4 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Situ Situ termasuk kedalam ekosistem lahan basah. Lahan basah adalah salah satu ekosistem terpenting karena memiliki nilai ekonomi dan keragaman hayati biota darat dan air yang sangat tinggi, pengatur fungsi hidrologi dan iklim mikro suatu kawasan, dan menjadi tempat berkembang biak berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang penting. Keunikan dan nilai penting ekosistem lahan basah terutama karena sifat pasang surutnya. Berbagai jenis hewan termasuk burung, ikan dan udang berkembang biak mengikuti siklus pasang surut. Sifat pasang surut ini pula yang membuat lahan basah kaya akan makanan untuk berbagai jenis hewan (Myers 1996). .Danau-danau kecil dan dangkal di daerah Jawa Barat dikenal dengan nama situ sedangkan dalam dialek Betawi dikenal dengan nama setu. Menurut Puspita et al. (2005) situ merupakan salah satu ekosistem perairan tergenang yang umumnya berair tawar dan berukuran relatif kecil. Situ adalah wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan. Situ buatan yaitu situ yang berasal dari dibendungnya suatu cekungan (basin), sedangkan situ alami yaitu situ yang terbentuk secara alami karena kondisi topografi yang memungkinkan terperangkapnya sejumlah air (Suryadiputra 2003). Sumber air situ alami berasal dari mata air, air hujan
dan/atau limpasan air
permukaan. Situ alami juga terbentuk akibat kegiatan alamiah, seperti bencana alam, kegiatan vulkanik maupun tektonik. Situ alami membutuhkan penanganan yang lebih intensif agar dapat bermanfaat dan tidak hilang akibat pendangkalan, penyempitan, pencemaran dan hilangnya beragam fungsi situ. 2.2. Karakteristik Sumberdaya dan Lingkungan Situ Menurut Wulandari (2006) ada 4 struktur utama danau atau situ, yaitu struktur fisika, kimia, biologi dan watershed. Pada struktur fisika terdapat penzonaan berdasarkan kedalaman yaitu zona litoral dan pelagik. Organisme yang menghuni zona tersebut harus teradaptasi untuk berenang, tersuspensi, ataupun mengambang. Massa airnya memiliki struktur temperatur alami khas yang tidak bergantung pada bentuk basin (cekungan) danau atau situ.
5 Nilai temperatur suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam satu hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman dari badan air. Perubahan temperatur berpengaruh terhadap proses fisik, kimia dan biologi badan air. Kisaran temperatur optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20o-30oC (Effendi 2003). Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid/TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi berdiameter>1µm yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 µm (Effendi 2003). Distribusi zat-zat kimiawi, terutama nutrient dalam air danau merupakan unsur utama kedua struktur danau. Komponen vertikal struktur kimiawi danau umumnya bersifat musiman dan tergantung pada keberadaan lapisan air yang terstabiliusasi oleh kerapatan. Komponen horizontal dapat berlangsung sepanjang tahun dan dipengaruhi oleh tepian danau (Wulandari 2006). Struktur kimiawi perairan bisa menjadi faktor pembatas dalam perairan, dan parameter kimia yang dapat menjadi faktor pembatas tersebut diantaranya: Dissolved Oxygen (DO), Biochemical Oxygen Demand (BOD), pH, Nitrogen total (N-total) dan Fosfor total (P-total) (Effendi 2003). Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen/DO) adalah gas oksigen terlarut dalam air. Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari fotosintesis oleh fitoplankton atau tumbuhan air dan difusi udara (APHA. 1992 in Effendi, 2003). Sumber oksigen terlarut bisa berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer (sekitar 35%) dan sebagian besar merupakan hasil sampingan aktifitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Novotny & Olem 1994). Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand/BOD) merupakan gambaran secara tak langsung kadar bahan organik adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air, dan diukur pada suhu 20o selama 5 hari keadaan tanpa cahaya (Davis & Cornwell 1991 in Effendi 2003). Mackereth et al. (1989) in Effendi (2003) berpendapat bahwa pH juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. pH hanya menggambarkan ion hydrogen (Tebbut 1992). Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai
6 alkalinitas dan semakin sedikit kadar karbondioksida bebas. Larutan asam (pH rendah) bersifat korosif. Nilai pH dapat menunjukkan kualitas perairan sebagai lingkungan hidup, walaupun perairan itu tergantung pula dari berbagai faktor lain. Nitrogen
merupakan
faktor
pembatas
kedua
setelah
Fosfor
yang
mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton. Fosfor merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan fitoplankton. Walaupun diperlukan dalan jumlah yang kecil, fosfor merupakan faktor pembatas bagi tumbuhan dan fitoplankton serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Fosfor berada dalam jumlah yang kecil di perairan akibat sumber fosfor yang jauh lebih sedikit dibandingkan nitrogen (Goldman & Horne 1983). Unsur utama ketiga struktur danau adalah struktur biologis. Organisme di danau meliputi plankton (zooplankton dan fitoplankton), fungi, virus, nekton (berenang, termasuk ikan), neuston (hidup di permukaan air), pleuston (mengapung dan terombang-ambing oleh air), makrofit akuatik (tumbuhan tingkat tinggi), perifiton (tumbuhan atau hewan mikroskopik atau nyaris mikroskopik yang melekat pada makrofit akuatik), alga yang melekat, bentos, epibentos (hidup dan bergerak di dasar danau), infauna (meliang di baewah permukaan lumpur), pasammon (hidup di pasir). Selain itu ada juga yang disebut aufwuchs, yaitu keseluruhan komunitas organisme mikroskopik melekat yang terdiri atas alga, bakteri, fungi, protozoa, dan metazoa kecil (Wulandari 2006). Parameter biologi yang dianalisis untuk menduga kualitas perairan adalah dengan melihat kelimpahan plankton dan bakteri E. coli, kemudian keberadaan tanaman air, ikan dan vegetasi yang ada di sekitar kawasan perairan. Menurut Basmi (1999) kelimpahan plankton sering dan umum digunakan sebagai indikator biologis untuk menduga kualitas perairan. Skala dan frekuensi perubahan struktur fisik danau, penetrasi cahaya, dan ketersediaan nutrisi berkaitan erat dengan ekologi fitoplankton (Souza 2008). Sedangkan Eschericia coli adalah salah satu bakteri patogen yang tergolong Coliform dan hidup secara normal di dalam kotoran manusia maupun hewan sehingga E. coli digunakan sebagai bakteri indikator pencemaran air yang berasal dari kotoran hewan berdarah panas. E. coli merupakan bakteri fecal dari genus
7 Escherichia, familia Enterobacteriaceae yang mampu hidup dalam saluran manusia dan hewan berdarah panas. Bakteri ini bersifat fakultatif aerobik (Feliatra 2002). Tanaman air yang umumnya banyak dijumpai di perairan danau adalah eceng gondok. Eceng gondok merupakan salah satu tumbuhan air yang berpotensi menjadi gulma. Keberadaan eceng gondok yang tumbuh subur diperairan dapat menyulitkan laju transportasi di perairan dan mengganggu perikanan. Tebal lapisan enceng gondok bisa mencapai 1 meter lebih, dan menjadi tempat perkembangan nyamuk malaria dan sumber penyakit lainnya. Perairan yang tertutup lapisan eceng gondok, kandungan oksigennya sangat rendah dan mendekati nol meskipun di permukaan (Masifwa et al. 2001). Watersheed sama pentingnya dengan unsur-unsur fisika, kimia, dan biologis suatu danau. Ukuran, kemiringan, komposisi geologis, dan iklim cekungan drainage suatu danau mempengaruhi identitas dan kualitas mineral-mineral yang terlarut dalam danau dan sendimen-sendimen yang menumpuk di dalamnya. Perbandingan ukuran area drainage dengan luas permukaan sangatlah penting pada banyak danau karena danau yang area drainage-nya lebih besar biasanya tingkat kesuburannya lebih tinggi. Eutrofikasi biasanya mempengaruhi rasio permukaan danau/watershed (Wulandari 2006). 2.3. Pemanfaatan Situ dan Permasalahan yang Ditimbulkan Menurut Roemantyo et al. (2003) situ memiliki fungsi yang sangat penting, fungsi utama situ adalah sebagai penampung, penyimpan, atau penyedia air. Fungsi situ selain sebagai penampung dan penyedia air, situ juga memiliki fungsi tempat konservasi lahan. Apabila situ dikelola dengan baik maka hal itu dapat meningkatkan fungsi lahan tersebut sebagai tempat rekreasi, wisata alam, kolam ikan dan untuk pengairan sawah atau kebun secara optimal. Gangguan antropogenik dapat mengubah siklus hidrologi alam dan menyebabkan fluktuasi air ketingkat ekstrim yang dapat melebihi kemampuan adaptasi fisiologis atau perilaku dari banyak organisme. Pedalaman danau kecil sangat rentan terhadap perubahan dalam input air, karena setiap gangguan dari kegiatan penggunaan lahan dapat mempengaruhi seluruh ekosistem danau (Cot et al. 2008).
8 Menurut Ubaidillah & Maryanto (2003) situ-situ menghadapi permasalahan yang sangat kompleks yang mencakup permasalahan aspek kelembagaan, aspek hukum, aspek fisik hidrologis, aspek tata ruang dan aspek sosial kemasyarakatan. a. Aspek kelembagaan Permasalahan aspek kelembagaan antara lain meliputi: 1. Belum adanya keberpihakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam upaya konservasi situ 2. Belum adanya pembagian tugas pengelolaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 3. Kurangnya keterpaduan pelaksanaan program pengelolaan situ 4. Keterbatasan kapasitas dan kemampuan kelembagaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 5. Lemahnya pengawasan dan pengendalian pemanfaatan situ 6. Lemahnya kampanye publik tentang manfaat dan fungsi situ, baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah b. Aspek hukum Permasalahan aspek hukum antara lain meliputi: 1. Kekosongan hukum sebagai implikasi berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah 2. Belum adanya legalitas penguasaan atas situ 3. Belum adanya jaminan kepastian hukum 4. Lemahnya penegak hukum c. Aspek fisik hidrologis Permasalahan aspek fisik hidrologis antara lain meliputi: 1.
Menurunnya kualitas perairan
2.
Pendangkalan
3.
Penutupan perairan oleh gulma
4.
Longsor lahan
5.
Terputusnya saluran suplai air situ
d. Aspek tata ruang Permasalahan aspek tata ruang antara lain meliputi: 1.
Tidak terkendalinya perubahan tata guna lahan atau alih fungsi situ
9 2.
Tidak jelasnya batas daerah penguasaan situ
3.
Belum adanya rencana detail kawasan dan rencana teknis kawasan
e. Aspek sosial kemasyarakatan Permasalahan aspek sosial kemasyarakatan antara lain meliputi: 1.
Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan manfaat situ
2.
Rendahnya peran serta masyarakat dalam pengelolaan situ
3.
Pemanfaatan situ oleh masyarakat yang tidak memperhatikan keberlanjutan fungsi Kawasan Setu Babakan mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi, dan
geografi dengan corak ragam yang khas. Dengan letak kawasan yang berada di wilayah pemukiman maka memerlukan pembinaan dan pengembangan lingkungan hidup yang didasarkan pada keadaan daya dukung dan daya tampung lingkungan, sehingga akan meningkatkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan ekosistem setu, yang berarti juga meningkatkan ketahanan ekosistem setu. Pembangunan memanfaatkan secara terus-menerus sumberdaya alam guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Sementara itu, ketersediaan sumber daya alam terbatas dan tidak merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedangkan permintaan akan sumberdaya alam tersebut makin meningkat sebagai akibat meningkatnya kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat dan beragam (Yusuf 2008). Di pihak lain, daya dukung lingkungan hidup dapat terganggu dan daya tampung lingkungan hidup dapat menurun. Kegiatan pembangunan yang makin meningkat mengandung risiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat rusak. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup itu akan merupakan beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya (Yusuf 2008). Situ dapat tercemar oleh beberapa hal, misalnya pestisida, pupuk, sedimentasi berlebihan, sampah akibat aktivitas manusia, limbah cair, limbah radioaktif, panas buangan dan lain-lain. Pemanfaatan situ untuk kegiatan budaya ikan dengan system keramba jarring apung juga dapat menyebabkan pencemaran. Hal itu diakibatkan oleh kurangnya perhatian pada daya tampung limbah ke perairan. Sebagai akibatnya,
10 degradasi lingkungan pun terjadi, terutama ketika terjadi umbalan (up welling). Ikan-ikan yang hidup di situ dapat mengalami kematian massal. Selain itu, penumpukan limbah organik dari proses budidaya akan mempercepat proses eutrofikasi (Wulandari 2006). Hal yang perlu dicatat adalah bahwa situ atau danau yang berukuran lebih kecil kemungkinan tingkat pencemarannya lebih besar dari pada situ atau danau yang lebih besar. Hal itu disebabkan danau yang lebih besar tingkat pengenceran dan pelarutannya limbahnya juga tinggi. Keberadaan arus juga dapat mengeluarkan limbah dari dalam danau dengan cukup cepat (Wulandari 2006). 2.4. Ekowisata Sebagai Alternatif Pengelolaan Situ Beragam definisi Ekowisata yang diberikan oleh banyak ahli dan praktisi. Namun demikian pada dasarnya memiliki konsistensi di dalam isinya, yaitu konsep keberlanjutan. Beberapa negara bahkan mendifinisikan ekowisata secara berbeda, yang disesuaikan dengan karakteristik setempat, dengan kata kunci konservasi dan pelibatan masyarakat. Pada beberapa negara memilih fokus pada konservasi alam dan budaya, sementara pada beberapa negara lain, lebih menfokuskan kegiatan ekowisatanya pada pelibatan dan pemberdayaan masyarakat (Conservation International 2006). Secara
konseptual
ekowisata
dapat
didefinisikan
sebagai
konsep
pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upayaupaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat. Sementara ditinjau dari segi pengelolaannya, ekowisata dapat didefinisikan sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam dan secara ekonomi berkelanjutan, yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Conservation International 2006). Ekowisata juga diyakini beberapa pihak memiliki kemampuan untuk membangun pariwisata yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, jika ekowisata dikembangkan dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip yang dikandungnya. Hal-hal yang mendukung penyataan tersebut adalah: (1) Ekowisata sangat bergantung pada
11 kualitas sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya; (2) Ekowisata meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya; (3) Ekowisata memprioritaskan partisipasi masyarakat, sebagai salah satu prinsip dalam mencapai keberlanjutan (Wall 1997). Beberapa aspek yang perlu diperhatikan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijaksanaan pengembangan ekowisata, yang penting diantaranya adalah cara-cara pengelolaan, pengusahaan, penyediaan prasarana dan sarana yang diperlukan. Atas dasar itu, sifat dan jenis kegiatan yang dilakukan juga harus disesuaikan dengan kawasan ekowisata. Satu hal yang tidak pernah dilupakan adalah masalah pelestarian lingkungan hidup yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan ekowisata. Adapun daerah-daerah yang biasanya dijadikan kawasan ekowisata di luar negeri maupun dalam negeri (Yoeti 2000) adalah : 1. Daerah atau wilayah yang diperuntukan sebagai kawasan pemanfaatan berdasarkan rencana pengelolaan pada kawasan seperti Taman Wisata Pegunungan, Taman Wisata Danau, Taman Wisata Pantai atau Taman Wisata Laut. 2. Daerah atau zona pemanfaatan pada Kawasan Taman Nasional seperti Kebun Raya Bogor, Hutan Lindung, Cagar Alam atau Hutan Raya. 3. Daerah pemanfaatn untuk Wisata Berburu berdasarkan rencana pengelolaan Kawasan Taman Perburuan. Ketiga jenis daerah atau lokasi pengembangan ekowisata tersebut merupakan lokasi yang boleh dan dapat dimanfaatkan secara intensif untuk pengembangan sarana dan prasarana untuk aktivitas ekowisata. Setu Babakan termasuk dalam daerah yang dapat dijadikan
kawasan ekowisata karena diperuntukan sebagai
kawasan pemanfaatan berdasarkan rencana pengelolaan pada kawasan Taman Wisata Danau, dan Setu Babakan juga berada pada kawasan Cagar Budaya. Kriteria
lain
dalam
pengembangan
lokasi
ekowisata
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (Yoeti 2000) : 1. Kelayakan pasar dan kapasitas pengunjung 2. Tersedianya aksebilitas yang memadai ke daerah tersebut. 3. Potensi yang dimiliki daerah untuk dijadikan kawasan ekowisata.
harus
12 4. Dapat mendukung pengembangan wilayah lain di daerah tersebut. 5. Member peluang bagi pembangunan kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan bagi masyarakat setempat. 6. Mempunyai kemungkinan besar untuk saling mendukung pengembangan pariwisata di daerah setempat. 7. Dapat saling mendukung bagi pengembangan pelestarian kawasan danau bagi daerah tersebut. Agar kelestarian alam tetap terjaga dan tidak mengganggu habitat mahluk hidup lain serta memberikan kenyamanan bagi wisatawan maka diperlukan adanya daya dukung lingkungan dan daerah kesesuai wisata. Selain itu, perencanaan dan pengembangan wisata haruslah memperhatikan daya dukung berdasarkan tujuan wisata. Daya dukung lingkungan pada area wisata adalah jumlah individu maksimum yang dapat diakomodir pada suatu area dengan tidak mempengaruhi atau merusak lingkungan yang ada dan dapat memberikan suatu kepuasan bagi pengunjung juga bagi masyarakat setempat (Libosada 1998 in Maryadi 2003). Daya dukung lingkungan pariwisata dipengaruhui oleh dua faktor utama, yaitu tujuan wisatawan dan faktor lingkungan biofisik lokasi pariwisata. Sedangkan daya dukung badan air yang digunakan untuk pariwisata dipengaruhi oleh luas dan volume badan air serta pergerakan air. Penentuan daya dukung juga dikaitkan dengan fasilitas akomodasi, pembangunan sarana rekreasi yang dibangun di tempat wisata (Soemarwoto 2004).