TINJAUAN PUSTAKA
Rusa Sambar Rusa sambar (Cervus unicolor brookei), termasuk dalam kategori hewan dengan fisik yang relatif besar. Rusa sambar mempunyai ukuran tubuh paling besar dibandingkan dengan spesies rusa Indonesia yang lain seperti rusa timor (Cervus timorensis), rusa bawean (Axis kuhlii) dan muncak (Muntiacus muntjak). Klasifikasi rusa Sambar berdasarkan tata nama ilmiah menurut Eco India (2008) sebagai berikut: kingdom: Animalia, pilum: Chordata, Class: Mamalia, ordo: Artiodactyla, sub ordo: Ruminantia, famili: Cervidae, Sub famili: Cervinae, genus: Cervus, spesies: C. unicolor, zoological name: Cervus unicolor. Rusa tergolong dalam Famili cervidae merupakan kelompok kompleks yang terbagi atas 57 spesies dan hampir 200 sub spesies. Rusa sambar (sambur, sambhur, Tamil: Kadaththi man) adalah nama umum untuk beberapa rusa Asia yang mempunyai ciri berwarna coklat gelap dengan tinggi pundak
dapat
mencapai 102-160 cm , dengan bobot badan dapat mencapai 546 kg (Nugent et al., 2001). Tinggi badan pada rusa jantan dapat mencapai 160 cm dengan berat badan antara 136-320 kg, sedangkan rusa yang betina dapat mencapai 115 cm dengan berat badan 135-225 kg. Ukuran ini bervariasi
tergantung pada sub
spesies. Ada kecenderungan sub spesies rusa sambar yang berasal dari India dan Sri Lanka merupakan yang terbesar (Awal et al., 1992, Lewis et al., 1990). Peternakan rusa di Australia dilaporkan bahwa rusa Sambar betina dapat mencapai berat badan 228 kg (Anderson, 1984). Rusa telah siap dipotong mulai dari kisaran umur 11 bulan pada jantan tetapi betina biasanya dikembangkan untuk indukan (Semiadi dan Nugraha, 2004). Bulu rusa sambar umumnya berwarna coklat dengan peningkatan gadasi sampai agak kehitaman (gelap) pada rusa jantan atau yang telah tua. Ekor rusa sambar agak pendek dan tertutup bulu yang cukup panjang. Keadaan bulu termasuk kasar dan tidak terlalu rapat. Pada daerah leher bagian lateral, bulu membentuk suatu surai/malai (mane). Perubahan warna bulu dari coklat cerah
Universitas Sumatera Utara
menjadi lebih gelap, khususnya pada yang jantan dominan, sering terlihat bersamaan dengan masuknya pejantan ke musim kawin (Semiadi, 2004). Rusa sambar merupakan jenis rusa terbesar untuk daerah tropik dengan sebaran di Indonesia terbatas di pulau Sumatera, Kalimantan dan pulau kecil di sekitar Sumatera (Whitehead, 1994). Rusa sambar yang ada di Kalimantan, mempunyai potensi untuk dikembangkan tidak saja penghasil daging yang berkualitas (venison), tetapi juga beberapa produk untuk pengobatan tradisional Cina. Produk bahan obat tradisional Cina yang telah diproduksi dari hasil tambahan peternakan rusa di Selandia Baru yaitu: royal deer velvet liqueur, dried deer antler velvet, deer horn and ginseng capsules, Versatile venison jerky, deer blood powder capsules, deer tails, dried pizzle and sinew (Bellaney, 1993). Produk peternakan rusa tersebut di ekpor dari Selandia Baru ke Cina, Hongkong, USA, Taiwan, Jepang dan Australia, yang dapat diandalkan menjadi sumber devisa negara. Gambaran produksi peternakan diatas, dapat dikatakan rusa sambar mempunyai potensi untuk dikembangkan di Indonesia sebagai industri peternakan. Ketersediaan Rusa Sambar sebagai sumber Protein Hewani Rusa sambar dihabitat alamiahnya (insitu) Habitat alami rusa terdiri atas beberapa tipe vegetasi seperti savana yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan dan vegetasi hutan yang tidak terlalu rapat untuk tempat bernaung (istirahat), kawin dan melindungi diri dari predator. Hutan sampai ketinggian 2.600 m diatas permukaan laut dengan padang rumput merupakan habitat yang paling disukai oleh rusa terutama jenis Cervus timorensis, kecuali Cervus unicolor yang sebagian besar aktivitas hariannya dilakukan pada daerah payau (Garsetiasih dan Mariana 2007). Rusa sambar tersebar luas hampir di seluruh Asia mulai dari Asia Selatan, Cina bagian selatan dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Sedangkan di Indonesia sendiri penyebarannya banyak di pulau Sumatera dan Kalimantan dan Irian Jaya. Walaupun secara nasional rusa sambar belum berada di ambang kritis, namun populasinya terus mendapat tekanan akibat perburuan dan penyempitan luas lahan hutan akibat perusakan hutan maupun bencana alam seperti kebakaran hutan. Daerah habitat asli rusa sambar berupa daerah payau atau berair, namun
Universitas Sumatera Utara
dengan berkembangnya wilayah perkebunan kelapa sawit di habitat rusa sambar, ternyata rusa mampu bertahan dan terbukti dapat berkembang dengan baik (Semiadi, 2004). Rusa dapat mengkonsumsi hampir semua jenis dedaunan dan rumput, tahan terhadap kekurangan air sehingga mampu menyesuaikan dengan kondisi agoekosistem yang beragam (Naipospos, 2003; Badarina, 1995). Tempat hidup rusa umumnya di daerah yang dekat dengan hutan dan padang rumput. Hutan dijadikan sebagai tempat berlindung dan padang rumput digunakan sebagai sumber
pakannya.
Jenis
ruminansia
ini
mudah
beradaptasi
dengan
lingkungan yang baru dengan makanan pokoknya adalah jenis dedaunan hijau (Jacoeb, 1994). Dalam pemanfaatan rusa sebagai sumber gizi, masyarakat daerah telah lama memanfaatkannya. Hampir di setiap habitat yang “dahulu” kaya akan potensi satwa rusa, daging rusa mudah diperoleh. Namun saat ini semakin tingginya minat masyarakat maka perburuan rusa semakin meningkat sehingga populasinya
menurun
drastis.
Pada
saat
rusa
diburu
tidak
terlalu
mempertimbangkan jenis kelamin, tetapi lebih pada unsur kemudahan dalam mendapatkan rusa dengan ukuran badan yang besar. Daging rusa diburu karena banyak peminatnya, dapat diolah menjadi baso dan dilaporkan bahwa rendang daging rusa atau dendeng banyak dijual sebagai produk rumahan (Semiadi, 2007). Daerah Kalimantan Timur, dalam seminggu masing-masing pengumpul rusa sambar buruan setidaknya mendapat kiriman minimal dua ekor dan maksimal empat ekor. Sebagai sampingan kadang-kadang pengumpul juga menerima kijang (Mutiacus muntjak) sekitar dua hingga tiga ekor per dua minggu. Namun penjualan daging kijang ini tidak begitu intensif. Dengan melihat pada tingkat pengiriman hasil buruan ke pasar, memberikan gambaran bahwa setidaknya dalam satu bulan dari satu kabupaten, hasil perburuan minimal 60 ekor dan maksimal 120 ekor rusa sambar, atau sekitar 600-1400 ekor rusa sambar liar pertahunnya. Untuk kelompok kijang angka perburuan adalah setengah dari rusa sambar pertahunnya (Semiadi dan Jamal, 2002; Semiadi dan Nugaha, 2004). Rusa buruan merupakan rusa yang diburu untuk diambil dagingnya. Pemanfaatan rusa buruan sebagai sumber protein hewani bukan merupakan hal
Universitas Sumatera Utara
baru. Rusa diburu bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan protein tetapi karena rusa juga memiliki daging dengan kandungan nutrisinya yang baik. Pada Tabel 1 dapat dilihat kandungan nutrisi daging rusa sambar buruan. Tabel 1. Nilai nutrisi (%BK) daging sambar hasil buru berdasarkan bagian karkas Rataan Variabel Kaki Belakang Kaki Depan Sadel Goss energi (Kal/g BK) 5.56 5.43 5.52 Abu (%BK) 3.86 3.73 4.14 Air (%BK) 75.70 76.90 74.9 Lemak (%BK) 3.80 3.60 2.90 Protein (%BK) 90.24 88.84 90.51 Kolestrol (%BK) 0.27 0.31 0.24 Sumber : Semiadi et al. (2003). Keterang: BK = bahan kering
Rusa sambar buruan dapat juga diketahui kualitas fisiknya dengan dilakukannya analisis daging di laboratorium. Pada Tabel 2 dapat dilihat nilai tes fisik pada daging rusa sambar buruan. Tabel 2. Nilai tes fisik pada daging rusa sambar buru Rataan Variabel
Kaki Belakang
Kaki Depan
Sadel
Daya mengikat air (%MgH2O)
33.52
36.25
33.00
pH Angka keempukan Persen susut
6.46 4.92 53.31
6.41 5.05 46.14
6.18 5.38 48.49
Sumber: Semiadi et al. (2003).
Rusa sambar di penangkaran (exsitu) dan yang didomestikasi Industri peternakan rusa berkembang pesat di beberapa negara seperti New Zealand, terdapat sekitar 4000 peternakan dengan populasi rusa mencapai 2,6 juta ekor pada tahun 2001 meskipun rusa tersebut merupakan hewan introduksi (Game Animal Panel, 2007). Hal ini disebakan karena permintaan produk asal rusa yang semakin meningkat, terutama permintaan dari Cina dan Korea. Sedangkan peternakan rusa di Indonesia sampai sekarang ini belum ada kegiatan yang bersifat komersial. Padahal kebijakan pemerintah di Indonesia saat ini cukup mendukung usaha penangkaran dan pemanfaatannya sebagai usaha konservasi ex-
Universitas Sumatera Utara
situ (Saparjadi, 2003) maupun kemudahan dalam hal perizinannya (Susmianto, 2002). Sistem Peternakan Rusa sambar Pemberian Pakan Rusa Sambar Pakan rusa sambar
merupakan komponen yang paling penting,
Ketersediaan pakan hijauan berhubungan erat dengan perubahan musim, biasanya di musim hujan produksi hijauan berlimpah sedangkan di musim kemarau produksi hijauan berkurang. Pakan pokok rusa adalah hijauan berupa daun-daunan dan rumput yang ketersediaannya kadang terbatas terutama di penangkaran sehingga dibutuhkan pakan tambahan (Garsetiasih dan Mariana 2007). Namun guna mencapai produksi yang maksimal, penambahan konsentrat sebagai bentuk formulasi ransum pada pakan rusa merupakan satu usaha pemenuhan kebutuhan nutrisi yang berkorelasi pada peningkatan produksi dan juga satu bentuk usaha domestikasi rusa dari segi pakannya.
Hijauan Hijauan adalah bahan pakan yang berbentuk daun-daunan, kadang-kadang bercampur batang, ranting serta bunga. Bahan pakan ternak ruminansia terdiri atas hijauan, hasil tanaman ataupun sisa tanaman setelah hasil utamanya diambil untuk kebutuhan manusia. Ternak ruminansia mengkonsumsi hijauan sebanyak 10% dari bobot badannya setiap hari dan konsentrat sekitar 1 – 2%, dari jumlah tersebut termasuk suplementasi vitamin dan mineral. Oleh karena itu hijauan dan sejenisnya terutama
rumput
merupakan
sumber
energi
utama
ternak
ruminansia
(Pilliang, 1997). Hasil penelitian Handarini et al. (2009) pada rusa sambar jantan menunjukkan palatabilitas yang tinggi pada beberapa spesies hijauan. Pemberian rumput dilakukan secara kafetaria sehingga rusa bebas memilih rumput yang diinginkan. Rumput dalam klasifikasi palatabilitas tinggi antara lain: Otochola nodusa (rumput jawa), Eleusine indica (rumput belulang), A. compresus (rumput pait), P. conjungantum (rumput pait) dan legume dalam klaisfikasi palattabilitas tinggi
Universitas Sumatera Utara
antara lain : Mikania scandes (areu caputuheur), Asystasia (bayaman), Pakis, D. trifolium, Ipomea Sp (kangkung darat), Passiflora Sp (markisa), Commelina diffusa (brambangan) dan Pueraria javanica (tanaman kacang-kacangan penutup tanah).
Konsentrat Pakan merupakan komponen habitat yang paling penting, ketersediaan pakan berhubungan erat dengan perubahan musim, biasanya di musim hujan pakan berlimpah sedangkan di musim kemarau pakan berkurang. Pakan pokok rusa
adalah
hijauan
berupa
daun-daunan
dan
rumput-rumputan
yang
ketersediaannya kadang-kadang terbatas terutama di penangkaran sehingga dibutuhkan pakan tambahan (Takandjandji, 1993). Nilai gizi yang terkandung dalam hijauan tersebut, seperti protein dan energi, relatif rendah sehingga perlu ditambahkan pakan konsentrat berupa jagung untuk mencukupi kebutuhan gizi rusa. Pakan konsentrat biasanya disukai oleh rusa dan mengandung cukup energi sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan rusa (Garsetiasih, 1988). Protein dibutuhkan oleh ternak untuk pembentukan sel-sel jaringan baru dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak akibat usia tua dan penyakit (Prijono dan Handini 1998). Protein membentuk blok bangunan dari jaringan hewan. Bangunan blok tersebut adalah asam amino. Protein diperlukan untuk perawatan normal, seperti darah, penggantian sel tubuh, pertumbuhan, reproduksi, dan menyusui. Bahkan pertumbuhan ranggah membutuhkan protein, sebagai velvet sebelum mineralisasi hampir seluruhnya terbuat dari protein yang disebut kolagen, pakan penguat bagi ternak ruminansia dapat memberikan pertumbuhan yang baik. Selanjutnya Soegiri et al. (1981) menyatakan bahwa pakan penguat berupa jagung dan dedak padi mengandung kadar protein yang tinggi, palaTabel dan mengandung vitamin B. Kebutuhan protein sangat ditentukan oleh kualitas protein dari bahan pakan yang diberikan. Protein sangat diperlukan terutama pada masa periode pertumbuhan. Berdasarkan pakan yang diberikan terlihat bahwa jumlah protein pakan yang diberikan lebih tinggi dibandingkan dengan kisaran kadar protein pakan yang dibutuhkan rusa. Menurut Causey (2006), ternak rusa membutuhkan protein ransum pada masa pertumbuhan sebesar 16% – 20%.
Universitas Sumatera Utara
Kebutuhan protein seekor rusa timor lepas sapih berkisar 13-20 % dan mungkin bahkan lebih tinggi. Rusa dewasa memiliki kebutuhan protein yang cukup rendah sekitar 8-12 %. Rusa dapat bertahan dengan kandungan protein rendah di musim dingin. Pada periode kebuntingan kebutuhan protein semakin meningkat bahkan saat rusa lahir hanya mengandung 525 gam protein dan yang dihasilkan selama masa kebuntingan 6 bulan (Wildlife and Fisheries, 2001). Rusa sambar lepas sapih yang diberi pakan tambahan konsentrat dengan kandungan protein kasar 20% sama baiknya dengan kandungan protein kasar 16% terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan konversi pakan (Tafsin et al, 2011). Pada rusa sambar selama masa kebuntingan yang diberi tambahan pakan konsentrat kandungan protein kasar 16% pada masa kebuntingan induk rusa sambar sudah memenuhi kebutuhan induk selama kebuntingan dan mendapatkan morfometri anak yang baik (Handarini et al, 2011). Pemberian pakan tambahan selain konsentrat juga baik untuk rusa sambar salah satunya pemberian blok multinutrisi dalam pakan dapat meningkatkan palatabilitas pakan yang menyebabkan tingkat konsumsi pakan meningkat dan pertambahan bobot badan juga meningkat pada rusa sambar jantan masa ranggah keras (Handarini et al. 2009) Sumber Bahan Pakan Penyusun Konsentrat Beberapa faktor yang menghambat penyediaan hijauan yakni terjadinya perubahan fungsi lahan yang sebelumnya sebagai sumber hijauan menjadi lahan pemukiman,
lahan
untuk
tanaman
pangan
dan
tanaman
industri
(Djajanegara, 1999). Dilain pihak, menurut Kasryno dan Syafa'at (2000) bahwa sumberdaya alam untuk peternakan berupa padang penggembalaan di Indonesia mengalami penurunan sekitar 30%. Disamping itu secara umum di Indonesia ketersediaan hijauan juga dipengaruhi oleh iklim, sehingga pada musim kemarau terjadi kekurangan hijauan dan sebaliknya di musim hujan jumlahnya melimpah. Untuk mengatasi kekurangan rumput ataupun hijauan, salah satunya adalah memanfaatkan limbah pertanian dan perkebunan sebagai bahan pakan ternak. Dengan demikian untuk pengembangan ternak ruminansia di suatu daerah
Universitas Sumatera Utara
seharusnya dilakukan juga usaha untuk memanfaatkan limbah pertanian dan limbah perkebunan sebagai pakan dan bahan pakan penyusun konsentrat. Karkas Komponen utama karkas terdiri dari jaringan otot, tulang dan lemak dan kualitas karkas ditentukan oleh ketiga komponen tersebut (Berg et al., 1978). Bobot karkas adalah bobot hidup setelah dikurangi bobot saluran pencernaan, darah, kepala, kulit dan keempat kaki mulai dari persendian carpus dan tarsus ke bawah. Dinyatakan bahwa dijumpai sedikit modifikasi, kadang-kadang dengan atau tanpa ginjal, lemak ginjal, lemak pelvis, lemak sekitar ambing, diaphragm dan ekor. Perbedaan sangat besar adalah lemak ginjal, lemak pelvis temasuk kedalam karkas atau tidak. Karkas sebagai satuan produksi dinyatakan dalam bobot karkas dan persentase karkas (Berg dan Butterfield, 1976). Persentase karkas adalah perbandingan antara bobot karkas dengan bobot hidup saat dipotong (dikurangi isi saluran pencernaan dan urine) dikali 100% (Judge et al.,1989). Menurut Berg dan Butterfield (1976) bahwa persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot ternak, kondisi, bangsa ternak, proporsi bagian-bagian non karkas, ransum yang diberikan dan cara pemotongan. Daging dan Proses Pelayuan Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi.
Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula
kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang.
Dari tingkat
kealotan daging merupakan sekumpulan otot yang melekat pada kerangka. Istilah daging dibedakan dengan karkas. Daging adalah bagian yang sudah tidak mengandung tulang, sedangkan karkas berupa daging yang belum dipisahkan dari tulang atau kerangkanya (Astawan, 2008). Daging didefenisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 2005). Menurut Lawrie (2003) yang dimaksud dengan daging adalah daging hewan yang digunakan sebagai makanan.
Universitas Sumatera Utara
Daging dapat didefinisikan sebagai kumpulan sejumlah otot yang berasal dari ternak yang sudah disembelih dan otot tersebut sudah mengalami perubahan biokimia dan biofisik sehingga otot yang semasa hidup ternak merupakan energi mekanis berubah menjadi energi kimiawi yang dikenal sebagai daging atau pangan hewani (Valacute, 2009). Kata otot dapat dipergunakan pada masa hidup ternak dan setelah mati tetapi kata daging selayaknya secara akademik dipergunakan setelah ternak mati dan otot telah berubah menjadi daging. Terjadi proses konversi dari otot menjadi daging sehingga sesaat setelah ternak disembelih seharusnya kata otot sebagai penyusun tubuh ternak masih digunakan sampai otot telah berubah menjadi daging ditandai dengan timbulnya kekakuan (kejang mayat) dan berangsur-angsur mengalami pengempukan pasca kekakuan tersebut (Abustam, 2009). Daging dapat dibedakan atas daging merah dan daging putih tergantung perbedaan histologi, biokimia, dan asal ternak. Daging merah adalah daging yang memiliki serat yang sempit, kaya akan pigmen daging (mioglobin), mitokondria dan enzim respirasi berhubungan dengan tingginya aktivitas otot serta kandungan glikogen yang rendah. Daging putih merupakan daging yang berserat lebih besar dan lebar, sedikit mioglobin, mitokondria dan enzim respirasi berhubungan dengan aktivitas otot yang singkat/cepat serta kandungan glikogen yang tinggi. Daging putih mempunyai kadar protein dan air yang lebih tinggi dibanding daging merah namun daging merah memiliki kadar lemak jenuh dan kolesterol lebih tinggi dibanding daging putih (Usmiati, 2010). Daging merah adalah daging yang menunjukkan warna merah sebelum dimasak. Daging sapi, domba, kambing, kelinci, kerbau dan daging rusa disebut dengan daging merah. Daging ternak mamalia umumnya disebut daging merah. Warna merah yang terdapat pada daging-daging tersebut disebabkan oleh kandungan pigmen mioglobin (Wikipedia, 2005). Berdasarkan keadaan fisik daging dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis yaitu daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan, daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin), daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan (daging beku), daging masak, daging asap, dan daging olahan (Tafal, 1981). Daging segar jika dipotong mula-mula berwarna
Universitas Sumatera Utara
ungu tapi lama kelamaan permukaan daging berubah berwarna merah dan akhirnya menjadi coklat.
Konversi Otot menjadi daging Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan (Soeparno, 2005). Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah ternak mati sampai terbentuknya rigor mortis pada umumnya merupakan suatu kegiatan yang besar perannya terhadap kualitas daging yang akan dihasilkan pascarigor. Kesalahan penanganan pascamerta sampai terbentuknya rigor mortis dapat mengakibatkan mutu daging menjadi rendah ditandai dengan daging yang berwarna gelap (dark firm dry) atau pucat (pale soft exudative) ataupun pengkerutan karena dingin (cold shortening) atau rigor yang terbentuk setelah pelelehan daging beku (thaw rigor). Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah : genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan, termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral) dan stres. Faktor setelah pemotongan dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging. Perubahan dari otot menjadi daging dimulai dari penyembelihan hewan. Penyembelihan dilakukan pada bagian leher dengan memotong esofagus, trachea, dan saluran darah (arteri carotis dan vena jugularis) dengan memperhatikan syariah agama isalam dan kaidah kesejahteraan hewan (SK mentan, 1992). Setelah hewan disembelih (mati), terjadi perubahan yang sangat kompleks didalam jaringan otot yang meliputi perubahan biokimia, fisik, dan mikrobiologis. Secara umum, perubahan tersebut diawali dengan berhentinya sirkulasi darah, yang mengakibatkan tidak adanya pasokan (supply) oksigen kejaringan, sehingga
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan konsekuensi perubahan pada jaringan otot (Lukman et al. 2007). Secara umum perubahan- perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Sirkulasi darah terhenti
Tidak ada supply oksigen
Respirasi terhenti
Glikolisis anaerob
Penurunan kadar ATP dan CP
Penurunan nilai pH
Rigormortis
Denaturasi protein
Pembebasan dan aktivitas enzim
Gambar 1. Perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan disembelih (Lukman et al. 2007)
Rigormortis Daging Rigor mortis daging adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada otot. Pada saat kekakuan otot itulah disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat. Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH daging masih tinggi (diatas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya rigor mortis. Jika pH >5.5 – 5.8 pada saat rigor mortis terbentuk dengan waktu yang cepat dari keadaan normal maka kualitas daging yang akan dihasilkan
Universitas Sumatera Utara
menjadi rendah (warna merah gelap, kering dan strukturnya merapat) dan tidak bertahan lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu dingin (Soeparno, 2005). Maturasi (aging) pada daging Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging selama penyimpanan dingin (2-5°C) setelah ternak disembelih yang memberikan dampak terhadap perbaikan palatabilitas daging tersebut khususnya pada daerah rib dan loin. Selama maturasi akan terjadi pemecahan atau fragmentasi protein miofibriler oleh enzim-enzim alami menghasilkan perbaikan keempukan daging, khususnya pada bagian rib dan loin. Pada suhu 2ºC, waktu yang dibutuhkan untuk pematangan daging adalah 10-15 hari, namun dengan alasan ekonomi waktu diturunkan menjadi 7-8 hari. Akibat permintaan penyediaan daging yang cepat dan berkembangnya pasar swalayan dan toko-toko daging yang dilengkapi dengan rantai pendingin maka waktu maturasi ditingkat RPH dipersingkat menjadi 1-2 hari; setelah rigor mortis terbentuk karkas (whole and retail cuts) sudah bisa didistribusikan ke pasar swalayan atau toko daging, dengan harapan proses aging akan berlangsung selama display produk daging tersebut. Faustman (1994) menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk maturasi adalah 12 hari untuk daging sapi, 3-5 hari untuk daging babi, dan 1-2 hari untuk daging ayam. Selama aging akan terjadi perbaikan keempukan daging yang secara fisik diakibatkan oleh terjadinya fragmentasi miofibriler akibat kerja enzim pencerna protein. Ada dua kelompok enzim proteolitik yang berperan dalam proses pengempukan ini yakni calcium dependence protease (CaDP) atau nama lainnya calpain (µ dan m-calpain) yang intens bekerja pada saat prarigor dan kelompok cathepsin yang aktif bekerja pada saat pascarigor. Keduanya berperan dalam mendegadasi protein miofibriler. Calpain dalam aktivitasnya akan dihambat oleh enzim calpastatin (inhibitor calpain), sehingga efektivitasnya terhadap perbaikan keempukan akan sangat tergantung pada jumlah enzim inhibitor tersebut. Ada dua jenis aging pada karkas/daging 1. Dry aging, karkas utuh atau potongan utama karkas secara terbuka (tanpa
ditutupi atau dikemas) ditempatkan pada ruangan pendingin pada suhu
Universitas Sumatera Utara
0-1,11°C (32-34°F), kelembaban relative 80-85 %, kecepatan udara 0,5-2,5 m/det, selama 21-28 hari. 2. Wet aging, daging dimaturasikan pada kantong plastik hampa udara, suhu
0-1,11°C (32-34°C) Kelembaban dan kecepatan udara bukan merupakan keharusan yang diperlukan pada maturasi tertutup. Proses aging dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1. Kelembaban: kelembaban yang tinggi akan menagkibatkan pertumbuhan mikroba yang berlebihan. Pada kelembabab rendah mengakibatkan pengkerutan yang berlebihan. Kelembaban relative 85% memperlambat pertumbuhan mikroba dan kehilangan cairan daging akan menurun. 2. Suhu: pada suhu yang tinggi akan mempercepat perkembangan keempukan namun pertumbuhan mikroba juga meningkat, 3. Kecepatan udara: pada kecepatan udara rendah akan mengakibatkan kondensasi air berlebihan pada produk yang mana akan menghasilkan aroma dan flavor yang menyimpang (off-flavor), dan pembusukan. Sedang pada kecepatan udara tinggi akan menagkibatkan pengeringan permukaan karkas yang berlebihan, Kualitas Daging Kualitas daging adalah karaketristik daging yang dinilai oleh konsumen. Beberapa karakteristik kualitas daging yang penting dalam pengujian yaitu sifat fisik daging dan sifat kimia kimia. Sifat Fisik Daging Sifat fisik daging meliputi nilai pH, daya ikat air, susut masak, dan keempukan (tekstur) daging. Nilai pH Nilai pH awal diukur pada awal pengukuran setelah dipotong sampai 45 menit sesudah pemotongan. pH akhir (ultimat) kira-kira 24 jam setelah pemotongan. pH normal daging 5,4-5,8. Faktor-faktor yang mempengaruhi stress sebelum pemotongan antara lain injeksi hormon/obat-obatan, spesies, individu ternak dan macam otot, stimulasi listrik, aktivitas enzim dan terjadinya glikolisis. Setelah hewan mati metabolisme aerobic tidak terjadi karena sirkulasi darah yang
Universitas Sumatera Utara
mem-bawa oksigen ke jaringan otot terhenti, sehingga metabolisme berubah menjadi sistem anaerobic yang menyebabkan terbentuknya asam laktat. Penimbunan asam laktat dalam daging menyebabkan turunnya pH jaringan otot. Menurut Soeparno (2005) faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH postmortem dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain adalah spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas diantara lemak, sedangkan faktor ekstrinsik, antara lain adalah temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif sebelum penyembelihan dan stress sebelum penyembelihan. Menurut Buckle et al. (1987) pH akhir yang tercapai mempunyai pengaruh yang berarti dalam mutu daging. pH tinggi menyebabkan daging mempunyai struktur tertutup atau padat dengan warna merah ungu tua, rasa kurang enak dan keadaan yang lebih memungkinkan untuk perkembangan mikroorganisme. Penurunan nilai pH dalam otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis postmortem
serta cadangan glikogen otot dari daging,
normalnya adalah 5,4 sampai dengan 5,8 (Soeparno, 1992). Lee et al. (2006) menjelaskan bahwa pada ternak stres cadangan glikogen triphosphate
(ATP) rendah sehingga ternak
dan
adenosin
kehabisan energi sesaat setelah
ternak mati dan level Ca2+ dalam sarkoplasma akan cepat meningkat. Level Ca2+ yang tinggi memicu perombakan glikogen dalam waktu
singkat hingga
rigormortis lebih cepat sedangkan pH tetap tinggi. Setelah pH menurun pasca pemotongan, kemudian pH akan mencapai konstan pada beberapa waktu dan waktu ini bertambah meskipun daging dalam keadaan dingin dan akan naik lagi pH-nya pada kontaminasi dan kondisi membusuk. Bila pH mencapai 6,7 atau lebih, secara objektif pembusukan telah terjadi dan akan terbentuk perubahan bau, warna, dan susunan komposisinya (Forrest et al. 1975, dalam Aprilya 2010). Daya Mengikat air Daya ikat air oleh protein daging disebut juga water holding capacity atau water bonding capacity (WHC atau WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat air dalam jaringan daging tersebut atau air yang ditambahkan selama
Universitas Sumatera Utara
ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 2005). Salah satu istilah yang terkait dengan WHC adalah drip yaitu kehilangan cairan (eksudasi) dari daging. Drip biasanya terjadi selama pengangkutan, pameran (display) dan penyimpanan. Adanya drip menyebabkan kerugian seperti penerunan berat daging, berkurangnya kelezatan dan berkurangnya nilai gizi. Bouton et al. (1971) dan Wismer-Pedersen (1971) menyatakan bahwa daya ikat air oleh protein daging dipengaruhi oleh pH. Daya mengikat air menurun dari pH tinggi sekitar 7 – 10 sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0 – 5,1. Pada pH isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal. Pada pH yang lebih tinggi dari pH isolektrik protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negative yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan member lebih banyak ruang untuk molekul air. Pada saat pH lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging akan terjadi kelebihan muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan akan memberi ruang yang lebih banyak bagi molekul-molekul air. Dengan demikian pada saat pH daging diatas atau dibawah titik isolektrik protein-protein daging maka DMA akan meningkat. Nilai daya mengikat air oleh protein daging ditentukan dengan metode pengepresan menurut Hamm (Swatland, 1984). Penurunan nilai daya ikat air oleh protein daging, dan pada saat penyegaran kembali (thawing) daging beku, terjadi kegagalan serabut otot menyerap kembali semua air yang mengalami translokasi atau keluar pada saat penyimpanan beku (Bratzler et al .,1977 dan Lawrie, 1979). Proses pembekuan juga dapat meningkatkan kerusakan protein daging,sehingga daya ikat air terhadap protein daging akan semakin lemah, yang akan menyebabkan nilai daya ikat air (Bhattacharya et al ., 1988). Hal ini juga akan terlihat pada banyaknya cairanyang keluar (drip) pada saat daging beku tersebut di thawing. Semakin tinggi cairan yang keluar dari daging menunjukkan bahwa nilai daya ikat air oleh protein daging tersebut semakin rendah (Soeparno, 1998). Penurunan nilai daya mengikat air juga dapat meningkatkan nilai susut masak (Jamhari, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Keempukan Keempukan adalah salah satu sifat mutu yang penting pada daging. Daging yang empuk adalah hal yang paling dicari konsumen. Salah satu cara untuk mendapatkan daging yang em-puk dilakukan dengan penambahan enzim proteolitik yaitu enzim yang mampu memecah atau mengurai protein. Tingkatan keempukan pada daging, menurut Soeparno (1992), dapat dihubungkan dengan tiga katagori protein otot yaitu protein jaringan ikat, miofibril, dan sarko-plasma. Laju penurunan nilai pH mempengaruhi keempukan daging. Menurut Soeparno (2005) keempukan dan tekstur daging kemungkinan besar merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik dan termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, managemen, jenis kelamin dan stress. Faktor postmortem antara laian meliputi metode pelayuan (chilling), refrigasi dan pembekuan termasuk faktor lama dan temperatur penyimpanan serta mode pengolahan termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk. Jadi keempukan bisa bervariasi diantaranya spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas dan diantara otot serta otot yang sama. Penggunaan otot longissimus dorsi sebagai sampel juga mempengaruhi nilai keempukan. Shank et al. (2002) menyatakan otot
longissimus dorsi
merupakan salah satu otot pasif (bukan merupakan otot gerak) sehingga jumlah ikatan silang pada otot sedikit, sehingga mengakibatkan daging lebih empuk dibanding otot aktif. Susut masak Susut masak adalah perhitungan berat yang hilang selama pemasakan atau pemanasan pada daging. Pada umumnya, makin lama waktu pemasakan makin besar kadar cairan daging hingga mencapai tingkat yang konstan. Susut masak merupakan indicator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat dalam dan diantara serabut otot. Jus daging merupakan komponen dari daging yang ikut menetukan keempukan daging (Soeparno, 1992).
Universitas Sumatera Utara
Shanks et.al. (2002) menyatakan bahwa daging dengan daya mengikat air rendah akan mengeluarkan banyak air ketika daging
mengalami pemasakan
(pemanasan) akibat kerusakan membran seluler dan degadasi protein. Besarnya nilai susut masak pada daging juga dipengaruhi oleh umur yang relatif masih muda, sehingga kandungan kolagen dalam daging masih relatif rendah dibanding ternak yang lebih tua. Menurut Soeparno (1994), bahwa pada umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi antara 1,5–54,5% dengan kisaran 15–40%. Daging bersusut masak rendah mempunyai kualitas yang relatif baik dibandingkan dengan daging bersusut masak besar, karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat didalam dan di antara otot. Daya ikat air (WHC) yang rendah akan mengakibatkan nilai susut masak yang tinggi. WHC sangat dipengaruhi oleh nilai pH daging. Apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik daging (5,0−5,1) maka nilai susut masak daging tersebut akan rendah.
Tekstur Secara teknis pengukuran tekstur dapat dilakukan dengan uji penekanan atau pembuatan lubang kecil. Alat yang digunakan adalah instrumen uji mekanis instron yang mengukur kekerasan dan saya kunyah (Purnomo, 1995). Bahan yang ditekan dengan jarum hard teksturometer adalah pada bagian tengah, kiri dan kanan. Rataan dari ketiga pengukuran tersebut merupakan tekstur bahan (Slamet et al., 1984). Ada beberapa hal yang mempengaruhi tekstur bahan pangan antara lain rasio kandungan lemak, protein, jenis protein, suhu pengolahan, kadar air dan aktivitas air (Purnomo, 1995). Sedangkan Soehardjoprasetojo (1993) menjelaskan bahwa lemak diantara kelompok-kelompok daging akan memutuskan serat-serat daging. Lawrie (1995) menyatakan pergerakan otot yang aktif mengakibatkan tekstur otot tersebut terlihat kasar daripada yang tidak aktif. Faktor lainnya yang mempengaruhi adalah pada saat pemotongan.
Universitas Sumatera Utara
Sifat Kimiawi Daging Sifat kimiawi daging meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, protein kasar, lemak kasar), analisis kolestrol. Analisis proksimat Analisis proksimat meliputi protein kasar, lemak kasar, kadar air dan kadar abu. Daging mentah mengandung protein sekitar 19-23% tergantung dari kadar lemaknya yang mempunyai hubungan negatif antara kedua konstituen tersebut. Setiap 100 g protein daging masak memenuhi sekitar 25-30% atau setara dengan 45-55% dari kebutuhan protein sehari yang dianjurkan NRC (1988). Song (2000) menyatakan hewan yang diberi pakan dengan level energi tinggi berpengaruh terhadap peningkatan kadar lemak daging. Peningkatan kadar lemak diikuti dengan penurunan kadar air daging. Setiap kandungan nutrisi dalam daging ternak berbeda-beda tiap ternak. Pada Tabel 3 dapat dilihat kandungan komposisi kimia daging dari berbagai jenis ternak. Tabel 3. Komposisi kimia daging rendah lemak dari berbagai spesies ternak (%) Species Air 1 Sapi 70-75 1 Ayam 73.7 1 Domba 73 1 Babi 68-70 2 Rusa 71.8+0.7 Keterangan:1. Fennema (1985),
Protein 20-22 20-23 20 19-20 23.6+0.6
Lemak 4-8 4.7 5-6 9-11 2.8+0.4
Abu 1 1 1.6 1.4 1.1+ 0.1
2. Wiklund et al. (2007),
Sebagaimana ditunjukkan pada perbandingan nilai nutrisi antara rusa sambar dengan hewan domestik lainnya (Semiadi et al, 2003) tampak bahwa kualitas daging rusa, apapun jenisnya, cukup konsisten dan lebih baik dibandingkan dengan daging asal ternak lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Analisis kolestrol Kolesterol adalah suatu jenis stero (zoosterol) yang banyak dijumpai pada jaringan hewan, kuning telur, dan air susu, dan merupakan zat yang berguna untuk menjalankan fungsi tubuh. Pada produk tersebut, kolesterol terdapat dalam bentuk bebas dan tersterifikasi dengan asam lemak. Rumus molekul kolesterol adalah C 27 H 46 O dengan berat molekul 386,64 dan perbandingan C: H: O adalah 83,87%: 11.99%: 4,14% (Robert et al., 2003). Kolesterol berasal dari lemak yang menghasilkan 9 kalori. Sementara itu, karbohidrat dari tepung dan gula hanya menghasilkan 4 kalori. Lemak yang dimakan terdiri atas lemak jenuh dan lemak tak jenuh yang masingmasingdibutuhkan tubuh. Selain berguna untuk proses metabolism, kolesterol berguna untuk membungkus jaringan syaraf (meilin), melapisi selaput sel, dan pelarut vitamin. Pada anak-anak kolesterol dibutuhkan untuk mengembangkan jaringan otak, daging dan kulit ayam (Wiryowidagdo dan Sitanggang, 2002). Kolesterol adalah suatu molekul lemak di dalam sel dibagi menjadi LDL, HDL, total kolesterol dan trigliserida. Kolesterol sebenarnya merupakan salah satu komponen lemak. Seperti kita ketahui, lemak merupakan salah satu zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh kita disamping zat gizi lain seperti karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Lemak merupakan salah satu sumber energy yang memberikan kalori paling tinggi. Disamping sebagaig salah satu sumber energi, sebenarnya lemak atau khususnya kolesterol memang merupakan zat yang sangat dibutuhkan oleh tubuh kita terutama untuk membentuk dinding sel-sel dalam tubuh. Kolesterol juga merupakan bahan dasar pembentukan hormon-hormon steroid. Kolesterol yang kita butuhkan tersebut, secara normal diproduksi sendiri oleh tubuh dalam jumlah yang tepat. Tetapi ia juga bias miningkatkan jumlahnya karena asupan makanan yang berasal dari lemak hewan, telur da yang disebut sebagai makanan sampah (junkfood). Kolesterol dalam tubuh yang berlebihan akan tertimbun di dalam dinding pembuluh darah dan menimbulkan suatau kondisi yang disebut aterosklerosis (Lee dan Salminen, 2009) yaitu penyempitan atau pengerasan pembuluh darah. Kondisi ini merupakan cikal bakal terjadinya penyakit jantung dan stroke pada manusia (Purnomo et al., 2006).
Universitas Sumatera Utara
Unsur-unsur
lemak dalam darah terdiri atas kolesterol, trigliserida,
fosfolipid dan asam lemak bebas. Hanya seperempat dari kolesterol yang terkandung dalam darah berasal langsung dari saluran pencernaan yang diserap dari makanan, sisanya merupakan hasil produksi tubuh sendiri oleh selsel hati (Yayasan Jantung Indonesia, 2003). Asam lemak bebas sendiri terdiri atas asam lemak jenuh (saturated fatty acid) dan asam lemak tak jenuh (unsaturated fatty acid). Ada dua asam lemak tak jenuh, yakni asam lemak tak jenuh tunggal (monounsaturated fatty acid) dan asam lemak tak jenuh majemuk (polyunsaturated fatty acid). Jenis asam lemak tak jenuh lebih menyehatkan dibanding asam lemak jenuh. Jika asam lemak dibiarkan bebas berlebihan dalam darah, maka akan disimpan sebagai trigliserida. Sebagian kolesterol dalam tubuh dibuat dari trygliserida yang berlebihan juga. Oleh karena itu, jika triglyserida dalam darah berlebih, kolesterol darah juga bisa ikut berlebih. Jumlah kandungan kolesterol pada ternak berbeda beda tiap ternak. Pada Tabel 4 dapat dilihat perbandingan kolestrol daging tiap ternak. Tabel 4. Perbandingan kandungan kolestrol daging ternak Hewan 1
Kancil Sapi2 Babi2 Ayam2 Domba2 Itik2 Angsa2 Anak sapi (veal)2 Bison3 Rusa Jantan3 Sumber: 1. Rosidi et al. (2010)/
Kolestrol (mg/100g) 50.00 86.00 85.00 89.00 92.00 89.00 96.00 118.00 54.10 50.20
2. Gillespie (1998). 3. Rule et al. (2002).
Universitas Sumatera Utara