SUMBER DAYA AIR
S
alah satu isu strategis nasional pembangunan infrastruktur SDA sebagaimana tercantum dalam Renstra Kementerian PU 2010 – 2014 adalah mengenai koordinasi dan ketatalaksanaan penanganan SDA untuk mengurangi konflik antarpengguna SDA. Relevan dengan hal tersebut, menurunnya kondisi Situ, sebagai salah satu prasarana SDA diakibatkan karena ketidakjelasan aspek kelembagaan, yaitu lembaga, wewenang pengelolaan, serta pemanfaatannya. Persoalan diperparah dengan minimnya anggaran pemeliharaan, serta lemahnya pengawasan pemanfaatan DAS secara umum. Situ adalah suatu wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan yang airnya berasal dari tanah atau air permukaan sebagai siklus hidrologis yang merupakan salah satu bentuk kawasan lindung. Berdasarkan terjadinya, Situ dibedakan menjadi Situ alami dan Situ buatan. Situ alami adalah wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alami dimana airnya bersumber dari dalam tanah atau permukaan. Sedangkan Situ buatan adalah wadah genangan air di atas permukaan tanah yang airnya berasal dari permukaan, cenderung berfungsi sebagai pengendali banjir. Situ merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar yang bersifat tergenang (lentik). Berfungsi sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan yang sangat penting dalam tatanan lingkungan hidup, yang apabila mengalami kerusakan akan mengganggu keseimbangan ekosistemnya. Beberapa peran penting Situ dalam ekosistem adalah: pertama, sebagai daerah parkir air, pengendali banjir, ketersediaan air, irigasi, tempat memelihara ikan dan juga sebagai tempat rekreasi. Kedua, sebagai sumber air yang mempunyai fungsi bagi kehidupan dan penghidupan manusia. Menurut Aboejoeno (1999), Situ merupakan salah satu sumberdaya air yang mempunyai fungsi dan manfaat sangat penting bagi kehidupan dan lingkungannya, sehingga keberadaan Situ-situ dalam suatu wilayah sangat potensial untuk menciptakan keseimbangan hidrologi dan keanekaragaman hayati serta potensial meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat. Situ sangat dibutuhkan keberadaannya karena berfungsi sebagai tampungan air limpasan permukaan yang kemudian diresapkan ke dalam tanah sehingga akan memperkaya cadangan air, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Namun banyak pihak yang kurang melihat peran
penting Situ dalam siklus hidrologi, sehingga yang tampak adalah semakin kurang optimalnya pemanfaatan Situ yang selanjutnya menurunkan upayaupaya pemeliharaannya. Sebagai salah satu sumberdaya alam, keberadaan Situ dapat dikategorikan sebagai sumberdaya yang hampir terlupakan. Kondisi Situ-situ di Indonesia sebagai tempat parkir air saat ini sudah sangat memprihatinkan. Bencana jebolnya tanggul Situ Gintung di Cirendeu, Ciputat, Tangerang yang tidak hanya menimbulkan kerugian materi tetapi juga menelan banyak korban jiwa adalah suatu bukti bahwa pengelolaan Situ kurang mendapat perhatian dari berbagai kalangan sehingga banyak Situ yang mengalami pendangkalan, penyempitan, dan hilang karena beralih fungsi. Ketidakjelasan wewenang pengelolaan Situ, minimnya anggaran pemeliharaan, tekanan penduduk akibat derasnya urbanisasi, lemahnya pengawasan pemanfaatan DAS secara umum adalah beberapa faktor penyebab menurunnya kondisi Situ-situ di Indonesia. Hal ini juga semakin diperparah dengan pergeseran fungsi lahan di sekitar situ dari waktu ke waktu sehingga menyebabkan pemanfaatan Situ secara langsung menjadi berkurang (bahkan tidak dimanfaatkan lagi selain hanya sebagai tampungan/wadah air saja). Hingga saat ini, data mengenai jumlah Situ di Jabodetabek masih bervariasi. Ditjen Sumberdaya Air Kementerian PU melaporkan jumlah Situ-situ yang terdapat di Jabodetabek ada 218 buah dengan luas total 2.116,5 Ha. Jumlah tersebut tersebar di kawasan DKI (35 buah), Bogor (122 buah), Tangerang (45 buah) dan Bekasi (16 buah). Namun karena berbagai hal Situ-situ tersebut kini luasnya tinggal 1.978,02 Ha dan jumlahnya telah semakin berkurang1. Hampir seluruh Situ di Jabodetabek sudah tercemar, baik ringan maupun berat. Ulah masyarakat dan kebijakan yang tidak jelas ditengarai sebagai penyebab kondisi ini. Situ yang ada sudah tercemar polutan dari berbagai saluran air. Masalah lain adalah penyempitan lahan akibat semakin padatnya permukiman kumuh di sekitar Situ, pembuangan sampah di sekitar Situ, serta pengurugan Situ untuk dijadikan tempat tinggal. Beberapa instansi terkait menolak penilaian ini sebab dirasa masih perlu pengkajian lebih lanjut untuk mengukur tingkat akurasinya, karena faktanya tidak semua kondisi Situ separah yang dibayangkan. Bagi masyarakat yang belum menyadari peran dan fungsi Situ, maka ada kecenderungan untuk memperlakukan Situ sebagai daerah belakang
(backyard) yang tidak perlu dirawat. Beberapa Situ bahkan dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah, tempat membuang limbah industri dan rumah tangga, serta diurug untuk pembangunan perumahan atau kegiatan komersial lainnya. Sementara dari aspek kewenangan pengelolaan situ, semestinya ada kerjasama antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Namun karena berbagai keterbatasan, maka dalam pelaksanaan pengelolaannya membuat kondisi Situ menjadi semakin sangat terlantar. Melihat kompleksnya permasalahan, maka pada tahun anggaran 2011 lalu Balai Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Bidang SDA, salah satu unit di bawah Badan Litbang Kementerian PU telah melakukan pemetaan mengenai pengelolaan Situ di wilayah Jabodetabek. Beberapa aspek seperti: sosial budaya masyarakat, potensi ekonomi wilayah, kondisi lingkungan di sekitar Situ, serta aspek kelembagaan pengelola dan pemanfaat Situ telah dibahas dalam penelitian ini. Agar manfaat dari kegiatan ini dapat segera dirasakan secara optimal oleh seluruh stakeholder, maka pada tahun 2012 penelitian akan dilanjutkan dengan uji model pengelolaan Situ skala lapangan agar konsep model yang telah disusun dapat divalidasi dan disempurnakan. Sebagai keluaran akhir, konsep pedoman pengelolaan Situ yang partisipatif dan berkelanjutan akan dihasilkan pada tahun ini.
Dari uraian permasalahan tersebut, maka dirumuskan 3 (tiga) pertanyaan penelitian untuk menjawabnya yaitu: 1. Faktor-faktor sosekling apa yang menentukan keberhasilan ujicoba model pengelolaan Situ? 2. Apa kendala yang dihadapi dalam ujicoba model pengelolaan Situ? 3. Bagaimana merumuskan hasil ujicoba model kedalam konsep pedoman?
1. Menentukan faktor penentu keberhasilan ujicoba model pengelolaan Situ. 2. Menyusun konsep pedoman pengelolaan Situ.
Konsep pedoman (R0) pengelolaan Situ berkelanjutan akan dihasilkan sebagai keluaran kegiatan ini.
partisipatif
dan
Secara khusus, penerima manfaat kegiatan ini adalah Ditjen SDA serta Pemerintah Daerah yang berada di lokasi penelitian. Namun secara umum, penelitian ini juga dapat digunakan untuk para stakeholder di bidang SDA yang hendak melakukan pengelolaan Situ yang berkelanjutan dengan tetap mengedepankan aspek sosekling masyarakat.