8
TINJAUAN PUSTAKA
Bio-ekologi Siamang Sumatera Sistematika Famili Hylobatidae dikelompokkan dalam tiga marga berdasarkan jumlah kromosomnya, yaitu marga Hylobates yang memiliki 44 kromosom, marga Symphalangus dengan 50 kromosom dan marga Nomascus dengan 52 kromosom (Lekagul dan McNeely 1977).
Marga Hylobates dibagi lagi menjadi tiga
submarga dengan tujuh spesies yaitu submarga Hylobates dengan spesies H. lar (Miller 1903), H. agilis (Cuvier 1821), H. moloch (Audebert 1798), H. muelleri (Martin 1841) dan H. pileatus (Gray 1861); submarga Bunopithecus dengan spesies H. hoolock (Harlan 1834) dan submarga Brachitanytes dengan spesies H. klossii (Miller 1903). Marga Symphalangus hanya memiliki satu spesies yaitu H. syndactilus (Raffles 1821) dan marga Nomascus yang juga hanya memiliki satu spesies yaitu H. concolor (Harlan 1826). Terdapat 8 spesies famili Hylobatidae di Paparan Sunda yaitu H. syndactilus, H. agilis, H. lar di Pulau Sumatera, H. klosii yang endemik di Kepulauan Mentawai dan H. moloch dijumpai di Pulau Jawa, serta H. agilis dan H. muelleri dijumpai di Pulau Kalimantan. H. syndactilus terdiri dari 2 subspesies yaitu H. syndactylus continentis (Thomas 1908) yang terdapat di Semenanjung Malaya dan H. syndactylus syndactylus terdapat di hutan-hutan sepanjang Bukit Barisan dan Sumatera bagian timur (Chivers 1977).
Penyebaran siamang
sumatera lebih lanjut ditunjukkan pada Gambar 2. Siamang sumatera secara taksonomi diklasifikasikan ke dalam dunia Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Primata, famili Hylobatidae, genus Symphalangus, spesies Hylobates syndactylus Raffles, 1821 dan subspesies H. syndactylus syndactylus Raffles, 1821. Morfologi Siamang merupakan jenis primata tak berekor dan mempunyai ukuran tubuh terbesar dibandingkan dengan jenis lain dari famili Hylobatidae. Individu jantan dewasa memiliki berat badan 10-12 kg sedangkan betina sedikit lebih kecil.
9
Siamang mempunyai panjang badan mencapai 90 cm dengan warna rambut hitam polos seperti lutung tetapi tidak berjambul dikepalanya. Siamang mempunyai kantong suara ditenggorokan yang berukuran sebesar kepalanya sendiri (PPA 1978). Kantong suara (laryngeal sac) yang dimiliki siamang sangat berguna untuk membantu memperkeras suaranya (Chivers 1977).
Penyebaran H. syndactylus Gambar 2 Peta penyebaran H. syndactylus syndactylus (Groves 1970; Chivers 1974; Marshall dan Marshall 1975; Wilson dan Wilson 1978). Secara umum siamang dikenal juga sebagai gibbon, berbeda tetapi serupa dalam bentuk tubuh. Siamang mempunyai kulit yang tebal, berambut kasar dan semua berwarna hitam pekat kecuali disekitar mulut dan dagu yang berwarna lebih muda. Rambut lengan bawah tumbuh menuju siku seperti pada ape besar dan manusia. Mata berwarna gelap, mempunyai kemampuan membedakan warna dan kurang dalam earlobes. Siamang juga mempunyai bantalan duduk (ischial callosities) yang umumnya ditemukan di monyet bukan pada ape.
Jantan
mempunyai garis preputal yang mencolok berupa rambut-rambut hitam sepanjang 15 cm (Napier dan Napier 1967).
Siamang diketahui juga mempunyai
kemampuan untuk merubah (berbalik) arah ketika berada di udara. Selanjutnya Napier dan Napier (1967) menuliskan bahwa panjang badan siamang jantan dari kepala hingga badan berkisar antara 46,8–84,6 cm dengan berat berkisar 9,5–12,7 kg, sedangkan panjang badan siamang betina dari kepala
10
hingga badan berkisar pada 46–63 cm dengan berat berkisar 9–11,6 kg. Tangan mempunyai formula dijital yaitu 3.2.4.5.1. Susunan gigi siamang adalah 2/2 1/1 2/2 3/3 = 32. Kapasitas kepala 125 cc atau berkisar antara 100-152 cc. Berat otak siamang dewasa adalah 121,7 gram (Harvey et al. 1987). Selanjutnya Napier dan Napier (1986) menyatakan bahwa terdapat sedikit perbedaan pada ukuran tubuh (dimorphism) antara jantan dan betina pada famili Hylobatidae. Siamang mempunyai lengan yang panjang dengan rata-rata 230–243% dari panjang tubuhnya. Tangan siamang juga panjang dengan telapak yang kurang luas dibandingkan ape, begitu juga dengan kakinya yang panjang dengan jari kaki pertama lebih panjang dan kuat. Tangan digunakan untuk berpegangan pada waktu berayun di dahan atau berpindah dari dahan ke dahan. Kakinya dipakai untuk memegang ranting dan makanan sambil berayun.
Ciri khas lain dari
siamang adalah jari-jari tangan kedua dan ketiga dipertautkan oleh selaput seolaholah keduanya bersatu (Chivers 1977). Indeks intermembral adalah 147, indeks ini merupakan perbandingan dari panjang kaki dengan panjang tangan (Myers dan Sheffield 1996). Habitat dan Perilaku Habitat utama siamang adalah hutan hujan tropika dan hutan pegunungan di bawah 2.000 m di atas permukaan laut, tetapi lebih umum dijumpai pada hutan dataran rendah (Napier dan Napier 1967). Siamang termasuk ke dalam primata arboreal, sebagian besar hidupnya tergantung pada tajuk yang tinggi dan saling bersambungan.
Tajuk pohon yang saling bersatu membantu siamang untuk
berpindah dalam mencari makanan dan sebagai tempat berlindung dari pemangsa. Siamang hidup dalam kelompok-kelompok sosial terkecil, terdiri dari jantan dan betina dewasa dengan 1-4 ekor anaknya. Pada tempat yang alami, ukuran kelompok siamang rata-rata 4 ekor (Gittin dan Raemaekers 1980). Pasangan siamang merupakan pasangan monogami dan hidup dengan pola kelompok dengan sistem kekerabatan yang menggunakan daerah teritori spesifik dimana home range seluas 15–30 ha (Chivers 1977). Matang seksual dicapai siamang di alam pada umur 7-8 tahun baik jantan maupun betina (Napier dan Napier 1986), sedangkan menurut Geissmann (1986)
11
dalam Nowak (1999) matang seksual di alam pada umur 8-9 tahun dan di penangkaran pada umur 4-6 tahun baik jantan maupun betina. Periode gestation (kehamilan) adalah 230-235 hari dengan berat anak saat lahir sekitar 6 ons. Betina biasanya melahirkan setiap 2–3 tahun sekali dengan satu anak, tetapi kelahiran kembar mungkin terjadi. Betina jarang melahirkan lebih dari 10 kali selama hidupnya (Preuschoft 1990). Masa hidup siamang antara 30-40 tahun (Napier dan Napier 1986), sedangkan menurut Chiver (1977) sepasang siamang yang hidup di alam liar diketahui berumur sekitar 25 tahun. Di penangkaran spesimen siamang diketahui sampai berumur 40 tahun (Marvin 1995 dalam Nowak 1999). Siamang termasuk hewan omnivora dengan komposisi pakan 43% daun (38% daun muda dan 5% daun tua), 36% buah (22% Ficus sp. dan 14% lainnya), 6% bunga, 15% serangga dan binatang kecil lainnya (Gittin dan Reamakers 1980). Siamang sumatera merupakan primata frugivorous dibandingkan saudaranya di semenanjung malaya. Chivers (1977) melaporkan bahwa siamang menghabiskan waktu 5,5 jam untuk kegiatan makan atau kira-kira 52% dari waktu efektifnya.
Perkembangan Metode Pendugaan Umur Pendugaan umur mamalia dapat dilakukan dengan berbagai teknik, salah satu dari beberapa teknik dapat diaplikasikan untuk menduga umur spesies yang diteliti.
Tanda-tanda untuk menduga umur satwaliar dapat terlihat dari
pertumbuhan gigi geligi, hilangnya gigi geligi, ukuran tubuh, pengelompokkan frekuensi ukuran, derajat penyatuan epifiseal, berat lensa mata, pertumbuhan tahunan lingkar cakar, tanduk, gigi dan tulang serta jumlah placental atau goresangoresan ovarian pada betina (Caughley 1977). Selanjutnya menurut Caughley (1977), indikator penduga umur dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Tanda-tanda individu (misalnya: pemberian tanda pengenal pada hewan muda yang diketahui datanya). b. Indikasi morfologikal. -
Karakter yang berubah terus-menerus sesuai umur (misalnya: berat lensa mata dan hilangnya gigi geligi).
12
-
Karakter yang berubah sesuai lompatan tahun. 1) Anual quanta (misalnya: pertumbuhan lingkar pada tanduk, gigi dan sisik). 2) Non anual quanta (misalnya: fase-fase plumage dan pertumbuhan gigi geligi). Literatur yang membahas pendugaan umur siamang sumatera masih
terbatas, hal ini terlihat dari sulitnya memperoleh literatur sesuai pokok bahasan. Pendugaan umur siamang sumatera di lapangan dapat dilakukan melalui pendekatan- pendekatan sebagai berikut: Pendugaan Umur Melalui Gigi Geligi Penggunaan parameter gigi telah banyak dilakukan dalam pendugaan umur. Gigi merupakan salah satu organ tubuh yang paling aktif dipakai, perubahan bentuk permukaan gigi dapat mengindikasikan kualitas pakan yang dikonsumsi serta umur satwa tersebut. Gigi juga mengalami fase pertumbuhan awal, lewat gigi susunya yang akan lepas saat memasuki umur tertentu dan digantikan dengan gigi tetap, sehingga dapat menjadi indikator dari telah dewasanya anggota tubuh. Peralihan gigi susu ke gigi permanen dan tinggi relatif mahkota gigi (crown heights; sebagai indikator tingkat keausan) dapat dipakai sebagai indikator umur pada kelompok kelelawar, karnivora, ungulata dan rodensia (Semiadi dan Nugraha 2005). Sosroamidjojo (1975) dalam Mukhtar (1996) mengungkapkan bahwa pada satwa ruminansia, umur dapat diketahui dengan mengamati pergantian gigi seri yang terdapat hanya pada rahang bawah, seperti disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 3. Tabel 1 Daftar pergantian gigi seri kambing Umur (Tahun)
Gigi Seri yang Berganti
1-1,5
Gigi seri dalam (I1) berganti
1,5-2
Gigi seri tengah dalam (I2) berganti
2,5-3
Gigi seri tengah luar (I3) berganti
3-4
Gigi seri luar (I4) berganti
Sumber: Sosroamidjojo (1975) dalam Mukhtar (1996)
13
9 bulan
1.5-2 tahun
3-4 tahun
1–1.5 tahun
2-3 tahun
tua
Gambar 3 Bagan gigi seri kambing dan ruminansia lainnya (Sumber: Sumoprastowo 1994 dan Sosroamidjojo 1975 dalam Mukhtar 1996). Selanjutnya menurut Semiadi dan Nugraha (2005), tingkat keausan gigi sangat spesifik terhadap habitat dan jenis mamalia sehingga generalisasi pola keausan gigi kurang tepat diterapkan. Indentifikasi umur dengan mengamati pola keausan gigi dapat dilakukan pada satwa hidup lewat pembiusan terlebih dahulu. Gigi kemudian dicermati pola keausannya atau ditempeli dengan pasta cetakan yang akan mengeras setelah waktu tertentu. Pola keausan yang terbentuk dalam pasta gel yang akan mengeras kemudian diukur atau dikaji dan dibandingkan dengan standar yang ada. Pendugaan umur satwaliar secara lebih akurat berbasiskan pada gigi harus dilakukan secara destructive (merusak) dengan cara mencabut gigi geraham (molar) guna menghitung lapisan garis tahunan gigi.
Biasanya dentin dan
14
cementum terakumulasi di bagian bawah badan gigi yang disebut annuli, membentuk suatu baris garis yang diasumsikan terbentuk setiap tahun. Pada mamalia daerah tropika, diindikasikan terbentuknya annuli ini berkaitan erat dengan musim penghujan, dimana kaya dengan hijauan pakan. Apabila terdapat periode dimana musim kemarau panjang, maka jarak lapisan annuli cenderung melebar.
Mengingat prosedur indentifikasi lapisan annuli mengharuskan gigi
dicabut, maka pekerjaan ini hanya dilakukan pada satwa mati yang tidak terpakai lagi (Semiadi dan Nugraha 2005).
Gambar 4 Barisan anuli pada gigi rusa yang menandakan perkiraan umur. Tanda panah menunjukkan lapisan tahunan, dimulai dari paling atas. Dalam foto ini rusa diperkirakan berumur 11 tahun (sumber: Anonimous dalam Semiadi dan Nugraha 2005). Pendugaan Umur Melalui Struktur Fisiologi Pendugaan umur melalui struktur fisiologi didasarkan pada penampakan kasat mata oleh peneliti karena mamalia mempunyai kekhasan dalam fase pertumbuhannya.
Pendugaan umur ini dilakukan dalam kelompok-kelompok
umur yang disebut kelas umur.
Menurut Gittins dan Raemaekers (1980),
berdasarkan fase pertumbuhannya siamang dapat dikelompokkan dalam lima kelas umur yaitu: 1. Bayi (infant), mulai lahir sampai berumur 2-3 tahun dengan ukuran tubuh yang sangat kecil. Pada tahun pertama digendong dan dibawa oleh induknya, sedangkan pada tahun kedua digendong dan dibawa induk jantan.
15
2. Anak (juvenile-1), berumur kira-kira 2-4 tahun, badannya kecil dan melakukan perjalanan sendiri, tetapi cenderung untuk selalu dekat dengan induknya. 3. Muda atau remaja (juvenile-2), berumur kira-kira 4-6 tahun, ukuran badannya sedang dan sering melakukan perjalanan sendiri dan mencari makan sendiri. 4. Sub dewasa (sub-adult), yaitu mulai dari umur 6 tahun. Ukuran badannya hampir sama dengan ukuran dewasa dan tetap tinggal di dalam kelompok, tetapi sering memisahkan diri dan belum matang secara seksual. 5. Dewasa (adult), yaitu mempunyai ukuran badan yang maksimal dengan selalu hidup berpasang-pasangan serta selalu dekat dengan anaknya. Pendugaan Umur Melalui Ukuran Tubuh Semua benda hidup disusun oleh satuan terkecil yang disebut sel, apabila terjadi peningkatan jumlah sel maka akan mengalami satu atau lebih kekhususan fungsi. Istilah anatomi digunakan untuk menunjukkan ilmu yang mempelajari bentuk dan struktur semua organisme makhluk hidup.
Pengertian mengenai
struktur organisme makhluk hidup biasanya disertai dengan fungsinya, sedangkan ilmu yang mempelajari fungsi tubuh secara lengkap dan fungsi semua bagianbagian tubuhnya seperti sistem, organ, jaringan, sel dan komponen sel disebut fisiologi (Frandson 1992). Kelompok sel yang berkembang mengalami fungsi khusus disebut jaringan. Bermacam-macam jaringan bergabung membentuk kelompok dan mempunyai fungsi tertentu, yang disebut organ. Sekelompok organ yang berperan dalam suatu kegiatan tertentu akan membentuk suatu sistem (Giles 1981). Selanjutnya menurut Giles (1981), masuknya sel dalam sistem berkaitan dengan perwujudan fungsi kehidupan. Fungsi tersebut mencakup pertumbuhan (peningkatan ukuran), metabolisme (pemanfaatan makanan), respon terhadap stimulus, kontraksi (pemendekan ke satu arah) dan reproduksi (pembentukan individu baru dari spesies yang sama). Proses perkembangan sel menjadi jaringan tertentu memerlukan waktu. Pembelahan sel baik melalui mitosis atau miosis mengalami suatu interfase dan panjangnya bervariasi. Pada satu masa tertentu pembentukan jaringan ini akan terhenti dan terbentuk satu jaringan khusus.
16
Menurut Frandson (1992), skeleton hewan yang dibentuk oleh tulang merupakan suatu struktur yang hidup.
Tulang mempunyai vasa darah, vasa
limfatik dan nervus; dapat menjadi sasaran penyakit, mampu memperbaiki diri terhadap perubahan dengan adanya suatu stres. Kira-kira sepertiga berat tulang terdiri dari atas kerangka organik yang berupa jaringan fibrosa dan sel-sel. Senyawa organik terutama adalah kollogen dan polisakarid yang disebut glikosaminaglikan (GAGS), yang mengandung khodroitin sulfat. Bahan tersebut menyebabkan sifat elastis dan keras pada tulang, sedang dua pertiganya terdiri dari komponen anorganik (garam kalsium dan fosfat) yang terdeposit pada kerangka organik. Selanjutnya menurut Frandson (1992), bahwa pengetahuan tentang tulang yang membentuk kerangka atau skeleton tubuh disebut osteologi.
Tulang
merupakan salah satu jaringan pengikat yang terbentuk dari sel pembentuk tulang (osteoblast) yang tampilannya mudah dilihat. Morfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuk pada spesies dalam populasi khususnya polimorfolisme (Campbell dan Lack 1985), sedangkan morfometri adalah pengukuran bentuk tubuh yang dilakukan pada spesies. Pengukuran panjang tulang-tulang mempunyai ketelitian yang lebih baik dalam pendugaan umur dibandingkan dengan pengukuran terhadap bobot badan. Pertambahan panjang dari ukuran-ukuran tubuh bisa dijadikan dasar untuk pendugaan umur lebih lanjut (Caughley 1977). Keragaman ukuran tubuh hewan disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan (Mansjoer et al. 1989).
Parameter Morfometrik yang Berkaitan dengan Umur Siamang Sumatera Ukuran morfologikal merupakan pertumbuhan panjang hewan yang mudah dilihat dengan mata (Giles 1981).
Parameter morfometrik yang digunakan
merupakan bagian-bagian tubuh yang mudah terlihat dan mudah diukur, morfometrik ini mengikuti bentuk kerangka siamang. Sesuai dengan pendapat Frandson (1992) bahwa tulang-tulang merupakan pembentuk kerangka tubuh sehingga dapat memberikan kekerasan dan bentuk tubuh.
Berikut dijelaskan
bagian-bagian tubuh yang diukur karena diduga mempunyai hubungan erat dengan umur, sebagai berikut:
17
1. Badan dan Kepala Siamang tergolong dalam vertebrata karena mempunyai kolom vertebral. Struktur ini tersusun atas tulang-tulang yang tidak berpasangan dan ireguler (vertebrae) terletak pada bidang median dan hanya satu struktur yang tampak. Perkembangan kolom vertebral tidak dipengaruhi oleh ukuran-ukuran lainnya (Fradson 1992). Kepala menjadi penting karena merupakan tempat beradanya otak, dimana otak menjadi tempat mengolah informasi yang berasal dari inderaindera primata. Salah satu kemajuan dari primata dari hewan lain adalah ukuran otak yang lebih besar. Perbandingan antara ukuran tubuh dengan berat otak memungkinkan untuk membedakan antara primata (Myers dan Sheffield 1996). 2. Dada dan Bahu Kebiasaan melakukan brachiation berpengaruh pada seluruh kerangka tubuh famili Hylobatidae (Young 1981).
Spesialisasi dalam brachiation
mempengaruhi rongga dada famili hylobatidae yang lebih besar dari kera-kera lain, dimana rongga dada yang lebar dan tulang belikat (skapula) di belakang membuat pusat gaya berat lebih ke tengah tubuh apabila hewan ini berdiri tegak dan memberi keleluasaan gerak bagi lengan (Hoeve 1992). 3. Lengan dan Tangan Lengan merupakan salah satu pembentuk anggota badan yang tersusun dari beberapa tulang yang merupakan bagian anggota tulang depan (ekstremitas pektoralis).
Ekstremitas pektoralis terdiri dari tulang belikat
(scapula), tulang lengan atas (humerus), dua tulang lengan bawah (radius dan ulna), tulang carpus, tulang metacarpus dan tulang-tulang jari (digiti). Humerus merupakan tulang panjang yang ujung atasnya bersendi dengan scapula membentuk persendian bahu, dimana tonjolan yang terbentuk disebut titik atau kedudukan bahu. Radius dan ulna merupakan tulang yang besar pada lengan bawah dan ulna yang kecil. Radius merupakan tulang panjang yang terletak di sisi medial lengan bawah yang dapat langsung diraba di bawah kulit.
Tulang radius kemudian dilanjutkan tulang carpus, tulang
metacarpus dan tulang-tulang jari (digiti).
18
Pada semua spesies, perkembangan radius sangat baik sedangkan ulna mempunyai perkembangan yang bervariasi tergantung pada spesies hewan (Fradson 1992). Berdasarkan hal di atas maka radius lebih dapat dijadikan parameter ukuran tubuh daripada ulna. Parameter pendugaan umur adalah panjang humerus, radius dan panjang telapak tangan yang apabila digabungkan maka dapat menjadi parameter panjang tangan. Panjang telapak tangan merupakan gabungan antara tulang carpus, tulang metacarpus dan digiti yang terpanjang. Pengetahuan tentang perbandingan panjang lengan primata akan sangat penting untuk mengetahui tipe pergerakan dan prilaku primata. Tipe-tipe pergerakan yang digunakan primata akan menunjukkan jenis-jenis habitat yang mendukung hidupnya.
Telapak tangan siamang yang lebih sempit
dibandingkan dari famili Pongidae dan Hominidae dikarenakan penyesuaian dalam melakukan brachiation, sesuai dengan pendapat Hoeve (1992) bahwa tangan siamang sangat panjang dan langsing dengan jari-jari yang panjang dan agak melengkung seperti kait 4. Kaki dan Telapak Kaki Selain tangan, kaki merupakan salah satu pembentuk anggota badan, dimana tangan tersusun dari beberapa tulang yang merupakan bagian anggota tulang depan (ekstremitas pelvikalis). Ekstremitas pelvikalis terdiri dari tulang pinggul (ilium), tulang paha (femur), dua tulang kaki bawah (tibia dan fibula), astralagus, metacarpus dan digiti. Femur merupakan tulang yang bulat, berpangkal pada persendian pinggul dan memanjang sampai persendian lutut. Tibia dan fibula, setara dengan radius dan ulna pada ekstremitas anterior. Tibia merupakan tulang yang besar dan terletak di sebelah medial, mempunyai ujung proksimal yang melekat pada persendian lutut.
Metacarpus dan digiti sama dengan
ekstremitas anterior. Parameter morfometrik untuk menduga umur adalah panjang femur dan tibia yang apabila digabungkan menjadi parameter panjang kaki. Panjang telapak tangan merupakan gabungan antara tulang carpus, tulang metacarpus dan digiti yang terpanjang.
Sedangkan indeks intermembral merupakan
19
perbandingan dari panjang kaki dengan panjang tangan, informasi ini sangat bermanfaat untuk mengindentifikasi sistem lokomosi primata (Myers dan Sheffield 1996).
Karakteristik Lokasi Penelitian Penelitian pengukuran morfometrik siamang dilaksanakan di dua lokasi, yaitu Pusat Rehabilitasi Siamang dan Owa Yayasan Kalaweit Program Sumatera (KPS) dan Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC). Pusat Rehabilitasi Siamang dan Owa Yayasan Kalaweit Program Sumatera KPS merupakan kegiatan konservasi eksitu yang bertujuan untuk mendukung konservasi insitu yang bekerjasama Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Departemen Kehutanan, dimana dalam implementasinya dilapangan selalu berkoordinasi dengan BKSDA Sumatera Barat sebagai unit pelaksana teknis Ditjen PHKA di daerah. Tujuan utama dari KPS adalah untuk menyelamatkan, merehabilitasi, mensejahterakan dan mengembalikan kembali owa dan siamang yang berasal dari Sumatera ke habitatnya. KPS berada di Pulau Marak dengan luas sekitar 1.000 ha, sebuah pulau di Kanagarian Sungai Pinang, Kecamatan Batang Terusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat. KPS dapat dijangkau dari Kota Padang dengan speed boat bertenaga 40 daya kuda sekitar 1 jam atau perjalanan melalui darat dapat ditempuh sekitar 30 km melalui Nagari Sungai Pinang, tetapi jalan yang masih belum bagus, berkelok-kelok dan mendaki serta belum tersedianya transportasi umum menyebabkan perjalanan lebih lama dan kurang nyaman. Pada awal berdirinya bulan Juli tahun 2003, KPS telah merehabilitasi sebanyak 122 ekor gibbon (H. agilis dan H. syndactylus). Selain jenis-jenis dari gibbon, KSP dapat juga merawat beberapa primata lain seperti beruk endemik dari Mentawai (Macaca pagaensis). Fasilitas pendukung yang tersedia yaitu 55 unit kandang (rehabilitasi, karantina, sosialisasi dan sanctuary), klinik satwa, asrama, gudang buah dan sarana transportasi. Pada bulan Juli 2007 KPS telah mendapat hak siar Radio Kalaweit pada gelombang 87.6 FM. Pelaksana di KPS terdiri dari
20
1 orang manajer, 1 orang administrasi, 2 orang tenaga medis, 8 orang animal keeper, 1 orang dokter hewan, 1 orang bidang volunteer dan ditambah 2 orang counterpart dari BKSDA.
Gambar 5 Siamang sumatera di KSP Pulau Marak dan PPSC Sukabumi. Kandang-kandang satwa terbuat dari kawat besi dengan tiang dari kayu, bentuk kandang segitiga dengan ukuran 6m x 6m x 6m. Di dalam kandang terdapat sejumlah kayu panjang dan ban bekas mobil yang digantung sebagai tempat bergelayutan (mainan) satwa. Kandang-kandang terdiri dari: a. Kandang karantina. Di kandang ini dilakukan proses untuk mengindentifikasi dan mengobati penyakit yang di derita siamang. Pemeriksaan dilakukan baik kondisi fisik dan non fisik, pemeriksaan darah (Hepatitis A, B dan C; Tuberculosis/TBC; Herpes simplex), meminimalkan stres, mengadaptasi makanan dan pemeriksaan parasit. b. Sanctuary. Satwa yang tidak dimungkinkan untuk lepasliarkan ke alam akan ditempatkan dalam kandang-kandang ini, misalnya siamang yang bentuk fisiknya abnormal (tangan atau kaki yang patah adan buntung) serta siamang yang terkena penyakit Herpes maupun TBC. Kandang sanctuary bertujuan untuk mensejahterakan siamang-siamang tersebut. c. Sosialisasi.
Siamang yang telah dinyatakan sehat akan ditempatkan di
kandang sosialisasi. mendapatkan
Dalam kandang ini, siamang ditempatkan untuk
pasangan
masing-masing
dan
selalu
dipantau
setiap
perkembangan dan tingkah lakunya. Siamang yang betul-betul bebas dari penyakit dan siamang yang telah remaja ditempatkan dalam satu kandang,
21
dimana beberapa kandang dihubungkan dengan terowongan sehingga siamang bisa berkontak visual dan fisik.
Pengamatan dilakukan dengan intensif,
apabila siamang telah menemukan pasangan maka dipindahkan ke kandang rehabilitasi. d. Rehabilitasi. Kandang ini ditujukan untuk proses utama yaitu “meliarkan” siamang, di kandang ini kontak antar siamang dihindarkan begitu juga kontak dengan manusia diminimalkan. Pemberian makanan dilakukan dua kali sehari yaitu sekitar pukul 7.30 dan 15.00 WIB.
Kombinasi makanan adalah pisang, wortel, buncis, tomat dan
mentimun, sedangkan telur sebagai sumber protein diberikan seminggu sekali. Siamang yang sakit diberikan makanan yang lebih “eksklusif” seperti apel, sawo, pir dan multivitamin dengan tujuan mengembalikan vitalitas tubuh dan mempercepat kesembuhan. Pembersihan kandang dilakukan satu kali seminggu dan sebulan sekali dilakukan penyemprotan desifektan. Pengawasan terhadap kesehatan siamang dilakukan tenaga medis sedangkan siamang yang sakit diperiksa oleh dokter hewan yang bekerjasama dengan Balai Vertereiner Departemen Peternakan. Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga PPSC didirikan oleh Yayasan Gibbon yang merupakan lembaga swadaya masyarakat yang menyalurkan dana dari para donatur internasional untuk program konservasi di Indonesia, khususnya dalam penyelamatan satwaliar.
Yayasan
Gibbon bekerjasama dengan PHKA untuk membangun PPS dalam rangka penyelamatan satwa-satwa yang dilindungi, sebagai salah satu bentuk peran keanggotaan Indonesia dalam konvensi internasional perlindungan hewan dan tumbuhan (Convention on Internasional Trade for Endanger Spesies/CITES). Terdapat tujuh PPS yang beroperasi di Indonesia yaitu di Tegal Alur di Jakarta yang sudah berhenti beroperasi, Cikananga di Sukabumi, Gadog di Ciawi-Bogor, Petung Sewu di Malang, Bali, Yogyakarta dan Tasikoki di Sulawesi. PPSC diresmikan pada tanggal 1 Nopember 2003 pada lahan seluas 14,9 ha terletak 36 km di selatan Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, tepatnya di Kampung Cikananga, Desa Cisitu Kecamatan Nyalindung.
Fasilitas PPSC
22
terbilang lengkap, karena memiliki gedung perkantoran, laboratorium, klinik hewan dan tempat penginapan.
Sejak 2001 hingga 2005 hewan yang
diselamatkan oleh PPSC mencapai 3.433 ekor, tapi sekarang tinggal 1.142 ekor karena telah di translokasi ataupun dilepasliarkan. Pertengahan bulan April 2006 Departemen Kehutanan dalam hal ini Ditjen PHKA memutus hubungan kerjasama dengan Yayasan Gibbon dan pelarangan yayasan ini melakukan kegiatan apapun yang terkait konservasi sumberdaya alam di Indonesia. Hal ini berdampak pada upaya penyelamatan satwaliar Indonesia yang saat ini berada di PPSC, dengan pendanaan yang terbatas satwa menjadi kurang terurus dan suplai makanan terbatas.