dan Bifidobacterium bifidum sebagai prebiotik secara in vitro dan ketiga probiotik tersebut menghasilkan SCFA (short chain fatty acid) yaitu asam asetat sebanyak 0.04%.
2.5 Serat Pangan American Association of Cereal Chemist (2001) dalam Álvarez dan Sánchez (2006), mendefinisikan serat pangan sebagai bagian yang dapat dimakan dari tanaman atau karbohidrat yang tahan terhadap pencernaan dan absorpsi dinding usus halus, yang kemudian difermentasi di dalam usus besar. Serat pangan total merupakan hasil penjumlahan serat pangan larut (SDF) dan serat pangan tidak larut (IDF). Serat pangan larut adalah serat pangan yang dapat larut dan mengembang di dalam air panas atau hangat. Sedangkan serat pangan tidak larut adalah serat pangan yang tidak dapat larut air panas maupun air dingin (Muchtadi 2001). Menurut Kin (2000), berdasarkan kelarutannya dalam air, serat dibagi menjadi dua yaitu serat larut dan serat tidak larut. Serat larut ketika berada di usus halus akan membentuk larutan yang memiliki viskositas yang tinggi. Karena sifatnya ini, serat larut dapat mempengaruhi metabolisme lipid dan karbohidrat dan sebagian
memiliki
potensi
antikarsinogenik.
Serat
tidak
larut
dapat
mempertahankan matriks strukturalnya dari air membentuk campuran yang memiliki viskositas yang rendah. Hal ini menghasilkan peningkatan massa feses dan mempersingkat waktu transit. Hal tersebut mendasari penggunaan serat tidak
31
larut untuk mencegah dan mengobati konstipasi kronis, menurunkan konsentrasi dan waktu kontak karsinogen dengan mukosa kolon. Serat dapat juga berfungsi sebagai prebiotik bagi mikroba usus sehingga baik bagi kesehatan. Selain itu serat pangan dapat memberikan efek fisiologis yang menguntungkan, seperti laksatif, menurunkan kolestrol darah, dan menurunkan glukosa darah. Efek fisiologis yang diperkirakan mempengaruhi pengaturan energi adalah kandungan energi serat per unit bobot pangan yang rendah. Sehingga penambahan serat dapat menurunkan kerapatan (densitas) energi, terutama serat larut karena dapat mengikat air. Selain itu, serat juga dapat mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan sehingga memperlambat lewatnya makanan dalam saluran pencernaan dan pergerakan enzim. Pencernaan yang lambat menyebabkan respon glukosa darah juga menjadi rendah (Rimbawan dan Siagian 2004). Pisang jenis plantain memiliki buah dengan kandungan pati resisten dan serat yang tinggi (Kahlon dan Smith 2007) dan tepungnya merupakan sumber serat pangan yang tinggi (6-9%) (Higgins et al. 2004; Kahlon dan Smith 2007). Petunjuk penyajian makanan (USDA 2000) merekomendasikan jumlah minimum konsumsi serat pangan adalah 25 g per hari, atau sama dengan 12.5 g per 1000 Kal yang dikonsumsi. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh USDA (2000) rata-rata konsumsi serat pangan adalah 12-17 g, oleh karena itulah diperlukan konsumsi serat pangan tinggi melalui produk-produk pangan yang tinggi serat pangan dan kandungan pati resisten. Rekomendasi konsumsi serat pangan pada umur 19-50 tahun, adalah 38 g/hari untuk laki- laki dan 25g/hari untuk wanita (Institute of Medicine 2002).