BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tikus Putih (Rattus norvegicus) Spesies yang sering dipakai sebagai hewan model pada penelitian mengenai mamalia adalah Rattus norvegicus (Malole dan Pramono, 1989). Tikus putih digunakan untuk mempelajari dan memahami keadaan patologis yang kompleks misalnya pada penyakit diabetes mellitus dan hipertensi (Rapp, 1987). Rattus norvegicus memiliki beberapa keunggulan, yaitu pemeliharaan dan penanganan mudah, serta kemampuan reproduksi tinggi (Malole dan Pramono, 1989). Adapun data fisiologis tikus putih disajikan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Data fisiologis tikus putih (Wolfenshon dan Lloyd, 2013). Nilai Fisiologis
Kadar
Berat tikus dewasa
Jantan 450 - 520g Betina 250 - 300 g 5 - 10g/100g berat badan 10 ml/100 g berat badan 3 - 4 tahun 360C - 400C 250 – 450 kali / menit
Kebutuhan makan Kebutuhan minum Jangka hidup Temperatur rektal Detak Jantung Tekanan Darah Sistol Diastol Laju pernafasan Serum protein (g/dl) Albumin (g/dl) Globulin (g/dl) Glukosa (mg/dl) Nitrogen urea darah (mg/dl) Kreatinin (mg/dl) Total bilirubin (mg/dl) Kolesterol (mg/dl)
84 – 134 mmHg 60 mmHg 70 – 115 kali / menit 5.6 - 7.6 3.8 - 4.8 1.8 - 3 50 - 135 15 - 21 0.2 - 0.8 0.2 - 0.55 40 – 130
Rattus norvegicus mempunyai 3 galur, yaitu Sprague Dawley, Wistar, dan Long Evans. Galur Sprague Dawley memiliki tubuh yang ramping, kepala kecil, telinga tebal dan pendek dengan rambut halus, serta ukuran ekor lebih panjang daripada badannya. Galur
Wistar memiliki kepala yang besar dan ekor yang pendek, sedangkan galur Long Evans memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil 17 serta bulu pada kepala dan bagian tubuh depan berwarna hitam (Malole dan Pramono, 1989). Rattus norvegicus adalah hewan percobaan paling populer dalam penelitian yang berkaitan dengan pencernaan (Hofstetter et al., 2005). Hewan ini dipakai dengan pertimbangan: (1) pola makan omnivora seperti manusia (Malole dan Pramono, 1989); (2) memiliki saluran pencernaan dengan tipe monogastrik seperti manusia (Hofstetter et al., 2005); (3) kebutuhan nutrisi hampir menyamai manusia (Wolfensohn dan Lloyd, 1998); serta (4) mudah di cekok dan tidak mengalami muntah karena tikus ini tidak memiliki kantung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1989).
2.2 Deksametason Deksametason
(9a-fluoro-16a-metil-prednisolon),
tergolong
ke
dalam
obat
kortikosteroid sintetik. Kortikosteroid merupakan hormon yang secara alami diproduksi oleh bagian korteks dari kelenjar adrenal. Hormon ini terbagi menjadi dua kelompok tergantung pada zat yang dipengaruhi yakni glukokortikoid dan mineralkortikoid. Deksametason tergolong ke dalam kelompok glukokortikoid (Olson, 2004). Sebuah glukokortikoid sintetik dengan aktivitas anti-inflamasi yang kuat memiliki kemampuan untuk menstabilkan membran lisosom (Guyton dan Hall, 2000). Semua glukokortikoid memiliki kapasitas untuk mencegah atau menekan perkembangan manifestasi dari respon inflamasi apakah agen tersebut adalah radiasi, mekanik, kimia, infeksi, atau imunologi. Glukokortikoid juga muncul untuk menstabilkan membran lisosom dalam sel yang terkena dengan mencegah pelepasan kinin vasoaktif dan enzim yang merusak (Guyton dan Hall, 2000). Kerusakan membran lisosom dapat menyebabkan gangguan dan lisis selanjutnya melalui lipid peroxidative terjadi efek radikal bebas.
Inflamasi merupakan tindakan protektif yang berperan dalam melawan agen penyebab jejas sel. Inflamasi melakukan tindakan pertahanannya dengan cara melarutkan, menghancurkan, atau menetralkan agen patologis (Kumar et al., 2007). Fenomena yang terjadi
dalam
proses
inflamasi
meliputi
kerusakan
mikrovaskular,
meningkatnya
permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit menuju jaringan radang. Tanda-tanda dari proses inflamasi antara lain rubor, kalor, tumor, dolor, dan functio laesa (Tanu et al., 2002). Rubor, kalor, dan tumor pada inflamasi akut terjadi karena peningkatan aliran darah dan edema (Kumar et al., 2007). Saat berlangsungnya feomena inflamasi ini banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal seperti histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT) atau serotonin, faktor kemotaktik, bradikinin, leukotrien, dan prostaglandin (Tanu et al., 2002). Menurut Samsuri et al (2011), dosis deksametason 0,13 mg/kg secara subkutan dapat meningkatkan kadar insulin serum dan menurunkan kadar glukosa serum secara signifikan. Selain itu, obat golongan ini merupakan penyebab terjadinya stres oksidatif pada sel (Hegardt, 2003; Renner, 2002; Renner, 2003; Tome, 2004; Tonomura, 2003). 2.3 Radikal Bebas dan Antioksidan Radikal bebas adalah atom atau beberapa atom yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya sehingga bersifat sangat labil dan mudah membentuk senyawa baru. Radikal bebas yang terdapat dalam tubuh bisa berasal dari dalam (endogen) maupun dari luar tubuh (eksogen). Radikal bebas endogen merupakan radikal bebas yang terbentuk sebagai respon normal dari peristiwa biokimia di dalam tubuh secara kontinu. Peristiwa biokimia tersebut meliputi reaksi reduksi-oksidasi normal di dalam mitokondria maupun peroksisom, dan metabolisme obat-obatan (Halliwell dan Gutteridge, 1999). Radikal bebas di dalam tubuh biasanya dinetralisir oleh antioksidan endogen. Antioksidan endogen utama pada sel-sel tubuh adalah enzim superoksida dismutase (SOD).
Enzim ini bekerja spesifik untuk mengeliminasi radikal bebas anion superoksida (Carroll et al., 2007).
Antioksidan yaitu senyawa atau bahan bioaktif yang dapat berfungsi untuk
mencegah, menurunkan reaksi oksidasi, memutus, menghambat, menghentikan dan menstabilisasi radikal bebas (Margail, 2005). Antioksidan dibedakan atas antioksidan endogen dan antioksidan eksogen. Antioksidan endogen umumnya berbentuk enzim, contohnya superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase, dan glutation reduktase. Antioksidan eksogen contohnya askorbat, tokoferol, dan karoten (Nayak, 2001). Jumlah radikal bebas berpengaruh terhadap kerja antioksidan endogen. Jumlah radikal bebas yang sedikit akan meringankan kerja antioksidan endogen, sehingga antioksidan tersebut bisa dipertahankan di dalam sel. Namun jika radikal bebas terlalu banyak, antioksidan endogen tidak akan mampu menetralisirnya. Kekurangan antioksidan menyebabkan stres oksidatif yang berujung pada kerusakan sel dan menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit degeneratif (penuaan dini, kanker, dan lain-lain) (Evans et al., 2004).
2.4 Vitamin E Vitamin merupakan subtansi esensial untuk proses metabolisme normal dalam tubuh. Vitamin E adalah salah satu vitamin yang larut dalam lemak dan berfungsi sebagai antioksidan (Brigelius-Flohe, 1999). Vitamin E sebagai antioksidan yang baik mampu memerangi radikal bebas seperti contohnya stres oksidatif yang dialami sel sehingga efektif dalam menjaga integritas lipid dan membran fosfolipid (Sokol, 1996). Secara stuktur kimiawi vitamin E memikiki empat tokoferol (, , , ) dan empat tokotrienol (, , , ) (BrigeliusFlohe, 1999). Vitamin E diserap secara difusi pasif selanjutnya di dalam dinding usus digabungkan dengan kilomikron (lipoprotein) di usus yang kemudian diserap sistem limfatik. Dari sistem ini vitamin E kemudian ditransportasikan ke hati. Hati akan memasangkan
vitamin E ini dengan very low-density lipoprotein (VLDL) dan dipecah oleh lipoprotein lipase menghasilkan low-density lipoprotein (LDL). Lipoprotein densitas rendah (LDL) secara bebas bertukaran vitamin E dengan high density lipoprotein (HDL) yang kemudian bersama-sama di sirkulasi mendistribusikan vitamin E ke dalam jaringan (Papas, 2008).
2.5 Usus Halus Usus halus merupakan bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus halus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat nutrisi menuju hati melalui vena porta. Dinding usus halus melepaskan lendir yang melumasi isi usus dan air yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna. Dinding usus halus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang membantu proses pencernaan (Guyton et al., 2002). Usus halus
terdiri atas beberapa lapisan, yaitu lapisan mukosa, lapisan otot
melingkar, lapisan otot memanjang, dan lapisan serosa (David et al., 2006). Usus halus memiliki lipatan mukosa yang disebut vili. Vili usus halus memiliki tinggi 0.5-1.5 mm, terbentuk di permukaan mukosa. Vili tersusun atas kumpulan sel epitel silindris sebaris yang berjejer dan jaringan ikat longgar lamina propria. Sel epitel memiliki mikrovili di permukaannya dengan panjang 1 μm dan diameter 0.1 μm. Mikrovili berfungsi untuk menyerap nutrisi (Jonqueira dan Carneiro, 2005). Kerusakan mikrovili dan atropi vili usus halus dapat mengganggu penyerapan nutrisi (malabsorbtion syndrome). Di bagian bawah vili, terdapat kripta dan kelenjar Liberkun yang terdiri atas stem sel, sel goblet, sel Panet, dan enteroendokrin sel (Jonqueira dan Carneiro, 2005; Samuelson, 2007). Usus halus tikus terdiri atas duodenum, jejunum, dan ileum. Pada bagian mukosa terdapat vili, kripta, dan kelenjar Liberkun. Di permukaan vili usus halus terdapat sel epitel
silindris sebaris. Selain itu, terdapat juga sel goblet penghasil mukus dan sel Panet penghasil lisozim. Jumlah kelenjar Liberkun pada usus halus tikus relatif konstan, baik pada duodenum, jejunum maupun ileum, sedangkan jumlah vili menurun dari duodenum sampai ke ileum. Pada bagian submukosa duodenum terdapat kelenjar Brunner yang berfungsi menghasilkan mukus dan bikarbonat, namun kelenjar ini hanya terdapat pada bagian proksimal dari duodenum tikus (Clarke, 1970). Proses penyerapan makanan pada tikus dan manusia terjadi di bagian jejunum dan ileum dari usus halus. Penyerapan dilakukan oleh mikrovili sel epitel. Penyerapan glukosa, asam amino, dan asam lemak terutama terjadi di bagian jejunum (DeSesso dan Jacobson, 2001). Usus halus dianggap sebagai organ pengabsorbsi obat oral, akan tetapi usus halus juga memiliki kemampuan untuk metabolisme obat dari beberapa jalur pemberian obat seperti injeksi secara subkutan (Renwick dan George, 1989; Ilett et al., 1990; Krishna dan Klotz, 1994). Hampir semua enzim metabolisme obat yang ada di hati ditemukan pula di usus halus, akan tetapi kadar enzim umumnya jauh lebih rendah di usus halus dari pada di hati (Lin et al., 1999). Secara anatomis, usus halus memiliki hubungan langsung dengan hati. Dengan demikian, jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik dapat dikurangi dengan baik oleh usus dan setelah metabolisme di hati. Meskipun secara luas diyakini bahwa hati adalah tempat utama dari metabolisme lintas pertama, studi terbaru telah menunjukkan bahwa usus halus memberikan peran yang signifikan terhadap jalan pertama metabolisme keseluruhan banyak obat. Dalam beberapa kasus, bahwa peran metabolisme usus secara kuantitatif lebih besar dari metabolisme hepatik (Wu et al., 1995; Paine et al., 1996; Holtbecker et al., 1996; Fromm et al., 1996).
2.6 Kerangka Konsep
Modifikasi preparat kortikosteroid telah menghasilkan suatu sintesa baru dari preparat ini sehingga kortikosteroid tidak lagi dianggap sebagai obat baru (Indranarum dan Marowardoyo, 2003). Salah satu jenis kortikosteroid sintetik adalah deksametason. Deksametason merupakan salah satu kortikosteroid sintetis yang ampuh. Deksametason mempunyai potensi anti inflamasi yang sangat kuat, harganya yang murah dan mudah didapat mengakibatkan deksametason masih menjadi obat andalan untuk terapi inflamasi (Samsuri et al., 2011). Efek samping penggunaan deksametason tersebar luas di beberapa organ. Pada studi sebelumnya, dilaporkan bahwa pemberian deksametason pada tikus menyebabkan kerusakan yang serius pada beberapa organ misalnya pada pankreas, hati, ginjal, dan lambung (Ranta et al., 2006; Kusumaadhi, 2010; Ridho, 2010; Sativani, 2010). Dilaporkan juga bahwa pemberian deksametason pada hewan coba tikus yang dikombinasi dengan pemberian vitamin E dapat mengurangi efek samping dari deksametason di beberapa organ seperti pankreas dan ginjal (Dharma, 2014 dan Insani, 2014). Vitamin E merupakan vitamin yang larut dalam lemak dan memiliki fungsi antioksidan yang tinggi (Brigelius-Flohe, 1999). Antioksidan adalah senyawa yang dapat mencegah proses oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas, salah satunya efek samping pemberian deksametason. Belum ada penelitian mengenai efek samping pemberian deksametason yang dikombinasikan dengan vitamin E terhadap kerusakan usus halus. Dimana usus halus dianggap sebagai organ serap pada penyerapan obat oral, akan tetapi usus halus juga memiliki kemampuan untuk metabolisme obat dari beberapa jalur pemberian obat seperti injeksi secara subkutan (Renwick dan George, 1989; Ilett et al., 1990; Krishna dan Klotz, 1994). Berbagai faktor dapat berpengaruh terhadap suatu perlakuan diantaranya faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar seperti pakan, minum dan kandang telah diseragamkan,
sedangkan faktor dalam seperti strain , umur, dan berat badan tikus juga dikendalikan. Hubungan antara variabel tersebut tersaji pada Gambar 1.1.
Tikus putih Variabel Terkendali - Tikus Seragam - Umur - Berat Badan - Jenis Kelamin
1. Deksametason 2. Deksametason dan Vitamin E
Gambaran Histopatologi Kerusakan dan Perbaikan Usus Halus
Gambar 1.1. Kerangka Konsep 2.7 Hipotesis Berdasarkan kerangka konsep diatas dapat disusun hipotesis bahwa pemberian vitamin E dapat mengurangi efek samping deksametason secara histopatologi pada usus halus.