4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pisang Raja Bulu Kuning Kedudukan pisang dalam taksonomi tumbuhan menurut Suprapti (2005) adalah sebagai berikut: Kerajaan
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Scitaminae
Famili
: Musaceae
Sub Famili
: Muscoideae
Genus
: Musa
Spesies
: Musa paradisiaca
Pisang adalah nama umum yang diberikan pada tumbuhan herba raksasa berdaun besar memanjang dari keluarga Musaceae. Buah ini tersusun dalam tandan dengan kelompok-kelompok tersusun menjari yang disebut sisir. Hampir semua buah pisang memiliki kulit berwarna kuning ketika matang, meskipun ada beberapa yang berwarna jingga, merah, hijau, ungu bahkan hitam. Buah pisang sebagai bahan pangan merupakan sumber energi (karbohidrat) dan mineral, terutama kalium (DEPTAN 2006). Berdasarkan cara makannya, pisang dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu pisang meja (banana) yang dapat langsung dimakan dan pisang plantain yang harus diolah terlebih dahulu. Kedua pisang tersebut berasal dari nenek moyang yang berbeda. Pisang meja (banana) turunan dari pisang liar Musa acuminata, sedangkan pisang plantain berasal dari Musa balbisiana. Kultivar yang sekarang banyak dikenal umumnya merupakan hasil persilangan antar varietas pisang nenek moyang itu, sehingga bersifat triploid dan tidak menghasilkan biji (Samson 1986). Kementrian Riset dan Teknologi mencanangkan komoditas pisang untuk dikembangkan di
Indonesia. Penetapan komoditas tersebut
berdasarkan
pertimbangan bahwa pisang merupakan komoditas berorientasi kerakyatan yang 4
5
mampu menjadi leverage factor bagi peningkatan kesejahteraan petani. Pisang sebagai produk ekspor secara segar, kualitas produk masih perlu ditingkatkan untuk memenuhi standar konsumen, agar diterima luas di pasar domestik, dan memiliki potensi di pasar dunia (Kasutjianingati dan Boer 2013). Tanaman pisang termasuk dalam golongan terna monokotil tahunan berbentuk pohon yang tersusun atas batang semu. Batang semu ini merupakan tumpukan pelepah daun yang tersusun secara rapat teratur. Percabangan tanaman bertipe simpodial dengan meristem ujung memanjang dan membentuk bunga lalu buah. Bagian bawah batang pisang menggembung berupa umbi yang disebut bonggol. Pucuk lateral (sucker) muncul dari kuncup pada bonggol yang selanjutnya tumbuh menjadi tanaman pisang. Buah pisang umumnya tidak berbiji atau bersifat partenokarpi (Ashari 2006).
Iklim panas terutama di daerah tropis ideal untuk budidaya komoditas pisang. Tanaman pisang membutuhkan matahari penuh dan peka terhadap angin kencang. Curah hujan bulanan yang dibutuhkan antara 200-220 mm. Kapasitas lapang tidak boleh di bawah 60-70% sehingga pengairan dianjurkan pada musim kemarau. Tanah yang baik adalah tanah gembur, kaya bahan organik (3%), berdrainase baik, dan pH antara 4.5-8.5 sedangkan pH optimumnya 6.0 (Ashari 2006). Menurut PKBT (2005) Pisang Raja Bulu Kuning merupakan jenis pisang dengan genom AAB. Bentuk buahnya silindris melengkung dengan warna daging buah kuning kemerahan. Umur tanam hingga panen mencapai 10-12 bulan sementara umur berbunga hingga panennya 2.5-3 bulan. Bobot tandan berkisar 10-12.5 kg, jumlah sisir/tandang 5-7 sisir, dan rata-rata jumlah buah/sisir 14-15 buah. Panjang buah dapat mencapai 12-17 cm, bobot 170-180 gram/buah dengan diameter buah ± 4.40 cm. Pisang Raja atau Pisang Raja Bulu Kuning rasanya manis, dan aromanya kuat. Keunggulan pisang raja adalah pisang ini dapat digunakan sebagai buah meja, dimana pisang dapat dimakan langsung setelah masak, maupun menjadi bahan baku produk olahan, serta sebagai buah segar, pisang raja memiliki nilai ekonomis yang tinggi terutama di pulau Jawa. Pisang raja juga cocok untuk diolah menjadi sari buah, dodol dan sale (Martiningsih 2007).
6
B. Kultur Jaringan pada Pisang Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induknya. Usaha pengembangan tanaman dengan kultur jaringan merupakan usaha perbanyakan vegetatif tanaman yang masih baru. Perbanyakan tanaman dengan kultur jaringan dilaksanakan di laboratorium yang aseptik dan steril (Hendaryono dan Wijayani 1994). Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun dan mata tunas. Bagian-bagian tersebut kemudian ditumbuhkan dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril (Dewi 2009). Teknik kultur jaringan dicirikan dengan kondisi ruang yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) serta kondisi ruang kultur
yang suhu dan
pencahayaannya terkontrol. Kultur jaringan tanaman merupakan salah satu aplikasi bioteknologi tanaman dimana budidaya tanaman dikerjakan secara in vitro (dalam wadah tertutup atau dalam botol). Kultur jaringan dalam bahasa asing disebut
sebagai
tissue
culture,
weefsel
cultures
atau
gewebe
culture
(Gunawan 2005). Perbanyakan kultur jaringan pisang dengan bonggol (mini bit) merupakan perbanyakan pisang yang didapatkan dari anakan yang telah dipisahkan dari rumpun kemudian diinduksi lebih dahulu untuk menghasilkan tunas aksilar (tunas samping). Titik tumbuh anakan dipotong untuk menghilangkan dominasi apikal sehingga merangsang pertumbuhan mata tunas samping. Anakan ini kemudian disebut bonggol yang akan ditanam hingga tumbuh tunas di permukaannya. Tunas-tunas baru hasil cacahan bonggol akan dipisahkan dan dipindahkan pada polybag dengan media tanam yang kemudian diletakkan di bawah naungan hingga siap dipasarkan (Santoso 2008).
7
Yusnita et al. (1996) melakukan penelitian terhadap pisang Ambon Kuning dan mendapatkan hasil bahwa kultur terbaik diperoleh dari media MS yang diperkaya dengan 2 ppm BA. Induksi multiplikasi tunas dan peningkatan konsentrasi BA dalam media dari 1-5 ppm menghasilkan jumlah tunas yang banyak, tetapi hal itu diikuti dengan pengurangan panjang tunas. Hasrini (2002) menyatakan bahwa pembentukan tunas pada pisang Abaca terjadi dengan baik pada media MS cair yang diperkaya dengan BAP 5 ppm. Salah satu aspek yang berpengaruh terhadap keberhasilan perbanyakan tanaman adalah keseimbangan ZPT yang terkandung dalam media. Keseimbangan zat pengatur tumbuh yang terkandung dalam media menentukan arah suatu kultur. Empat kelas ZPT penting dalam kultur jaringan tanaman adalah auksin, sitokinin, giberelin dan asam absisat (Moore 2007). C. Zat Pengatur Tumbuh pada Kultur Jaringan Zat Pengatur Tumbuh adalah senyawa organik bukan hara tetapi dapat merubah proses fisiologis tumbuhan. Seringkali pemasokan zat pengatur tumbuh secara alami berada di bawah optimal dan dibutuhkan sumber dari luar untuk menghasilkan respon yang dikehendaki. Penggunaan tidak boleh sembarangan karena penggunaan zat tumbuh eksternal yang berlebihan justru dapat menghambat pertumbuhan (Leovici et al. 2014) Menurut Santoso dan Nursandi (2002) bahwa ZPT pada kultur jaringan tanaman adalah senyawa organik bukan hara yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan. ZPT sangat diperlukan sebagai komponen medium pertumbuhan dan diferensiasi. Tanpa ZPT dalam medium, pertumbuhan eksplan akan terhambat atau bahkan tidak tumbuh. Pertumbuhan dan morfogenesis eksplan dalam kultur in vitro diatur oleh interaksi dan keseimbangan ZPT pada media dengan hormon endogen yang terdapat dalam eksplan (George dan Sherrington 1984). Menurut Gunawan (2007) penambahan ZPT eksogen akan mengubah level ZPT endogen sel. Perimbangan ZPT auksin dan sitokinin yang sesuai akan sangat berpengaruh dalam menghasilkan plantlet.
8
Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemakaian ZPT yaitu kedewasaan atau kesiapan tanaman dalam menerima ZPT, keadaan lingkungan saat pemberian ZPT dan pemberian dosis ZPT. Penggunaan dosis yang tepat sangat penting, bila penggunaannya terlalu rendah maka pengaruh zat tumbuh tersebut tidak ada. Sebaliknya jika berlebih, pertumbuhan tanaman akan terhambat (Munar et al. 2011). ZPT efektif pada konsentrasi tertentu. Konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan kerusakan tanaman karena pembelahan sel dan kalus akan berlebihan sehingga menghambat tumbuhnya bunga serta akar. Bila konsentrasi yang digunakan dibawah optimum maka ZPT tidak akan efektif dalam merangsang pembelahan sel dan pertumbuhan kalus (Khair et al. 2013). Sitokinin dan auksin adalah ZPT yang sering digunakan dalam kultur jaringan. Sitokinin berperan dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Aktivitas utama sitokinin adalah mendorong pembelahan sel, menginduksi pembentukan tunas adventif dan dalam konsentrasi tinggi menghambat inisiasi akar. Sitokinin juga menghambat perombakan protein dan klorofil dan menghambat penuaan (senescence). (Rainiyati et at. 2007). Sitokinin adalah salah satu zat pengatur tumbuh yang ditemukan pada tanaman. Sitokinin berfungsi untuk memacu pembelahan sel dan pembentukan organ. Salah satu jenisnya adalah BAP (6-benzylaminopurine) (Parnata 2004). ZPT golongan sitokinin antara lain BA (benzil adenin), kinetin (furfuril amino purin), 2-IP (dimethyl allyl amino purin), dan zeatin. Penggunaan ZPT dalam kultur jaringan tergantung pada arah pertumbuhan jaringan tanaman yang diinginkan. Pembentukan tunas pada umumnya digunakan sitokinin sedangkan untuk
pembentukan
akar
atau
pembentukan
kalus
digunakan
auksin
(Lestari 2011). D. Pemanfaatan Benzile Amino Purine (BAP) dalam Multiplikasi Menurut Harjadi
(2009), pembentukan tunas
pada tanaman dapat
ditingkatkan dengan menggunakan ZPT. Sitokinin berperan dalam meningkatkan pembelahan sel dan fungsi pengaturan pertumbuhan, serta perkembangan mata
9
tunas dan pucuk. Salah satu jenis sitokinin yang banyak dimanfaatkan untuk multiplikasi eksplan pada kultur jaringan adalah Benzylaminopurine (BAP). George & Sherrington (1984) menyatakan bahwa 6-Benzilaminopurine (BAP) merupakan salah satu sitokinin sintetik yang aktif dan daya merangsangnya lebih lama karena tidak mudah dirombak oleh enzim dalam tanaman. Menurut Noggle dan Fritz (1983) BAP memiliki struktur yang mirip dengan kinetin dan juga aktif dalam pertumbuhan dan proliferasi kalus, sehingga BAP merupakan sitokinin yang paling aktif. Konsentrasi BAP yang optimal untuk memacu pertumbuhan tanaman bervariasi dan tergantung pada jenis tanaman. Banyak jumlah tunas yang terbentuk karena tercapainya antara zat pengatur tumbuh eksogen dengan eksplan untuk merangsang pemunculan tunas-tunas baru, karena untuk menghasilkan tunas dalam jumlah banyak eksplan yang dikulturkan juga berasal dari tunas sehingga eksplan yang digunakan lebih aktif merespon zat pengatur tumbuh. (Fathurrahman et al. 2009). Sitokinin atau campuran sitokinin dengan auksin rendah dalam multiplikasi dipakai untuk menumbuhkan dan menggandakan tunas aksilar atau merangsang tumbuhnya tunas-tunas adventif. BAP sering digunakan karena efektifitasnya tinggi, harganya murah, dan bisa disterilisasi. BAP dalam konsentrasi 1-20 μm dapat menginduksi morfogenesis dan bila konsentrasi ditingkatkan menjadi 20-50 μm dapat meningkatkan kecepatan multiplikasi tunas (Franklin dan Dixon 1993). E. Pelukaan Pelukaan merupakan teknik yang telah lama dilakukan para pemulia tanaman. Tujuan melukai adalah untuk mempercepat pembuahan. Pelukaan menyebabkan pengangkutan zat-zat makanan terutama hasil fotosintesisi ke bagian akar akan terganggu. Akibatnya terjadi pemusatan zat-zat makanan ke cabang-cabang dan dedaunan diikuti dengan proses pembungaan dan akhirnya pembuahan (Anonim 2014). Pelukaan pada batang dapat menyebabkan aliran fotosintat dari daun ke bagian tanaman lain akan terhambat. Fotosintat yang tidak dapat dialirkan tersebut secara tidak lansung kemudian dimanfaatkan oleh tanaman untuk memproduksi 9
10
bunga. Pelukaan pada batang sebatas dilakukan pada jaringan kulit (floem). Bila pelukaan dilakukan hingga jaringan terdalam (xilem) maka batang tanaman akan penuh dengan luka sehingga sulit untuk disembuhkan dan justru mengakibatkan kematian tanaman tersebut (Anonim 2013). Pelukaan pada eksplan diberikan untukmeningkatkan
peluang
mendapatkan
pemunculan
kalus
tumbuh
(Marlina 2009). Menurut Widhityarini et al. (2011) bahwa pelukaan pada benih tanjung (Mimusops elengi L.) memberikan efek kurang baik terhadap benih, sebab benih yang dilukai umumnya memiliki kecacatan tersendiri selama pertumbuhannya. Kecacatan ini dapat berupa calon bakal daun yang tidak utuh karena pelukaan benih terlalu dalam ataupun efeknya setelah benih dilukai seperti bakal daun sedikit keriting, kerdil, akar tidak tumbuh sempurna, berjamur bahkan menjadi busuk. Hal ini dapat disebabkan karena pada benih yang dilukai, terdapat celah yang mana larutan kimia dapat langsung menuju endosperm benih.