24
BAB II SITU SANGIANG SEBAGAI SITUS SEJARAH
A. Sejarah desa Banjaran Banjaran merupakan salah satu desa di Kabupaten Majalengka yang mempunyai keterikatan sejarah dengan kerajaan Mataram dan kerajaan - kerajaan lain di kepulauan Indonesia karena berlatar belakang sejarah yang begitu erat dan berkaitan satu sama lainnya. Leluhur desa Banjaran yang kini dimakamkan di blok Banjaran Girang dikenal dengan nama Mbah Dalem Aria Saringsingan merupakan leluhur yang hingga kini makam keramatnya masih sering menjadi tempat ziarah terutama orang-orang dari Jawa Tengah, Cirebon bahkan dari daerah diluar kepulauan Jawa. Cerita berawal pada tahun 1590 raja kelima Talaga Manggung, yaitu Pangeran Setya Pati Aria Kikis ( Sunan Wanaperih) meninggal. Beliau merupakan putra ke 2 dari enam bersaudara Ratu Sunya Larang dan digantikan oleh putra ketiganya yaitu Pangeran Apun Surawijaya untuk melanjutkan kerajaan Talaga Manggung. Kerajaan pada masa Pangeran Apun Surawijaya saat itu dititik beratkan pada bidang agama sehingga jalinan komunikasi dengan kerajaan Cirebon semakin erat dan semakin bersatu dalam kenegaraannya. Salah satu putri dari Ibunda Ratu Sunyalarang yaitu Ratu Radeya menikah dengan putra Sunan Umbu Luar yaitu Raden Ulun Parancaherang yang terkenal dengan nama Mbah Dalem Aria Saringsingan. Beliau sangat disegani oleh masyarakat karena kejujuran , keberanian dan kesaktiannya. Cerita berawal dari sayembara sang raja mataram yang senantiasa melakukan kejuaraan rutin adu Muncang dan Balapan Kuda. dan kabar sayembara itu sendiri sampai ke telinga kerajaan - kerajaan di wilayah Cirebon termasuk juga kerajaan Talaga Manggung. Menurut
24 Situs Sejarah Situ..., Rizal Rahman Hakim Alfaridi, FKIP UMP, 2017
25 hikayat ringkas yang saya dapatkan bahwa, alasan sebenarnya Mbah Dalem Aria Saringsingan berangkat ke Mataram karena untuk melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban yang harus di laksanakan seperti membayar upeti/pajak ke Mataram yang seharusnya tidak pernah terjadi hanya karena kesalahpahaman sultan Mataram yang mengira kerajaan Talaga adalah jajahan mereka. Itu terjadi kira-kira sekitar tahun 1614-1618 M, Mbah Dalem Aria Saringsingan lalu membuat huru-hara untuk memancing keributan dengan niat yang sudah dari awal direncanakan. Melihat kesaktian dan kesabaran Mbah Dalem Aria Saringsingan kerajaan Talaga Manggung mengutus beliau untuk berangkat ke Mataram mengikuti kejuaraan tersebut hanya berbekal tekad yang kuat untuk membela kerajaan berangkatlah Mbah Dalem Aria Saringsingan menuju kerajaan Mataram. Beliau berangkat melalui Kuningan dan disanalah beliau mendapatkan bekal yaitu seekor kuda kecil yang kini lebih sering kita kenal dengan kuda Kuningan yang kecil tapi berani sesudah dari kuningan beliau memulung sebuah muncang di daerah Cilimus sampai sekarang biji muncang Cilimus terkenal kuat. Setelah melewati beberapa hari perjalanan akhirnya tiba juga Mbah Dalem Aria Saringsingan di Kerajaan Mataram beliau mendapatkan urutan terakhir, baik dalam pertandingan balapan kuda maupun adu Muncang. Dalam balapan kuda Mbah Dalem Aria Saringsingan karena kesaktiannya berhasil menjadi juara dan dalam adu muncang Mbah Dalem Aria Saringsingan berhasil membuka kedok kecurangan dari sang raja Mataram, ternyata sang raja Mataram menggunakan muncang yang terbuat dari baja. Hal itulah yang membuat Mbah Dalem Aria Saringsingan berniat membuka kebenaran dan menegakan keadilan. Raja Mataram murka karena kedok keberhasilannya selama ini terbongkar seperti biasanya juga selepas acara kompetisi Raja Mataram mengumpulan para utusan untuk memberi hormat pada raja Mataram. Namun tidak seperti biasanya, kali ini setiap para utusan melakukan
Situs Sejarah Situ..., Rizal Rahman Hakim Alfaridi, FKIP UMP, 2017
26 sembah sujud selalu diakhiri dengan senyum yang berbeda seolah menertawakan sang raja. Merasa ada yang janggal dalam setiap penghormatan utusan, masuklah raja Mataram kedalam istana dan berkaca diri. Alangkah terkejutnya raja Mataram setelah melihat mukanya sendiri yang tampak dengan jelas bahwa kumisnya ternyata hilang sebelah, Raja Mataram berpikir ini adalah ulah dari Aria Saringsingan, karena hanya dialah yang mempunyai kesaktian untuk melakukan hal itu. Tanpa berpikir panjang Raja Mataram langsung memerintahkan prajuritnya untuk menangkap Mbah Dalem Aria Saringsingan, namun tidak segampang yang diperintahkan karena kesaktian Mbah Dalem Aria Saringsingan ternyata sulit untuk bisa menangkap. Jika oleh prajurit Mbah Dalem Aria Saringsingan tampak ada di selatan namun setelah dikepung ternyata nampak ada di utara begitujuga jika nampak di utara ternyata ada di timur karena itu pulalah digelarkan padanya “Saringsingan” yang artinya susah untuk ditemui atau ditangkap oleh prajurit mataram. Pengejaran pasukan Mataram terhadap Mbah Dalem Aria Saringsingan dari wilayah selatan terus dilakukan sampai ke wilayah perbatasan Talaga tepatnya di mata air Citungtung, di sana prajurit mataram menghentikan pengejaran karena oleh Mbah Dalem Aria Saringsingan di mata air tersebut dijebak oleh air yang begitu bening dan tikar dengan daun pulus sehingga prajurit mataram banyak yang mati setelah meneguk air seolah tidur ditikar daun pulus tersebut makanya mata air itu diberi nama Citungtung yang artinya Panungtungan (Yang terakhir). Dari wilayah utara pengejaran terhenti di perbatasan banjaran tepatnya di daerah Wates Girimulya. mereka di sana dihadang oleh pasukan
Kerajaan Talaga Manggung dengan
menggunakan pagar bambu. Sampai sekarang daerah itu diberi nama Wates yang artinya batas dan di sana tumbuh banyak pohon-pohon bambu. Namun ada beberapa orang patih kerajaan Mataram yang berhasil masuk menyamar ke daerah banjaran tapi hal itu tidak berjalan mulus
Situs Sejarah Situ..., Rizal Rahman Hakim Alfaridi, FKIP UMP, 2017
27 untuk menangkap Mbah
Dalem Aria Saringsingan karena sebelum mereka datang ke
padepokan Mbah Dalem Aria Saringsingan (Banjaran Girang) mereka oleh kesaktian Mbah Dalem Aria Saringsingan dialihkan jalannya ke arah barat kini tanda itu di kenal lewat sungai kecil Cisempong artinya disempongkeun (dialihkan), sehingga Mbah Dalem Aria Saringsingan tetap aman di padepokannya. Karena peristiwa Mbah Dalem Aria Saringsingan itulah para tetua-tetua kerajaan dan rakyat berpendapat bahwa padepokan Mbah Dalem Aria Saringsingan akan banyak dikunjungi tamu atau orang yang mau berguru ilmu kesaktian maka disebutlah Babanjiran (Banjaran) Yang artinya kebanjiran oleh tamu
baik yang mau berguru ilmu ataupun yang hanya sekedar
berziarah. Hal itu sampai sekarang terbukti bahwa tamu yang datang ke Makom Mbah Dalem Aria Saringsingan mayoritas dari daerah Cirebon, Jawa Timur dan Jawa Tengah bahkan ada yang sengaja datang berkunjung dari luar pulau Jawa untuk berjiarah ke makam Mbah Dalem Aria Saringsingan tersebut. Setelah aman dari masalah dengan Mataram, Mbah Dalem Aria Saringsingan membuat kerajaan yang diberi nama kerajaan Banjaran yang berazaskan Keislaman tapi posisi kerajaannya tidak berada di padepokannya melainkan jauh di depan (Sekarang Balai Desa Banjaran) dengan maksud tujuan tempat pertapaan atau padepokan tempat menyepi dirinya jauh dari keramaian dan kegiatan pemerintahan. Kerajaan Banjaran waktu itu dipimpin oleh Mbah Dalem Aria Saringsingan sendiri dengan para bidang-bidang kelembagaanya masing-masing, diantaranya: bidang kebudayaan
Mbah Buyut Nayaga, bidang keagamaan Kyai Santri Kuning, bidang
kesehatan Raden Ama Ucuk, bidang pertanian Kyai Latief, panglima perang Kyai Sabit, ponggawa gapura Eyang Kopral.
Situs Sejarah Situ..., Rizal Rahman Hakim Alfaridi, FKIP UMP, 2017
28
Barang-barang pusaka pada masa kerajaan Banjaran seperti Goong Renceng diperintahkan oleh Mbah Dalem Aria Saringsingan untuk diserahkan oleh Mbah Buyut Nayaga selaku bidang kebudayaan kepada Kerajaan Talaga Manggung agar tidak terjadi hal-hal yang musrik terhadap prajuritnya mengingat faham yang dianut oleh kerajaan banjaran adalah Islam. Goong Renceng adalah barang pusaka yang sekarang ada di musium Talaga manggung konon kabarnya jika Goong tersebut dinaikan keatas panggung maka akan berbunyi sendiri karena ditabuh oleh kesaktiannya Mbah Buyut Nayaga. Menurut narasumber setelah Raja Aria Saringsingan wafat para Balad Kurawa kerajaan Mbah Dalem Aria Saringsingan meninggalnya tidak dikubur melainkan dijelma menjadi pohon Wargu dan jika para prajurit atau rakyatnya yang membutuhkan pertolongan maka sudah disediakan sebuah kolam dari mata air yang letaknya tidak jauh dari makam keramatnya sekarang yang diberi nama situ hideung. Dari cerita yang turun temurun dan adat kebiasaan para leluhur hingga kini jika ada calon yang ingin jadi kepala desa Banjaran atau yang hendak menjadi calon pegawai apapun maka, kebiasaanya yaitu Ziarah ke Makam Mbah Dalem Aria Saringsingan Tampuk Pemerintahan Desa Banjaran NO
NAMA KEPALA DESA
MASA JABATAN
1
Aris I
1837-1866
2
Aris II
1866-1880
3
Martadinata
1880-1907
4
Sawali
1907-1918
5
Oyib
1918-1920
6
Idna Santana
1920-1950
Situs Sejarah Situ..., Rizal Rahman Hakim Alfaridi, FKIP UMP, 2017
29 7
Saleh
1950-1963
8
Raden D Chaeruman
1963-1967
9
H.M.I. Asyikin
1967-1998
10
H.M.O.Hopipuddin
1998-2008
11
Efen Supra’I, S.Pd.
2008-2016
12
Erick Prasetya Marta
2016
B. Sejarah Situ Sangiang (Menurut Madinah Kartadilaga, wawancara dengan Kosin Kosasi, Hendi) di Kerajaan Talaga pada masa Sunan Talaga Manggung, terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan Prabu Talaga Manggung Meninggal dunia, dengan kisah sebagai berikut Pada kira-kira abad ke 10 berdiri kerajaan Talaga, dengan raja pertamanya bernama raja Sudayasa, Karena dia tinggal di Gunung Bitung Maka namanya berubah menjadi Batara Gunung Bitung/Dang Upaksa Budayana sarwatiwada. Dia merupakan asal keturunan raja Galuh yang kemudian meninggal dan di gantikan anaknya bernama Darmasuci. Menurut buku carita parahiyangan ing jawa kulon Darmasuci memiliki banyak pengikut/prajurit yang akhirnya memproklamirkan diri mendirikan kerajaan bernama kerajaan Talaga sebabnya Karena pusat pemerintahannya dekat dengan situ yang dalam Bahasa sansekertanya memiliki arti Talaga (wawancara dengan Hendi). Sunan Talaga Manggung, asal keturunan Prabu Darmarehe, kerajaan di Sangiang. Beliau mempunyai dua orang putra, satu laki-laki dan satu perempuan, yang laki-laki bernama raden Panglurah dan yang perempuan bernama Ratu Mas Dewi Simbar Kancana. Raden Panglurah setelah dewasa sangat tertarik dengan ilmu kebatinan, ingin meniru leluhurnya yang bernama Ratu ponggang sang Romahiyang bertapa di Gunung Bitung (sekarang letaknya di desa Wangkelan-Kecamatan
Situs Sejarah Situ..., Rizal Rahman Hakim Alfaridi, FKIP UMP, 2017
30 Cikijing) selama 4 tahun 4 bulan 4 hari. Raden Panglurah mohon izin kepada ayah serta ibunya untuk dapat bertapa di Gunung Bitung yang lamanya 7 tahun 7 bulan 7 hari. Setelah permintaannya dikabulkan, maka berangkatlah raden Panglurah menuju Gunung Bitung di tempat tapa ratu Ponggong Sang Romahiyang. Ketika raden Panglurah sedang tapa di Gunung Bitung, kemudian datang seorang pemuda yang gagah perkasa keturunan Palembang (Sriwijaya) yang sedang berkelana menghadap sang raja untuk menghambakan diri pada sunan Talaga Manggung. Oleh raja Talaga Manggung diterima dan diberikan pekerjaan sebagai hamba keratin. Pada waktu itu tidak ada yang mengerti bahasanya, dan Karena dia berasal dari Palembang datang dari gunung dan terus berada di gunung maka diberi julukan Palembanggunung. Palembanggunung dalam menghambakan dirinya memperlihatkan kepandaian serta budi tinggi, bahkan sangat setia kepada sang raja, dan sangat hormat kepada teman sekerjaan, memperlihatkan penguasaannya dalam segala bidang sehingga lama kelamaan di jadikan patih. Negara Talaga menjadi semakin maju dalam segala hal. Berhubung sang raja sangat tertarik akan tingkah laku serta tindak tanduknya Palembanggunung, akhirnya dijadikan menantu dijodohkan dengan puteri Ratu Mas Dewi Simbar Kancana. Ratu Mas Dewi Simbar Kancana termashur atas kecantikannya, sehingga banyak putera raja-raja tetangga yang terpikat dan inigin meminangnya, tapi karena patuh pada orang tua dijodohkan pada kehendak orang tua Ratu Mas Dewi Simbar Kancana pada patih Palembanggunung itu, apalagi melihat akan kebijaksanaannya dalam mengemudikan negara, maka Ratu Mas Dewi Simbar Kancana tidak menolaknya dijodohkan oleh ayah handanya itu. Setelah Palembanggunung dijadikan menantu, maka kekuasaan raja diserahkan penuh kepadanya. Karena sangat menyayanginya sunan Talaga Manggung memerintahkan untuk
Situs Sejarah Situ..., Rizal Rahman Hakim Alfaridi, FKIP UMP, 2017
31 membuat istana kepatihan di Walangsuji agar leluasa memerintah dan mengolah negara serta tentram berumah tangga. Juga hal ini Karena Sunan Talaga Manggung sudah merasa Lelah memerintah mengolah negara Karena ketua-annya, sedang yang berhak menjadi raja putera sulung masih tapa di Gunung Bitung masih lama untuk pulang ke negara. Patih Palembanggunung setelah dirinya dipercaya oleh mertuanya, yaitu Sunan Talaga Manggung dan ditaati oleh masyarakatnya, timbul pikiran yang murka ingin menjadi seorang raja di Sangiang Talaga, dengan maksud akan membunuh mertuanya ialah Sunan Talaga Manggung. Setelah dipikir masak-masak dengan akal yang licik, licin, dan halus, ia dapat mempengaruhi seorang mentri jero Istana yang bernama Citrasinga, sehingga Citrasinga dapat memberikan keterangan rahasia mengenai sang sunan Talaga Manggung, bahwa sang raja ialah orang yang sakti mandraguna tidak bias dibunuh oleh senjata apapun Karena sang raja tidak seperti manusia biasa, raja Talaga Manggung tidak memiliki udel semua senjata tidak akan mempan kecuali oleh senjata leluhurnya yang tersimpan di dalam keratin yang bernama CIS/badi. Setelah mendapat keterangan dari seorang mantra yang bernama citrasinga, bahwa sang raja sangat gagah perkasa tidak satu senjata atau tumbak yang mampu mengambil patinya raja, melainkan oleh suatu senjata tumbak kawannya raja sendiri ketika ia lahir, dan oleh citrasinga diterangkan bahwa yang dapat mengambil senjata itu hanya seorang gendek kepercayaan raja yang bernama Centang Barang, kemudian Palembanggunung terlebih dahulu untuk melancarkan niatnya membujuk/menghasut dengan perkataan yang manis-manis dan muluk-muluk kepada Centang Barang untuk mengambil senjata tersebut, dan melakukan pembunuhannya, bila berhasil akan diganjar/akan dinaikan pangkatnya. Kemudian setelah Centang Barang mendapatkan bujukan yang muluk-muluk dari Palembanggunung ia bersedia melakukan pembunuhan itu.
Situs Sejarah Situ..., Rizal Rahman Hakim Alfaridi, FKIP UMP, 2017
32 Pada suatu waktu kira-kira jam lima pagi Sunan Talaga Manggung baru bangun dari tidurnya dan menuju jamban, beliau diintai oleh Centang Barang, kemudian di tempat yang gelap ditumbak pada pinggang sebelah kiri, sehingga mendapat luka yang parah. Sehubungan keris pusaka itu sangat ampuh, maka hanya dengan satu tusukan yang tepat mengenai paha kirinya Sunan Talaga Manggung sudah dapat membuatnya tidak berdaya dan bahkan sampai meninggal. Centang Barang setelah melakukan pembunuhan kemudian lari jauh dan diburu oleh penjaga, tetapi sang prabu berkata, “Biarlah si Centang Barang jangan diburu, nanti juga ia celaka mendapat balasan dari Dewa karena ia durhaka”. Setelah si Centang Barang keluar dari keraton, ia menjadi gila, ia menggigit-gigit
anggota badanya sampai ia mati. Palembanggunung
Mendapat kabar tentang peristiwa itu, lalu ia berangkat menengoknya, tetapi keraton tidak ada (hilang) dengan seisinya hilang menjadi situ yang sekarang dinamakan Situ Sangiang Talaga. Setelah keadaan keraton hilang, Patih Palembang Gunung diangkat menjadi raja di Talaga. Menurut arsip hal 21, peristiwa menghilang atau ngahiang Sunan Talaga Manggung menafsrikan lain menurutnya, setelah Abdi Dalem Centang Barang berhasil membunuh Sunan Talaga Manggung, bersamaan dengan itu di daerah pusat pemerintahan kerajaan Talaga turun hujan sangat deras mengakibatkan terjadi banjir dan tebing dekat keratin longsor sehingga bangunan keratin terkubur, di atas longsor tanah yang mengubur keraton itu menimbulkan cekungan tanah yang lama kelamaan terisi air akhirnya menjadi situ/dananu. Lama kelamaan peristiwa itu terbongkar dan ada diantaranya yang memberitahukan kepada Ratu Mas Dewi Simbar Kancana atau istrinya Palembanggunung, bahwa kematian ayah handanya adalah perbuatan suaminya sendiri. Setelah mendapat kabar itu maka Simbar Kencana membulatkan hati untuk membalas dendam kepada suaminya, atas kematian ayah handanya.
Situs Sejarah Situ..., Rizal Rahman Hakim Alfaridi, FKIP UMP, 2017
33 Pada saat palembanggunung sedang tidur nyenyak di tikamnya (digorok) oleh tusuk konde Ratu Mas Dewi Simbar Kancana, sehingga mati seketika itu juga. Setelah Palembanggunung itu mati, kerajaan belum ada yang menjabatnya maka di angkat Raden Panglurah yang baru pulang dari petapaan (putra sulung dari sunan Talaga Manggung) sedatangnya ke Sangiang beliau merasa kaget karena keadaan keraton sudah musnah hanya nampak situ saja dan setelah beliau mendapat kabar dari orang yang bertemu ditempat itu bahwa keraton sudah di pindah tempatkan ke Walang Suji (desa Kagok). Ketika Ratu Mas Dewi Simbar Kancana sedang kumpulan dengan ponggawa, datanglah Raden Panglurah yang menuju kepada Ratu Simbar Kencana dan kemudian oleh Ratu Mas Dewi Simbar Kancana diterangkan atas kematian ayah handanya. Kemudian Raden Panglurah meminta agar yang melanjutkan pemerintahan adalah Ratu Mas Dewi Simbar Kancana sendri, dan beliau (Raden Panglurah) akan menyusul ayah handanya dengan meminta empat pengawalnya, setelah permintaan dikabulkannya, beliau menuju Situ Sangiang dan setelah tiba di Situ Sangiang tersebut beliau beserta pengawalnya turun ke situ sangiang dan turut menghilang. Setelah Palembanggunung meninggal dunia, Ratu Mas Dewi Simbar Kancana menikah lagi dengan Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu, keturunan Galuh dan mempunyai putra Sunan Parung, dan setelah Ratu Mas Dewi Simbar Kancana meninggal dunia, kerajaan pun diturunkannya kepada putranya Sunan Parung. Adapun bekas keratonnya sudah diubah-ubah menjadi rumah tembok, hanya pintu-pintu dan dinding-dindingnya saja yang ada terbuat dari ukiran kuno, dimiliki oleh keturunanya. Perlu diterangkan bahwa sebelum perang, tidak sedikit yang berziarah ke Situ Sangiang dan kemakam, juga tersebar rotannya (dari Talaga). Dari luar Kabupaten, masih banyak orangorang yang berziarah sampai sekarang. Di Situ Sangiang ada pekuncenan sebanyak tujuh orang.
Situs Sejarah Situ..., Rizal Rahman Hakim Alfaridi, FKIP UMP, 2017