5
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang Pisang (Musa paradisiaca) merupakan salah satu produk hortikultura Indonesia yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena ketersediaannya yang tidak mengenal musim serta harganya terjangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. Keunggulan pisang sebagai sumber karbohidrat, vitamin dan mineral juga didukung oleh luas panen dan jumlah produksinya yang selalu menempati posisi pertama.
Produktivitas pisang di Indonesia berfluktuasi dan terus
meningkat, dimana pada tahun 2007 tingkat produksi pisang adalah 5 454 226 ton, kemudian pada tahun 2008 meningkat menjadi 6 004 615 ton (BPS 2009). Pisang mempunyai kandungan gizi yang sangat baik, antara lain menyediakan energi yang cukup tinggi dibandingkan dengan buah-buahan lain. Pisang kaya akan mineral seperti kalium, magnesium, fosfor, besi, dan kalsium (Munadjim 1983). Kandungan inulin (sekitar 3%) yang terdapat pada pisang juga berperan sebagai prebiotik alami (Nuraida 2011). Selain inulin, pisang juga memiliki kandungan pati yang cukup tinggi yaitu sekitar 61-73% untuk jenis pisang kepok, siam, uli dan tanduk (Abdillah 2010). Kandungan pati yang tinggi pada pisang berpotensi untuk dimodifikasi menjadi RS) yang juga memiliki sifat prebiotik. Efek prebiotik tidak hanya terbatas pada RS yang secara alami terdapat pada tanaman (RS1 dan RS2), tetapi juga dimiliki oleh pati yang dimodifikasi secara fisik dan kimia (RS3 dan RS4). Pisang (Gambar 1) adalah nama umum yang diberikan pada tumbuhan dari famili Musaceae. Beberapa jenisnya (Musa acuminate, M. balbisiana, dan M. paradisiaca) menghasilkan buah konsumsi yang dinamakan sama.
Buah ini
tersusun dalam tandan dengan kelompok-kelompok tersusun menjari, yang disebur sisir (Munadjim, 1983).
6
Gambar 1 Tanaman pisang uli (Koleksi Widaningrum 2012)
Tanaman pisang berbunga pada saat berumur 9-12 bulan setelah tanam. Pemotongan tandan dilakukan pada umur 80-110 hari setelah berbunga dan biasanya pada umur 110 hari warna buah pisang mulai menguning. Ukuran, warna dan citarasa buah pisang berbeda-beda tergantung dari varietasnya. Selain itu, pertumbuhan tanaman pisang dipengaruhi oleh keadaan tanah, iklim dan cara pemeliharaannya. Berdasarkan cara penggunaannya, buah pisang digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu banana dan plantain. Banana adalah golongan pisang yang dimakan dalam bentuk segar setelah buahnya matang, contohnya antara lain pisang ambon, pisang raja sereh, pisang raja bulu, pisang susu, pisang seribu, dan lain-lain. Plantain adalah golongan pisang yang dimakan setelah diolah terlebih dahulu, contohnya antara lain pisang uli, pisang kepok, pisang siam, pisang kapas, pisang rotan, pisang tanduk, dan lain-lain (Prabawati et al 2008). Golongan banana mempunyai bentuk buah yang ujungnya tumpul dan rasanya enak bila telah masak, sedangkan golongan plantain mempunyai warna buah yang mengkilap serta bila masak memiliki rasa yang kurang enak. Golongan plantain memiliki daging buah dengan kandungan pati yang tinggi, rasa manis yang kurang, dan membutuhkan pengolahan lebih lanjut (Prabawati et al 2008). Komponen utama buah pisang adalah air dan karbohidrat dengan nilai energi pisang sekitar 136 kalori yang secara keseluruhan berasal dari karbohidrat (Munadjim 1983). Pisang termasuk buah-buahan yang mudah dicerna dengan
7
daya cerna 54-80%. Pisang merupakan komoditas pertanian yang mengandung karbohidrat siap cerna (sekitar 30% dari bagian yang dapat dimakan). Pisang banyak mengandung komponen karbohidrat terutama pati sehingga pisang juga sering ditepungkan atau terkadang diambil patinya (Prabawati et al 2008). Pisang memiliki rasa yang sangat enak, dapat mengenyangkan, sumber provitamin A, mengandung vitamin C sekitar 20 mg/100g bobot segar, dan vitamin B dalam jumlah sedang. Hancuran pisang mengandung dopamine dan vitamin C dalam jumlah tinggi.
Selain vitamin, daging buah pisang mengandung abu
sebanyak 0.70-0.75% dari berat daging buah. Abu pada pisang mengandung unsur mineral fosfor sebanyak 290 ppm, kalsium 80 ppm dan besi 60 ppm. Komposisi kimia buah pisang bervariasi tergantung pada varietasnya. Tingkat kematangan buah pisang juga mempengaruhi komposisi kimia daging buah seperti kadar pati, gula reduksi dan sukrosa, serta suhu gelatinisasi (Munadjim 1983, Putra 2010).
Tepung Pisang Tepung pisang memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan buah segar, diantaranya dapat disimpan lebih lama dan lebih mudah disuplementasi dengan zat gizi sehingga cocok sebagai makanan bayi atau diolah menjadi roti, biskuit, ataupun kue-kue lainnya. Tepung pisang merupakan produk antara yang cukup prospektif dalam pengembangan sumber pangan lokal. Jenis pisang yang lebih baik untuk dijadikan tepung adalah plantain karena memiliki kadar pati yang tinggi.
Buah pisang cukup sesuai untuk diproses menjadi tepung mengingat
bahwa komponen utama penyusunannya adalah karbohidrat (17.2 – 38.0%). Berdasarkan kandungan nutrisi, buah pisang dibandingkan sayuran hijau memiliki kandungan zat besi yang paling kaya dan juga mengandung nutrisi lainnya. Manfaat pengolahan pisang menjadi tepung antara lain yaitu lebih tahan disimpan, lebih mudah dalam pengemasan dan pengangkutan, lebih praktis untuk diversifikasi produk olahan, mampu memberikan nilai tambah buah pisang, mampu meningkatkan nilai gizi buah melalui proses fortifikasi selama pengolahan, dan menciptakan peluang usaha untuk pengembangan agroindustri pedesaan (Prabawati et al 2008). Syarat mutu tepung pisang ditampilkan pada Tabel 1.
8
Tabel 1 Syarat mutu tepung pisang (SNI 01-3841-1995) No. 1 1.1 1.2 1.3 2 3 4 5 6 7 8 9 9.1 9.2 9.3 9.4 10 11 11.1 11.2 11.3 11.4 11.5 11.6
Kriteria Uji Keadaan: Bau Rasa Warna Benda asing Serangga (dalam segala bentuk stadia dan potongan-potongan) Jenis pati lain selain tepung pisang Kehalusan lolos ayakan 60 mesh Air Bahan tambahan pangan Sulfit (SO2) Cemaran logam: Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg) Cemaran Arsen (As) Cemaran mikroba: Angka Lempeng Total Bakteri pembentuk coli Escherichia coli Kapang dan khamir Salmonella/25 gram Staphylococcus aureus
Satuan
Persyaratan Jenis A Jenis B
-
Normal Normal Normal Tidak ada Tidak ada
Normal Normal Normal Tidak ada Tidak ada
-
Tidak ada
Tidak ada
%b/b
Min. 95
Min. 95
%b/b mg/kg
Maks. 5 Maks. 12 SNI 01-0222-1987 Negatif Maks. 1.0
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks.1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.5
Maks.1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.5
Koloni/g APM/g Koloni/g Koloni/g Koloni/g
Maks.104 0 0 Maks. 102 negatif negatif
Maks.106 0 Maks. 106 Maks. 104 -
Sumber: BSN (2011) Tepung pisang dapat dibuat dari buah pisang muda dan pisang tua yang belum matang. Prinsip pembuatannya adalah pengeringan irisan pisang dengan sinar matahari atau dengan menggunakan alat pengering kemudian digiling. Produk yang sudah digiling kemudian dilewatkan pada penyaring berukuran 100 mesh. Judoamidjojo dan Lestari (1991) melaporkan bahwa kadar pati dari tiga jenis tepung pisang plantain (nangka, uli dan siam) cukup tinggi yaitu berkisar dari 55-62%. Hal ini menjadikan ketiga jenis pisang tersebut memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber RS3 prebiotik. Perbandingan karakteristik jenis tepung pisang nangka, uli dan siam dapat dilihat pada Tabel 2.
9
Tabel 2 Komposisi tepung pisang plantain Karakteristik Rendemen (%) Kadar air (%) Kadar total gula (%) Kadar pati (%) Kadar amilopektin (%) Kekentalan (cP) Derajat putih (%)
Nangka 30.02 9.04 9.58 61.61 54.29 1.2075 42.96
Jenis Pisang Siam 30.11 12.05 12.82 56.82 49.63 1.4056 57.08
Uli 39.60 10.82 26.56 55.23 48.54 41.60
Sumber: Judoamidjoyo dan Lestari (1991)
Tepung pisang dari buah pisang muda mengandung pati lebih tinggi bila dibandingkan dengan tepung pisang dari pisang tua matang, sedangkan kandungan gula sederhananya sebaliknya. Pisang yang akan digunakan untuk pembuatan tepung pisang sebaiknya dipanen pada saat telah mencapai tingkat kematangan ¾ penuh, kira-kira 80 hari setelah berbunga. Hal ini dikarenakan pada kondisi tersebut, pembentukan pati mencapai maksimum dan tanin sebagian besar terurai menjadi ester aromatik dan fenol, sehingga dihasilkan rasa asam dan manis yang seimbang (Putra 2010). Pisang yang terlalu muda (kurang dari ¾ penuh) akan menghasilkan tepung pisang yang mempunyai rasa sedikit pahit dan sepat, karena kadar asam dan tanin yang relatif masih tinggi, sedangkan kadar patinya rendah. Sifat sepat pisang akan berkurang banyak sejalan dengan berubahnya senyawa tanin selama proses pematangan.
Meningkatnya tingkat kematangan pisang akan menyebabkan
perubahan komposisi kimia dari tepung pisang yang dihasilkan, sehingga untuk memperoleh tepung pisang dengan kadar pati yang cukup tinggi diperlukan pemilihan tingkat kematangan pisang yang sesuai (Prabawati et al 2008). Dewasa ini, telah dilakukan beberapa penelitian pembuatan tepung pisang modifikasi sebagai bahan baku pangan fungsional. Tepung pisang modifikasi berpotensi sebagai prebiotik yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan saluran pencernaan.
Tepung pisang kaya RS3 telah diteliti dapat
diproduksi dengan cara melakukan modifikasi pada proses pembuatannya, yaitu dengan fermentasi spontan yang dikombinasikan dengan perlakuan pemanasan bertekanan dan dilanjutkan dengan pendinginan (Jenie et al 2009).
10
Abdillah (2010) melaporkan bahwa pada varietas pisang tanduk, fermentasi spontan merupakan perlakuan terbaik dalam meningkatkan kadar RS3 dari tepung pisang modifikasi, karena pada lama fermentasi tersebut terjadi pembentukan asam laktat (penurunan pH) dan dihasilkannya enzim amilase. Fermentasi selama 24 jam dilanjutkan dengan satu siklus pemanasan autoklaf mampu meningkatkan kadar RS3 tepung pisang tanduk dari 6.38% (bk) menjadi 15.24% (bk). Peningkatan kadar RS3 yang sama (15.90%) juga dapat diperoleh bila pisang tidak difermentasi tetapi diberi pemanasan autoklaf sebanyak dua siklus. Putra (2010) melakukan penelitian fermentasi irisan pisang tanduk dengan menggunakan bakteri asam laktat. Dilaporkan bahwa waktu fermentasi optimal irisan pisang tanduk dengan menggunakan kultur campuran L. plantarum kik dan L. fermentum 2B4 adalah 72 jam. Namun waktu fermentasi selama 72 jam tidak mempengaruhi kadar RS3 yang dihasilkan. Peningkatan RS3 hingga dua kali lipat dari 5.87-6.45% menjadi 12.99-13.71% bk dihasilkan oleh fermentasi yang dilanjutkan dengan pemanasan autoklaf.
Kombinasi proses fermentasi yang
dilanjutkan dengan pemanasan autoklaf menghasilkan tepung pisang modifikasi dengan beberapa sifat fungsional yang menguntungkan yaitu berpotensi sebagai kandidat prebiotik karena kadar RS3-nya yang tinggi (13.22%) dan dapat mendukung pertumbuhan probiotik (L. plantarum BSL, L. fermentum 2B4, dan L. acidophilus). Jenie et al (2009) telah melakukan penelitian pembuatan RS3 dari berbagai jenis pisang, yaitu tanduk, kepok, dan siam. Fermentasi spontan pada irisan pisang tanduk yang dikombinasi dengan pemanasan satu siklus autoklaf meningkatkan kadar RS3 tepung pisang dua kali lipat dibanding dengan dua siklus autoklaf tanpa fermentasi. Tepung pisang modifikasi dengan kadar RS3 yang meningkat berpotensi sebagai kandidat prebiotik karena dapat meningkatkan pertumbuhan L. plantarum BSL, L. fermentum 2B4, dan L. acidophilus sebesar 3 log pada media 2.5% tepung pisang modifikasi yang sebanding dengan pertumbuhan pada media fruktooligosakarida (FOS) dan MRSB. Pisang uli adalah pisang tipe plantain yang banyak dihasilkan di daerah Bogor dan Jawa Barat pada umumnya. Pisang ini merupakan salah satu jenis pisang yang memiliki potensi sebagai sumber RS3 karena kandungan pati dan
11
amilosanya yang relatif tinggi. Selama ini pisang uli biasa diolah dengan cara digoreng menjadi pisang goreng yang lezat dan merupakan penganan/jajanan pasar yang murah meriah dan mengenyangkan. Pisang uli memiliki kulit yang berwarna hijau dan daging buah yang berwarna putih kekuningan. Karakteristik pisang uli yang cukup tua tetapi belum matang ditentukan dari bentuk pisang yang masih memiliki siku dan terdapat bintik-bintik kecil berwarna hitam pada bagian kulit.
Pisang uli biasanya
dikonsumsi dengan cara dikukus, dibakar, dijadikan kolak atau digoreng. Kandungan nilai gizi pisang beberapa varietas pisang dapat dilihat pada Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat bahwa kandungan kalori pisang varietas uli adalah paling tinggi (146 kalori) dibanding varietas pisang lainnya, demikian pula kandungan karbohidrat (38.20 %) dan vitamin C-nya (75 mg) yang lebih tinggi dari varietas pisang lainnya.
Tabel 3 Kandungan nilai gizi beberapa varietas pisang di Indonesia Varietas pisang
Kalori (kalori)
Ambon 99 Angleng 68 Lampung 99 Emas 127 Raja Bulu 120 Raja Sere 118 Uli 146 Sumber: Prabawati et al (2008)
Karbohidrat (%)
Vitamin C (mg)
Vitamin A (SI)
Air (%)
25.80 17.20 25.60 33.60 31.80 31.10 38.20
3 6 4 2 10 4 75
140 76 61,80 79 950 112 75
72.00 80.30 72.10 4.20 65.80 67.00 59,10
Bagian yang dapat dimakan 75 75 75 85 70 85 75
Pisang uli banyak terdapat di daerah Jawa Barat pada umumnya dan di Bogor pada khususnya. Dengan kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi tersebut, pisang uli sangat potensial untuk dijadikan sumber RS3.
Modifikasi Pati Pati telah banyak digunakan pada pengolahan pangan, baik pada penggunaan di tingkat industri pangan maupun skala rumah tangga. Pati yang digunakan umumnya berupa pati tanpa perlakuan modifikasi (pati alami atau pati native). Walaupun pati alami cukup luwes dalam penggunaannya, namun
12
memiliki kekurangan yang sering menghambat aplikasinya di dalam proses pengolahan pangan. Kebanyakan pati alami menghasilkan suspensi pati dengan viskositas dan kemampuan membentuk gel yang tidak seragam (konsisten). Hal ini disebabkan profil gelatinisasi pati alami sangat dipengaruhi oleh iklim dan kondisi fisiologis tanaman sehingga jenis pati yang sama belum tentu memiliki sifat fungsional yang sama. Menurut Kusnandar (2010), di antara kekurangan yang utama adalah sebagai berikut: 1) Kebanyakan pati alami tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi, 2) kebanyakan pati alami tidak tahan pada kondisi asam, 3) pati alami tidak tahan proses mekanis (agitasi), dimana viskositas pati akan menurun karena adanya proses pengadukan atau pemompaan, 4) kelarutan pati alami terbatas di dalam air, dan 5) gel pati alami mudah mengalami sineresis (pemisahan air dari struktur gelnya) akibat terjadinya retrogradasi pati. Oleh karena itu, pati alami sering dimodifikasi untuk menghasilkan pati yang sesuai dengan kondisi proses pengolahan. Modifikasi pati dilakukan untuk mengatasi sifat-sifat dasar pati alami yang kurang menguntungkan tersebut sehingga dapat memperluas penggunaannya dalam proses pengolahan pangan serta menghasilkan karakteristik produk pangan yang diinginkan.
Pati diberi
perlakuan tertentu agar memiliki sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya, terutama sifat fisiko-kimia dan fungsionalnya atau untuk mengubah beberapa sifat lainnya (Aparicio-Saguilan et al 2005). Beberapa sifat asal pati alami yang dapat diubah yaitu suhu gelatinisasi, karakteristik selama proses gelatinisasi, ketahanan oleh pemanasan, pengasaman dan pengadukan, serta kecenderungan retrogradasi. Modifikasi dilakukan pada level molekular dengan atau tanpa mengubah struktur granula patinya. Teknik modifikasi pati yang banyak dilakukan diantaranya adalah modifikasi secara fisik (pregelatinisasi dan heat moisture treatment) dan modifikasi kimia (modifikasi ikatan silang, substitusi, oksidasi, dan hidrolisis asam). Modifikasi dapat juga dilakukan secara kombinasi, misalnya kombinasi modifikasi ikatan silang dan substitusi. Metode modifikasi lainnya yaitu dengan konversi atau hidrolisis pati menjadi karbohidrat rantai pendek, misalnya membentuk maltodekstrin (Kusnandar 2010).
13
Modifikasi Pati Secara Asam Modifikasi pati dengan asam (lintnerisasi) tergolong modifikasi pati secara kimia. Metode hidrolisis asam dilakukan dengan menggunakan asam kuat, yang akan menghidrolisis ikatan glikosida sehingga memperpendek rantai ikatan kimia pada pati dan berat molekul pati menjadi lebih rendah (Wurzburg 1989). Selama proses modifikasi asam, asam akan menghidrolisis ikatan glikosidik dan memperpendek rantai pati. Wurzburg (1989) menunjukkan bahwa pada tahap awal proses modifikasi asam, jumlah amilosa atau fraksi linier meningkat, yang mengindikasikan bahwa asam menghidrolisis ujung titik-titik cabang amilopektin pada daerah amorf yang mudah dijangkau terlebih dahulu sebelum menghidrolisis bagian yang lebih kristal. Hal ini terbukti dengan tidak terjadinya pembengkakan granula pati dan pati tidak kehilangan sifat kristalnya (birefringence). Bagian amorf lebih banyak tersusun atas rantai amilosa, sedangkan bagian kristal lebih banyak tersusun atas rantai amilopektin (Wurzburg 1989). Franco et al (2002) melaporkan asam menghidrolisis lebih cepat bagian amorf pada granula pati namun bagian yang lebih bersusun rapi (kristal) lebih lambat untuk dihidrolisis.
Modifikasi Pati Secara Fisik Perlakuan modifikasi pati secara fisik melibatkan beberapa faktor antara lain: suhu, tekanan, dan kadar air pada pati. Granula pati dapat diubah secara parsial maupun total. Prinsip modifikasi fisik secara umum adalah dengan pemanasan. Bila dibandingkan dengan modifikasi kimia, modifikasi fisik cenderung lebih aman karena tidak menggunakan berbagai pereaksi kimia. Perlakuan modifikasi secara fisik antara lain: ekstrusi, parboiling, steam-cooking, irradiasi microwave, pemanggangan, hydrotermal treatment dan autoclaving. Sebagian besar metode modifikasi fisik yang telah disebutkan dapat meningkatkan kadar RS3 (Sajilata et al 2006). Metode steaming-cooking dan parboiling umumnya diaplikasikan pada beras. Metode ekstrusi merupakan metode yang paling populer digunakan untuk memodifikasi karakteristik fungsional pati serealia.
Prosesnya menggunakan
temperatur tinggi, waktu yang singkat, dan gelatinisasi pati terjadi pada kandungan air rendah (Sajilata et al 2006).
14
Metode hydrothermal-treatment terdiri dari annealing dan heat moisture treatment (HMT). Prinsip metode hydrothermal-treatment adalah penggunaan air dan panas untuk memodifikasi pati. Pada annealing, modifikasi dilakukan dengan menggunakan jumlah air yang banyak (lebih dari 40%) dan dipanaskan pada suhu di bawah suhu gelatinisasi pati.
Sedangkan HMT dilakukan dengan
menggunakan jumlah kandungan air terbatas (18, 21, 24, 27%) dan dipanaskan pada suhu melebihi suhu gelatinisasi.
Metode hydrotermal-treatment dapat
mengubah karakteristik gelatinisasi pati yaitu meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati, dan meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi (Adobowale et al 2005). Perlakuan fisik lainnya adalah metode autoclaving-cooling.
Menurut
Sajilata et al (2006) perlakuan pemanasan dengan menggunakan metode autoclaving-cooling dapat meningkatkan produksi RS3 hingga 9%.
Metode
autoclaving-cooling dilakukan dengan mensuspensikan pati dengan rasio penambahan air 1 : 3.5 atau 1 : 5 (b/v). Selanjutnya dipanaskan menggunakan autoklaf pada suhu tinggi. Setelah diautoklaf, suspensi pati tersebut disimpan pada suhu rendah agar terjadi retrogradasi. Untuk meningkatkan kadar RS3, siklus tersebut dilakukan berulang. Perlakuan modifikasi ini disebut autoclavingcooling cycling treatment (Zabar et al 2008). Menurut Gonzalez-Soto et al (2007), perlakuan debranching dengan enzim pullulanase dan proses pemanasan dengan autoklaf meningkatkan kadar RS3 pisang (dengan analisis RS menggunakan metode Goni et al 1996) dari 9.07% menjadi 34.84% (disimpan 24 jam pada suhu retrogradasi 4°C). Jenie et al (2009) melaporkan bahwa kadar RS3 pati pisang dapat ditingkatkan dengan perlakuan fermentasi spontan dan dilanjutkan dengan pemanasan bertekanan-pendinginan.
Proses modifikasi ini dilaporkan dapat
meningkatkan kandungan RS3 tepung pisang tanduk dari 9.17% menjadi 28.5% (Nurhayati 2012).
Probiotik Konsep tentang probiotik sebenarnya telah muncul sejak lama, ketika ilmuwan pemenang hadiah Nobel dari Rusia, Metchnikoff pada tahun 1910 telah memikirkan kemungkinan ada kaitannya antara kesehatan seseorang dengan
15
makanan fermentasi (Wahyudi & Samsundari 2008). Metchnikoff mengamati bahwa orang-orang Bulgaria memiliki usia rata-rata yang panjang, yaitu 87 tahun serta terdapat 4 dari 1000 penduduk memiliki usia lebih dari 100 tahun. Mereka memiliki gaya hidup yang berbeda dengan orang-orang kebanyakan, yaitu memiliki kebiasaan minum susu fermentasi.
Metchnikoff meyakini bahwa
konsumsi susu yang difermentasi oleh Lactobacillus memberikan efek yang menguntungkan pada mikroba usus dan dapat menurunkan aktivitas toksin yang dihasilkan mikroba. Sejak tahun 1920 para ahli melanjutkan penelitian mengenai manfaat bakteri terhadap kesehatan. Pada tahun 1935-an, strain L. acidophilus ditemukan mampu aktif jika diimplantasikan dalam usus halus manusia. Selanjutnya setelah kurun waktu lebih dari 40 tahun diperoleh banyak sekali manfaat dari penggunaan bakteri sebagai probiotik. Sebagian dari manfaat penggunaan probiotik tersebut adalah: (1) mengatur pH, (2) memperbaiki fungsi saluran pencernaan, (3) meningkatkan sistem kekebalan tubuh, (4) mencegah infeksi, (5) menurunkan kadar kolesterol, (6) mengatasi masalah lactose intolerance dan (7) membunuh sel-sel tumor dan kanker. Selanjutnya konsep probiotik telah mengalami beberapa perubahan definisi seiring dengan perkembangan hasil penelitian ilmiah tentang pengaruh, mekanisme kerja, dan aplikasinya.
Definisi probiotik terbaru diusulkan oleh
Salminen et al (2004), yaitu bahwa probiotik adalah sediaan sel mikroba hidup atau komponen dari sel mikroba yang memiliki pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inang (host)-nya. Syarat utama suatu isolat bermanfaat sebagai probiotik adalah memiliki ketahanan terhadap asam dan garam empedu sehingga dapat mencapai usus dalam keadaan hidup, serta memiliki kemampuan menempel (adherence) dan berkolonisasi pada mukosa usus. Menurut Tamime (2005), stress terhadap bakteri probiotik dimulai dari lambung, dimana bakteri ini harus mampu bertahan terhadap pH yang sangat rendah. Waktu yang dibutuhkan bakteri mulai masuk sampai keluar lambung adalah 90 menit.
Setelah bakteri probiotik berhasil
melalui lambung, mereka akan memasuki saluran usus bagian atas dimana garam empedu disekresikan. Setelah perjalanan melalui lingkungan yang sulit, bakteri
16
probiotik harus mampu menempel pada mukosa usus. Kemampuan menempel pada sel epitel merupakan indikasi bahwa bakteri ini dapat melakukan kolonisasi di dalam usus. Rolfe (2000) dalam Abdillah (2010) menyatakan bahwa probiotik dapat berupa bakteri Gram positif, Gram negatif, khamir atau fungi. Namun mikrobamikroba yang umum digunakan dalam pembuatan makanan dan minuman probiotik terutama berasal dari kelompok bakteri asam laktat (BAL) yang merupakan Gram positif.
BAL sering digunakan sebagai probiotik karena
kebanyakan strainnya tidak patogen, bahkan beberapa strain telah mendapatkan status GRAS (Generally Recognized As Safe) dari FDA.
Selain itu,
kemampuannya untuk hidup di dalam saluran pencernaan dapat menekan pertumbuhan bakteri enterik sehingga dapat dimanfaatkan untuk menjaga kesehatan tubuh dan potensi ini yang menyebabkan BAL digunakan sebagai probiotik.
Beberapa genus bakteri yang termasuk BAL yaitu Lactobacillus,
Streptococcus, Pediococcus, Leuconostoc, Lactobacillus dan Bifidobacterium. Bakteri asam laktat memiliki kemampuan menghasilkan senyawa-senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Zat-zat antimikroba tersebut yaitu asam laktat, asam asetat, hidrogen peroksida, diasetil serta bakteriosin (Vuyst & Vandamme 1994). Beberapa strain BAL yang berpotensi sebagai probiotik antara lain L. reuteri, L. casei, L. acidophilus dan B. bifidum. Lactobacillus plantarum tergolong bakteri Gram positif, berbentuk batang, non motil, biasanya berukuran 1.6 – 1.8 µm x 1.2 – 6.0 µm, berantai tunggal atau pendek. Bakteri L. plantarum merupakan satu dari 27 spesies yang masuk dalam genus Lactobacillus dalam famili Lactobacillaceae.
Bakteri ini merupakan
bakteri heterofermentatif fakultatif yang tidak menghasilkan gas, bersifat katalase negatif, tidak berspora (asporogenous), secara khas tidak mereduksi nitratnya menjadi nitrit, tidak memproduksi NH3 dari arginin, fakultatif anaerob, suhu pertumbuhan 30-35°C, tidak tumbuh pada suhu 7°C atau 45°C (Vuyst & Vandamme 1994, Salminen et al 2004).
BAL ini terbukti bersifat sebagai
probiotik yang dapat menurunkan kolesterol pada serum darah tikus. Menurut Kusumawati (2003), susu fermentasi yang mengandung probiotik L. plantarum BSL dimana sebelumnya BAL ini teruji memiliki aktivitas asimilasi kolesterol
17
paling baik diantara BAL uji lainnya, ternyata mampu menurunkan total kolesterol pada serum darah tikus sampai 22-28% dibandingkan dengan tikus yang diberi susu fermentasi tanpa probiotik L.plantarum BSL tersebut. Lactobacillus acidophilus merupakan bakteri yang hidup di dalam saluran pencernaan manusia. Bakteri ini memiliki pengaruh yang baik bagi kesehatan manusia yaitu memperbaiki mikroflora usus, meningkatkan aktivitas enzim βgalaktosidase, menurunkan kolesterol serta mengontrol kanker. acidophilus
merupakan
bakteri
berbentuk
batang,
Lactobacillus
termasuk
famili
Lactobacillaceae, genus Lactobacillus. Bakteri ini tergolong bakteri Gram positif dan tidak membentuk spora. Bakteri L. acidophilus bersifat homofermentatif, menghasilkan D dan L-asam laktat dari glukosa. Suhu optimum pertumbuhannya 35 – 38°C, tidak tumbuh pada suhu 15°C (Salminen et al 2004). Bifidobacterium bifidum merupakan bakteri asam laktat (BAL) dari genus Bifidobacterium. Dahulu bakteri ini tidak tergolong BAL, tetapi karena sifat fungsional yang dimilikinya mirip dengan BAL, maka Bifidobacterium kemudian diklasifikasikan sebagai BAL.
Bakteri ini memiliki karakteristik anaerobik,
Gram-positif, non motil, tidak membentuk spora, suhu optimum pertumbuhan 3741°C. Bakteri ini dominan terdapat pada membran mukus di sekitar usus besar dan saluran vagina. Spesies ini dimanfaatkan sebagai probiotik yang mampu meningkatkan asimilasi mineral yang penting untuk kesehatan tulang, contohnya besi, kalsium, magnesium, dan seng (Tannis 2008). Bakteri B. bifidum umumnya diisolasi dari feses bayi yang masih menyusu (Mackie et al 1999). Selain aman dikonsumsi (termasuk GRAS atau Generally Recognized as Safe), spesies ini dapat membantu sintesis vitamin B1, asam folat, dan asam nikotinat. Selain itu juga membantu sintesis beberapa asam amino seperti alanin, valin, asam aspartam, dan treonin (Salminen et al 2004). Lactobacillus deLrueckii subsp. bulgaricus adalah salah satu bakteri yang digunakan sebagai kultur starter dalam pembuatan yoghurt. Bakteri ini tidak dapat hidup dalam usus namun hanya bertahan selama sekitar tiga jam setelah masuk ke dalam usus bersama dengan yoghurt yang diminum.
Bakteri ini
merupakan bakteri Gram positif, berbentuk batang, medium atau panjang, suhu
18
pertumbuhan 45°C, tidak tumbuh pada suhu 10°C, reduksi litmus kuat, tidak tahan garam (6.5%) dan bersifat termodurik (Tamime 2005). Sterptococcus salivarius subsp. thermophilus merupakan pasangan dari Lactobacillus delbrueckii subsp bulgaricus dalam pembuatan yoghurt. Seperti halnya L. bulgaricus, bakteri ini tidak tahan hidup dalam usus manusia. Bakteri ini berbentuk rantai panjang atau pendek, Gram positif, dapat mereduksi litmus milk dan bersifat katalase negatif, tidak toleran terhadap konsentrasi garam lebih dari 6.5% dengan pH optimum pertumbuhan 6.5.
S. salivarius subsp.
thermophilus dapat dibedakan dari genus Streptococcus lainnya berdasarkan pertumbuhan pada suhu 45°C, tidak dapat tumbuh pada suhu 10°C (Tamime 2005). Bentuk morfologi kelima jenis bakteri asam laktat disajikan pada Gambar 2.
L. plantarum
L..bulgaricus
L. acidophilus
B. bifidum
S. thermophilus
Gambar 2 Bentuk morfologi lima jenis bakteri asam laktat (Anonymous 2011)
Penelitian mengenai BAL sebagai probiotik telah dilakukan baik pada galur bakteri itu sendiri atau pada produk pangan yang mengandung bakteri tersebut. Produk pangan yang umum diteliti adalah produk susu, termasuk susu fermentasi seperti yoghurt dan susu non-fermentasi yang ditambahkan kultur mikroba ke
19
dalamnya (Abdillah 2010). Salah satu pengaruh probiotik yang menguntungkan bagi kesehatan adalah mempertahankan keseimbangan mikroflora usus. Mikroflora usus adalah ekosistem yang kompleks, yang terdiri dari berbagai jenis bakteri dalam jumlah yang besar. Aktivitas dan kapasitas metabolik bakteri yang hidup di usus sangat beragam dan dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif pada fisiologi usus.
Menurut International Dairy Federation (IDF),
jumlah probiotik minimal dalam produk pangan ketika dikonsumsi dan aktif di dalam saluran pencernaan yaitu 107 CFU/ml (Hamayouni et al 2008). Namun disebutkan pula bahwa jumlah minimum bakteri probiotik dalam bioproduk agar dapat memberikan manfaat kesehatan adalah 109–1010 CFU/g produk (FAO/WHO 2001). Menurut Tamime (2005), mikroflora saluran pencernaan manusia dan hewan diketahui memiliki fungsi proteksi melawan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa mikroflora usus berperan melawan pembentukan koloni bakteri patogen dalam spektrum yang luas. Termasuk di dalamnya Clostridium difficile dan C. botulinum, bakteri E. coli, Salmonella, Shigella dan Pseudomonas, dan khamir Candida albicans. Mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroba patogen antara lain adalah sebagai berikut: pada waktu antibiotik diberikan pada hewan untuk menghambat mikroflora saluran pencernaannya, hewan menjadi sangat rentan terhadap kolonisasi patogen maupun mikroorganisme dari luar lainnya. Apabila mikroflora saluran pencernaan tidak terganggu, hewan percobaan lebih resisten. Beberapa mekanisme diduga bertanggungjawab dalam proses yang terjadi. Proses tersebut meliputi kompetisi antara mikroflora saluran pencernaan dan mikroorganisme dari luar tubuh dalam menggunakan nutrisi yang terbatas, peningkatan metabolit yang dihasilkan mikroflora saluran pencernaan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang berasal dari luar, dan kompetisi untuk mendapatkan tempat pada mukosa usus. Hipotesis bahwa kompetisi nutrisi terjadi antara mikroflora saluran pencernaan dan mikroorganisme yang berasal dari luar dikemukakan berdasarkan sejumlah penelitian yang melaporkan bahwa mekanisme pengontrolan populasi dalam saluran pencernaan konsisten dengan teori kemostat. Konsep dasar dari
20
teori kemostat adalah kelompok bakteri yang terdapat pada sebuah kultur aliran berkesinambungan berkompetisi dalam mendapatkan dan menggunakan senyawasenyawa yang esensial bagi pertumbuhan (Tamime 2005).
Di dalam kolon,
bakteri probiotik akan mencerna RS3 menjadi senyawa-senyawa berberat molekul rendah yaitu asam lemak rantai pendek (butirat, laktat, asetat, propionat). Asam lemak rantai pendek ini, termasuk juga hidrogen sulfida, dan asam empedu bebas, merupakan metabolit beracun yang merupakan faktor penghambat bagi patogen di saluran pencernaan. Hidrogen sulfida dilaporkan dapat menekan pertumbuhan E. coli pada sebuah kultur berkesinambungan.
Prebiotik Menurut Robertfroid (2007), prebiotik adalah ingredien makanan yang tidak dapat dicerna yang memberikan efek menguntungkan kesehatan pada inang dengan secara selektif menstimulasi pertumbuhan dan atau aktivitas bakteri baik yang ada pada kolon. Persyaratan suatu ingredien disebut prebiotik adalah: tidak dihidrolisis atau diabsorbsi di bagian atas saluran pencernaan, bertindak sebagai substrat yang selektif untuk pertumbuhan mikroba yang menguntungkan, dapat mengubah komposisi mikroba menjadi lebih menguntungkan yaitu dengan cara menambah mikroba sakarolitik (pendegradasi pati) dan mengurangi mikroba putrefaktif
(penyebab
kebusukan),
harus
dapat
menginduksi
pengaruh
menguntungkan pada luminal atau sistemik pada inang. Menurut Nuraida (2011), terdapat 3 kriteria prebiotik, yaitu: harus tidak boleh dicerna oleh enzim-enzim mamalia (termasuk manusia), fermentasi haruslah terjadi oleh mikroba yang ada pada saluran pencernaan, secara selektif mampu menstimulasi pertumbuhan dan atau mikroba menguntungkan pada usus. Suatu ingredien tidak disebut prebiotik bila bahan tersebut didegradasi oleh asam lambung dalam saluran pencernaan dan difermentasi oleh mikroba tetapi tidak selektif. Suatu bahan juga tidak disebut prebiotik bila hanya diuji pada hewan percobaan saja tetapi belum diujikan pada manusia, jika secara kimia mengandung ketidakmurnian yang bukan merupakan sifat prebiotik, jika jumlah yang dikonsumsi tidak cukup untuk memberikan keuntungan yang dapat diukur.
21
Tamime (2005) melaporkan, pada dosis yang sesuai, sifat-sifat serat pangan dapat larut dari prebiotik antara lain yaitu resisten terhadap enzim-enzim indigenous, difermentasi oleh mikroflora kolon, mempersingkat waktu transit dalam saluran pencernaan, meningkatkan bobot feses, menurunkan pH usus, mereduksi
absorpsi
glukosa
(pencernaan
lambat),
meningkatkan
kondisi/memperbaiki kondisi yang berkaitan dengan konstipasi (sembelit) dan diare. Sedangkan manfaat kesehatan dari prebiotik: menginisiasi pertumbuhan bakteri probiotik yang baik dan menguntungkan bagi kesehatan (seperti Bifidobacteria, Lactobacillus), mencegah diare dan konstipasi, mencegah terjadinya luka pada lambung karena menyediakan makanan untuk mikroba kolon, menghasilkan asam lemak rantai pendek (SCFA = short chain fatty acids) seperti asetat, laktat, propionat, dan butirat yang merupakan sumber nutrisi yang mendukung diferensiasi sel-sel, serta sebagai anti kanker dan anti mikroba, menghasilkan asam laktat, menurunkan pH usus dan kolon untuk menghambat bakteri patogen tumbuh, mengendalikan kolonisasi mikroba patogen, misalnya termasuk Clostrdium difficile, menstimulasi absorpsi air dan elektrolit, menurunkan kejadian diare, meningkatkan absorpsi kalsium, dan memiliki indeks glikemik yang rendah.
Selain inulin, FOS (fruktooligosakarida), dan GOS
(galaktooligoskarida), RS3 adalah salah satu jenis prebiotik yang saat ini sedang dikembangkan.
Pati Resisten (Resistant Starch) Tipe 3 Pati resisten tipe 3 (RS3) ialah ingridien pangan tidak tercerna di dalam saluran pencernaan bagian atas manusia (mulut, lambung dan usus halus) tetapi di kolon dapat difermentasi oleh bakteri kolon (dari jenis Lactobacillus dan Bifidobacteria) sehingga dapat meningkatkan kesehatan inang (Sajilata et al 2006, Salminen et al 2004).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1997
mengemukakan bahwa penemuan RS3 merupakan salah satu pemikiran utama selama 20 tahun terakhir untuk mengetahui pentingnya karbohidrat terhadap kesehatan (Sajilata et al 2006).
Sebutan RS (Resistant Starch) pertama kali
dikemukakan oleh Englyst et al (1992) untuk menjelaskan sejumlah kecil fraksi yang bersifat resisten terhadap perlakuan hidrolisis oleh enzim α-amilase dan
22
pululanase secara in vitro. RS dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe utama. Tipe 1 adalah pati yang secara fisik terperangkap di antara dinding sel bahan pangan dan ditemukan pada serealia dan biji-bijian. Tipe 2 adalah granula pati yang tahan terhadap enzim pencernaan, misalnya pada pati pisang mentah dan jagung kaya amilosa. Tipe 3 adalah pati retrogradasi, yaitu pati yang diubah konformasinya melalui pengolahan pangan (proses panas dan dingin). Tipe 4 adalah pati yang dimodifikasi secara kimia (Alvarez & Sanchez 2006). Dari semua jenis RS, RS3 adalah yang paling menarik perhatian karena RS tipe ini dapat mempertahankan karakteristik organoleptik suatu makanan ketika RS3 ditambahkan pada makanan (Lehmann et al 2002). RS tipe ini relatif tahan panas (Eerlingan & Delcour 1995) dibandingkan RS tipe lainnya sehingga RS3 stabil selama proses pengolahan pangan (Wang et al 2007). RS3 merupakan jenis RS3 yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku fungsional berbasis RS. Kandungan RS3 dalam makanan alami umumnya rendah.
Jumlah RS dapat
meningkat saat makanan dipanggang atau dalam bentuk pasta dan produk sereal (Shamai et al 2003). RS3 juga meningkatkan jumlah Lactobacillus pada fekal dan sekum tikus (Bird et al 2000) serta meningkatkan jumlah Bifidobacteria (bersifat bifidogenik) setelah dilakukan pengujian pada manusia (Bouhnik et al 2004).
RS3 juga
dilaporkan mampu menekan pertumbuhan bakteri patogen Escherichia coli. Total koliform dan E. coli menurun dalam kolon proksimal dari 7-8 log cfu/g menjadi 6 log cfu/g (Crittenden et al 2005). Kandungan RS3 pada bahan pangan dapat ditingkatkan dengan beberapa perlakuan, misalnya autoclaving, perlakuan dengan enzim, pengolahan dan fermentasi.
Menurut Sajilata et al (2006), perlakuan pemanasan dengan
menggunakan metode autoclaving dapat meningkatkan produksi RS hingga 9%. Abdillah (2010) melaporkan bahwa tepung pisang tanduk yang diberi perlakuan satu siklus pemanasan autoklaf ternyata mampu meningkatkan kadar RS dari 6.38% (bk) menjadi 11.26% (bk), sedangkan kombinasi fermentasi 24 jam yang dilanjutkan dengan pemanasan autoklaf sebanyak satu siklus meningkatkan kadar RS3 tepung pisang menjadi 15.24% (bk). Jenie et al (2006) melaporkan bahwa RS3 yang berasal dari umbi garut, singkong dan kimpul dapat dimanfaatkan oleh
23
Lactobacillus casei, L. plantarum, dan B. bifidum sebagai prebiotik secara in vitro dan menghasilkan asam asetat sebanyak 0.04%.
Nurhayati (2012) juga
melaporkan bahwa perlakuan fermentasi terkendali irisan pisang tanduk dengan bakteri asam laktat L. salivarius (yang diisolasi dari pisang tanduk) dan dilanjutkan dengan pemanasan bertekanan-pendinginan mampu meningkatkan kadar RS3 tepung pisang tanduk dari 9.17% menjadi 28.5% bk tepung. Beberapa peneliti lain melaporkan kadar RS3 dari beberapa komoditas kaya amilosa seperti pisang hijau, jagung dan garut seperti dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Kadar RS3 dari beberapa komoditas kaya amilosa dan metode yang digunakan Komoditas
Kadar RS3 (%)
Metode
Peneliti
57 34.3 42.4 34.84 79.89 58.5 12.15 28.5
Englyst et al (1992) Englyst et al (1992) AOAC 991.43 Goni et al (1996) AOAC method 2002.02 Goni et al (1997) Goni et al (1996) Englyst et al (1992)
Englyst et al (1992) Li et al (2008) Li et al (2008) Gonzalez-Soto et al (2007) Izidoro et al (2011) Tribess et al (2009) Faridah (2011) Nurhayati (2012)
Pisang hijau Jagung Jagung Pisang Pisang hijau Pisang hijau Garut Pisang tanduk
Seperti halnya serat pangan, RS3 juga mengalami fermentasi oleh mikroflora pada dinding kolon, menghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid atau SCFA).
Profil SCFA yang diperoleh lebih banyak
mengandung butirat dan lebih sedikit mengandung asetat dibandingkan serat pangan konvensional.
Dengan sifat-sifat yang dimilikinya, RS dikategorikan
sebagai bagian dari serat pangan. RS3 memiliki efek fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan seperti pencegahan kanker kolon, efek hipoglikemik (menurunkan kadar gula darah setelah makan), berperan sebagai prebiotik, mengurangi risiko pembentukan batu empedu, mempunyai efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak, dan meningkatkan absorbsi mineral (Sajilata et al 2006). Produk RS3 memiliki sifat fungsional sebagaimana serat pangan dan memiliki nilai penerimaan lebih tinggi dibandingkan dengan serat pangan konvensional. RS3 memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan ukuran partikel serat pangan konvensional, sehingga tidak mempengaruhi tekstur produk,
24
kapasitas pengikatan air (water holding capacity) yang lebih rendah sehingga dapat memperbaiki tekstur, penampakan dan mouthfeel produk panggang yang dihasilkan (Sajilata et al 2006). Kadar RS3 dalam suatu bahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu (1) rasio amilosa : amilopektin pada pati, amilosa yang lebih tinggi dapat meningkatkan kadar RS3, (2) rasio pati : air (b/v) dalam pembuatan RS3, (3) proses pemanasan akan meningkatkan kadar RS yang dihasilkan, (4) banyaknya siklus pada proses modifikasi, dan (5) proses autoclaving (Sajilata et al 2006). Menurut Lehmann et al (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan RS3 yaitu suhu pengolahan, konsentrasi pati, kondisi penyimpanan dan adanya lipid atau substitusi bermolekul rendah seperti gula. Rasio pati : air (b/v) sangat mempengaruhi proses ekspansi matriks pati dan gelatinisasi granula (Raja dan Shindu 2000). Proses modifikasi beberapa siklus memerlukan jumlah air yang berlebih.
Jumlah air yang lebih sedikit kemungkinan kurang mengganggu
struktur heliks amilosa sehingga amilosa yang keluar dari granula tidak optimum (Sajilata et al 2006). Hal ini berakibat jumlah amilosa-amilosa dan amilosaamilopektin yang berasosiasi pada saat retrogradasi lebih sedikit sehingga kadar RS3nya pun menjadi lebih rendah. RS3 diproduksi dari pati native melalui beberapa tahap: (1) proses gelatinisasi yang dapat memecah granula pati melalui pemanasan pada suhu tinggi (autoclaving) dengan penambahan air berlebih, (2) retrogradasi yang melibatkan proses rekristalisasi amilosa secara perlahan dengan cara pendinginan. Kedua tahap tersebut dapat menghasilkan RS3 (Zabar et al 2008). Novelose 330 merupakan salah satu produk RS3 teretrogradasi (RS3) komersial yang berbahan baku pati jagung kaya amilosa terhidrolisis teretrogradasi (retrograded hydrolysis high amylose corn starches). Novelose 330 mengandung 40.4% RS3. Novelose 330 terdiri atas fraksi berbobot molekul rendah dengan panjang rantai α-1-4-D-glukan antara 10-40 satuan glukosa (glucose units) dan lebih banyak polimer berbobot molekul lebih tinggi. Produksi RS3 pada dasarnya melalui tiga tahapan proses: pemutusan cabang, gelatinisasi, dan retrogradasi pati native (alami) pada kondisi-kondisi yang dioptimalkan yaitu suhu penyimpanan dan konsentrasi pati (Jacobasch et al 2006).
25
Yoghurt Sinbiotik Salah satu jenis pangan fungsional yang akhir-akhir ini sedang berkembang yaitu pangan yang mengandung gabungan dari prebiotik dan probiotik, yang disebut sebagai pangan sinbiotik (Hamayouni et al 2008, Crittenden et al 2001). Di dalam produk pangan sinbiotik, terdapat sinergi antara prebiotik dan probiotik. Senyawa-senyawa yang terdapat di dalam prebiotik digunakan oleh probiotik sebagai sumber karbon atau sumber energi di dalam kolon. Sebagai hasilnya adalah meningkatnya jumlah probiotik yang terdapat di dalam kolon dan menurunnya bakteri patogen yang terdapat di dalam usus (Hamayouni et al 2008). Aplikasi gabungan dari probiotik dan prebiotik dalam satu produk pangan (sinbiotik) ini bermanfaat bagi inang karena mendukung ketahanan dan keberadaan mikroorganisme baik (probiotik) untuk hidup dalam saluran pencernaan (FAO 2007). Contoh produk sinbiotik yang telah ada di pasaran dalam dan luar negeri yaitu susu, yoghurt, keju, dan es krim (Nuraida 2011). Pengembangan produk sinbiotik sangat dipengaruhi oleh jenis serta jumlah probiotik dan prebiotik yang digunakan.
Disamping efektivitasnya sebagai
pangan fungsional, produk sinbiotik yang dihasilkan juga harus memenuhi parameter-parameter mutu secara fisik, kimia dan sensori. Yoghurt adalah hasil fermentasi susu menggunakan bakteri asam laktat (umumnya kombinasi bakteri L. bulgaricus dan S. thermophilus) yang mempunyai cita rasa khas karena mengandung komponen flavor seperti diasetil, asetaldehid dan karbondioksida.
Saat ini telah dikembangkan ratusan strain
bakteri lainnya dengan segala kelebihannya. Kandungan asam yoghurt cukup tinggi, sedikit atau tidak mengandung alkohol, mempunyai tekstur semi padat atau smooth, kompak serta rasa asam yang segar. Buah-buahan, perasa dan aroma oleh industri seringkali ditambahkan pada yoghurt untuk meningkatkan nilai jual. Bahan dasar pembuatan yoghurt umumnya adalah susu sapi murni atau susu skim (bentuk bubuk). Secara tradisional yoghurt dibuat dari susu yang dipanaskan hingga sebagian kandungan airnya menguap (Tamime & Robinson 2002). Untuk mendapatkan susu fermentasi yang baik diperlukan bahan dasar susu yang mempunyai zat padat sebesar 19-20%.
Jika digunakan susu segar,
kandungan zat padat susu segar sekitar 10% sehingga perlu diuapkan sebagian air
26
dalam susu atau ditambah susu bubuk sebesar 4-5% dalam bentuk skim. Zat padat dalam susu berperan untuk pembentukan tekstur dan aroma yang baik. Kandungan zat padat dalam susu yang optimal adalah sebanyak 15.5-16.0% (Tamime & Robinson 2002). Semakin banyak jumlah zat padatnya (terutama dalam bentuk zat padat bukan lemak) sampai jumlah tertentu, akan meningkatkan jumlah asamnya. Yoghurt dikelompokkan menjadi beberapa kategori, seperti berdasarkan kandungan lemak, cara pembuatan, flavor, dan proses yang dilakukan terhadap yoghurt pasca inkubasi (Tamime & Robinson 2002).
Berdasarkan kadar
lemaknya, yoghurt dibagi menjadi yoghurt berkadar lemak penuh (di atas 3%); yoghurt berkadar lemak medium (0.5-3.0%), dan yoghurt berkadar lemak rendah (0.5% atau kurang).
Ketentuan ini sudah merupakan standarisasi bagi mutu
produk yoghurt. Namun, di beberapa negara seperti Belanda dan Rusia juga terdapat yoghurt dengan kandungan lemak yang mencapai 4.5-10%. Berdasarkan cara pembuatannya, yoghurt dibagi menjadi dua jenis; yaitu set yoghurt dan stirred yoghurt. Keduanya berbeda dari segi sistem pembuatan dan struktur fisik koagulum yang terbentuk. Tipe set yoghurt adalah yoghurt yang diinkubasi dengan kultur dalam kemasan-kemasan kecil yang siap jual sehingga gel atau koagulum yang terbentuk berasal dari aktivitas kultur starter itu sendiri. Sedangkan tipe stirred yoghurt adalah yoghurt yang difermentasi dengan kultur pada wadah besar. Koagulum yang terbentuk kemudian dipecah (diaduk) agar produk mudah dialirkan ke dalam kemasan-kemasan kecil. Set yoghurt mengacu pada “acid set yoghurt”; dan stirred yoghurt mengacu pada “pudding-type yoghurt” atau “fluid-yoghurt” (Helferich & Westhoff 1980). Karakteristik produk yoghurt dapat dikelompokkan berdasarkan sifat fisik, kimia, mikrobiologi, dan organoleptik.
Karakteristik yoghurt meliputi
karakteristik fisik (pH dan viskositas), karakteristik kimia (TAT, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, dan TPT), karakteristik mikrobiologi (viabilitas BAL dan total kapang-khamir), serta karakteristik organoleptik seperti warna, aroma, tekstur (mouthfeel), konsistensi dan rasa (taste). Dalam penelitian pembuatan yoghurt sinbiotik dengan prebiotik dari tepung pisang uli modifikasi (TPUM), Saputra (2012) melaporkan bahwa mutu yogurt
27
TPUM dipengaruhi oleh jumlah substitusi TPUM yang digunakan. Peningkatan jumlah substitusi TPUM menurunkan nilai pH yogurt sinbiotik.
Semakin
meningkat substitusi TPUM meningkatkan penerimaan panelis terhadap nilai mutu yogurt. Yogurt dengan substitusi TPUM 40%, 50%, 60%, dan 70% memiliki nilai mutu overall yang masih dapat diterima. Nilai pH, TAT, dan ketahanan probiotik yogurt sinbiotik substitusi 70% TPUM dipengaruhi oleh lama penyimpanan, perlakuan pasteurisasi dan jenis probiotik yang ditambahkan (B. bifidum maupun L. plantarum BSL).