3
TINJAUAN PUSTAKA Cendawan Botryodiplodia theobromae Taksonomi Cendawan Klasifikasi cendawan Botryodiplodia theobromae (Alexopoulos et al. 1996) adalah sebagai berikut: Domain
: Eukaryota
Kingdom
: Fungi
Phylum
: Deuteromycota
Kelas
: Deuteromycetes
Ordo
: Sphaeropsidales
Famili
: Sphaeropsidaceae
Genus
: Botryodiplodia
Spesies
: Botryodiplodia theobromae (Pat.) (anamorph)
Cendawan B. theobromae (Pat.) memiliki nama lain Lasiodiplodia theobromae (Pat.) Griff. et Maubl., yang dahulu lebih dikenal dengan nama Diplodia natalensis P. Evans. Cendawan tersebut merupakan cendawan yang bereproduksi secara aseksual (anamorph), cendawan tersebut memiliki fase seksual (teleomorph) yaitu sebagai cendawan Botryosphaeria rhodina (CABI 2007). Bioekologi dan Nilai Ekonomi B. theobromae merupakan cendawan yang bersifat polifag dan memiliki kisaran inang yang luas. Patogen ini merupakan parasit lemah yang melakukan infeksinya melalui luka-luka mekanis seperti akibat pemangkasan atau luka akibat serangga (Semangun 2007). Piknidia merupakan tubuh buah yang berbentuk seperti labu yang didalamnya terdapat konidiofor dan memproduksi konidia (Agrios 2005). Piknidia B. theobromae berwarna cokelat, berbentuk tabung dan berkumpul. Konidiofor hialin, sederhana, dan menyatu. Pada konidiofor dibentuk konidia yang berpencar secara tunggal, hialin, berbentuk jorong atau silinder, pada umumnya terdiri dari dua sel (bersekat satu), seringkali massa spora keluar melalui ostiol pada piknidia.
4
Ukuran piknidia 210 µm X 150 µm (Watanabe 2002). Pada media buatan, waktu yang dibutuhkan B. theobromae untuk menghasilkan piknidia adalah antara 20-34 hari (Shah et al. 2010). Pada umumnya konidia yang dibentuk oleh B. theobromae berukuran 10-18 µm X 17-43 µm. Konidia muda hialin, tidak bersekat (satu sel), dan berbentuk jorong, sedangkan konidia matang memiliki satu sekat (dua sel) (Timmer et al. 2000). Cendawan B. theobromae ditemukan terdapat di berbagai belahan dunia diantaranya, di Amerika bagian utara dan selatan, Eropa, Afrika, Asia, dan Oceania (Urbez-Torres et al. 2008). Sejak akhir 1980 area perkebunan kakao di Kamerun mengalami kejadian penyakit mati ujung (dieback) yang luar biasa yang disebabkan oleh B. theobromae. Di beberapa perkebunan, penyakit ini dapat merugikan tanaman kakao sampai 100%, hal ini menjadi pembatas produksi kakao di Kamerun (Mbenoun et al. 2008). Pada tahun 1998 B. theobromae ditemukan pada pohon karet di Vietnam dan menyebabkan mati pucuk pada pembibitan, cendawan terus berkembang dan menyebabkan kerusakan yang serius sehingga menekan produksi perkebunan di Dau Tieng Rubber Company (Pha et al. 2009). Menurut Rustini (2010) di Denpasar, Bali, hampir 53,24% dari buah pisang yang dijual mengalami pembusukan akibat cendawan B. theobromae, hal ini menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan pasar karena permintaan pisang di Bali cukup tinggi untuk berbagai upacara keagamaan. Di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, 500 ha pertanaman jeruk besar yaitu sekitar 85% dari jumlah tanaman telah terserang oleh penyakit diplodia yang disebabkan oleh B. theobromae dengan tingkat serangan ringan sampai sedang dengan persentase 22-37% (Wiratno & Nurbanah 1997). Gejala Penyakit dan Kisaran Inang Cendawan B. theobromae memiliki kisaran inang yang luas, selain dapat menyerang tanaman jeruk, kakao, karet, manggis, dan pisang, cendawan tersebut juga dapat menyerang tanaman mangga, nanas, alpukat, melon, kelapa, terong, paprika, kacang tanah, jagung, tebu dan tembakau (CABI 2007). Cendawan B. theobromae pada jeruk menyebabkan penyakit kulit diplodia yang ditandai dengan adanya pembusukan pada bagian batang dan tangkai buah.
5
Miselium muncul di permukaan jaringan pada keadaan lingkungan yang lembab (Semangun 2007). Pada tanaman kakao, B. theobromae merupakan parasit lemah atau parasit sekunder terutama pada bagian cabang dan ranting. Sebagai parasit lemah cendawan ini hanya dapat menginfeksi jaringan-jaringan lemah, mengikuti patogen yang kuat atau menginfeksi melalui luka-luka yang diakibatkan oleh serangga. B. theobromae dapat menyebabkan mati pucuk, busuk buah, dan kanker batang (Semangun 2000). Pada awalnya, daun yang paling dekat dengan ranting yang terserang akan berwarna kuning, kemudian kerusakan akan terus meluas sepanjang cabang dan mencapai batang utama lalu tanaman akan mati dengan cepat. Bagian dalam ranting dan cabang akan mengalami perubahan warna menjadi cokelat di bagian pembuluh. Juga terdapat eksudat berwarna putih atau kekuningan yang keluar dari batang utama (Mbenoun et al. 2008). Pada tanaman karet, B. theobromae dapat menyebabkan mati pucuk, pustul yang berukuran 3-5 mm dan kulit menjadi busuk disertai keluarnya lateks atau getah pada tanaman muda berumur 1-2 tahun. Pada serangan yang berat dapat menyebabkan retak dan gummosis. Selain itu cendawan ini dapat menekan pertumbuhan tanaman, menyebabkan produksi lateks rendah, dan untuk varietas yang rentan seluruh pohon mati dalam waktu 3-4 minggu (Pha et al. 2009). Serangan B. theobromae menyebabkan busuk buah pada manggis. Pada awalnya kulit buah manggis akan berubah warna menjadi kehitaman dan mengkilat, kemudian warnanya menjadi suram karena B. theobromae membentuk banyak piknidia yang menghasilkan konidium. Biasanya gejala dimulai dari dekat tangkai, dengan cepat akan meluas ke seluruh buah (Semangun 2007). Penyakit busuk buah merupakan penyakit pasca panen pada pisang yang disebabkan oleh B. theobromae. Cendawan ini menyebabkan busuk ujung buah (tip rot), busuk telapak, dan busuk pangkal. Buah menjadi lunak dan berair, serta mengeluarkan bau (aroma) yang khas. Biasanya B. theobromae pada pisang hidup pada bagian tanaman yang membusuk, infeksinya hanya melalui luka-luka. Spora cendawan sudah terdapat pada permukaan buah di lapang (Semangun 2007).
6
Cendawan Rhizoctonia solani Taksonomi Cendawan Klasifikasi cendawan Rhizoctonia solani (Alexopoulos et al. 1996) adalah sebagai berikut: Domain
: Eukaryota
Kingdom
: Fungi
Phylum
: Deuteromycota
Kelas
: Deuteromycetes
Ordo
: Agonomycetales
Genus
: Rhizoctonia
Spesies
: Rhizoctonia solani
Cendawan R. solani merupakan cendawan yang bereproduksi secara aseksual (anamorph), cendawan tersebut memiliki fase seksual (teleomorph) sebagai cendawan Thanatephorus cucumeris. Bioekologi dan Nilai Ekonomi Cendawan R. solani biasanya menyerang pada bagian tanaman yang langsung bersentuhan dengan tanah atau yang berdekatan dengan tanah. Cendawan ini dapat diidentifikasi dari karakter hifa yang khas, yaitu sudut percabangan yang tegak lurus yang membedakan dengan cendawan lainnya. Cendawan ini bertahan di tanah dengan memproduksi sklerotia berwarna cokelat kemerahan hingga hitam sebagai struktur bertahan. (Schumann & D’Arcy 2006). Sklerotia merupakan sekumpulan hifa yang memadat, berwarna gelap dan mampu bertahan dalam kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (Agrios 2005). Sklerotia R. solani memiliki ukuran dan bentuk yang beragam, umumnya terbentuk pada permukaan inang dan di dalam jaringan tanaman inang, namun juga dapat ditemukan pada material sisa-sisa tanaman (Sneh et al. 1998). R. solani dapat bertahan hidup pada tanaman hidup atau sebagai saprofit pada sisa-sisa bahan organik. Penyakit yang disebabkan R. solani diantaranya, damping-off, busuk batang, busuk akar pada kacang panjang dan kacang kedelai, busuk mahkota pada krisan,
7
hawar daun, hawar batang dan ranting pada kacang tanah, kanker rhizoctonia, black scurf pada kentang, hawar pelepah pada padi (Schumann & D’Arcy 2006). Penyakit hawar pelepah pada jagung dilaporkan terdapat di beberapa negara diantaranya: Georgia, Perancis, dan New Zealand serta dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 30% (White 2000). Kanker batang pada ubi jalar yang disebabkan oleh cendawan R. solani dilaporkan menyerang tanaman di seluruh Amerika Serikat (Clark & Moyer 1988). Menurut Zhang et al. (2009) penyakit hawar pelepah pada padi di Jepang menyebabkan kehilangan hasil sebesar 20% dan mempengaruhi sekitar 120.000-190.000 ha pertanaman padi. Saat ini R. solani menjadi salah satu ancaman utama bagi produksi sorghum di Filipina (Pascual & Raymundo 1989). Di Indonesia penyakit busuk pelepah pada jagung mengakibatkan kehilangan hasil pada tanaman jagung hingga 100% (Sudjono 1995). Gejala Penyakit dan Kisaran Inang R. solani memiliki kisaran inang yang luas, selain dapat menyerang tanaman jagung, nanas, padi, sorghum, dan ubi jalar, cendawan tersebut juga dapat menyerang tanaman kubis, brokoli, paprika, tomat, mentimun, kedelai, gandum, cengkeh, jeruk dan bunga tulip (CABI 2007). Gejala awal penyakit hawar pelepah yang disebabkan oleh cendawan R. solani adalah terdapat bercak berwarna cokelat atau cokelat kemerahan pada bagian batang yang dekat dengan akar dan pelepah. Bercak dapat meluas kebagian tanaman lainnya hingga pada kejadian penyakit yang cukup parah tanaman menjadi kering dan mati (White 2000). Penyakit yang disebabkan oleh cendawan R. solani pada padi disebut sebagai hawar upih daun dan busuk batang. Pada upih daun dan batang terdapat bercak-bercak dengan tepian tidak beraturan, berbentuk jorong dengan tepi berwarna cokelat kemerahan, sedangkan pusat bercak berwarna seperti jerami atau kuning kehijauan. Bercak sering ditemukan terdapat dekat dengan lidah daun. Jika keadaan lembab tumbuh benang-benang hifa berwarna putih atau cokelat muda (Semangun 1991). Gejala pada tanaman sorghum ditandai dengan adanya bercak-bercak tidak teratur pada pelepah. Bagian pelepah yang terinfeksi menunjukkan pola yang khas
8
seperti pita berwarna cokelat atau pada bagian pusat bercak berwarna jerami atau cokelat kemerahan dan pada bagian pinggir pelepah berwarna cokelat. Dimulai dari bagian bawah pelepah penyakit akan menyebar ke bagian atas mencapai setinggi malai dan menyebabkan daun layu. Akibatnya biji akan matang prematur sehingga biji kecil dan bobotnya ringan. Pada jaringan tanaman yang mati akan muncul sklerotia (Pascual & Raymundo 1989). Penyakit busuk batang rhizoctonia atau juga yang dikenal dengan busuk rhizoctonia termasuk penting untuk ubi jalar. Batang tanaman ubi jalar yang terserang R. solani akan mengalami pembusukan yang dimulai pada bagian batang bawah tanaman yang dekat dengan tanah. R. solani menyebabkan gejala daun menguning sekunder, tanaman menjadi kerdil, dan rebah kecambah. Pada jaringan tanaman yang bergejala akan terbentuk sklerotia R. solani (Clark & Moyer 1988). Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu metode yang memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga secara teoritis dapat mendeteksi satu molekul dari suatu fragmen DNA tertentu. PCR ini banyak digunakan untuk mempelajari gen spesifik atau urutan nukleotidanya (Schleif 1993). Teknik PCR didasarkan pada kemampuan untai ganda DNA untuk menggandakan molekul DNA secara in vitro melalui reaksi enzimatik untuk ampilifikasi fragmen DNA tertentu dari sampel DNA yang kompleks dan dapat menghasilkan DNA target dalam jumlah mikrogram (Edel 1998). Dalam hitungan jam, PCR memungkinkan untuk dapat membuat salinan dari fragmen DNA target dalam jumlah yang banyak, sedangkan dengan teknik amplifikasi lain seperti kloning gen akan membutuhkan waktu berhari-hari atau berminggu-minggu (Paolella 1998). Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan (template), yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTPs), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim DNA
9
polymerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa bufer (Yuwono 2006). Dalam PCR terjadi sintesis DNA target yang melibatkan enzim DNA polymerase. Enzim ini berasal dari bakteri yang hidup di lingkungan suhu panas ekstrim misalnya bakteri Thermus aquaticus yang hidup dalam air bersuhu sekitar 75ºC. Enzim dari bakteri tersebut dinamai taq polymerase yang memiliki suhu optimum untuk aktif pada 72ºC dan tetap stabil pada suhu 94ºC (Paolella 1998). Random Amplified Polymorphic DNA-Polymerase Chain Reaction (RAPDPCR) Random Amplified Polymorphic DNA-Polymerase Chain Reaction (RAPDPCR) merupakan salah satu teknik molekuler yang menggunakan penanda tertentu untuk mempelajari keanekaragaman genetika. Dasar analisis RAPD adalah menggunakan mesin PCR yang mampu mengamplifikasi sekuen DNA secara in vitro. Teknik ini melibatkan penempelan primer tertentu yang dirancang sesuai dengan kebutuhan. Setiap primer dapat berbeda untuk menelaah keanekaragaman genetik kelompok yang berbeda. Penggunaan teknik RAPD memungkinkan untuk mendeteksi polimorfisme fragmen DNA yang diseleksi menggunakan satu primer acak (random), terutama karena amplifikasi DNA secara in vitro dapat dilakukan dengan baik dan cepat dengan adanya PCR (Suryanto 2003). Teknik ini mampu menghasilkan jumlah karakter yang relatif banyak, sehingga sangat membantu untuk keperluan analisis keanekaragaman organisme yang tidak diketahui latar belakang genomnya. Teknik RAPD sering digunakan untuk membedakan organisme tingkat tinggi (eukariot). Namun demikian beberapa peneliti menggunakan teknik ini untuk membedakan organisme tingkat rendah (prokariot) atau melihat perbedaan organisme tingkat rendah melalui piranti organel sel seperti mitokondria (Suryanto 2003). RAPD menggunakan primer tunggal pendek dengan urutan nukleotida acak, dilakukan dengan suhu annealing rendah dan menghasilkan beberapa produk PCR yang menghasilkan pola pita setelah dilakukan pemisahan oleh elektroforesis. Tes DNA menggunakan RAPD umumnya dilakukan dengan primer non-spesifik sehingga kondisi reaksi dan thermocycle RAPD lebih sensitif dibandingkan PCR
10
konvensional. Dengan demikian konsentrasi dari semua campuran bahan dalam reaksi harus akurat. Selain itu kualitas dari template DNA dan Taq polymerase merupakan faktor yang juga dapat mempengaruhi hasil RAPD (Edel 1998). Teknik PCR ini telah digunakan juga di berbagai bidang mikologi, termasuk genetika dan sistematika cendawan, ekologi dan mikrobiologi tanah, patologi tanaman, mikologi medis, dan bioteknologi cendawan. RAPD-PCR semakin banyak digunakan dalam menentukan taksonomi dan untuk mengkarakterisasi populasi cendawan. Keuntungan dari penggunaan teknik RAPD-PCR adalah sebelumnya tidak perlu mengetahui urutan DNA nya terlebih dahulu, sehingga setiap primer acak dapat diuji untuk mengamplifikasi setiap DNA cendawan. Lebih lanjut, RAPD-PCR mengamplifikasi DNA menggunakan primer yang tidak spesifik, sehingga membutuhkan template DNA yang murni dan tidak dapat digunakan untuk mendeteksi cendawan dalam sampel campuran (Edel 1998).