9
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ekologi Situ Air merupakan bagian terbesar dari planet bumi karena jumlahnya yang
melimpah. Sebagian besar air di dunia (99%) berupa air asin di laut dan hanya sebagian kecil yang merupakan air tawar yang ada dalam bentuk es, salju, dan gletzer (Reid 1961). Selain itu, sisanya adalah berupa air tanah, air danau, dan air sungai. Hanya sebagian kecil saja dari jumlah air yang terdapat di bumi yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh manusia. Perairan laut Indonesia membentang seluas 5,8 juta km2, menutupi hampir 70% dari sekitar 7,8 juta km2 wilayah Indonesia. Lautan tropis tersebut bersentuhan dengan 17.480 pulau besar dan kecil yang membentuk bibir pantai sepanjang 95.186 km (Mulyana & Dermawan 2008). Indonesia memiliki 6% dari persediaan air dunia atau sekitar 21% dari persedian air Asia Pasifik, namun kenyataannya selalu terjadi kelangkaan dan kesulitan air di berbagai daerah di Indonesia dari tahun ke tahun. Konsumsi air cenderung naik secara eksponensial, sedangkan ketersediaan air bersih cenderung berkurang akibat kerusakan dan pencemaran lingkungan yang diperkirakan sebesar 15-35% per kapita per tahun (KLH 2010). Penurunan kuantitas air lebih banyak disebabkan oleh rusaknya daerah tangkapan air. Hal ini menyebabkan air tidak dapat meresap ke tanah sehingga terjadi banjir pada musim hujan dan persediaan air menjadi berkurang pada musim kemarau. Selain itu, penurunan kualitas air juga terjadi yang disebabkan oleh pencemaran berbagai limbah industri, rumah tangga, atau pertanian. Air adalah kebutuhan pokok bagi kelangsungan kehidupan dan merupakan bagian terbesar dari tubuh makhluk hidup. Selain fungsi biologis, air juga memiliki berbagai manfaat lain, khususnya bagi manusia. Sumberdaya air bagi manusia dapat dipandang dari beberapa sisi manfaat, yaitu (a) sebagai tempat, terutama untuk perjalanan/perhubungan, (b) sebagai bahan untuk keperluan hidup dan berbagai usaha, dan (c) sebagai substratum untuk kehidupan flora dan fauna perairan (Soerianegara 1977). Meskipun air mampu mendatangkan manfaat, air juga dapat memberikan dampak perusak, seperti terjadinya banjir bandang yang
10
disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi. Banjir terjadi ketika volume genangan air meningkat sehingga debit alirannya meningkat, sedangkan daerah resapan atau penampung air seperti waduk dan situ tidak memadai, belum lagi sistem drainase yang tidak berfungsi dengan baik. Perairan tawar menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi jika dibandingkan dengan perairan asin/laut dan daratan, namun kepentingan keberadaannya bagi manusia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan luasan maupun jumlahnya (Odum 1994). Hal tersebut didasari oleh alasan bahwa perairan tawar merupakan sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan manusia. Ekosistem air tawar juga menawarkan sistem pembuangan yang paling mudah dan murah. Kesalahan dalam penggunaan sumberdaya ini dapat memperpendek umur pemanfaatan sumberdaya dan menambah upaya yang harus dilakukan untuk memperbaikinya. Situ sebagai salah satu bentuk perairan tawar yang bersifat tergenang atau tenang, biasa disebut dengan habitat lentik, memiliki peranan yang cukup besar di dalam ekosistem daratan. Situ adalah sebutan yang umum digunakan oleh masyarakat di Jawa Barat untuk menggambarkan danau berukuran kecil. Di Jawa Barat, perairan situ memiliki ukuran dan kedalaman yang bervariasi yakni luas mulai dari 1 sampai 160 hektar dan kedalaman berkisar antara 1 sampai 10 meter (Sulastri 2003). Fungsi ekologis situ diantaranya ialah: 1. Habitat bagi berbagai jenis hewan dan tumbuhan Situ merupakan tempat hidup, berlindung, mencari makan, dan berkembang biak bagi berbagai jenis tumbuhan dan hewan, bahkan beberapa adalah jenis endemik pada daerah tersebut. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa situ adalah sebagai salah satu sumber keanekaragaman hayati di bumi. 2. Pengatur fungsi hidrologis Keberadaan situ juga sangat erat kaitannya dengan siklus hidrologis di bumi. Situ dapat menampung air hujan dan limpasan air permukaan sehingga banjir dan intrusi air laut dapat dicegah. Air situ bahkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber air cadangan ketika musim kemarau.
11
3. Penjaga sistem dan berbagai proses alami. Keberadaan situ juga dapat mempertahankan pasokan air tanah di areal sekitarnya. Kelangsungan berbagai proses alami seperti siklus geomorfologi maupun biogeokimia di alam dapat terjaga oleh keberadaan situ. 4. Penjaga keseimbangan iklim mikro Udara di sekitar situ akan terasa lebih nyaman dan sejuk ketika musim kemarau dan cuaca panas. Hal ini disebabkan oleh penguapan air situ sehingga kelembapan udara meningkat. Situ dapat digolongkan ke dalam kelompok lahan basah daratan atau air tawar yang terbentuk secara alami maupun buatan (Pramudianto 1994, Sulastri 2003). Hasil Konvensi Ramsar menyatakan bahwa lahan basah adalah daerahdaerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan alami maupun buatan, tetap maupun sementara, perairan tergenang maupun mengalir yang airnya tawar, payau, atau asin, termasuk di dalamnya wilayah perairan laut yang kedalamannya pada waktu air surut tidak lebih dari enam meter (Millenium Ecosystem Assessment 2005). Lahan basah dijadikan oleh masyarakat di beberapa daerah sebagai tempat untuk menggantungkan kebutuhan hidupnya. seperti situ yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memancing ikan atau mengairi lahan pertanian. Manfaat yang dapat diperoleh oleh manusia selain dari manfaat ekologis keberadaan situ meliputi manfaat ekonomi, manfaat pariwisata atau estetika, dan manfaat ilmiah. Situ adalah sumber penghasil berbagai jenis sumberdaya alam bernilai ekonomis, seperti ikan, udang, dan kerang. Keindahan situ adalah potensi bagi bidang pariwisata. Pengembangan situ sebagai kawasan wisata menyebabkan situ menjadi terpelihara sehingga fungsi ekologisnya pun dapat terjaga. Selain itu, hal tersebut dapat mendatangkan keuntungan secara ekonomi kepada masyarakat. Keanekaragaman plasma nutfah yang terkandung di dalam kawasan situ merupakan objek penelitian yang selalu menarik perhatian kaum peneliti sehingga situ dikatakan memiliki manfaat dalam bidang ilmiah atau ilmu pengetahuan.
12
2.2. Situ Sawangan-Bojongsari di Kota Depok Situ Sawangan-Bojongsari adalah salah satu dari 26 situ yang terdapat di Kota Depok (BLH Kota Depok 2011). Situ ini terletak di dua wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Bojongsari. Situ SawanganBojongsari merupakan situ alami dan dikenal juga dengan nama situ tujuh muara (teluk). Situ ini termasuk dalam lingkup administratif DAS Angke yang masingmasing muaranya terletak di dukuh/desa yang berbeda (Purnama 2008). Situ Sawangan-Bojongsari memiliki luas perairan + 28,25 ha dan kedalaman rata-rata 3-4 m (BLH Kota Depok 2011). Fakhruddin (1989) menyebutkan Situ SawanganBojongsari berada pada ketinggian 70 m dari permukaan air laut, dengan luas permukaan air tertinggi 29,74 ha, kedalaman maksimum 8 m, volume air rata-rata 1,43 x 106 m3, fluktuasi permukaan air situ antara musim kemarau dengan musim penghujan kurang lebih 1,2 m, dan hydraulic retention time sebesar 27 hari. Penelitian oleh Effendi et al. (1996) memberikan informasi bahwa indeks kualitas air Situ Sawangan-Bojongsari menunjukkan nilai yang cukup baik. Namun, diduga saat ini kualitas perairan Situ Sawangan-Bojongsari mulai menurun. Hal ini terlihat dari berkurangnya luas perairan dan tekanan jumlah penduduk yang meningkat.
Jumlah
penduduk
Kecamatan
Sawangan
dan
Bojongsari
memperlihatkan kecenderungan peningkatan jumlah dari tahun 2006 – 2011 (BPS Kota Depok 2010, 2011). Jumlah penduduk Kecamatan Sawangan dan Bojongsari pada tahun 2010 masing-masing adalah 123.356 jiwa dan 99.768 jiwa, sedangkan pada tahun 2011 masing-masing berjumlah 128.905 jiwa dan 104.040 jiwa. Jumlah penduduk kedua wilayah tersebut juga cenderung meningkat dari tahun 2006 – 2009, yaitu ketika wilayah Sawangan dan Bojongsari masih tergabung dalam satu wilayah kecamatan. Situ Sawangan-Bojongsari berbatasan dengan pemukiman penduduk sekitar dan padang golf (Telaga Golf Sawangan). Pihak Telaga Golf Sawangan juga memiliki beberapa vila atau cottage di tepi situ dengan memanfaatkan keindahan alam Situ Sawangan-Bojongsari sebagai daya tariknya. Bangunan-bangunan tidak permanen berupa warung-warung yang menjual makanan dan minuman bagi pengunjung juga terdapat di salah satu sisi situ. Selain itu, areal perkebunan milik masyarakat juga terdapat di sekitar situ dan mendapatkan air dari situ. Keramba
13
ikan milik masyarakat sekitar dijumpai pada situ ini dan terdapat pemancingan ikan di salah satu sisi situ. Penyuburan perairan atau eutrofikasi diduga telah terjadi di Situ SawanganBojongsari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hartoto dan Lubis (1989) bahwa Situ Sawangan-Bojongsari tergolong ke dalam perairan yang subur atau eutrofik. Hal ini dibuktikan salah satunya oleh keberadaan populasi tumbuhan air kapukapu (Salvinia molesta) yang selalu tumbuh menutupi sebagian permukaan situ dalam jangka waktu yang lama. Tingkat trofik situ dapat dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat sekitar terhadap situ dari waktu ke waktu. Beberapa tumbuhan air tercatat tumbuh di perairan Situ Sawangan-Bojongsari, yaitu Eichhornia crassipes, S. molesta, Nelumbo nucifera, dan Sagittaria sp. (Kunii et al. 2000).
2.3. Kualitas Air Makhluk hidup menjaga keberlangsungan hidupnya dengan memanfaatkan unsur-unsur lingkungan hidupnya: udara untuk bernapas, air untuk minum, hewan dan tumbuhan lain untuk makanan, dan lahan untuk tempat tinggal. Unsur-unsur di dalam lingkungan hidup tersebut terintegrasi menjadi satu dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Lingkungan dikatakan sebagai sumberdaya ketika lingkungan didefinisikan sebagai pemenuh kebutuhan dasar bagi makhluk hidup. Mutu lingkungan semakin tinggi, maka derajat pemenuhan kebutuhan dasar pun semakin tinggi sehingga mutu hidup akan meningkat. Sebaliknya, jika mutu lingkungan menurun, mutu hidup pun akan ikut memburuk. Air adalah sumberdaya esensial yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup seluruh makhluk hidup yang ada di bumi, termasuk manusia. Soemarwoto (2008) mengelompokkan air ke dalam kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup hayati. Kebutuhan dasar ini bersifat mutlak. Kebutuhan makhluk hidup akan air tidak hanya menyangkut kuantitasnya, namun juga kualitas atau mutunya. Kualitas air yang baik tentunya akan memberikan daya dukung yang tinggi terhadap kehidupan. Pencemaran air merupakan bagian dari pencemaran lingkungan hidup. Pencemaran tersebut akan mengurangi pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar makhluk hidup oleh lingkungan sebagai sumberdaya.
14
Kualitas perairan berkaitan erat dengan pencemaran, sebab pencemaran dapat menyebabkan penurunan kualitas suatu perairan. Pencemaran air berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Odum (1994) menyatakan bahwa perubahan yang tidak diinginkan akibat pencemaran dapat terjadi secara fisik, kimiawi maupun biologi sehingga menimbulkan bahaya atau kerugian bagi kehidupan manusia dan jenis lainnya. Bahan pencemar sebenarnya adalah sisasisa benda yang dimanfaatkan oleh manusia yang kemudian dibuang ke lingkungannya. Peningkatan pencemaran tidak terjadi semata-mata karena penggunaan sumberdaya yang semakin meningkat, namun juga disebabkan oleh peningkatan tuntutan manusia dari waktu ke waktu. Situ sebagai salah satu bentuk perairan danau dangkal memiliki karakteristik sistem perairan tersendiri terkait dengan komponen fisik dan keseimbangan ekologinya. Ekosistem situ terdiri dari komponen-komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar sistem perairan. Berikut ini adalah beberapa sifat fisik, kimia, dan biologi air yang umum dicermati dalam pengukuran kualitas air : 1. Suhu Perubahan dan variasi suhu dalam air tidak sebesar di udara, namun dapat mempengaruhi proses fisik, kimia, dan biologi dalam air. Sejumlah besar panas dibutuhkan untuk mengubah suhu air, yaitu satu gram kalori (gkal) panas dibutuhkan untuk menaikkan suhu 1 gram air sebesar 1 derajat Celcius (Odum 1994). Meskipun begitu, suhu merupakan faktor pembatas utama bagi organisme akuatik yang memiliki toleransi sempit untuk suhu (stenothermal). Ikan jenis stenothermal berpotensi punah ketika terjadi perubahan suhu air di luar toleransi suhu yang dimilikinya, sedangkan jenis eurythermal (toleransi luas) akan lebih mampu beradaptasi terhadap kondisi suhu yang baru (Lappalainen & Lehtonen 1997). Perubahan suhu pada perairan menyebabkan pola sirkulasi yang khas dan stratifikasi yang dapat mempengaruhi kehidupan
15
akuatik. Suhu bersama ion-ion terlarut mempengaruhi berat jenis air dan kemudian mampu mengatur perilaku fisik air di perairan sehingga terbentuklah formasi lapisan yang disebut stratifikasi (Dodds 2002). Stratifikasi suhu yang stabil jarang dijumpai pada ekosistem danau dangkal seperti situ sehingga pada umumnya sering terjadi sirkulasi pada kolom air (Sulastri 2003). Faktor yang paling berpengaruh dalam hal ini adalah kedalaman perairan atau situ yang cenderung dangkal. Pada danau yang lebih dalam terjadi stratifikasi yang bersifat lebih permanen dibandingkan dengan danau dangkal. Panas akan lebih cepat merambat dari permukaan ke dasar perairan pada danau yang dangkal. Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi suhu di suatu badan air ialah musim, angin, garis lintang, absorpsi cahaya, radiasi sinar matahari, ketinggian air dari permukaan laut, dan sirkulasi udara. 2. Kecerahan Kecerahan
merupakan
pengukuran
transparansi
perairan
yang
menggambarkan penetrasi cahaya pada perairan. Cakram secchi merupakan alat sederhana namun masih sering digunakan untuk mengukur parameter kecerahan dan hasil pengukurannya disebut kecerahan cakram secchi. Beberapa faktor yang mempengaruhi nilai kecerahan yaitu padatan terlarut dan padatan tersuspensi (kekeruhan), organisme (fitoplankton), musim, dan intensitas cahaya (Reid 1961). Selain itu, nilai kecerahan juga dapat dipengaruhi oleh cuaca, warna perairan, waktu pengukuran, dan ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran nilai kecerahan dan suhu perairan adalah kombinasi sederhana yang dapat menggambarkan tingkat trofik suatu perairan (Goldman & Horne 1983). Nilai pengukuran kecerahan secchi untuk danau oligotrofik lebih besar dibandingkan pada danau eutrofik. Hasil pengukuran yang rendah tersebut didapatkan karena terjadi pertumbuhan massal (blooming) fitoplankton di dalam perairan (Reid 1961; Odum 1994). 3. Oksigen Kadar oksigen terlarut seringkali terbatas di dalam perairan tawar, berbeda dengan di lingkungan laut. Oksigen memiliki peran penting sebagai pengatur berbagai proses metabolisme organisme dan dapat dijadikan sebagai
16
indikator kondisi perairan. Menurut Reid (1961) jumlah oksigen terlarut di dalam suatu perairan bergantung pada: 1. Suhu perairan 2. Tekanan pasrsial gas-gas di atmosfir yang kontak dengan air 3. Konsentrasi garam terlarut (salinitas) Kadar oksigen terlarut menurun seiring dengan meningkatnya suhu. Selain itu, kadar oksigen terlarut yang rendah juga dapat disebabkan oleh tekanan parsial oksigen yang rendah di udara. Kadar oksigen di dalam perairan akan menurun seiring dengan meningkatnya salinitas. Sumber oksigen terlarut perairan dapat berasal dari proses fotosintesis dan difusi gas dari udara. Oksigen terlarut pada danau dangkal berasal terutama dari sintesis karbohidrat oleh fitoplankton atau tumbuhan air yang karena pada ekosistem tersebut tidak terjadi stratifikasi dan pengadukan oleh arus yang signifikan. Udara yang kontak dengan air sebenarnya merupakan sumber oksigen yang tidak terbatas bagi perairan. Keberadaan oksigen di udara adalah sebesar 20,99% atau setara dengan 210 ml oksigen per liter udara dan jumlah ini sama dengan 25 kali konsentrasi oksigen di dalam air tawar pada volume yang sama. Dekomposisi bahan organik terlarut dalam air mampu mempengaruhi konsentrasi oksigen terlarut dalam air. Bahan organik dalam perairan dapat berasal dari sumber alami seperti kematian organisme perairan maupun dari limbah hasil kegiatan antropogenik. Proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme
membutuhkan
oksigen
sehingga
terjadi
persaingan
pemanfaatan oksigen dengan kebutuhan respirasi organisme air. Jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk proses dekomposisi bahan organik disebut dengan biological oxygen demand (BOD). Nilai BOD sering diperhitungkan untuk menilai beban pencemaran air. Perubahan kondisi perairan menuju kondisi anoksia dapat menyebabkan kematian beberapa jenis organisme, seperti ikan-ikan yang tidak bersifat toleran terhadap kekurangan oksigen.
17
4. Padatan Terdapat dua kelompok padatan (zat padat) di dalam air, yaitu padatan terlarut (total dissolved solid) dan padatan tersuspensi (total suspended solid). Masing-masing padatan dari kedua kelompok tersebut dapat dibagi lagi ke dalam dua kelompok, yaitu padatan organis dan non-organis. Gambaran padatan total dalam air dapat diperoleh dengan menjumlahkan padatan terlarut dengan padatan tersuspensi (Alaerts & Santika 1984). Zat padat dalam air dapat mempengaruhi kehidupan biota perairan dan reaksi fotosisntesis karena terkait dengan kemampuan sinar untuk menembus zat padat tersuspensi. 5. Bakteri Coliform Bakteri coliform adalah jenis bakteri yang biasa digunakan sebagai organisme indikator bagi keberadaan bakteri-bakteri pathogen di dalam air. Bakteri coliform dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: (1) fecal coliform, misalnya Escherichia coli, dan (2) non-fecal coliform, misalnya Enterobacter aerogenes. Bakteri fecal coliform berasal dari tinja manusia dan hewan, sedangkan bakteri non-fecal coliform berasal dari jasad hewan atau tanaman-tanaman yang telah mati. Keberadaan bakteri coliform, terutama fecal coliform, berkorelasi positif dengan keberadaan pathogen dalam air. Bakteribakteri colifrorm lebih mudah dideteksi melalui analisis mikrobiologi dibandingkan dengan bakteri-bakteri pathogen. Oleh karena itu, bakteri coliform dijadikan sebagai organisme indikator pencemaran tinja yang berasal dari manusia maupun hewan yang dapat membawa bakteri pathogen yang berbahaya bagi kesehatan manusia (Alaerts & Santika 1984; Madigan et al. 2009).
2.4. Kriteria Perairan untuk Wisata Air Kriteria kualitas perairan untuk kepentingan pariwisata meliputi pemenuhan standar estetika dan rekreasi, disamping sebagai sumber air bersih. Standar kualitas air digunakan untuk memberikan batasan kehadiran bahan-bahan pencemar sampai pada batas yang diperbolehkan. Menurut Suprijadi (1997) standar ini mencakup sifat fisik, kimia, dan biologi perairan yang dimanfaatkan sebagai sarana wisata air.
18
a. Sifat fisik 1. Memenuhi pertimbangan estetika dalam warna, bau, rasa, dan kekeruhan 2. Menghindari kehadiran benda-benda yang terapung dan melayang serta partikel solid yang dapat menimbulkan endapan (sedimen berupa lumpur) 3. Menghindari kandungan minyak, lemak, dan senyawa-senyawa lain yang dapat menutupi permukaan air 4. Menghindari kondisi fisik yang dapat merugikan kehidupan dalam air. b. Sifat kimia 1. Tidak
mengandung
nutrien
berlebih
yang
dapat
menyuburkan
pertumbuhan tanaman air tertentu (eutrofikasi), seperti eceng gondok ataupun jenis makroalga 2. Tidak mengandung senyawa-senyawa beracun yang dapat menyebabkan iritasi apabila termakan atau kontak dengan kulit 3. Tidak mengandung senyawa-senyawa lain yang dapat mengganggu kehidupan air c. Sifat biologi 1. Mencegah hal yang dapat menurunkan nilai estetika dan pemanfaatan air, seperti
terjadinya
eutrofikasi
yang
ditunjukkan
oleh
percepatan
pertumbuhan tanaman (gulma) air tertentu ataupun alga. 2. Menghindari kandungan mikroorganisme dalam badan air yang dapat membahayakan kesehatan, seperti dari jenis bakteri dan mikroorganisme pathogen lainnya,
United
States
Environmental
Protection
Agency
(USEPA)
merekomendasikan kriteria perairan tawar untuk rekreasi yang melibatkan kontak dengan air dari aspek biologi yaitu parameter Escherichia coli dan enterococci. Batas jumlah E. coli yang dapat dikulturkan adalah 126 cfu/100 ml dalam nilai GM (geometric mean) atau nilai rata-rata geometrik dan 235 cfu/100 ml dalam STV (statistical threshold value) atau nilai ambang statistik yang diukur dengan Metode EPA 1603 atau metode lain yang ekuivalen, sedangkan jumlah bakteri jenis enterococci dapat dikulturkan yang diperbolehkan adalah 33 cfu/100 ml untuk nilai GM dan 61 cfu/100 ml untuk STV yang diukur menggunakan metode
19
EPA 1600 atau metode lain yang ekuivalen (USEPA 2012). Kriteria air untuk pemanfaatan rekreasi di Indonesia dituangkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Kriteria penetapan zonasi perairan danau baik untuk fungsi lindung maupun fungsi budidaya dapat didasarkan pada pendekatan ekologi, biologi, dan ekonomi (KLH 2011). Kriteria-kriteria yang menjadi prioritas utama yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan fungsi wisata perairan meliputi pemenuhan kualitas air sesuai baku mutu pada PP No. 82 tahun 2001, daya tampung beban pencemaran, dukungan masyarakat, potensi konflik kepentingan, potensi rekreasi, pariwisata, dan estetika, serta kemudahan mencapai lokasi. Kriteria kedalaman dan luasan area, status kesuburan, serta keanekaragaman hayati berada pada tingkat prioritas sedang, sedangkan sumber mata air adalah kriteria dengan prioritas rendah.
2.5. Eutrofikasi pada Perairan Eutrofikasi merupakan suatu bentuk pencemaran air akibat munculnya nutrien yang berlebihan di dalam suatu ekosistem perairan. Eutrofikasi sebenarnya dapat terjadi secara alami seiring dengan bertambahnya umur suatu perairan. Oleh karena itu, eutrofikasi merupakan istilah untuk menggambarkan “penuaan” perairan (Henderson-Sellers & Markland 1987). Danau yang masih muda biasanya bersifat oligotrofik, kemudian menua dan berubah menjadi danau eutrofik. Penambahan nutrien ke dalam danau alam terjadi melalui proses erosi oleh angin dan pencucian oleh air hujan. Proses eutrofikasi ini seringkali dipercepat oleh aktivitas manusia. Menurut UNEP-IETC/ILEC (2001) eutrofikasi adalah salah satu masalah lingkungan yang paling umum terjadi di ekosistem perairan darat, disebabkan oleh pengayaan yang tidak wajar oleh dua nutrien penting bagi tumbuhan, yaitu fosfor dan nitrogen. Tumbuhan air dan fitoplankton sebagai produsen primer perairan mengasimilasi nutrien anorganik dan menggunakannya dalam proses metabolisme mereka dan mengubahnya menjadi bentuk organik. Tumbuhan dan fitoplankton yang mati akan didekomposisikan oleh mikroorganisme sehingga
20
nutrien dilepaskan kembali ke dalam bentuk anorganik; proses dekomposisi ini membutuhkan oksigen dan akan melepaskan karbondioksida. Suatu danau dikatakan telah mengalami eutrofikasi jika telah menunjukkan beberapa kriteria berikut (Henderson-Sellers & Markland 1987; UNEPIETC/ILEC 2001) : 1. Penurunan jumlah oksigen terlarut pada lapisan dalam (hypolimnion), bahkan dapat mencapai kondisi anoksia 2. Peningkatan jumlah nutrien dan padatan tersuspensi, terutama bahan organik 3. Pertumbuhan fitoplankton dan tumbuhan air yang tidak terkontrol, bahkan beberapa jenis fitoplankton dapat menghasilkan toksin 4. Kematian massal organisme air, seperti ikan dan invertebrata air, akibat kekurangan oksigen 5. Penurunan penetrasi cahaya
2.6. Situ sebagai Lokasi Tujuan Wisata Wisata adalah perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang mengunjungi tempat tertentu secara sukarela dan bersifat sementara dengan tujuan berlibur atau tujuan lainnya bukan untuk mencari nafkah (Warpani & Warpani 2007). Pada hakikatnya perjalanan wisata yaitu perubahan tempat tinggal sementara seseorang di luar tempat tinggalnya karena suatu alasan dan bukan untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan upah (Suwantoro 2004). Dorongan kepergian tersebut antara lain karena ingin mendapatkan kesenangan, memenuhi hasrat ingin tahu, berolahraga untuk kesehatan, keagamaan, dan lain sebagainya. Pengunjung (visitor) adalah setiap orang yang datang ke suatu daerah atau negara dan biasanya dengan maksud tertentu kecuali untuk melakukan pekerjaan yang menerima upah. Menurut The International Union of Official Travel Organization (IUOTO) terdapat dua kategori dari sebutan pengunjung (Suwantoro 2004) : a. Wisatawan (tourist), yakni pengunjung yang tinggal sementara, sekurangkurangnya 24 jam di daerah atau negara yang dikunjunginya.
21
b. Pelancong (excursionist), yaitu pengunjung yang tinggal dalam waktu kurang dari 24 jam di daerah atau negara yang dikunjunginya. Wisata rekreasi/pelesir/pelancongan adalah salah satu kategori wisata. Wisata jenis ini lebih kurang sama dengan wisata santai yaitu kegiatan wisata yang ditujukan untuk berlibur, mencari suasana baru, memuaskan rasa ingin tahu, menikmati keindahan alam, dan melepaskan ketegangan atas kesibukan seharihari (Warpani & Warpani 2007). Tempat tujuan jenis wisata ini biasanya adalah tempat dengan iklim berbeda dari iklim tempat tinggal wisatawan/pengunjung, atau setidaknya memiliki suasana khas yang diinginkan. Daerah yang menjadi tujuan jenis wisata rekreasi dapat berupa daerah yang memiliki objek peninggalan bersejarah, budaya masyarakat, atau keindahan alam seperti danau, situ, pantai, dan pegunungan. Pemanfaatan situ sebagai daerah tujuan wisata juga dikemukakan dalam Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, yaitu salah satu hal yang dapat diterapkan pada situ sebagai salah satu sumberdaya air permukaan adalah dengan memanfaatkan situ sebagai kawasan wisata yang berwawasan lingkungan. Situ memiliki karakteristik khas sebagaimana situs alam lainnya seperti kawasan pegunungan, air terjun, ngarai, dan pantai yang memiliki nuansa keindahan. Situ sebagai salah satu daerah tujuan wisata memiliki kriteria daya tarik yang tergolong ke dalam benda-benda alam, yaitu seperti iklim yang sejuk, pemandangan yang indah, dan keragaman flora dan fauna. Pemanfaatan potensi tersebut untuk pengembangan wisata situ akan menghasilkan situ sebagai satu kawasan wisata dimana masyarakat dapat merelaksasikan diri dan melepaskan penat dari kesibukan sehari-hari. Situ merupakan salah satu bentuk kawasan lindung berdasarkan Inmendagri No. 14 tahun 1998 tentang Pembinaan Pengelolaan Situ-situ di Wilayah Jabotabek. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi pelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Kawasan lindung adalah bagian dari lingkungan hidup yang pengelolaannya diatur dengan peraturan perundang-undangan. Meskipun begitu, bukan berarti kawasan lindung tidak dapat dimanfaatkan untuk
22
kepentingan
lain.
Kegiatan-kegiatan
yang
tidak
mengancam
kelestarian
lingkungan dapat dilakukan di kawasan ini, seperti kegiatan wisata yang berwawasan lingkungan. Menurut Sulastri (2003) sistem pengelolaan situ secara terpadu dapat dilakukan melalui pendekatan ekosistem dan sosial-ekonomi dengan tetap mengarah kepada tujuan konservasi situ untuk mempertahankan fungsinya. Hal ini disebabkan karena situ terdiri dari berbagai komponen, antara lain: flora, fauna, air, tanah, dan manusia, sehingga perlu dipertimbangkan peranan dan kepentingan masing-masing komponen terhadap situ. Perwujudan situ sebagai kawasan wisata yang menjanjikan membutuhkan pengelolaan kualitas perairan yang baik. Beberapa parameter yang dapat dijadikan sebagai bahan penilaian potensi wisata dari sebuah situ antara lain adalah kondisi lingkungan, keragaman atraksi, keunikan objek wisata, jumlah pengunjung, luas jangkauan, ketersediaan transportasi dan kemudahan pencapaian, ketersediaan infrastruktur dan fasilitas penunjang, keberadaan lembaga pengelola (sumberdaya manusia), dan kegiatan promosi (Rahman 2010). Kondisi lingkungan perairan situ yang baik tentu akan meningkatkan daya tarik wisata situ. Beberapa situ di kawasan Jabodetabek telah berhasil dijadikan sebagai objek wisata. Situ Babakan yang berlokasi di Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan adalah salah satu objek wisata yang cukup diminati di Provinsi DKI Jakarta, sedangkan Situ Pengasinan adalah kawasan wisata situ yang telah lebih dulu dikembangkan menjadi kawasan wisata di Kota Depok sebelum Situ Sawangan-Bojongsari.
2.7. Analytical Hierarchy Process (AHP) Model proses hierarki analitik (analytical hierarchy process) merupakan model pengambilan keputusan dan perencanaan strategis yang diperkenalkan pertama kali oleh Thomas L. Saaty pada era 1970-an (Dermawan 2005). Suatu persoalan yang kompleks dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan pengambilan keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Model AHP juga mampu menyederhanakan persoalan yang kompleks dan mempercepat pengambilan keputusan atas persoalan tersebut (Marimin 2008).
23
Prinsip kerja AHP adalah menyederhanakan persoalan yang kompleks menjadi bagian-bagian yang tertata dalam suatu hierarki. Tingkat kepentingan setiap variabel dibandingkan dengan variabel lain secara subjektif dan kemudian diberikan nilai atau bobot numerik. Sintesa terhadap bobot variabel-variabel tersebut akan menghasilkan variabel dengan prioritas tertinggi dan berperan dalam mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin & Maghfiroh 2010). Analytical hierarchy process sebagai sebuah model analisis memiliki beberapa kelebihan dalam sistem analisisnya. Keuntungan penggunaan model AHP menurut Saaty (1993) dalam Tantyonimpuno dan Retnaningtias (2006) adalah sebagai berikut: c. Kesatuan (unity) Model AHP memberikan satu model tunggal yang mudah dimengerti dan luwes untuk aneka ragam persoalan tak terstruktur. d. Kompleksitas (complexity) Model AHP memecahkan persoalan yang kompleks melalui pendekatan sistem dan pengintegrasian deduktif. e. Saling ketergantungan (interdependence) Model AHP menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan hubungan linier. f. Struktur hierarki (hierarchy structuring) Model AHP mewakili pemikiran alami manusia yang cenderung memilahmilah elemen sistem ke dalam berbagai level yang berbeda dan mengelompokkan unsur yang serupa pada setiap tingkat. g. Konsistensi (consistency) Model AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan. h. Pengukuran (measurement) Model AHP memberikan suatu skala pengukuran dan wujud suatu metode untuk mendapatkan prioritas. i. Sintesis (synthesis) Model AHP mengarahkan pada perkiraan keseluruhan mengenai seberapa diinginkannya masing-masing alternatif.
24
j. Tawar-menawar (trade-off) Model AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas alternatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan mereka. k. Penilaian dan konsensus (judgement and consensus) Model AHP tidak memaksakan suatu konsensus, tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda. l. Pengulangan proses (process repetition) Model AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan. Menurut Grandzol (2005) model AHP memiliki keunggulan yaitu sebagai model yang umum diterapkan pada berbagai kasus dan terbukti sukses memecahkan berbagai problem pengambilan keputusan. Selain itu, AHP adalah model pengambilan keputusan yang mampu mengkombinasikan sistem hierarki kriteria ke dalam cara analitis. Keunggulan lainnya yaitu perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yang dilakukan secara berulang-ulang dalam model AHP ditujukan untuk menciptakan kekonsistenan data. Metode AHP juga memiliki beberapa kelemahan selain berbagai kelebihan yang dimilikinya. Kelemahan metode AHP seperti yang dituliskan oleh Tantyonimpuno dan Retnaningtias (2006) yaitu: a. Orang yang dilibatkan haruslah orang-orang yang memiliki pengetahuan ataupun pengalaman yang berhubungan dengan hal yang akan dianalisis dengan metode AHP b. Perbaikan keputusan dilakukan melalui pengulangan kembali proses AHP dari tahap awal.