TINJAUAN PUSTAKA
Biologi dan Ekologi Tikus Sawah Rattus rattus argentiventer Rob & Kloss
Tikus merupakan salah satu hama utama pada kegiatan pertanian. Kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan hama tikus ini dapat terjadi mulai dari lapangan sampai ke tempat penyimpanan. Selain itu, tikus sering membawa berbagai macam patogen yang dapat ditularkan kepada manusia, yaitu diantaranya Yersiniosis, Leptospirosis, Salmonellosis dan Lymphochytis choriomeningitis (Meehan, 1984). Tikus cenderung untuk memilih biji-bijian (serealia) seperti : padi, jagung, dan gandum. Kebutuhan pakan bagi seekor tikus setiap harinya kurang lebih 10% dari bobot tubuhya jika pakan tersebut berupa pakan kering. Hal ini dapat pula ditingkatkan sampai 15% dari bobot tubuhnya jika pakan yang dikonsumsi berupa pakan basah. Kebutuhan minum seekor tikus setiap harinya kira-kira 15 - 30 ml air (Priyambodo, 1995). Bagian punggung tikus sawah berwarna cokelat muda bercak hitam, perut dan dada berwarna putih, panjang kepala dengan badan 130-210 mm, panjang ekor 120-200 mm dan tungkai 34-43 mm. Jumlah puting susu betina 12 buah, 3 pasang di dada dan 3 pasang diperut. Kepadatan populasi tikus berkaitan dengan fase pertumbuhan tanaman padi (Departemen Pertanian Jakarta, 2006a). Rattus rattus argentiventer mencapai umur dewasa sangat cepat, masa kebuntingannya sangat pendek dan berulang-ulang dengan jumlah anak yang banyak pada setiap kebuntingan. Masa umur Rattus rattus argentiventer pada saat
dewasa adalah 68 hari, dan bagi betina masa bunting selama 20-22 hari (Liem, 1979). Tikus termasuk binatang nokturnal, keluar dari
sarangnya aktif pada
malam hari untuk mencari makan. Untuk itu diperlukan suatu kemampuan yang khusus agar bebas mencari makanan dan menyelamatkan diri dari predator (pemangsa) pada suasana gelap (Ambarwati & Sagala, 2006). Tikus mempunyai daya cium yang tajam, sebelum aktif atau keluar sarangnya ia akan mencium-cium dengan menggerakkan kepala kekiri dan kekanan. Mengeluarkan jejak bau selama orientasi sekitar sarangnya sebelum meninggalkannya. Urin dan sekresi genital yang memberikan jejak bau yang selanjutnya akan dideteksi dan diikuti oleh tikus lainnya. Bau penting untuk tikus karena dari bau ini dapat membedakan antara tikus sefamili atau tikus asing. Bau juga memberikan tanda akan bahaya yang telah dialami. Selain itu tikus sangat sensitif terhadap suara yang mendadak. Disamping itu tikus dapat mendengar suara ultra. Sedangkan mata tikus khusus untuk melihat pada malam hari. Tikus dapat mendeteksi gerakan pada jarak lebih dari 10 meter dan dapat membedakan antara pola benda yang sederhana dengan obyek yang ukurannya berbeda-beda. Mampu melakukan persepsi/perkiraan pada jarak lebih 1 meter, perkiraan yang tepat ini sebagai usaha untuk meloncat bila diperlukan (Kompas, 2001). Habitat tikus umumnya di permukaan tanah, persawahan, padang rumput, perkebunan dan semak belukar. Daerah penyebarannya di kawasan Asia, meliputi Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Filipina, dan termasuk Papua Nugini (Anita, 2003).
Luas wilayah dan jarak jelajah tikus dipengaruhi jumlah sumber pakan dan populasi tikus. Bila sumber pakan berlimpah (fase generatif tanaman), maka jelajah hariannya pendek (50-125 m) dan bila sumber pakan tikus sedikit (fase pengolahan tanah sampai dengan akhir vegetatif), jelajah hariannya panjang dapat mencapai (100-200 m). Dapat disimpulkan bahwa tikus akan terus melakukan migrasi untuk dapat memperoleh pakan yang sebanyak-banyaknya. Migrasi tikus dapat mencapai 1-2 km (Departemen Pertanian Jakarta, 2006b).
Gambar 1. Siklus Hidup Tikus (Sumber : http://www.depkes.go.id/downloads/Pengendalian%20Tikus.pdf)
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Populasi Tikus Sawah
Populasi tikus akan cepat meningkat jika masa panen mengalami perpanjangan karena tidak serentaknya waktu tanam atau umur varietas yang ditanam tidak sama. Selain itu banyaknya gulma dipematang sawah dapat menjadi tempat berlindung tikus untuk bersembunyi (Harahap & Tjahjono, 2003). Faktor abiotik yang penting dalam mempengaruhi dinamika populasi tikus adalah air untuk minum dan sarang. Adapun cuaca mempengaruhi populasi tikus secara tidak langsung yaitu mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tumbuh-tumbuhan serta hewan kecil (invertebrata) yang menjadi sumber pakan bagi tikus (Priyambodo, 1995). Faktor biotik yang penting dalam mengatur populasi tikus antara lain : 1. Tumbuhan atau hewan kecil sebagai sumber pakan. 2. Predator (pemangsa) dari golongan reptilia, aves dan mamalia. 3. Patogen (penyebab penyakit) dari golongan virus, bakteri, cendawan, nematoda dan lain-lain. 4. Tikus lain sebagai kompetitor pada saat populasi tinggi. 5. Manusia yang merupakan musuh utama tikus. (Priyambodo, 1995). Pada saat persemaian populasi tikus masih tidak terlalu tinggi, tetapi pada fase tanaman tua populasi tikus sudah mulai meningkat sampai pada fase pematangan bulir populasi tikus bahkan semakin meningkat kondisi ini dikarenakan nutrisi tanaman sesuai untuk kebutuhan reproduksi tikus yang
mengalami musim kawin dan berkembang biak demikian juga pada fase pematangan bulir (Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan 1994). Perkembangan tikus dipengaruhi oleh keadaan lingkungan terutama ketersediannya bahan makanan pada suatu daerah pertanaman padi dengan pola tanam yang tidak teratur sehingga selalu terpenuhinya bahan makanan bagi tikus sehingga populasi tikus meningkat. Dengan mengikuti pola tanam yang serentak memungkinkan populasi tikus akan menurun (Triharso, 1996). Gejala Serangan Tikus Sawah Rattus rattus argentiventer Rob & Kloss Seluruh bagian tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan dapat dirusak oleh tikus. Walaupun demikian, tikus paling senang memakan bagian malai atau bulir tanaman padi pada stadia generatif. Pada stadia persemaian , tikus mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetatif, tikus memotong bagian pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Adapun pada stadia generatif, tikus memotong pangkal batang untuk memakan bagian malai atau bulirnya (Priyambodo, 1995). Tikus dapat menyerang tanaman padi pada berbagai fase tanaman padi. Pada fase vegetative, tikus akan memutuskan batang padi sehingga tampak berserakan, tikus akan menggigit lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk makan. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus bersifat khas, yaitu ditengah- tengah petakan sawah tampak gundul, sedangkan bagian tepi biasanya tidak diserang. Mereka juga menyerang bedengan persemaian dengan memakan benih- benih
yang disebar atau mencabut tanaman-tanaman yang baru tumbuh
(Harahap &
Tjahjono 2003). Padi yang terserang tikus dari jauh terlihat menguning tetapi kuningnya tidak sama dengan kondisi padi yang siap panen. Dari dekat hanya terlihat kulit padi sedangkan isinya sudah habis, selain itu banyak batang padi yang tumbang akibat dikerat (Edy, 2003). Pengendalian Tikus Sawah Rattus rattus argentiventer Rob & Kloss Didalam pengendalian tikus ada beberapa metode atau cara yang dapat dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, secara garis besar pengendalian tikus dapat dikelompokkan kedalam empat kelompok yaitu : Pengendalian secara kultur teknis dengan membuat lingkungan yang tidak menguntungkan atau tidak mendukung bagi kehidupan dan perkembangan populasi tikus. Dengan cara pengaturan pola tanam, pengaturan waktu tanam, pengaturan jarak tanam (Priyambodo,1995). Metode pengendalian yang lain dapat berupa pengendalain secara fisik dan mekanis salah satunya dengan membunuh tikus dengan bantuan alat seperti senapan angin dan perangkap. Perangkap tikus merupakan metode pengendalian yang paling tua tetapi tidak banyak diteliti oleh para ahli karena dianggap kurang ilmiah (Priyambodo, 1995). Secara biologi pengendalian dilakukan dengan pemanfaatan musuh alami seperti
:
kucing,
anjing,
ular
(Departemen Pertanian Jakarta, 2006a).
sawah,
elang,
dan
burung
hantu
Protozoa Sarcocystis singaporensis S. singaporensis (Apicomplexa : Sarcocystidae) merupakan parasit obligat yang memerlukan 2 inang untuk melangsungkan siklus hidupnya, yaitu ular piton (Phyton reticulatus) sebagai inang utama dan tikus (genus Rattus dan Bandicota) sebagai inang perantara (Jaekel et al, 1996). S. singaporensis merupakan parasit tikus yang potensial untuk mengendalikan populasi tikus dan ramah lingkungan. Selain itu, siklus hidupnya telah teruji oleh banyak peneliti mampu beradaptasi terhadap kondisi laboratorium (Jaekel et al, 1999). Protozoa S. singaporensis memiliki sporosit yang merupakan bahan penginfeksi dan diaplikasikan secara oral melalui mulut yang akan menginfeksi bagian perut (Khoprasert et al., 2006). S. singaporensis dapat dihasilkan dalam jumlah yang besar pada ular piton. Dalam satu siklus infeksi, ular piton biasanya dapat menghasilkan sporosit yang mampu membunuh 20.000–200.000 tikus. Hasil penelitian yang dilakukan di Thailand diketahui bahwa dengan pemberian dosis sporosit S. singaporensis antara 200.000–400.000 sporosit dapat mengurangi populasi tikus sawah sebesar 70–90% (Jaekel, 2006a). Tikus dapat terinfeksi protozoa S. singaporensis apabila tertelan sporanya melalui air minum yang terkontaminasi oleh kotoran tikus atau makanan berupa hewan vertebrata yang makanannya berasal dari kotoran ular. Mekanisme penginfeksian protozoa yaitu dengan melipatgandakan dirinya didalam pembuluh darah hingga membentuk kista. Kemudian berkembang sampai kejaringan otot
yang menyebabkan tikus lambat bergerak, bahkan menyebabkan sedikit pengurangan kesuburan, tetapi jika spora dikonsumsi dalam jumlah besar maka akan mengakibatkan radang paru–paru dan tingkat kematian mencapai 90% (Jaekel, 2006b). Sebagian tikus yang terinfeksi S. singaporensis akan menunjukkan gejala klinis 2-4 hari sebelum kematiannya. Gejala–gejala tersebut antara lain : nafsu makan berkurang, mata berair, sesak nafas, diare dan lesu. Apabila dilakukan pembedahan pada bagian perut dan usus maka terjadi penyumbatan dan terdapat cairan berwarna kekuningan, hati dan kandung kemihnya terlihat membengkak (ACIAR, 1998). Beberapa faktor yang mempengaruhi efikasi dari suatu patogen tergantung dari jumlah dosis yang diberikan, virulensi dari patogen (jasad renik) dan daya tahan tubuh hewan terhadap pathogen (Oka, 1995). Di Thailand penggunaan parasit S. singaporensis dilapangan dapat mengendalikan populasi tikus pada kondisi ekologi yang tidak merugikan. Dari hasil percobaan menunjukkan angka kematian yang terjadi sebesar 70-90 % dengan lama kematian antara 11-12 hari. Dengan memperhatikan kondisi tikus yang mati diketahui bahwa tikus mengalami prilaku abnormal setelah terinfeksi dengan dosis yang tinggi dari Sarcocystis spp (Jaekel et al., 2005).