V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kondisi Situ dan Perubahan Luas Situ di Kota Depok Situ merupakan sumberdaya air permukaan yang penting bagi kehidupan manusia. Namun akibat perubahan lingkungan menyebabkan ekosistem situ terganggu. Permasalahan yang umum terjadi pada ekosistem situ di Kota Depok adalah terjadinya sedimentasi, eutrofikasi, pengurugan dan alih fungsi lahan. Salah satu indikasi bahwa situ tersebut mengalami gangguan terlihat dari semakin berkurangnya daya tampung air situ sehingga luas situ menurun. Gambar 8 menunjukkan bahwa ketujuh situ (Situ Citayam, Cilangkap, Rawa Kalong, Jatijajar, Cilodong,Tipar dan Pedongkelan) mengalami penurunan luas. 16 14
Luas (H a)
12 10 8 6 4 2 0 1991 Citayam Cilodong
1997 Tahun Cilangkap Tipar
2001 Rawa K alo ng P edo ngkelan
Jatijajar
Sumber: hasil analisis data Inventarisasi Situ (Dinas PU Kab. Bogor, 2000) Gambar 8. Perubahan Luas Situ Selama 10 Tahun ( Tahun 1991 - 2001) Kondisi umum ketujuh situ di Kota Depok ditunjukkan pada Lampiran 11. Dari ketujuh situ tersebut hanya Situ Cilodong dan Situ Jatijajar yang memiliki kondisi yang relatif baik. Hal ini didukung oleh masih adanya vegetasi di Daerah 46
Tangkapan Air (DTA) situ, sedangkan permukiman hanya sebagian kecil yang berdekatan dengan jalan raya. Sedangkan Situ Citayam, Cilangkap, Tipar dan Situ Pedongkelan didominasi oleh permukiman dan lahan terlantar. Ketersediaan air situ sangat tergantung dengan kondisi lingkungannya terutama yang berada pada DTA situ. Faktor yang mempengaruhi ketersediaan air situ adalah faktor tata guna lahan, fisik (curah hujan) dan aktivitas manusia (pengurugan, pembuangan limbah dan lain-lain). Penggunaan lahan yang mengarah
pada
aktivitas
perkotaan
dapat
menyebabkan
terjadinya
ketidakseimbangan sistem hidrologi. Ketika musim hujan, pada daerah ini terjadi semakin besarnya aliran permukaan sedangkan proses infiltrasi semakin berkurang, sehingga berimplikasi terjadinya pengikisan tanah (top soil) menuju ke daerah yang lebih rendah yaitu kawasan situ. Tanah yang terbawa oleh air mengakumulasi membentuk sedimentasi. Pola sedimentasi yang terjadi di areal situ, di awali dari pinggiran situ sehingga lama kelamaan menuju ke arah dalam situ. Proses ini menyebabkan situ mengalami pendangkalan. Proses pendangkalan akan cepat terjadi apabila intensitas perubahan penggunaan lahan ke arah perkotaan semakin tinggi. Disamping proses sedimentasi, percepatan pendangkalan situ dapat terjadi apabila terjadi eutrofikasi. Eutrofikasi merupakan indikator bahwa suatu ekosistem perairan mengalami gangguan. Pada kondisi ini terjadi peledakan pertumbuhan suatu organisme akibat melimpahnya nutrien (zat makanan) bagi organisme tersebut. Faktor yang memungkinkan terjadinya eutrofikasi di perairan situ adalah akibat aktivitas perikanan dimana banyaknya pakan ikan yang masuk ke dalam perairan situ. Disamping itu juga akibat buangan limbah rumah tangga 47
ataupun industri yang mengandung zat-zat yang dibutuhkan oleh organisme tersebut. Pada perairan situ, tumbuhan yang berkembang biak dengan cepat adalah eceng gondok dan teratai. Tumbuhan ini memiliki sistem perakaran yang panjang sampai ke dasar situ kemudian mengikat lumpur sehingga mempercepat proses sedimentasi. Akibat terjadinya pendangkalan maka situ yang menjadi daratan banyak dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian maupun untuk kawasan permukiman sehingga mengancam eksistensi situ. Untuk mempertahankan ketersediaan air situ, diperlukan areal yang dapat memasok air ke dalam situ yaitu areal yang didominasi oleh vegetasi. Vegetasi ini mampu mengurangi aliran air permukaan karena pada waktu hujan air sebagian tertahan di pohon, sebagian yang lain mengalami infiltrasi ke dalam tanah. Air yang masuk ke dalam tanah sebagian menjadi air tanah dan sebagian yang lain diikat oleh akar tumbuhan. Sehingga kawasan ini merupakan kawasan resapan air. Ditinjau dari skala Daerah Aliran Sungai (DAS), ketujuh situ yang telah disebutkan di atas berada di bagian timur dan selatan Kota Depok. Kawasan tersebut tercakup dalam DAS Ciliwung karena seluruh situ bermuara ke Sungai Ciliwung. Kota Depok merupakan wilayah yang berada di bagian tengah DAS Ciliwung sedangkan bagian hulu adalah Kawasan Puncak dan Bogor dan bagian hilir adalah DKI Jakarta. Oleh karena itu situ merupakan salah satu kawasan resapan air bagi DKI Jakarta. Dapat dikatakan bahwa situ merupakan komponen sistem hidrologis yang perlu dilestarikan karena memiliki fungsi sebagai kawasan konservasi air dan tanah. Dengan melihat kecenderungan situ mengalami penyusutan dari waktu ke waktu perlu adanya pengendalian penggunaan lahan di DTA situ yang dalam hal 48
ini terkait dengan tataruang wilayah dan perlunya keterlibatan masyarakat terutama yang berada di sekitar situ dalam pengelolaan situ sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia.
5.2. Analisis Estimasi 5.2.1. Analisis Estimasi Perubahan Luas Situ Untuk menduga perubahan luas situ dari tahun ke tahun digunakan continuous time model (model linier) dengan asumsi bahwa perubahan laju pertumbuhan relatif konstan. Analisis ini digunakan karena keterbatasan data dimana data yang ada hanya dua titik waktu (Lampiran 3a). Tabel 8 menunjukkan perubahan luas situ yang memiliki kecenderungan menurun dimana luas situ mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Situ Jatijajar merupakan situ yang sangat cepat mengalami perubahan dengan rata-rata laju penurunan -4.22% per tahun dengan luas 8,95 ha pada tahun 1991 mengalami penurunan menjadi 5,45 ha pada tahun 2001. Rata-rata laju pengurangan yang paling rendah dari tujuh lokasi situ adalah Situ Cilodong sebesar -0,51% per tahun. Tabel 8. Rata-rata Laju Penambahan/Pengurangan Luas pada Tujuh Situ di Kota Depok tahun 1991-2001 No
Nama Situ
Luas (ha)
Perubahan Luas Tahun 19912001 (ha/th)
Rata-rata Penambahan/ Pengurangan pertahun (%/tahun)
1991 1997 2001 1 Citayam 7,84 7,21 6,79 -1,05 -1,37 3 Cilangkap 6,80 6,08 5,60 -1,20 -1,59 5 Rawa Kalong 10,31 8,51 7,31 -3,00 -2,75 4 Jati Jajar 8,95 6,85 5,45 -3,50 -4,22 2 Cilodong 9,35 9,05 8,85 -0,50 -0,51 6 Tipar 14,13 11,73 10,13 -4,00 -2,72 7 Pedongkelan 7,74 6,42 5,54 -2,20 -2,65 Sumber: hasil analisis data Inventarisasi Situ (Dinas PU Kab. Bogor, 2000) tanda negatif (-) menyatakan laju pengurangan luas areal (%)
49
Luas situ sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang saling terkait antara satu dengan lainnya yang terdapat di DTA situ. Faktor lingkungan yang dimaksud adalah faktor biofisik (vegetasi, perubahan penggunaan lahan, ketinggian, aksesibilitas dan lain-lain); sosial (pertumbuhan penduduk, perilaku manusia seperti pembuangan limbah, kebijakan peruntukan lahan) serta faktor ekonomi (jenis pekerjaan). Perubahan penggunaan lahan di areal Situ Cilodong tidak banyak mengalami perubahan (Lampiran 1). Selama periode tahun 1991-2001 vegetasi campuran masih mendominasi di kawasan ini dengan proporsi 9,35 ha (60,31%) dari luas total DTA Situ Cilodong sebesar 15,51 ha pada tahun 1991 dan mengalami pengurangan menjadi 8,71 ha (56,91%) dari total luas lahan pada tahun 2001. Disamping itu karakteristik wilayah DTA situ ini lebih alami bila dibandingkan dengan Situ Jatijajar. Kondisi air situ ini lebih jernih, tidak berbau dan berpotensi sebagai tempat tujuan wisata. Hal ini menyebabkan kondisi alami situ, baik kualitas maupun kuantitas airnya, lebih dapat dipertahankan.
5.2.2. Analisis Estimasi Jumlah Penduduk Diketahui bahwa jumlah penduduk merupakan salah satu indikator terjadinya perubahan lingkungan termasuk perubahan penggunaan lahan. Berdasarkan hasil analisis estimasi selama kurun waktu 10 tahun (1991-2001) terlihat bahwa adanya kecenderungan peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun seperti yang disajikan pada Gambar 9. Adapun analisis estimasi dilakukan
50
terhadap jumlah penduduk disebabkan oleh keterbatasan data jumlah penduduk per desa/kelurahan. Analisis estimasi jumlah penduduk dalam kurun waktu tahun 1991-2001 terhadap ke-7 kelurahan di wilayah penelitian dengan menggunakan pendekatan model pendugaan pertumbuhan eksponensial dan regresi linier sederhana disajikan pada Lampiran 4. Pemilihan model yang tepat untuk menduga variabel tujuan adalah nilai koefisien determinasi yang cukup tinggi (R2 mendekati 1). 80.000 70.000 B.P. Terong Cilangkap Curug Jatijajar Kalibaru Mekarsari Tugu
60.000 Jiwa
50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 1991
1993
1996
2000
2001
Tahun
Sumber: Dianalisis dari data Podes Kabupaten Bogor (1990,1996); Podes Kota Depok (2000); Kecamatan Dalam Angka (1992,1993,1998,2001)
Gambar 9. Pertumbuhan Penduduk selama kurun waktu tahun 1991-2001 Rata-rata laju pertumbuhan penduduk periode tahun 1991-2001 pada tujuh kelurahan lokasi penelitian tertera pada Tabel 9. Kelurahan Curug (Situ Rawa Kalong) merupakan daerah yang sangat tinggi laju pertumbuhan penduduknya (5,44% per tahun). Secara spasial, wilayah ini didominasi oleh penggunaan lahan permukiman terutama kawasan industri seperti yang terlihat pada Lampiran 1. Juga didukung oleh adanya sarana dan prasarana dimana daerah ini berada pada jalur utama transportasi antara Bogor dan Jakarta sehingga daerah ini menjadi kawasan yang padat. 51
Berdasarkan data statistik (Kecamatan Cimanggis Dalam Angka, 2001) Kelurahan Curug merupakan sentra industri terbesar, diikuti Kelurahan Tugu dan Mekarsari di Kecamatan Cimanggis dengan jumlah 15 industri berskala besar dan sedang. Secara otomatis kondisi ini banyak menyerap tenaga kerja yaitu sebesar 12.574 orang. Tabel 9. Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk pada Tujuh Kelurahan Periode Tahun 1991-2001 No
Kelurahan
Nama Situ
Jumlah(jiwa)
Rata-rata Penambahan/ Pengurangan (%/tahun)
1991 2001 1 Bojong P. Terong Citayam 7.197 14.158 3,44 2 Cilangkap Cilangkap 15.219 21.427 1,73 3 Curug Rawa Kalong 6.618 19.078 5,44 4 Jatijajar Jatijajar 8.906 23.614 5,00 5 Kalibaru Cilodong 15.532 26.820 2,77 6 Mekarsari Tipar 26.955 36.989 1,59 7 Tugu Pedongkelan 50.275 70.569 1,71 Sumber: Podes Kabupaten Bogor dan Kota Depok, Tahun 1993, 1996, 1999
5.3. Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan di Daerah Tangkapan Air Situ 5.3.1. Perubahan Penggunaan lahan Berdasarkan hasil analisis perubahan penggunaan lahan dalam kurun waktu 10 tahun (1991-2001) pada tujuh daerah tangkapan air situ (DTA situ) di wilayah Kota Depok yaitu Situ Citayam, Cilangkap, Rawa Kalong, Jatijajar, Cilodong,Tipar dan Pedongkelan nampak bahwa situ hampir di seluruh lokasi mengalami perubahan. Rincian perubahan penggunaan lahan disajikan dalam Lampiran 1. Lahan yang mengalami perubahan besar adalah vegetasi campuran. Proporsi vegetasi campuran terbesar terdapat di DTA Situ Jatijajar yaitu 84,67% (13.17 ha) dari luas total sebesar 15,56 ha pada tahun 1991 mengalami perubahan menjadi 9,24 ha (61,55%).
52
Proporsi perubahan penggunaan selama periode tahun 1991-2001 lahan permukiman yang tercakup di seluruh wilayah penelitian mengalami peningkatan luas, kemudian diikuti lahan terlantar (Lampiran 1). Peningkatan luas permukiman terbesar terdapat pada DTA Situ Pedongkelan sebesar 46% selama kurun waktu 10 tahun dengan proporsi 1,6 ha (13,64%) pada tahun 1991 tetapi menjadi 6,91 ha (59,65%) pada tahun 2001. Selanjutnya perubahan luas lahan terlantar terbesar terdapat pada DTA Situ Cilangkap dengan luas 0,83 ha (5,06%) pada tahun 1991 meningkat menjadi 5,40 ha (37,49) pada tahun 2001. Tidak demikian halnya dengan lahan tegalan dan vegetasi campuran yang cenderung mengalami penurunan luas, sedangkan lahan sawah tidak memiliki kecenderungan yang nyata. Penurunan luas lahan tegalan terbesar terdapat pada DTA Situ Tipar dengan proporsi luas 20,81% (3,11 ha) pada tahun 1991 menurun menjadi 0,64 ha (4,31%) dari luas lahan total pada tahun 2001. Selanjutnya periode tahun 1991-1997 luas vegetasi campuran memiliki kecenderungan menurun. Secara parsial, diketahui bahwa lahan vegetasi campuran mengalami penurunan terbesar terjadi di DTA Situ Tipar yakni sebesar 3,24 ha atau 21,65% dari total luas DTA Situ (Gambar 10). Penurunan tipe lahan ini menaikkan luas lahan permukiman sebesar 13.69%. Berbeda dengan yang terjadi di DTA Situ Citayam, luasan lahan terlantar mengalami peningkatan sebesar 2,03 ha (9,89%) selama periode tahun 1991-1997.
53
8 0% 6 0%
2 0%
la
n
as
ke ng do
T
R
ip
Pe
ar
C
/C
i lo
ic
do
ad
ng
ar t ij Ja
aw
C
a
il a
K
ng
al
aj
on
p ka
m ya
C
-2 0%
g
0% it a
% P er ub a ha n
4 0%
-4 0% -6 0% -8 0%
N am a Situ
P e mukim an
Lahan Ter lant ar
Lahan Sawah
Te galan
Ve ge tas i Campu ran
Ket: % perubahan adalah % luas perubahan jenis penggunaan lahan terhadap luas DTA Situ tanda positif (+) menyatakan luas lahan bertambah, tanda negatif (-) menyatakan luas lahan berkurang
Gambar 10. Persentase Perubahan Penggunaan Lahan pada Tujuh DTA Situ Tahun 1991-1997 6 0%
2 0%
la
n
as
ke ng do Pe
T
R
ip
ar
C
/C
i lo
ic
do
ad
ng
ar aj
aw
a
ti j
al K
ng i la C
Ja
on
p ka
m ya i ta
-2 0%
g
0%
C
% Peruba ha n
4 0%
-4 0%
-6 0%
Na ma Si t u P em uk im an
L ahan Te r lantar
L ahan Sawah
Te galan
Ve ge tas i Cam pu ran
Ket: % perubahan adalah % luas perubahan jenis penggunaan lahan terhadap luas DTA Situ tanda positif (+) menyatakan luas lahan bertambah, tanda negatif (-) menyatakan luas lahan berkurang 54
Gambar 11. Persentase Perubahan Penggunaan Lahan pada Tujuh DTA Situ Tahun 1997-2001 Gambar 11 menunjukkan persentase perubahan penggunaan lahan dalam kurun waktu 4 (empat) tahun (tahun 1997-2001). Vegetasi campuran mengalami penurunan, sebaliknya, permukiman dan lahan terlantar mengalami penambahan luas. Hal ini dapat diketahui dari proporsi penggunaan lahan secara keseluruhan yang didominasi oleh permukiman dan lahan terlantar. Seperti pada DTA Situ Rawa Kalong dan Pedongkelan lebih dari separuhnya dari luas lahan total adalah permukiman masing-masing sebesar 72,68% dan 59,65% pada tahun 2001. Terkait dengan peningkatan kawasan perumahan di kota Depok , Rustiadi et al., (1999) menjelaskan bahwa pada proses suburbanisasi di Jakarta adanya fenomena pertambahan penduduk sehingga penduduk asal Jakarta mencari lahan untuk rumah tinggal yang lebih murah. Pada sisi lain, suburbanisasi seringkali tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan riil lahan untuk aktivitas urban, terutama kebutuhan perumahan tetapi seringkali hanya merupakan ajang pemenuhan spekulasi dan investasi penduduk golongan menengah ke atas. Menurut Leaf (1996) dalam Rustiadi et al., (1999), apabila dipandang pada sisi kebijakan pemerintah, proses suburbanisasi di sekitar Jakarta (dalam hal ini Kota Depok) pada dasarnya adalah juga sebagai dampak dari adanya kebutuhan politis pemerintah untuk membangun kota metropolitan modern. Sedangkan peningkatan lahan terlantar terjadi juga akibat proses suburbanisasi. Proses terjadinya suburbanisasi memiliki implikasi peningkatan nilai lahan (land rent) karena tingginya kebutuhan akan lahan. Diduga bertambahnya lahan terlantar disebabkan karena kepemilikan lahan tersebut sudah berpindah tangan ke masyarakat DKI Jakarta. Menurut informasi masyarakat di 55
lokasi penelitian menyebutkan bahwa lahan terlantar tersebut banyak dimiliki oleh pejabat pemerintah dan kelompok masyarakat menengah ke atas yang berdomisili di Jakarta. Akhirnya penggunaan lahan yang memiliki nilai ekonomi rendah, yang dalam hal ini vegetasi campuran mengalami konversi menjadi lahan terlantar pemukiman yang bernilai ekonomi lebih tinggi.
5.3.2. Laju Pengurangan dan Penambahan Luas Lima Jenis Penggunaan Lahan Laju penambahan dan pengurangan penggunaan lahan selama kurun waktu tahun 1991-2001 disajikan pada Tabel 10. Dari Tabel 10 diketahui
jenis
penggunaan lahan terlantar di DTA Situ Jatijajar mengalami peningkatan yang sangat besar dengan rata-rata laju penambahan sebesar 15,76% per tahun. Sedangkan rata-rata laju penambahan permukiman tertinggi sebesar 7,66% per tahun dijumpai di DTA Situ Pedongkelan. Sebaliknya, tegalan dan vegetasi campuran justru mengalami penurunan yang cukup besar dengan rata-rata laju penurunan luas berturut-turut sebesar -12,71% dan -12,28% per tahun. Hal yang sama juga terjadi pada lahan sawah dengan rata-rata laju penurunan sebesar 5,68% di DTA Situ Pedongkelan. Kondisi ini sangat logis terjadi karena DTA Situ Pedongkelan merupakan salah satu kawasan industri dan memiliki aksesibilitas dan kegiatan ekonomi yang tinggi karena berbatasan langsung dengan Propinsi DKI Jakarta. Dalam hal ini ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai mempercepat pertumbuhan kegiatan ekonomi seperti makin banyaknya kawasan industri. Hal ini menjadi faktor pendorong terjadinya peningkatan pertumbuhan penduduk yang pada gilirannya meningkatkan kebutuhan lahan areal permukiman, industri dan jasa. 56
Tabel 10. Rata-rata Laju Penambahan/Pengurangan Lima Jenis Penggunaan Lahan di Beberapa DTA Situ Kota Depok tahun 1991-2001 No
Nama Situ
Rata-rata Penambahan/Pengurangan (%/tahun) Permukiman Lahan Lahan Tegalan terlantar Sawah 3,14 7,14 0,80 -5,17 4,34 10,54 6,20 0,97 0,58 8,04 4,90 -8,25 4,72 15,76 5,84 -4,33 7,25 6,08 -0,44 -2,21 7,41 2,97 4,03 -7,57 7,66 8,44 -5,68 -12,71 5,01 8,42 2,23 -5,61 0,52 0,47 1,93 -0,79
Vegetasi Campuran -3,10 -8,08 -7,85 -1,58 -0,29 -8,35 -12,28 -5,93 -0,73
1 Citayam 2 Cilangkap 3 Rawa Kalong 4 Jatijajar 5 Cilodong 6 Tipar 7 Pedongkelan Rata-rata CV (Koefisien Variasi) Ket: tanda positif (+) menyatakan laju penambahan luas areal (%), tanda negatif (-) menyatakan laju pengurangan luas areal (%)
Pada Gambar 12a sampai dengan Gambar 12g merupakan laju penambahan/pengurangan penggunaan lahan di Daerah Tangkapan Air di ketujuh lokasi situ yang diteliti. Di seluruh DTA situ antara tahun 1991-1997 dan 19972001 yang mengalami peningkatan adalah lahan permukiman dan lahan terlantar, sedangkan vegetasi campuran mengalami penurunan. Pada Situ Citayam jenis penggunaan lahan permukiman telihat peningkatan yang paling besar pada periode tahun 1997-2001 dengan laju sebesar 7,85%/tahun (Gambar 12a). Berbeda halnya dengan lahan terlantar terlihat bahwa laju penambahan terbesar terjadi pada periode tahun 1991-1997 sebesar 9,89%/tahun. Pada periode yang sama vegetasi campuran terjadi penurunan yang cukup besar juga dengan laju sebesar 12,50%/tahun. Fenomena ini terkait dengan perembetan kenampakan dimana pada perubahannya diawali dengan adanya lahan pertanian (tegalan dan lahan pertanian lainnya) ataupun lahan bervegetasi lainnya mengalami konversi karena kepemilikan lahan banyak yang beralih ke masyarakat perkotaan (DKI Jakarta) seiring dengan pertumbuhan penduduk sehingga lahan ini berubah menjadi permukiman. 57
Perubahan 1997-2001 (%) 30
Perubahan 1997-2001 (%) 10
20
5
10 0 -15
-10
-5
0
5
10
0
15
-5
-6
-4
-2
-10
-20
Perubahan 1991-1997 (%) Permukiman Tegalan
Lahan Terlantar Vegetasi Campuran
-10
Permukiman Tegalan
Lahan Sawah
Gambar 12a. Penambahan/Pengurangan Penggunaan Lahan di DTA Luas Situ Citayam
0
2
-20
-15
Lahan Terlantar Vegetasi Campuran
Permukiman Tegalan
Lahan Sawah
-10
-5
0
5
10
15
-5
0
5
10
-10
-10 -15
12
0
0 -5
10
Perubahan 1997-2001 (%) 5
5
-5
8
Perubahan 1991-1997 (%)
10
-10
6
Gambar 12b. Penambahan/Pengurangan Penggunaan Lahan di DTA Situ Cilangkap
Perubahan 1997-2001 (%) 15
-15
4
-15
Perubahan 1991-1997 (%)
Lahan Terlantar Vegetasi Campuran
Lahan Sawah
Gambar 12c. Penambahan/Pengurangan Penggunaan Lahan di DTA Situ Rawa Kalong
Perubahan 1991-1997 (%) Permukiman Tegalan
Lahan Terlantar Vegetasi Campuran
Lahan Sawah
Gambar 12d. Penambahan/Pengurangan Penggunaan Lahan di DTA Situ Jatijajar 46 58
P erubahan 1997-2001 (%) 15
Perubahan 1997-2001 (%) 20
10
15
5
10
0 -20
-15
-10
-5
5
-5 0
5
10
15
20
-10
0 -25
-20
-15
-15
-5
-5 0
5
10
15
20
-10
-20
-15
-25
-20
P erubahan 1991-1997 (%) P ermukiman Tegalan
-10
Lahan Terlantar Vegetasi Campuran
Lahan Sawah
Permukiman Tegalan
Perubahan 1991-1997 (%)
Lahan Terlantar Vegetasi Campuran
Lahan Sawah
Gambar 12e. Penambahan/Pengurangan Penggunaan Lahan di DTA Gambar 12f. Penambahan/Pengurangan Penggunaan Lahan di DTA Situ Tipar Situ Cilodong Perubahan 1997-2001 (%) 50 40 30 20 10 0 -20
-15
-10
-5
-10 0
5
10
-20 -30 -40 Perubahan 1991-1997 (%) Permukiman Tegalan
Lahan Terlantar Vegetasi Campuran
Lahan Sawah
Gambar 12g. Penambahan/Pengurangan Penggunaan Lahan di DTA Situ Pedongkelan
47 59
Lahan permukiman yang terdapat di DTA Cilangkap (Gambar 12b) terlihat mengalami peningkatan yang besar pada periode tahun 1991-1997 sebesar 4,43% dan pada periode tahun 1997-2001 mengalami laju penambahan lagi sebesar2,23%. Pada periode terakhir ini terlihat bahwa peningkatan permukiman tidak sebesar sebelumnya karena kawasan ini sudah mengalami suburbanisasi sebelumnya sehingga lahannya telah didominasi oleh kawasan permukiman. Pada DTA Situ Rawa Kalong terlihat lahan permukiman dan lahan terlantar meningkat sebesar 9,68%/tahun dan 11,94%/tahun periode waktu 19972001, sedangkan periode sebelumnya (1991-1997) vegetasi campuran mengalami penurunan dengan laju sebesar 9,56%. Situ Cilodong merupakan situ yang paling banyak didominasi oleh lahan bervegetasi yaitu vegetasi campuran, tegalan dan lahan sawah, namun yang paling besar perubahannya adalah tegalan dengan laju penurunan sebesar 20,8%/tahun (1997-2001). Terhadap laju penambahan lahan sawah terlihat perubahan yang tidak konsisten di ketujuh situ. Hal ini diduga dalam analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) lahan sawah tersebut sebenarnya adalah lahan yang dimanfaatkan untuk sawah ketika situ mengalami pendangkalan atau pinggiran situ tertutup gulma karena gulma tumbuh diawali dari pinggir danau. Tegalan hampir di ketujuh situ mengalami penurunan luas dengan kisaran laju penurunan sebesar 20,82- 0,29%, kecuali yang berada di DTA Situ Jatijajar mengalami peningkatan laju pada tahun 1997-2001 sebesar 4,48% dan 6,54% pada Situ Rawa Kalong periode tahun 1991-1997. Hal ini diduga lahan kosong yang berada di lokasi tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat secara temporal untuk kegiatan pertanian lahan kering. 60
5.4. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luas Situ Analisis ini menggunakan pendekatan model regresi linier berganda seperti yang tersaji pada Tabel 11. Namun untuk menghindari multikolinieritas dalam analisis regresi linier berganda dilakukan terlebih dahulu analisis korelasi terhadap masing masing variabel bebas (Lampiran 7). Berdasarkan uji analisis korelasi ternyata tidak satupun variabel bebas (sembilan variabel) yang saling berkorelasi. Artinya persyaratan analisis regresi terpenuhi sehingga dapat dilanjutkan analisis regresi linier berganda. Maka pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi laju perubahan luas situ dapat diterangkan oleh satu persamaan regresi saja. Tabel 11. Parameter Persamaan Regresi Linier Berganda Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Penurunan Luas Situ Variabel
Satuan
Persamaan Regresi
Persen Penurunan Luas Situ (Y) Konstanta -5,44** Jarak Desa ke Ibukota Kab. yang Membawahi (X1) km 0,18** Jarak Desa ke Ibukota Kab. Terdekat (X2) km -0,06** Laju Pertumbuhan Penduduk (X3) orang/km2 0,04 Laju Perubahan Luas Permukiman (X4) %/th 0,08* Laju Perubahan Luas Lahan Terlantar (X5) %/th -0,05* Laju Perubahan Luas Lahan Sawah (X6) %/th -0,04* Laju Perubahan Luas Tegalan (X7) %/th 0,02 TN Laju Perubahan Luas Vegetasi Campuran (X8) %/th 0,01TN Kelas Kelerengan (X9) % 1,5* R2 0,90 K et: *) : nyata pada á 0,05 **) : nyata pada á 0,1 T N) : tidak nyata -) tidak termasuk dalam persamaan
Dari persamaan model ini menunjukkan bahwa koefisien determinasi sebesar 0,90. Dari angka ini memberikan indikasi bahwa parameter (variabelvariabel penduga) yang dimasukkan ke dalam model regresi cukup mampu menerangkan perilaku dari variabel laju perubahan luas situ sebesar 90%. Jadi model yang dibangun sudah representatif karena mampu menerangkan pengaruh yang berarti terhadap laju penurunan luas situ. 61
Hasil analisis regresi linier berganda terhadap laju penurunan luas situ menunjukkan bahwa variabel jarak desa tempat situ berada ke kabupaten yang membawahi berpengaruh nyata positif pada taraf nyata 5% seperti yang ditunjukkan pada Tabel 11. Hal ini berarti bahwa semakin jauh letak situ dari ibukota kabupaten yang membawahi (Kota Depok) menyebabkan laju penurunan luas situ luas situ semakin besar pula. Diduga fakta ini terjadi karena adanya kaitan dengan pengawasan lembaga / institusi terkait. Semakin jauh lokasi situ dari pusat pemerintahan (ibukota) kabupaten maka kontrol dalam pengawasan baik dalam pengelolaan maupun pemeliharaan situ menjadi berkurang, sehingga laju penurunan luas situ semakin cepat. Penjelasan lebih lanjut, mekanisme mengapa proses penurunan luas situ makin cepat terjadi karena jauhnya lokasi situ memungkinkan semakin berkurangnya perhatian ataupun kepedulian dalam memonitor eksistensi situ. Berdasarkan tinjauan lapangan, kepedulian pemerintah (dinas terkait) berupa pengendalian dan penertiban kepemilikan lahan oleh pihak yang berwenang di Daerah Tangkapan Air (DTA) situ menjadi milik pribadi sehingga memperkecil DTA situ. Sedangkan berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1998 (Anonimous, 1998) bahwa kawasan situ (termasuk DTA situ) merupakan kawasan lindung yang merupakan milik negara. Disamping kurangnya penertiban kepemilikan lahan, juga pembersihan situ dari gulma dan sampah lainnya dan pengerukan situ tidak dilakukan secara berkala oleh dinas terkait sehingga proses pendangkalan situ semakin cepat terjadi. Situ yang tidak terawat atau tidak adanya pemeliharaan untuk kelestariannya memiliki kondisi yang jelek, banyak
62
ditumbuhi oleh gulma serta banyaknya kawasan permukiman di DTA situ lama kelamaan situ mengalami pendangkalan sehingga luas situ menyusut. Variabel jarak desa ke kabupaten terdekat berpengaruh negatif pada taraf nyata 5% terhadap laju penurunan luas situ. Hal ini berarti bahwa semakin dekat lokasi situ terhadap ibukota kabupaten terdekat , mempercepat laju penurunan luas situ. Hal ini diduga karena akesibilitas dengan kabupaten terdekat lebih lancar dengan sarana dan prasarana transportasi yang memadai menyebabkan akses terhadap ekosistem situ lebih mudah sehingga mempercepat penurunan kualitas situ terutama terhadap luas situ. Artinya, kedekatan aksesibilitas terhadap situ menyebabkan semakin besarnya intensitas dan besaran aktifitas sosial ekonomi masyarakat. Kegiatan ini akan berdampak terhadap lingkungan situ. Kegiatan yang berdampak negatif adalah pembuangan limbah ke lingkungan perairan situ akibat semakin banyaknya lahan terbangun untuk hunian, industri dan jasa lainnya, pengurugan terhadap lahan di badan air situ dan DTA situ akibat pendangkalan, sedimentasi, eutrofikasi dan lain-lain. Penumpukan limbah terutama sampah di areal situ juga memungkinkan luas situ semakin bekurang. Variabel fisik lain yang berrpengaruh terhadap laju penurunan luas situ adalah faktor kelerengan. berdasarkan analisis regresi linier berganda, kelerengan berpengaruh positif pada taraf nyata 1% terhadap laju penurunan luas situ. Semakin tinggi kelas kelerengan di DTA situ mempercepat penurunan luas situ. Tingkat kelerengan yang semakin besar menunjukkan semakin curam suatu daerah. Kelerengan yang curam mempercepat terjadinya erosi. Proses erosi semakin besar terjadi bila berada pada kelerengan DTA situ yang semakin curam 63
karena erosi yang membawa sedimen (transpor sedimen) ke tempat yang lebih rendah (ke arah badan air situ) lebih banyak sehingga terjadi sedimentasi sehingga proses penurunan luas situ semakin cepat. Laju penambahan/pengurangan lahan permukiman berpengaruh positif terhadap laju penurunan luas situ pada taraf nyata 10%. Hal ini berarti semakin tinggi laju penambahan luas lahan permukiman menyebabkan semakin tinggi pula laju penurunan luas situ. Fenomena ini diduga terjadi karena penambahan permukiman yang berada pada DTA situ tidak berpengaruh baik terhadap ketersediaan air di areal situ. Peningkatan luas lahan permukiman merupakan gejala proses suburbanisasi (pengembangan wilayah ke arah perkotaan), sehingga lahan-lahan yang tadinya lahan hijau yang dimanfaatkan untuk aktifitas pertanian dan lahan bervegetasi lainnya yang dimanfaatkan juga sebagai kawasan resapan air banyak beralih fungsi menjadi lahan terbangun / lahan permukiman seperti kawasan perumahan, industri, jasa dan lain sebagainya. Berkenaan dengan peningkatan lahan permukiman di DTA situ dengan ketersediaan air situ dapat dijelaskan bahwa lahan permukiman tidak memiliki kemampuan untuk menyimpan air karena tidak adanya vegetasi yang dapat menyimpan / meresapkan air. Kondisi ini mempercepat terjadinya erosi karena ketika hujan turun, air limpasan lebih besar, sedangkan air yang meresap ke dalam tanah lebih kecil. Erosi ini membawa lapisan atas air tanah (top soil) ke dalam situ sehingga terjadi sedimentasi yang akhirnya situ mengalami pendangkalan. Disamping itu, fenomena lainnya akibat peningkatan lahan permukiman adalah aktifitas masyarakat sekitar di areal situ seperti tempat buangan limbah rumah tangga, limbah industri dan kegiatan perikanan serta aliran sungai / anak 64
sungai ke dalam situ yang banyak membawa zat-zat ataupun material lainnya yang dapat menjadi sumber makanan bagi organisme yang terdapat di dalam situ sehingga terjadi eutrofikasi. Eutrofikasi adalah berkembangnya suatu jenis organisme secara tidak terkendali (blooming) akibat melimpahnya zat makanan bagi organisme tersebut. Berdasarkan pengamatan lapangan, indikator yang menyebabkan areal situ mengalami eutrofikasi adalah tumbuhnya gulma terutama jenis eceng gondok dan teratai. Tumbuh-tumbuhan ini dapat ditemui pada hampir keseluruhan situ. Akar tumbuh-tumbuhan kemudian mengikat sedimen (lumpur) yang berada di dasar perairan situ, sehingga proses sedimentasi semakin cepat terjadi akhirnya pendangkalan situ semakin cepat pula. Implikasi dari proses tersebut menyebabkan luas cakupan badan air (water body) situ semakin berkurang. Sedangkan jenis penggunaan yang berpengaruh negatif terhadap laju penurunan luas situ adalah laju perubahan lahan terlantar. Hal ini berarti bahwa laju peningkatan luas lahan terlantar dapat mempertahankan ketersediaan air situ. Diduga karena lahan terlantar yang memiliki karakteristik berupa rerumputan dan semak masih mampu mengurangi air limpasan hujan bila dibandingkan dengan lahan permukiman. Kondisi ini dapat mengurangi erosi kemudian berimplikasi terhadap berkurangnya proses sedimentasi sehingga proses penurunan luas situ menjadi lebih kecil. Hal yang sama juga terjadi pada jenis penggunaan lahan sawah. Laju perubahan lahan sawah berpengaruh negatif terhadap laju penurunan luas situ pada taraf nyata 10%. Artinya, semakin tinggi laju peningkatan / penambahan luas lahan sawah akan memperkecil laju penurunan luas situ. Hal ini juga berkaitan 65
dengan stabilitas kondisi fisik lingkungan areal situ terutama terhadap kondisi tanah dan air. Dengan adanya lahan sawah yang ada di DTA situ akan mempertahankan ketersediaan air situ. ketika musim hujan lahan sawah dapat menjadi areal penampungan sementara bagi air sebelum langsung mengalir ke dalam situ. Kondisi ini dapat memperlambat terjadinya erosi yang banyak membawa material-material tanah / lumpur sehingga dapat mengurangi pendangkalan situ. Menurut Asdak (2002) menyatakan bahwa vegetasi yang memiliki tumbuhan yang tinggi kurang memiliki kontrribusi yang nyata terhadap penurunan erosi bila dibandingkan dengan vegetasi yang rendah. Vegetasi rendah yang dimaksud adalah lahan yang didominasi oleh semak, rerumputan dan tumbuhan perdu lainnya. Vegetasi ini lebih tahan terhadap percikan air hujan sehingga erosi dapat dikurangi. Berkaitan dengan hipotesisi penelitian, hasil analisis regresi linier berganda membuktikan bahwa lahan bervegetasi yang dalam hal ini jenis penggunaan lahan terlantar dan lahan sawah mempengaruhi penurunan luas situ. Berarti hipotesis penelitian (Ho) yang pertama telah terbukti (Ha diterima). Sedangkan hipotesis penelitian (Ho) kedua yang menyatakan bahwa kepadatan penduduk mengakibatkan situ mengalami penurunan. Ternyata dengan melakukan analisis linier berganda penurunan luas situ tidak dipengaruhi oleh kepadatan penduduk sehingga Ho ditolak. Pada Gambar 13a sampai dengan Gambar 13g memperlihatkan hubungan antara luas situ (ha) dengan luas jenis penggunaan lahan (ha) pada masing-masing DTA situ. Di seluruh situ yang diteliti terlihat bahwa luas situ memiliki 66
kecenderungan menurun pada periode waktu tahun 1991 - 1997 dan 1997 - 2001, seiring dengan penambahan luas penggunaan lahan permukiman dan lahan terlantar. Sebaliknya, pada periode waktu yang sama vegetasi campuran mengalami penurunan luas. Penurunan luas vegetasi campuran yang cukup besar terjadi di DTA Situ Cilangkap, Situ Tipar dan Situ Pedongkelan (Gambar 13b, 13f, dan 13g) masing - masing tahun 1991 sebesar 12,33 ha, 6,81 ha, dan 6,36 ha menjadi 2,02 ha, 1,18 ha, dan 0,46 ha pada tahun 2001. Apabila dilihat dari proporsi luas penggunaan lahan di seluruh situ yang diteliti terlihat bahwa vegetasi campuran yang paling dominan terdapat di DTA Situ Jatijajar dan Situ Cilodong (Gambar 13d dan 13e), walaupun tetap mengalami penurunan luas dari waktu ke waktu seiring dengan penurunan luas situ masing - masing sebesar 13,17 ha dan 9,3 ha pada tahun 1991 menjadi 9,24 ha dan 8,71 ha pada tahun 2001. Pada Situ Jatijajar, jenis penggunaan lahan tegalan juga mngalami penurunan luas sebesar 0,54 ha dibarengi juga dengan penurunan luas situ sebesar 3,5 ha selama kurun waktu 10 tahun (1991 - 2001). Berbeda halnya dengan lahan terlantar yang terdapat di DTA Situ Cilodong ternyata memiliki kecenderungan meningkat dimana pada tahun 1991 hanya 0,28 ha menjadi 0,92 ha tahun 2001. Pada Situ Rawa Kalong terlihat bahwa luas situ mengalami penurunan sebesar 3 ha selama kurun waktu 10 tahun dimana pada tahun 1991 seluas 10,31 ha menjadi 7,31 ha tahun 2001, begitu juga dengan vegetasi campuran yang berada pada DTA situ tersebut mengalami penurunan luas pada tahun 2001 (0,82 ha), sedangkan tahun 1991 memiliki luas sebesar 4,03 ha. Namun permukiman merupakan tipe lahan
yang dominan di DTA Situ Rawa Kalong bila 67
dibandingkan dengan penggunaan lahan yang lain dengan kecenderungan yang makin luas selama kurun waktu 10 tahun dimana pada tahun 1991 sebesar 11,78 ha meningkat menjadi 13,89 ha pada tahun 2001 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13c. Sedangkan jenis penggunaan lahan sawah dan tegalan tidak memiliki kecenderungan perubahan yang jelas. Hal yang menarik dari perubahan penggunaan lahan adalah pada DTA Situ Tipar dan Pedongkelan terlihat terjadinya perubahan luas penggunaan lahan yang cukup besar (Gambar 13g). Terutama vegetasi campuran mengalami penurunan yang tajam dimana pada tahun 1991 masing-masing luasnya sebesar 6,81 dan 6,36 ha, kemudian pada tahun 1997 mengalami penurunan masing-masing sebesar 3,2 dan 2 ha, tahun 2001 hanya tersisa sebesar 1,18 dan 0,46 ha. Sementara luas Situ Tipar dan Pedongkelan ini juga mengalami penurunan dimana pada tahun 1991 masing-masing sebesar 14,13 dan 7,74 ha menjadi 10,13 dan 5,54 ha pada tahun 2001.
68
7 ,5 0
6
7 ,0 0
4 2
6 ,5 0
0
6 ,0 0 1991
1997
2001
8,00
12
7,00
10
6,00
L ah an Terl an t ar V eg et as i C amp u ran
5,00
8
4,00
6
3,00
4
2,00
2
1,00
0
Tah u n P ermu k i ma n Teg al an
Luas Situ (Ha)
8
Luas Penggunaan Lahan (Ha)
8 ,0 0 L u as S i t u (H a)
(H a )
L u as P e n g g u n aan L a h a n
10
14
0,00 1991
1997
2001
Tahun
S a w ah S i t u C i t a y am
P ermukiman Tegalan
Lahan Terlantar Vegetasi Campuran
Sawah Situ Cilangkap
Gambar 13a. Hubungan Luas Situ Citayam dengan Penggunaan Gambar 13a. Hubungan Luas Situ Cilangkap dengan Penggunaan Lahan Periode Tahun 1991-2001 Lahan Periode Tahun 1991-2001 14
10
8 ,0 0 6 ,0 0
5
4 ,0 0 2 ,0 0
0
0 ,0 0 1991
1997
2001
L u as S it u (H a)
L u as P en g g u n aan L ah an (H a)
1 0 ,0 0
1 0 ,0 0
12
8 ,0 0
10 8
6 ,0 0
6
4 ,0 0
4
2 ,0 0
2 0
0 ,0 0 1991
Tah u n P emu k iman Teg al an
L ah an Terlan tar Veg etas i C amp u ran
L u as S i tu (H a)
1 2 ,0 0 L u as P en g g u n aa n L ah an (H a )
15
1997
2001
Ta h u n
S aw ah S i tu R aw a K alo n g
Gambar 13a. Hubungan Luas Situ Rawa Kalong dengan Penggunaan Lahan Periode Tahun 1991-2001
P emu k i ma n Te g al an
L ah a n Terl an t ar Veg e t as i C amp u ran
S a w ah S i t u Jat i j aj ar
Gambar 13a. Hubungan Luas Situ Jatijajar dengan Penggunaan Lahan Periode Tahun 1991-2001 69
8
1 6,0 0
9 ,3 0
7
1 4,0 0
6
1 2,0 0
5
1 0,0 0
4
8 ,0 0
3
6 ,0 0
2
4 ,0 0
1
2 ,0 0
L u as P en g g u n a an L ah a n (H a)
8 7 6
9 ,1 0
5
9 ,0 0
4
8 ,9 0
3
8 ,8 0
2
8 ,7 0
1 0
8 ,6 0 1991
P em uk im an T egalan
1997 T a h un
Lahan T erlant ar Veget asi C am p uran
Saw ah Sit u C ilodo ng
7
8,00
6
7,00 6,00 5,00 4,00 3,00
2
1997 T ahu n L a h a n T e r la n t a r Ve ge t a si C a m p ur a n
2001 Sa wa h Sit u T ip a r
Gambar 13a. Hubungan Luas Situ Tipar dengan Penggunaan Lahan Periode Tahun 1991-2001
Luas Situ (Ha)
9,00
Luas Penggunaan Lahan (Ha)
8
3
0 ,0 0
P e m uk im a n T e ga la n
Gambar 13a. Hubungan Luas Situ Cilodong dengan Penggunaan Lahan Periode Tahun 1991-2001
4
0 1991
2001
5
L u as S itu ( H a)
9 ,2 0
L u as S itu (H a)
9 ,4 0
9
L u as P eng g un aan L ahan (H a)
10
2,00
1
1,00
0
0,00 1991 Pemukiman T egalan
1997 T ahun Lahan T erlantar Veget asi Campuran
2001 Sawah Sit u Pedongkelan
Gambar 13a. Hubungan Luas Situ Pedongkelan dengan Penggunaan Lahan Periode Tahun 1991-2001
70
5.5. Analisis Pemahaman dan Pemanfaatan Situ oleh Masyarakat Analisis pemahaman dan pemanfaatan situ bagi masyarakat di sekitar situ dilakukan dengan analisis uji t dan uji beda khi kuadrat pada 2 (dua) karakteristik situ yang berbeda. Pertama, situ yang masih tergolong alami dengan ciri-ciri secara fisik warna air yang masih jernih, di sekitarnya masih didominasi oleh vegetasi campuran dan tegalan serta permukiman yang jarang. Kedua, situ yang sudah terpengaruh oleh aktivitas manusia (tidak alami) dengan karakteristik kualitas air yang keruh, disekitar situ didominasi oleh permukiman dan atau industri. Berdasarkan pendapat masyarakat terhadap kondisi situ berdasarkan uji beda (÷2) menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara rumah tangga yang berada di sekitar situ yang dikategorikan masih alami dengan situ yang terpengaruh oleh aktivitas manusia (Tabel 12 ). Hal ini didukung oleh sebagian besar (57,7%) masyarakat menyatakan kondisi situ masih baik di sekitar situ yang masih alami namun bila dibandingkan dengan masyarakat di sekitar situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia hanya sebagian kecil (28,7%) yang menjawab kondisi situ masih baik. Sebaliknya mayoritas responden menyatakan kondisi situ buruk pada situ yang terpengaruh oleh aktivitas manusia. T abel 12. Proporsi dan Hasil Uji Beda K hi K uadrat (÷2) terhadap Kondisi Situ pada Dua Kelompok Jenis Situ ÷2 Kategori Situ Relatif Alami Situ yang Terpengaruh oleh Manusia Jumlah Persen Frekwensi Persen Baik 22 57,9 37 28,7 0,911* Buruk 16 42,1 92 71,3 Total 38 100 129 100 K et: *) nyatapadaá 0.05
71
Berdasarkan observasi di lokasi penelitian, situ yang relatif alami memiliki air yang lebih jernih, tidak berbau pada musim kering serta jenis dan kerapatan vegetasi pada daerah tangkapan air situ lebih tinggi dibandingkan dengan situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia. Sebaliknya kondisi fisik situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia menunjukkan airnya keruh dan kadang-kadang pada musim kemarau airnya berbau karena limbah rumah tangga dan limbah industri masuk ke badan air situ. Contoh kasus yang terjadi di Situ Rawa Kalong dan Tipar yang berdekatan dengan kawasan industri dimana sebagian masyarakat tidak lagi memanfaatkan situ untuk budidaya ikan karena situ tidak layak lagi menjadi tempat hidup ikan. Kalaupun ikan bisa dibudidayakan namun hasilnya tidak optimal karena tercemar oleh limbah terutama oleh limbah industri.
5.5.1. Karakteristik Rumah Tangga Responden Hasil uji beda nilai rata-rata umur responden di kedua kelompok situ yaitu situ yang relatif alami dan situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia menunjukkan rata-rata umur responden pada kedua kedua kelompok situ tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5% (Tabel 13). Hal ini menunjukkan bahwa usia pada kedua kelompok situ tersebut relatif tidak jauh berbeda dengan rata-rata usia responden di wilayah situ yang relatif alami 57 tahun sedangkan rata-rata usia responden di situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia 54 tahun. Namun Lebih rendahnya rata-rata usia di wilayah situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia cukup logis karena di sekitar situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia telah terjadi suburbanisasi dimana tingkat pertumbuhan jumlah permukiman dan industri mulai berkembang. Hal ini berarti, pertumbuhan industri 72
dan perumahan berimplikasi terhadap peningkatan kebutuhan tenaga kerja. Angkatan kerja ini didominasi oleh kelompok umur yang masih produktif (relatif muda). Tabel 13. Uji Beda Nilai Rata-rata Usia Responden pada Dua Kelompok Situ Variabel Situ Alami Situ yang Terpengaruh p-level oleh Kegiatan Manusia Jumlah Nilai Tengah Jumlah Nilai Tengah 57 54 0,168 Usia (th) 38 129 Ket: *) nyata pada á 0.05
Selanjutnya faktor umur dapat menjadi pertimbangan bagi besaran pendapatan seseorang. Ketika umur masih muda (produktif) maka energi dan semangat bekerja lebih besar maka kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik akan lebih besar sehingga otomatis memperoleh pendapatan yang tinggi pula. Tingkat pendapatan responden ternyata memiliki perbedaan antara situ yang relatif alami dengan situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia dengan menggunakan uji beda khi kuadrat pada taraf nyata 5% seperti yang tersaji pada Tabel 14. Dengan melihat distribusi tingkat pendapatan responden di kedua kelompok situ terlihat bahwa pendapatan masyarakat di sekitar situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia lebih besar dibandingkan dengan situ alami. Hal ini diduga karena sebagian besar masyarakat disekitar situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia memiliki sumber penghasilan dari aktivitas urban seperti sektor industri, dagang dan sektor jasa, sedangkan masyarakat yang berada di sekitar situ yang relatif alami sumber penghasilan utamanya lebih banyak dari aktivitas sektor pertanian. Adapun jenis pertanian yang dimiliki mereka adalah pertanian lahan kering (sayur-sayuran, buah-buahan), sawah, perikanan (jaring apung dan pemancingan). 73
Hasil wawancara dengan penduduk di wilayah penelitian menunjukkan pendapatan di sektor pertanian kurang mencukupi kebutuhan hidup mereka karena hasil panen komoditi pertanian bernilai jual rendah. Kondisi ini diperparah oleh kecenderungan masyarakat menjual lahan pertaniannya untuk kebutuhan hidup sehingga banyak yang menganggur dan bekerja pada sektor non formal (kerja serabutan) karena minimnya pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki. T abel 14. Proporsi dan Hasil Uji Beda K hi K uadrat (÷2) Pendapatan Responden/bulan pada Dua Kelompok Situ Kategori Alami Tercemar ÷2 Jumlah Persen Jumlah Persen < Rp. 300.001 19 50 56 43,4 Rp 300.001-600.000 11 28,9 34 26,4 3,402* > Rp 600.000 8 21,1 39 30,2 Total 38 100 129 100 K et: *) nyatapadaá 0.05
Pendapatan rumah tangga juga ditentukan oleh jenis sumber pendapatan (pekerjaan). Sumber pendapatan rumah tangga dalam penelitian ini terdiri dari sumber pendapatan utama dan sumber pendapatan tambahan. Sumber pendapatan utama masyarakat di kedua kelompok situ tertera pada Tabel 15. Dari Tabel 15 nampak bahwa proporsi terbesar sumber pendapatan utama masyarakat pada situ yang relatif alami yaitu sektor pertanian yaitu 42,1%, sedangkan pada situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia hanya 17,8%. Sebaliknya, pada situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia sebagian besar (51,9%) sumber pendapatan utama penduduk dari kegiatan nonpertanian, sedangkan di sekitar situ yang relatif alami hanya 15,8%.
74
T abel 15. Proporsi dan Hasil Uji Beda K hi K uadrat (÷2) Sumber Pendapatan Utama pada Dua Kelompok Jenis Situ ÷2 Kategori Situ Relatif Alami Situ yang Terpengaruh oleh Manusia Jumlah Persen Jumlah Persen Sektor pertanian Sektor nonpertanian Campuran, pertanian sebagai sumber utama Campuran, bukan petanian sebagai sumber utama Total K et: *) nyatapada á 0.05
16 6 8
42,1 15,8 21,1
23 67 18
17,8 51,9 14,0
8
21,1
21
16,3
38
100
129
100
11,839*
Kondisi ini erat kaitannya dengan tipologi wilayah yang sudah mengarah pada proses suburbanisasi dimana pada situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia telah menimbulkan gejala sosial ekonomi yang komplek seperti konversi lahan pertanian ke aktivitas urban, spekulasi lahan dan lain-lain (Rustiadi et al., 1999). Mengenai sumber pendapatan masyarakat yang mengarah pada aktivitas urban maka sumber pendapatan yang sebelumnya berasal dari pertanian akibat konversi lahan beralih pada sektor non pertanian.
Hasil wawancara dengan
responden menunjukkan kebanyakan responden beralih profesi sebagai buruh pabrik dan sektor non formal. Gejala ini berkaitan erat dengan pertumbuhan struktur ekonomi wilayah yang banyak bergerak di bidang manufaktur dan jasa. Multiplier effect yang timbul adalah semakin bertambahnya jenis pekerjaan baru dan banyaknya angkatan kerja yang terserap seperti buruh pabrik, berdagang, karyawan swasta, wiraswasta, dan bidang jasa lainnya. Hal yang kontras terjadi pada situ yang relatif alami bahwa sumber pendapatan utama sebagian besar responden adalah sektor pertanian. Hal ini dimungkinkan karena masih luasnya lahan pertanian di sekitar situ yang relatif alami dan juga pemanfaatan situ yang relatif alami masih dominan dengan adanya 75
budidaya perikanan air tawar. Disamping, itu situ masih mampu mensuplai air untuk pengairan lahan pertanian, meski dari waktu ke waktu lahan pertanian semakin sempit. Jenis pekerjaan dapat menjadi indikator tingkat pendidikan. Artinya, penduduk dengan tingkat pendidikan yang tinggi banyak berprofesi tidak menggunakan tenaga fisik, tetapi menggunakan kemampuan berfikir. Sebaliknya, penduduk yang berpendidikan lebih rendah atau tidak mengecap pendidikan formal kebanyakan bekerja menggunakan kemampuan tenaga fisik, seperti buruh. Dapat dikatakan pendidikan merupakan wahana yang ampuh untuk mengangkat manusia dari berbagai ketertinggalan dan sebagai salah satu jalan yang cukup efektif untuk melakukan mobilitas sosial dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Para ahli menyatakan bahwa terdapat korelasi yang positif antara pendapatan dan tingkat pendidikan (Ananta,1988). Maksudnya adalah semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang
mempunyai
kecenderungan
semakin
tinggi
pula
pendapatan. Tabel 16 menggambarkan komposisi tingkat pendidikan masyarakat yang berada pada kedua jenis situ. T abel 16. Proporsi dan Hasil Uji Beda K hi K uadrat (÷2) Tingkat Pendidikan Responden pada Dua Kelompok Jenis Situ Kategori Situ Relatif Alami Situ yang ÷2 Terpengaruh oleh Manusia Jumlah Persen Jumlah Persen Maksimal SD 24 63,7 58 45,3 3,69* Pendidikan di atas SD 14 36,8 70 54,7 Total 38 100 129 100 K et: *) nyatapadaá 0.05
Tabel 16 menunjukkan bahwa mayoritas (63,7%) rumah tangga yang berpendidikan maksimal SD terdapat di sekitar area situ alami. Sebaliknya, lebih dari setengah (54,7%) dari total responden pada situ yang terpengaruh oleh 76
kegiatan manusia memiliki penddidkan di atas SD. Berdasarkan uji beda khi kuadrat terdapat perbedaan yang nyata tingkat pendidikan masyarakat antara situ yang relatif alami dengan situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia. Data tersebut menunjukkan bahwa perbedaan tingkat pendidikan pada kedua lokasi situ disebabkan karena rumah tangga yang berada di sekitar situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia lebih maju dan modern sehingga mereka menganggap penting pendidikan. Fenomena ini seiring dengan permintaan industri yang memerlukan tenaga kerja yang berkeahlian, sehingga diperlukan pendidikan yang lebih tinggi. Berbeda dengan rumah tangga yang berada di situ alami, lebih banyak bekerja dibidang pertanian yang tidak memerlukan keahlian khusus.
5.5.2. Pemahaman Masyarakat terhadap Eksistensi Situ Terhadap pengetahuan masyarakat tentang pengurangan luas situ pada dua kelompok situ yaitu situ yang relatif alami dan situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia, hasil pengujian beda khi kuadrat menunjukkan tidak berbeda nyata. Hal ini ditunjukkan dengan proporsi pendapat masyarakat sebagian besar menjawab bahwa situ telah mengalami pengurangan luas baik pada situ yang relatif alami maupun tercemar masing-masing sebesar 63,2% dan 69,8% (Tabel 17).
77
Tabel 17. Proporsi dan Hasil Uji Beda Khi Kuadrat (÷2) Pendapat Masyarakat tentang Terjadinya Pengurangan Luas Situ pada Dua Kelompok Jenis Situ Kategori Situ Relatif Alami Situ yang ÷2 Terpengaruh oleh Manusia Jumlah Persen Jumlah Persen Ya (Terjadi Penyusutan) 24 63,2 90 69,8 0,500 Tidak (tidak Terjadi Penyusutan) 14 36,8 39 30,2 Total 38 100 129 100 K et: *) nyatapadaá 0.05
Menurut responden, seluruh situ di wilayah penelitian sebagian besar telah mengalami penyusutan. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat dapat diketahui bahwa pendangkalan situ juga dipicu oleh aliran sungai yang membawa lumpur masuk ke dalam situ. Akibatnya selain terjadinya pendangkalan juga terjadi eutrofikasi karena lumpur yang terbawa banyak mengandung bahan organik. Selain itu, menurut pendapat masyarakat bahwa adanya pengurugan situ memperkecil luas situ. Sebagian besar masyarakat berpendapat situ pernah diurug di kedua kelompok situ yaitu masing-masing sebesar 76,3% pada situ yang relatif alami dan 64,3% pada situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 18. Namun hasil uji beda khi kuadrat terhadap pernyataan masyarakat tentang areal situ pernah diurug menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pendapat masyarakat di sekitar situ yang relatif alami dengan situ yang terpengaruh oleh aktivitas manusia. Hasil observasi di lokasi penelitian menunjukkan pengurugan situ dilakukan oleh masyarakat sendiri, namun ada juga yang dilakukan oleh investor (swasta) untuk kawasan perumahan. Pengurugan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar akibat situ yang mengalami pendangkalan sehingga sebagian menjadi daratan. Kawasan ini diklaim menjadi hak milik. Sedangkan pengurugan yang 78
dilakukan oleh swasta dilakukan berdasarkan izin aparat setempat. Kondisi ini akan berakibat buruk terhadap eksistensi situ. Daerah tangkapan air situ menjadi mengecil sehingga semakin sedikit daya tampung air oleh situ. Apabila tidak dilakukan upaya penertiban areal situ kemungkinan akan terjadi penurunan luas situ dan mungkin situ berubah menjadi daratan. T abel 18. Proporsi dan Hasil Uji Beda K hi K uadrat (÷2) Pendapat Masyarakat terhadap Apakah Situ Pernah Diurug pada Dua Kelompok Jenis Situ Kategori Situ Relatif Alami Situ yang Terpengaruh oleh Manusia ÷2 Jumlah Persen Jumlah Persen Ya 29 76,3 83 64,3 2,081 Tidak 9 23,7 46 35,7 Total 38 100 129 100 K et: *) nyatapadaá 0.05
Hasil uji beda khi kuadrat terhadap pendapat masyarakat tentang konversi lahan memiliki pengaruh terhadap eksistensi situ menunjukkan respon yang berbeda nyata antara masyarakat di sekitar situ yang relatif alami dengan situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia (Tabel 19). Indikator yang mendukung pernyataan ini adalah besarnya proporsi pendapat masyarakat yang menyatakan situ dipengaruhi oleh konversi lahan yaitu 69% pada lokasi situ yang tercemar, sedangkan situ yang relatif alami sebesar 60,5%. Artinya, konversi lahan berpengaruh langsung terhadap kondisi situ. Lebih lanjut, menurut pendapat masyarakat semakin luasnya lahan perumahan dan pembangunan sarana dan prasarana telah menyebabkan kualitas situ semakin buruk. Jika dibandingkan dengan sebelum dibangunnya kawasan permukiman, kondisi situ masih baik sehingga banyak dimanfaaatkan untuk berbagai kebutuhan oleh masyarakat sekitar. Artinya situ yang disekitarnya masih ditumbuhi oleh vegetasi pohon relatif lebih baik dengan dengan situ yang disekitarnya merupakan kawasan perumahan dan industri. Kebanyakan jenis tanaman yang tumbuh di sekitar situ 79
adalah tanaman yang menghasilkan buah (edible fruit) seperti pohon mangga, jambu, jambu biji dan kelapa. Selain itu, juga ditumbuhi oleh tanaman pertanian tegalan seperti pisang, singkong, terong, pepaya dan lain-lain. T abel 19. Proporsi dan Hasil Uji Beda K hi K uadrat (÷2) Pendapat Masyarakat Apakah Situ Dipengaruhi Konversi Lahan pada Dua Kelompok Situ Kategori Situ Relatif Alami Situ yang ÷2 Terpengaruh oleh Manusia Jumlah Persen Jumlah Persen Ya 23 60,5 89 69 0,663* Tidak 15 39,5 40 31 Total 38 100 129 100 K et: *) nyatapadaá 0.05
5.5.3. Peranan Situ Bagi Masyarakat Sekitar Secara alami situ memiliki peranan yang besar terhadap lingkungan termasuk manusia. Ekosistem situ mampu memberikan andil yang besar terhadap kehidupan masyarakat seperti yang dipaparkan pada Tabel 21. Tabel 20. Proporsi dan Hasil Uji Beda Khi K uadrat (÷2) Fungsi Situ terhadap Lingkungan pada Dua Kelompok Jenis Situ Kategori ÷2 Situ Relatif Situ yang Alami Terpengaruh oleh Manusia Tandon Air Pengendali Banjir Sumber ekonomi Total
K et: *) nyatapadaá 0.05
Frekwensi 20 8 10 38
Persen 52,6 21,1 26,3 100
Frekwensi 65 43 21 129
Persen 50,4 33,3 16,3 100
5,998*
Hasil analisis khi kuadrat pengetahuan masyarakat tentang fungsi situ terhadap lingkungan berbeda nyata pada taraf 5% antara masyarakat pada lokasi situ yang relatif alami dan situ yang terpengaruh oleh manusia. Hal ini didukung oleh proporsi jawaban masyarakat
terhadap fungsi situ. Walaupun proporsi
pengetahuan masyarakat terhadap fungsi situ sebagai tandon air terhadap kedua 80
kelompok rumah tangga relatif sama (52,6% dan 50,4%), namun terhadap fungsinya sebagai pengendali banjir dan sumber ekonomi memiliki perbedaan. Masyarakat di sekitar situ alami, yang menjawab fungsi situ sebagai pengendali banjir sebanyak 21,1%, sedangkan pada situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia lebih besar yaitu 33,3%. Sedangkan proporsi yang menjawab fungsi situ sebagai sumber ekonomi lebih besar pada situ yang relatif alami (26,3%) dibandingkan dengan situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia (16,3%). Berkenaan dengan peranan situ dalam mempertahankan sumberdaya air (tandon air), masyarakat sekitar situ dalam pemenuhan kebutuhan air baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun untuk kepentingan pertanian, sangat mengandalkan situ. Menurut informasi masyarakat, ketersediaan air situ merupakan indikator ketersediaan air sumur di rumah tangga mereka. Perubahan penggunaan lahan yang pesat yang mengarah ke penggunaan lahan ke aktivitas urban menyebabkan air sumur mereka mulai mengalami pengurangan. Hasil analisis fungsi situ mengindikasikan bahwa pengetahuan masyarakat tentang situ cukup baik. Namun bila dikaitkan dengan partisipasi mereka terhadap situ baik situ yang tergolong alami maupun situ yang terpengaruh oleh manusia proporsi jawaban masyarakat ternyata sebagian besar tidak melibatkan diri atau tidak berpartisipasi dalam pelestarian situ seperti terlihat pada Tabel 21. Responden yang menyatakan ikut berpartisipasi dalam kelestarian situ pada dua kelompok situ adalah 42,3% situ yang relatif alami dan 32,5% situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia. Hasil analisis uji khi kuadrat menunjukkan pendapat masyarakat dalam keterlibatannya dalam pelestarian situ pada situ yang
81
relatif alami dan situ yang terpengaruh oleh manusia tidak terdapat perbedaan pada taraf nyata 5%. Tabel 21. Proporsi dan Hasil Uji Beda K hi K uadrat (÷2) Partisipasi dalam Pelestarian Situ pada Dua Kelompok Jenis Situ ÷2 Kategori Situ Relatif Alami Situ yang Terpengaruh oleh Manusia Jumlah Persen Jumlah Persen Ya 16 42,3 42 32,5 0,555 Tidak 22 57,7 87 67,5 Total 38 100 129 100 K et: *) nyatapadaá 0.05
Hasil analisis ini sangat berkaitan dengan perilaku masyarakat sekitar situ terhadap eksistensi situ. Umumnya masyarakat menganggap situ merupakan tempat pembuangan limbah, baik limbah domestik maupun limbah industri. Limbah domestik dapat berupa limbah rumah tangga yang mengalir ke badan air situ dan limbah padat (sampah) yang dibuang ke lokasi situ. Disamping itu budidaya ikan di lokasi situ juga dapat mencemari badan air situ apabila pemberian pakan ikan berlebihan. Hal yang cukup membahayakan terhadap lingkungan situ adalah pembuangan limbah cair industri terhadap situ. Menurut informasi masyarakat di lokasi penelitian yang berdekatan dengan industri, biasanya limbah dialirkan ke situ pada saat musim hujan. Perilaku ini dapat menyebabkan kualitas situ menjadi buruk. Meskipun secara alamiah situ yang merupakan suatu ekosistem dapat mengasimilasi semua material yang masuk ke dalam situ (limbah), apabila limbah yang masuk ke dalam situ bertambah banyak seiring dengan pertambahan jumlah penduduk sehingga melebihi kemampuan dalam mengasimilasikan maka zat pencemar tersebut, mengakibatkan zat pencemar tidak terurai sehingga dapat mencemari lingkungan situ terutama terhadap badan air situ. Pada kondisi ini dapat dikatakan bahwa daya 82
dukung lingkungan situ tidak mampu lagi mengasimilasi zat pencemar dengan baik. Hasil pada Tabel 21 juga menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat terhadap pelestarian situ masih rendah. Hal ini dapat berakibat buruk terhadap eksistensi situ. Langkah-langkah yang diambil untuk mempertahankan eksistensi situ adalah memberikan pengertian terhadap masyarakat dan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan situ mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi/ pemantauan. Selain itu, yang perlu menjadi bahan pertimbangan adalah diperlukan juga partisipasi pelaku ekonomi (kalangan industri) yang berada di sekitar situ (berhubungan langsung) maupun yang berada pada bagian hulu (tidak langsung) terutama agar limbah industri mereka tidak dibuang ke badan air situ. Oleh sebab itu, secara spasial maupun regional pengelolaan situ diharapkan dilakukan secara terpadu dan komprehensif sehingga menjamin keberlanjutannya (sustainability). Hasil analisis khi kuadrat pandangan masyarakat terhadap pemanfaatan situ sebagai tempat pembuangan limbah oleh industri menunjukkan pandangan masyarakat pada kedua kelompok situ memiliki perbedaan yang nyata (Tabel 22). Pernyataan ini didukung oleh minoritas masyarakat yang menjawab industri tidak membuang limbahnya ke dalam situ yaitu 27,1% pada situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia. Namun sebaliknya sebagian besar (81,6%) masyarakat di situ yang relatif alami menjawab industri tidak membuang limbahnya ke dalam situ. Tidak demikian halnya dengan jawaban masyarakat di situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia dimana mayoritas penduduk (72,9%) menyatakan situ sebagai tempat pembuangan limbah industri seperti yang ditunjukkan pada Tabel 23. 83
T abel 22. Proporsi dan Hasil Uji Beda K hi K uadrat (÷2) Pemanfaatan Situ untuk Pembuangan Limbah Industri pada Dua Kelompok Jenis Situ ÷2 Kategori Situ Relatif Alami Situ yang Terpengaruh oleh Manusia Jumlah Persen Jumlah Persen Ya 7 18,4 94 72,9 18,45* Tidak 31 81,6 35 27,1 Total 38 100 129 100 K et: *) nyatapadaá 0.05
Dalam kaitan dengan pendapat masyarakat tentang situ merupakan tempat pembuangan limbah domestik nampak bahwa sebagian besar membenarkan baik pada situ yang relatif alami maupun situ yang terpengaruh oleh manusia dengan persentase jawaban berturut-turut sebesar 71,1% dan 89,1% (Tabel 23). Responden yang tidak membenarkan pernyataan di atas, baik pada situ yang relatif alami maupun situ yang terpengaruh oleh manusia berturut-turut hanya sebesar 28,9% dan 10,9%. Hasil analisis uji beda khi kuadrat menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara situ yang relatif alami dan tercemar. Hal ini dapat terlihat dari proporsi jawaban masyarakat yang menjawab situ sebagai tempat pembuangan limbah rumah tangga (domestik) di situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia lebih besar bila dibandingkan dengan di situ alami. Berdasarkan tinjauan lapangan hal ini cukup logis karena di sekitar situ yang relatif alami banyak rumah tangga yang memiliki saluran pembuangan limbah rumah tangga mereka mengalir ke situ, sedangkan pada situ yang relatif alami sebagian kecil yang mengalirkan limbahnya ke dalam situ, bahkan di lokasi Situ Cilodong tidak ada rumah tangga yang mengalirkan limbah rumah tangganya ke situ. Hal ini disebabkan selain perumahan jarang juga jarak rumah yang tidak terlalu dekat dengan situ.
84
T abel 23. Proporsi dan Hasil Uji Beda K hi K uadrat (÷2) Pemanfaatan Situ untuk Pembuangan Limbah Domestik pada Dua Kelompok Jenis Situ ÷2 Kategori Situ Relatif Alami Situ yang Terpengaruh oleh Manusia Jumlah Persen Jumlah Persen Ya 27 71,1 115 89,1 4,491* Tidak 11 28,9 14 10,9 Total 38 100 129 100 K et: *) nyatapadaá 0.05
Meskipun sebagian besar situ terpengaruh oleh manusia, namun budidaya ikan tetap dilakukan oleh masyarakat di sekitar situ. Pada situ yang terpengaruh oleh manusia hampir setengah (46,5%) dari masyarakat masih memanfaatkan situ untuk perikanan. Berbeda halnya di situ alami, dimana sebagian besar (71,1%) masyarakat masih memanfaatkan situ untuk usaha perikanan seperti tersaji pada Tabel 24. Berdasarkan informasi masyarakat di sekitar situ yang relatif alami nampak bahwa masyarakat masih mengandalkan kegiatan usaha di situ yang relatif alami sebagai sumber pendapatan utama karena situ masih layak dijadikan media untuk budidaya ikan karena kualitas situ relatif masih baik. Berbeda halnya dengan situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia, dimana kualitas air kurang baik sehingga tidak semua jenis ikan dapat dibudidayakan, dan hanya ikan yang toleran dengan kualitas air tercemar (kurang baik) seperti jenis ikan lele, gabus dan lain-lain yang dapt dibudidayakan. Usaha perikanan yang banyak dilakukan adalah keramba apung, jaring apung, penangkapan dengan jala serta pemancingan.
85
Tabel 24. Proporsi dan Hasil Uji Beda K hi K uadrat (÷2) Pemanfaatan Situ untuk Perikanan pada Dua Kelompok Jenis Situ Kategori ÷2 Situ Relatif Alami Situ yang Terpengaruh oleh Manusia Ya Tidak Total
K et: *) nyatapadaá 0.05
Frekwensi Persen
Frekwensi Persen
27 11 38
60 69 129
71,1 28,9 100
46,5 53,5 100
1,684*
Selain itu, situ juga dapat dinikmati sebagai tempat rekreasi (wisata). Situ dapat menjadi paru-paru di lingkungannya apabila kondisinya masih baik. Artinya, dengan kualitas air yang masih baik dan daerah sekitarnya yang masih banyak lahan terbuka hijau situ dapat menyejukkan pemandangan. Selama ini situ dimanfaatkan sebagai tempat arena bermain bagi anak-anak,olah raga dan pemancingan ikan. Berbeda halnya dengan situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia dimana tidak banyak yang memanfaatkan situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia tersebut sebagai tempat wisata. Hal ini dapat diketahui dari proporsi responden yang hanya 47,3% menyatakan situ digunakan sebagai tempat wisata, sedangkan situ yang relatif alami sebagian besar responden (68,4%) menyatakan dimanfaatkan sebagai tempat wisata. Hasil analisis uji beda khi kuadrat menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata pemanfaatan situ sebagai tempat rekreasi/wisata antara situ yang relatif alami dengan situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia (Tabel 25). Sedikitnya reponden yang memanfaatkan situ sebagai tempat rekreasi karena di sekitar lingkungan situ banyak dibangun kawasan industri dan perumahan sehingga kualitas air menurun yang berakibat berkurangnya daya tarik situ sebagai areal wisata.
86
T abel 25. Proporsi dan Hasil Uji Beda K hi K uadrat (÷2) Pemanfaatan Situ untuk Rekreasi pada Dua Kelompok Jenis Situ ÷2 Kategori Situ Relatif Alami Situ yang Terpengaruh oleh Manusia Jumlah Persen Jumlah Persen Ya 26 68,4 61 47,3 7,986* Tidak 12 31,6 68 52,7 Total 38 100 129 100 K et: *) nyatapadaá 0.05
Apabila dilihat dari potensi kawasan situ dapat dikembangkan sebagai tempat tujuan wisata apabila lingkungan situ dikelola dengan baik. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah pelarangan pembangunan rumah di sekitar situ, tepatnya di kawasan penyangga situ (kawasan sempadan situ). Kedua, mencegah pembuangan sampah di sekitar situ yang dapat merusak pemandangan. Ketiga, pencegahan pembuangan limbah industri ke dalam situ serta pembangunan fasilitas sarana dan prasarana yang menunjang aktivitas pariwisata. Kegiatan ini dalam jangka pendek dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat dan jangka panjang dapat mempertahankan kelestarian situ.
87