II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pisang Ambon Tanaman pisang termasuk tanaman yang mempunyai buah klimaterik yang mempunyai fase perkembangan diantara pertumbuhan masih terjadi sehingga ukuran buah bertambah dan terjadi akumulasi karbohidrat dalam bentuk pati (Kusumo&Farid 1994). Buah pisang mengandung senyawa bioaktif seperti fenol, tanin, karatenoid dan beberapa jenis asam organik seperti asam sitrat, asam malat dan asam oksalat. Adanya komponen senyawa fenol dalam buah pisang diduga menyebabkan bahan pangan ini cepat mengalami reaksi pencoklatan akibat reaksi enzimatik sehingga pisang cepat berwarna coklat setelah kulitnya dikupas. Ada 2 (dua) jenis pisang yaitu jenis banana dan plantain. Jenis banana merupakan jenis pisang yang dapat dikonsumsi dalam keadaan segar seperti pisang ambon, pisang raja sereh, pisang seribu, pisang susu dan lain-lain. Jenis plantain merupakan pisang yang terlebih dahulu dimasak sebelum dikonsumsi seperti pisang tanduk, pisang kipas, pisang raja dan lain-lain. Pisang memiliki nilai gizi yang baik karena mengandung komponen karbohidrat yang tinggi sehingga dapat menyediakan energi sekitar 136 kalori untuk setiap 100 gram (Poedjiadi 1994). Senyawa gula dalam pisang merupakan jenis fruktosa yang disebut juga dengan gula buah dan mempunyai indek glikemik lebih rendah dibandingkan dengan glukosa. Disamping itu pisang juga mengandung beberapa mikronutrisi seperti vitamin C, vitamin B6 dan mineral kalium, magnesium, fosfor, besi dan kalsium (Kusumo&Farid 1994). Pisang ambon merupakan pisang jenis banana dengan nama spesies Musa paradisiaca var. sapientum. Keunggulan pisang ambon dibandingkan dengan pisang jenis lain adalah pada rasa buah yang manis saat sudah matang dan beraroma harum karena mengandung komponen senyawa ester seperti isoamil asetat yang khas untuk aroma pisang (Tressl&Jennings 1972). Kusumo dan Farid (1994) menjelaskan bahwa pisang ambon termasuk pada kelompok triploid (AAA). Tinggi tanaman sekitar 4-8 m, bertandan lebat, bentuk buah panjang dengan panjang 15-17 cm, beraroma dan bila masak kulitnya berwarna kuning (Gambar 1).
5
Pisang ambon dapat dikonsumsi langsung ataupun diolah terlebih dahulu seperti produk keripik. Produk keripik pisang ambon memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan keripik pisang yang menggunakan pisang jenis lain. Adapun klasifikasi pisang ambon adalah : Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Divisio
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Subkelas
: Commelinidae
Ordo
: Zingiberales
Familia
: Musaceae
Genus
: Musa
Spesies
: Musa paradisiaca var. Sapientum
Pisang ambon mengandung senyawa karbohidrat seperti pati dan beberapa senyawa gula sederhana. Pisang ambon mentah masih banyak mengandung komponen pati. Selama proses pematangan buah, terjadi perubahan kandungan pati menjadi senyawasenyawa gula sederhana seperti gula pereduksi yang akan menimbulkan rasa manis (Winarno 1992).
Gambar 1 Pisang ambon Bahan baku untuk pembuatan keripik pisang biasanya adalah buah pisang dalam keadaan mentah karena mudah untuk diiris sehingga membentuk lembaran yang tipis. Ciri-ciri bahan baku yang diinginkan antara lain warna kulit kehijauan dan tekstur yang masih keras. Hal ini berkaitan dengan tekstur produk yang dihasilkan karena buah 6
pisang yang sudah dalam keadaan matang tidak dapat menghasilkan keripik yang kering. Pada penggorengan irisan pisang ambon sampai menjadi keripik pisang yang kering akan terjadi perubahan komposisi kimia akibat terjadinya reaksi kimia yaitu reaksi Maillard pada suhu penggorengan. Hasil reaksi ini dapat mempengaruhi warna dan aroma produk keripik pisang ambon. Reaksi Maillard terjadi antara gula pereduksi dan komponen asam amino dalam bahan pangan (Ames 1998). Proses pengolahan dengan penggorengan dapat menyebabkan terjadinya reaksi Maillard dalam irisan pisang sehingga akan membentuk beberapa komponen senyawa flavor yang spesifik untuk keripik pisang. Suhu dan waktu proses penggorengan yang diberikan dalam pengolahan keripik pisang dapat mempengaruhi jenis komponen flavor yang terbentuk. Pisang ambon memiliki hampir semua komponen zat gizi yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Komposisi kimia pisang ambon dalam 100 gram bahan dapat dilihat pada Tabel 2. Kandungan karbohidrat yang tinggi menyebabkan pisang ambon dapat dijadikan sebagai bahan makanan penghasil energi. Karbohidrat dalam pisang dapat berbentuk gula sederhana maupun karbohidrat dengan berat molekul tinggi seperti pati, pektin, selulosa dan lignin. Selulosa dan lignin merupakan komponen yang menyusun dinding sel (Winarno 1992).
Tabel 2 Komposisi kimia pisang ambon/100 gram bahan Komponen kimia Air Lemak Protein Karbohidrat Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C Mineral Ca Fe P
Jumlah 72 g 0.2 g 1.2 g 25.8 g 146 SI 0.08 mg 3 mg 8 mg 28 mg 0.5 mg
Sumber : Poedjiadi A (1994) Salah satu prekursor pembentuk akrilamid adalah asam amino (Friedman 2003). Grandra et al. (2005) dan Zyzak et al. (2003) menyatakan bahwa asam amino asparagin merupakan asam amino yang lebih berpotensi membentuk akrilamid. Elmore dan Donald (2002) memberikan informasi bahwa pisang mengandung asam amino
7
asparagin 14.7% dari total asam amino bebas. Kadar asparagin dalam pisang diduga akan dipengaruhi oleh jenis pisang. Bahan baku pisang yang diolah pada suhu tinggi seperti digoreng mempunyai potensi sebagai makanan yang mengandung akrilamid. Selain itu, kadar air produk keripik pisang cukup rendah sehingga selama proses pengolahan akan memungkinkan terjadinya reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino ke arah pembentukan akrilamid.
2.2. Akrilamid dalam Bahan Makanan Otles dan Serkan (2004) menjelaskan bahwa akrilamid (acrylamide) merupakan senyawa yang banyak dipakai pada bidang industri seperti sebagai penggumpal (flocculant), pengental (thickeners) dan bahan pendukung untuk industri kosmetik dan kertas. Senyawa ini mempunyai rumus kimia CH2=CHCONH2 (Gambar 2). Senyawa ini tidak berwarna dan bersifat larut dalam air. Polimer senyawa ini dapat digunakan untuk pembuatan plastik seperti plastik poliacrylamid yang banyak digunakan untuk bahan pembungkus makanan dan bahan baku kosmetik.
Gambar 2 Struktur kimia akrilamid (Otles & Serkan 2004) Akrilamid merupakan senyawa neurotoksik dan berpotensi sebagai karsinogen bagi manusia (Friedman 2003). Penelitian farmakoklinis terhadap tikus percobaan yang diberi perlakuan makanan dengan dosis akrilamid 1–2 mg/kg berat badan per hari dapat menyebabkan timbulnya tumor pada beberapa organ tubuh. Penelitian terhadap sel hewan secara in vitro maupun in vivo menunjukkan bahwa senyawa ini dapat menyebabkan terjadinya mutasi kromosom. Uni Eropa menetapkan bahwa akrilamid sebagai penyebab kanker kategori nomor dua setelah senyawa 3,4-benzopyrene. Pertemuan JECFA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives) pada 8-17 Februari 2005 menunjukkan data toksikologi bahwa pemberian oral akrilamid akan memberikan efek toksik yang akut jika berada dalam dosis 100 mg/kg berat badan dan
8
dilaporkan juga bahwa LD50 senyawa ini sekitar 150 mg/kg berat badan (Friedman 2003). Mekanisme reaksi toksisitas akrilamid dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Reaksi alkilasi akrilamid terhadap protein (Friedman 2003)
Pada Gambar 3 terlihat bahwa akrilamid dapat bereaksi dengan senyawa protein terutama asam amino yang mengandung gugus fungsi sulfida dan amina seperti sistein, valin dan histidin. Jika asam amino valin yang terdapat pada hemoglobin darah berikatan dengan akrilamid maka diduga dapat menyebabkan keracunan (Friedman 2003). Kerja akrilamid yang dapat menyebabkan
karsinogen dan mutagen diduga
karena akrilamid juga dapat bereaksi dengan basa nitrogen pada DNA (Friedman 2003). Pembentukan akrilamid terjadi pada proses pemanasan makanan. Akrilamid juga terbentuk dalam bahan pangan yang dibakar seperti roti, kopi, almond dan daging panggang (Friedman 2003; Fredriksson et al. 2004; Elmore et al. 2005; Weiss 2002). Prekursor pembentuk senyawa akrilamid adalah gula pereduksi dan adanya gugus amina dari asam amino. Jenis gula pereduksi yang dianggap lebih berpotensi membentuk 9
akrilamid adalah glukosa dan fruktosa (Vivanti et al. 2006). Asam amino yang bereaksi membentuk akrilamid adalah asparagin (Friedman 2003; Zyzak 2003; Granda et al. 2005). Beberapa produk makanan dilaporkan mengandung senyawa akrilamid (Tabel 3). Sejak tahun 2007 telah banyak lagi jenis makanan yang dilaporkan kandungan akrilamid sehingga diharapkan konsumen mewaspadai dan lebih selektif terhadap makanan. Tabel 3 Kadar akrilamid dalam bahan pangan (Friedman 2003) Jenis makanan Akrilamid ( µg/kg = ppb) Almond panggang 260 Asparagus panggang 143 Produk yang dibakar : roti dan kue kering 70-430 Minuman bir dan berbahan gandum 30-70 Biskuit 30-3200 Cereal untuk sarapan 30-1346 Coklat bubuk 15-90 Kopi bubuk 170-351 Makanan kering dari bahan jagung 34-416 Roti kering 800-1200 Produk perikanan 30-38 Produk daging dan ayam 30-64 Kentang rebus 48 Keripik kentang 170-3700 Kedelai dan produk dipanggang 25 Biji bunga matahari yang panggang 66 Makanan kering, selain dari bahan kentang 30-1915 Yuan et al. (2007) menjelaskan bahwa teknik penggorengan dengan microwave menyebabkan penurunan kadar akrilamid. Makin rendah suhu maka reaksi pembentukan akrilamid akan berkurang. Granda et al (2005) juga berhasil menurunkan akrilamid dengan sistem penggorengan vakum. Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan penggorengan biasa.
2.3. Pembentukan Akrilamid Akrilamid merupakan hasil reaksi senyawa kimia yang ada dalam bahan makanan karena proses pemanasan (Friedman 2003; Zhang & Ying 2007). Berdasarkan jalur dan mekanisme reaksi Maillard maka reaksi pembentukan senyawa akrilamid juga terjadi melalui reaksi penataan ulang Amadori (Zhang & Ying 2007). Pedreschi et al. (2005) menyatakan mekanisme reaksi pembentukan akrilamid cukup komplek namun 10
dapat diamati dari pembentukan senyawa melanoidin yang mengakibatkan terjadinya perubahan warna kuning sampai coklat dan memberikan rasa pahit serta citarasa yang khas pada bahan makanan. Perubahan warna produk keripik kentang menunjukkan adanya hubungan dengan jumlah senyawa akrilamid di dalamnya. Makin pekat warna keripik kentang maka jumlah akrilamid makin banyak (Granda et al. 2005; Pedreschi et al. 2005). Suhu penggorengan yang rendah dan adanya perlakuan blansir dan perendaman kentang sebelum digoreng dapat menurunkan pembentukan senyawa akrilamid di dalam keripik kentang (Jung et al. 2003; Kita et al. 2004; Pedreschi et al. 2005). Vivanti et al. (2006) menyatakan bahwa prekursor pembentuk senyawa akrilamid dalam bahan pangan adalah asam amino terutama asparagin, yang bereaksi dengan gula pereduksi dalam kondisi suhu tinggi. Pemanasan pada suhu 180oC selama 30 menit akan menghasilkan 368 µmol akrilamid/mol asparagin (Friedman 2003). Asparagin (Asn) merupakan asam amino polar dengan BM 132, titik isoelektrik 5.41 dan memiliki gugus amina primer yang reaktif (Lehninger 1998; Poedjiadi 1994). Gugus R dari asparagin yang bersifat elektrofilik dengan adanya gugus NH2. Asparagin dapat bereaksi dengan gugus hidroksil (–OH) pada senyawa gula dan terjadi reaksi penataan ulang sederhana disertai pelepasan gugus karboksil sehingga asam amino asparagin berubah menjadi akrilamid.Mekanisme sederhana pembentukan akrilamid dapat dilihat pada Gambar 4.
11
Gambar 4 Reaksi asparagin dengan gugus aldehid (Zhang&Ying 2007) Mekanisme reaksi (Gambar 4) menjelaskan adanya peran gugus fungsi aldehid pada gula pereduksi yang bereaksi dengan bagian gugus amino dari asam amino kemudian melalui reaksi penataan ulang beberapa tahap akan membentuk senyawa akrilamid. Zyzak et al (2003) menjelaskan bahwa pada saat campuran pati kentang dan asam amino digoreng maka ada beberapa asam amino yang dapat membentuk akrilamid tinggi. Alanin, asam aspartat, lisin, treonin, arginin, sistein, metionin dan valin membentuk akrilamid dengan kadar <50 ppb sedangkan glutamin dan asparagin masing-masing membentuk akrilamid 156 ppb dan 9270 ppb. Asparagin merupakan asam amino yang lebih berpotensi membentuk akrilamid (Grandra et al. 2005; Zyzak et al. 2003). Keripik merupakan produk makanan yang mengandung kadar air rendah sehingga memiliki tekstur yang keras dan relatif lebih awet untuk disimpan karena kondisi yang dapat menghambat aktivitas mikroba. Kerusakan biasanya lebih disebabkan oleh adanya reaksi ketengikan yang terjadi pada komponen minyak dan lemak. Produk yang kering menyebabkan potensi pembentukan akrilamid semakin tinggi pula. Hubungan pembentukan akilamid dengan adanya molekul air dalam bahan pangan dapat dilihat pada Gambar 5. 12
Akrilamid merupakan produk dari reaksi Maillard yang dipengaruhi oleh faktor yang sama dengan pembentukan aroma dan warna selama pemanasan
yaitu gula
pereduksi, asam amino, waktu pemanasan, kadar air dan pH (Vattem & Kalidas 2003). Pembentukan senyawa akrilamid selama proses penggorengan juga dipengaruhi oleh keberadaan air dalam bahan pangan (Vorbehalten 2005). Semakin rendah kadar air
a c ryKadar la m idakrilamid e c o n t e(µg/kg) n in µ g / k g
produk yang diinginkan maka pembentukan akrilamid makin banyak.
400 350 300 250 200 150 100 50 0 1,6
2,4
3,3
4,2
Kadar air (%) Gambar 5 Pengaruh kadar air pada pembentukan akrilamid (Vorbehalten 2005) Proses pengolahan bahan pangan pada suhu tinggi menyebabkan terjadinya penguapan molekul air dari sel bahan pangan sampai tingkat kekeringan produk yang diinginkan (Fellows 1997). Produk yang kering mengandung kadar air rendah namun jumlah akrilamid semakin banyak seperti pada produk keripik. Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa produk dengan kadar air yang tinggi mengandung akrilamid yang lebih rendah. Pembentukan senyawa akrilamid selama proses pengolahan bahan pangan juga dipengaruhi oleh pH matriks bahan pangan (Jung et al. 2003). Jumlah akrilamid makin rendah pada pH asam. Pengaruh pH pada pembentukan akrilamid dapat dilihat pada Gambar 6.
13
Kadar akrilamid (mg/mol asparagin)
pH bahan pangan
Gambar 6 Pengaruh pH terhadap jumlah akrilamid (Jung et al. 2003)
2.4. Reaksi Maillard Reaksi pencoklatan non enzimatik dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu karamelisasi, pirolisis dan reaksi pencoklatan secara reaksi Maillard (Ames 1998). Ketiga reaksi ini menghasilkan perubahan fisik dan kimia pada bahan pangan. Reaksi karamelisasi lebih disebabkan oleh adanya dehidrasi molekul air dari komponen gula sedangkan pirolisis merupakan reaksi lanjutan dari karamelisasi sampai semua komponen gula terdegradasi. Reaksi Maillard merupakan reaksi antar senyawa kimia dalam bahan pangan yaitu gula pereduksi dan asam amino (Ames 1998). Mekanisme reaksi Maillard (Gambar 7) merupakan jalur reaksi yang kompleks dan berlanjut sampai membentuk polimer dan senyawa melaniodin di akhir proses pemanasan
baik
penggorengan
maupun
pembakaran.
Banyak
faktor
yang
mempengaruhi reaksi tersebut seperti pH/keasaman bahan pangan, tipe asam amino dan senyawa gula, suhu dan lama pemanasan, keberadaan oksigen, kadar air, nilai aw dan komponen lain dalam makanan (Ames 1998; Friedman 2003; Weiss 2002; Zhang & Ying 2007). Reaksi Maillard dapat membentuk banyak komponen kimia yang berbeda (Ames 1998; Reineccius 2006; Taylor 2002). Hal ini dipengaruhi oleh jenis dan jumlah
14
gula pereduksi yang bereaksi dengan asam amino yang ada dalam matriks bahan pangan. Reaksi Maillard sering disebut sebagai reaksi browning non enzimatik karena menghasilkan produk berwarna coklat pada makanan (Taylor 2002). Reaksi ini diperlukan pada beberapa pengolahan bahan pangan karena dapat membentuk warna yang menarik. Reaksi Maillard lebih banyak bertujuan untuk membentuk karakteristik aroma pada bahan makanan seperti pada roti, biskuit, kopi, susu dan produk olahan lainnya (Ames 1998). Reaksi Maillard banyak dimanfaatkan untuk pembentukan aroma dari makanan (Ames 1998). Contoh komponen aroma yang terbentuk dalam makanan karena proses pemanasan dapat dilihat pada Tabel 4. Terjadinya reaksi Maillard dalam bahan pangan dapat menyebabkan kehilangan sejumlah molekul zat gizi dalam makanan. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah molekul asam amino esensial dalam makanan yang sudah berubah menjadi senyawa lain. Contohnya asam amino lisin dalam tepung gandum yang hilang karena pemanggangan roti. Begitu juga halnya dengan produk lain seperti kacang goreng, coklat, kopi dan makanan ringan lainnya. Mekanisme reaksi Maillard terjadi melalui pembentukan komponen Amadori hasil penataan ulang senyawa gula seperti glukosa setelah bereaksi dengan asam amino (Gambar 8). Reaksi Maillard dapat menghasilkan aroma yang berbeda tergantung pada adanya variasi jenis asam amino dan keberadaan senyawa gula dalam bahan pangan. Jenis asam amino akan berpengaruh pada produk reaksi Maillard (Ames 1998). Asparagin dan glutamin merupakan asam amino yang berpotensi membentuk akrilamid jika dipanaskan dengan gula pereduksi (Zyzak et al. 2003). Penurunan akrilamid dalam makanan dapat dilakukan dengan cara mengurangi asam amino prekursornya (Vorbehalten 2005).
15
Gambar 7 Reaksi Maillard (Ames 1998)
16
Gambar 8 Mekanisme Reaksi Maillard melalui pembentukan struktur Amadori (Zhang & Ying 2007) Tabel 4 Komponen aroma yang terbentuk melalui proses pemanggangan dan pembakaran bahan pangan Jenis Bahan pangan Kentang
Kacang
Daging
Buah coklat
Asam amino Glutamin Valin Asparagin Alanin Phenilalanin Asparagin Arginin Valin Glisin Leusin Leusin Alanin Phenilalanin Valin
Karakteristik aroma setelah dipanaskan dengan monosakarida Caramel, butterscotch, burnt sugar Fruity, sweety, yeasty Caramel, nutty, malt Sweet and rancid caramel, violet Bready, buttery, yeasty Fruity, sweety, yeasty Caramel, smoky, burnt Toasted, cheesy, malt, bready Toasted, cheesy, malt, bready Caramel, nutty, malt Sweet and rancid caramel, violet Fruity, sweet, yeasty
Sumber : Fellows (1997)
17
Hasil akhir reaksi Maillard adalah senyawa melanoidin dan beberapa komponen non volatil (Ames 1998). Pembentukan senyawa ini di tandai dengan perubahan warna produk yang semakin gelap sampai terbentuknya warna coklat pekat, disertai dengan terbentuknya residu kerak pada produk makanan (Zhang & Ying 2007). Selama pemanasan bahan makanan juga disertai dengan pembentukan akrilamid contohnya pada penggorengan keripik kentang (Pedreschi et al. 2005). Pada Tabel 3 nampak bahwa perubahan asam amino asparagin dalam kentang yang dipanaskan tidak memberikan pengaruh pada aroma produk. Terjadinya reaksi antara asam amino dengan gula pereduksi dalam bahan pangan akan berpengaruh pada produk yang dihasilkan baik warna maupun aroma. Kondisi suhu mempengaruhi mekanisme reaksi Maillard yang terjadi sehingga pada kondisi suhu yang berbeda dapat menghasilkan produk reaksi yang berbeda pula. Mejcher dan Henryk (2005) berhasil mengidentifikasi beberapa aroma yang terbentuk melalui reaksi Maillard. Mottram (1998) menjelaskan adanya komponen citarasa dalam daging dan produk olahan daging, dimana senyawa kimia tersebut juga terbentuk melalui reaksi Maillard. Hal ini juga dapat terjadi dalam bahan pangan yang mengandung prekursor pembentuk komponen citarasa. Sementara itu, pembentukan akrilamid juga terjadi antara gugus amina dari asam amino asparagin dengan gugus karbonil pada gula pereduksi (Friedman 2003) sehingga reaksi pembentukan komponen citarasa melalui reaksi Maillard juga sejalan dengan pembentukan akrilamid. Hal inilah yang menyebabkan diperlukannya pengaturan kondisi pemanasan sehingga pembentukan akrilamid dapat diperkecil. Komponen kimia yang terbentuk dari hasil reaksi Maillard sangat dipengaruhi oleh jenis asam amino yang ada dalam bahan pangan. Reaksi Maillard pada suhu tinggi akan dipengaruhi faktor suhu pemanasan karena berkaitan dengan jumlah air yang keluar dari dalam bahan pangan. Pada pembentukan akrilamid diduga faktor suhu pemanasan juga menjadi kondisi yang mempercepat pembentukan akrilamid (Weiss 2003). Zyzak et al (2003) menjelaskan adanya mekanisme pembentukan akrilamid yang sejalan dengan mekanisme reaksi Maillard (Gambar 9).
18
Gambar 9 Pembentukan akrilamid melalui jalur reaksi Maillard (Zyzak et.al.2003)
Pada Gambar 9 dijelaskan bahwa tahap awal pembentukan akrilamid juga dimulai dari pembentukan senyawa basa Schiff dan kemudian akan mengalami reaksi lanjutan sesuai dengan suhu yang diberikan. Pada mekanisme ini nampak bahwa jumlah air yang dihilangkan dalam bahan pangan juga menyebabkan reaksi makin banyak kearah pembentukan akrilamid. Selain itu, makin tinggi suhu maka reaksi kearah pembentukan akan makin besar (Zyzak et al 2003).
19
2.5. Blansir dan Perendaman Blansir merupakan proses yang dilakukan terhadap bahan pangan dengan cara perendaman dalam air panas dalam waktu singkat (Fellows 1997). Pada saat pelaksanaan blansir terjadi juga soaking atau perendaman. Interaksi bahan pangan dengan air atau suatu larutan akan menyebabkan terjadinya osmosis molekul air atau larutan ke dalam sel bahan pangan. Proses blansir dan perendaman menyebabkan terjadinya distribusi sejumlah molekul air ke dalam sel bahan pangan dan sebaliknya akan terjadi juga pengeluaran komponen sel seperti pigmen dan komponen sel larut air. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas nutrisi dan sensori makanan. Selain itu, blansir dapat mempengaruhi warna dan citarasa makanan (Fellows 1997). Mekanisme distribusi molekul sel pada saat terjadinya blansir dapat dilihat pada Gambar 10. Salah satu tujuan perlakuan blansir adalah melakukan inaktivasi terhadap enzim poliphenol oksidase yang ada dan aktif pada bahan pangan tertentu seperti kentang, apel dan buah-buah lainnya (Poedjiadi 1994). Aktivitas enzim ini cenderung merusak penampilan produk karena adanya reaksi lanjut dan hasil oksidasi dari enzim ini menghasilkan pigmen berwarna kuning sampai coklat bahkan kehitaman. Blansir juga digunakan untuk mengurangi kontaminasi mikroorganisme pada permukaan bahan makanan dan memperlunak jaringan sayuran (Fellows 1997).
Gambar 10 Mekanisme distribusi komponen kimia pada sel saat blansir; S: pati tergelatinisasi; CM: membrane sitoplasma: CW: dinding sel; P:Pektin; N : Nukleous dan C : kloroplas (Fellows 1997)
20
Perendaman dapat melarutkan komponen-komponen kimia terutama yang bersifat polar seperti pati, gula sederhana, dan asam amino tertentu. Penurunan pembentukan akrilamid dapat dilakukan dengan kondisi pengolahan yang tepat termasuk perlakuan sebelum proses pengolahan seperti perlakuan blansir dan perendaman dalam pH asam (Jung et al. 2003; Kita et al. 2004). Perendaman dan blansir sering dilakukan sebagai tahap awal untuk proses pengolahan keripik kentang karena juga dapat menyebabkan kerenyahan produk keripik (Leeratanarak et al. 2006). Perlakuan blansir dapat menyebabkan terjadinya beberapa perubahan sensori dan kualitas makanan karena menyebabkan hilangnya komponen-komponen polar yang ikut terlarut bersama air seperti mineral-mineral, vitamin larut air, komponen pati dan gula-gula pereduksi (Fellows 1997). Suhu dan lama blansir mempengaruhi perubahan warna makanan. Perlakuan blansir juga dapat menurunkan jumlah prekursor pembentuk akrilamid seperti gula pereduksi dan asam amino asparagin (Vorbehalten 2005; Zhang&Ying 2007).
2.6. Proses Penggorengan Penggorengan merupakan tahap perlakuan terhadap bahan makanan dengan menggunakan suhu tinggi dalam medium minyak. Tujuan penggorengan adalah untuk memasak makanan dan melakukan pengeluaran air dalam bahan makanan sehingga diperoleh juga produk yang kering. Teknik penggorengan dapat dilakukan dengan sistem shallow frying dan deep-fat frying (Fellows 1997). Proses penggorengan selalu menggunakan suhu tinggi sesuai dengan titik didih minyak goreng. Suhu penggorengan normal dapat terjadi pada kisaran suhu 168-196oC (Fellows 1997). Suhu yang tinggi menjadi penyebab pembentukan asam-asam lemak bebas. Hal ini ditandai dengan perubahan viskositas, citarasa, warna minyak dan titik asap minyak menjadi turun. Friedman (2003) menyatakan bahwa pembentukan akrilamid dapat terjadi dalam kisaran suhu 120oC-170oC sehingga selama penggorengan juga terjadi reaksi pembentukan akrilamid. Perubahan yang nampak setelah hasil penggorengan adalah terjadinya perubahan warna, tekstur dan aroma dari produk. Hal ini banyak disebabkan oleh adanya perubahan beberapa senyawa gula dan asam amino dalam bahan makanan sebagai kombinasi reaksi Maillard (Ames 1998). Adanya reaksi senyawa gula dengan asam
21
amino lisin pada ikan memberikan karakteristik pada produk ikan goreng (Fellows 1997). Minyak nabati merupakan media yang terbaik sebagai penghantar panas pada proses penggorengan. Fellows (1997) menjelaskan bahwa komponen-komponen minyak mengalami perubahan-perubahan selama proses penggorengan. Pada beberapa proses penggorengan, terlihat suhu penggorengan hampir mencapai titik asap minyak di atas 180oC. Kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan nilai gizi makanan selain dapat membentuk akrilamid yang lebih tinggi.
2.7. Evaluasi Sensori Hasil akhir proses pengolahan harus dikaitkan dengan evaluasi mutu sensori secara organoleptik. Uji sensori untuk produk pangan dapat menghasilkan data penerimaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan karena indra manusia merupakan detektor yang cukup sensitif untuk mengenali komponen sensori dalam produk (Reineccius 2006). Pengolahan makanan yang baik diharapkan dapat menghasilkan produk dengan citarasa yang dapat diterima oleh konsumen. Pengujian sensori dapat meliputi pengujian warna, aroma, rasa dan penerimaan keseluruhan (over all) produk (Meilgaard et al.1999). Pada analisis sensori, panelis diminta untuk memberikan penilaian terhadap atribut sensori produk secara hedonik (kesukaan). Skor penerimaan panelis tersebut dapat dikuantifikasikan. Selain itu, pada uji sensori terdapat pula uji pembedaan yang bertujuan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan sampel karena perlakuan-perlakuan yang diujikan. Analisis sensori secara Quantitative Descriptive Analysis (QDA) merupakan salah satu analisis sensori deskriptif yang dapat digunakan untuk mengetahui atribut sensori termasuk komponen flavor dalam produk makanan (Stone & Sidel 1998). Metoda ini dilakukan oleh kelompok panelis terlatih (terdiri dari 6-12 orang terpilih) yang akan mendeskripsikan atribut sensori dalam produk yang diuji (Meilgaard et al. 1999). Data analisis secara QDA merupakan data yang dapat dikuantifikasikan dalam bentuk angka. Pada pelaksanaannya digunakan garis untuk menyatakan intensitas atribut sensori yang ada. Interpretasi hasil pengujian dapat dinyatakan dalam bentuk grafik/diagram spider web. 22
Teknik penurunan pembentukan akrilamid akan memberikan pengaruh juga terhadap sensori produk. Romani et al. (2009) menyatakan bahwa kondisi penggorengan mempengaruhi kandungan akrilamid dan karakteristik kentang goreng seperti warna, citarasa dan kandungan minyak. Karakteristik produk merupakan ciri-ciri produk yang dapat juga berkaitan dengan penerimaan konsumen terhadap produk tersebut (Meilgaard et al. 1999). Karakteristik produk dapat diketahui dari hasil pengujian sensori penerimaan konsumen terhadap organoleptik produk baik warna, aroma, rasa dan keseluruhan produk.
23