TINJAUAN PUSTAKA Definisi Lahan Kritis Lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya (fungsi produksi dan pengatur tata air). Menurunnya fungsi tersebut akibat dari penggunaan lahan yang kurang atau tidak memperhatikan teknik konservasi tanah sehingga menimbulkan erosi, tanah longsor dan berpengaruh terhadap kesuburan tanah, tata air dan lingkungan (BPDASPemalijratun, 2007). Lahan yang kritis memiliki potensi erosi yang sangat tinggi yang mengakibatkan lapisan – lapisan tanah tersebut terbawa hilang, sehingga dalam pelaksanaan konservasinya secara generatif harus menggunakan tanaman yang mampu menahan pengikisan tanah, meresapkan air dan mengembalikan totalitas daripada lahan kritis tersebut (Setiawan, 2003). Lahan kritis mempunyai keterbatasan seperti sifat fisik, kimia, dan biologi tanah yang tidak baik serta topografi lahan yang kurang mendukung dalam berusahatani. Untuk meningkatkan produktivitas lahan kering ada beberapa cara yang perlu dilakukan seperti pemakaian varietas tanaman unggul, penerapan pola tanam yang sesuai dengan curah hujan, perbaikan teknik budidaya tanaman, serta usaha konservasi lahan sehingga kelestarian lahan dapat dijaga (Suprapto, 2000).
Ciri – Ciri Tanah Kritis Ciri-ciri tanah kritis untuk budidaya tanaman yaitu tidak Subur dan miskin humus. Dimana tanah tidak subur adalah tanah yang sedikit mengandung mineral/hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Sedangkan tanah yang miskin humus umumnya kurang baik untuk dijadikan lahan pertanian karena tanahnya kurang subur. Tanah Humus adalah tanah yang telah bercampur dengan daun dan ranting pohon yang telah membusuk (Setiadi, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Tujuan Rehabilitas Lahan Kritis Menurut Setiadi (2001) langkah awal yang penting di dalam melaksanakan rehabilitas lahan kritis adalahan mengidentifikasi kendala – kendala utama yang akan berpengaruh dalam menetapkan tujuan dari penggunaan lahan tersebut mencakup : (a). Protektif yakni meningkatkan stabilitas lahan, mempercepat penutupan tanah dan mengurangi surface run off dan erosi tanah. (b). Produktif yakni mengarah pada peningkatan kesuburan tanah ( soil fertility) yang lebih produktif sehingga bisa diusahakan tanaman yang tidak saja menghasilkan kayu tetapi juga menghasilkan produk non-kayu (rotan, getah, obat-obatan dan buah-buahan) yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya. (c). Konservatif yakni kegiatan untuk membantu mempercepat terjadinya suksesi secara alami kearah peningkatan biodiversity spesies lokal serta penyelamatan dan pemanfaatan jenis – jenis tanaman potensial lokal yang telah langka. Menurut Setiadi (2001) kendala utama dalam melakukan aktivitas rehabilitasi pada lahan kritis adalah kondisi lahanya yang kritis bagi pertumbuhan tanaman. Kondisi ini secara langsung akan mempengaruhi kualitas pertumbuhan tanaman dan tingkat keberhasilannya dalam melaksanakan rehabilitasi. Untuk dapat mengatasi masalah ini maka karakteristik fisik, kimia dan biologi tanah perlu diketahui sehingga bisa diupayakan cara-cara perbaikannya yaitu : a.Sifat Fisika Tanah Sifat fisik tanah adalah sifat yang bertanggung jawab atas peredaran udara, panas, air dan zat terlarut melalui tanah. Beberapa sifat fisika dapat mengalami penggarapan tanah. Sifat fisika tanah yan penting adalah tekstur tanah, struktur tanah, komposisi mineral, porositas, stabilitas, konsistensi, warna maupun suhu tanah. Sifat tanah berperan dalam aktivitas perakaran tanaman, baik dalam hal absorbsi unsur hara, air maupun oksigen juga sebagai pembatas gerakan akar tanaman (Hakim et al.1986). b. Sifat Kimia Tanah Sifat kimia tanah adalah semua peristiwa yang bersifat kimia yang terjadi pada tanah, baik pada permukaan maupun didalamnya. Rentetan peristiwa kimia
Universitas Sumatera Utara
inilah yang menentukan ciri dan sifat tanag yang akan terbentuk dan berkembang (Hakim et al.1986). Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh pH tanah melalui dua cara yaitu : pengaruh langsung ion hidrogen dan pengaruh tidak langsung yakni tidak tersedianya unsur hara tertentu dan adanya unsur – unsur yang beracun. Dari hasil penelitian di Amerika latin diketahui bahwa batas maksimum dari pH tanah untuk berbagai jenis tanaman yang masih perlu diberi kapur adalah pada pH 6. Batas pH yang dimaksud menunjukan bahwa diatas pH ini tanaman yang bersangkutan tidak lagi memerlukan kapur dan sebaliknya bila pH tanah dibawah nilai tersebut pertumbuhanya akan terganggu. c. Sifat Biologi Tanah Hilangnya lapisan tanah dan serasah sebagai sumber Carbon (C) untuk menyokong kelangsungan hidup mikroba tanah potensial merupakan salah satu penyebab utama menurunnya populasi dan aktivitas mikroba tanah yang berfungsi penting dalam penyediaan unsur – unsur hara (Setiadi, 2001).
Kompos sampah kota Kompos adalah sampah organik yang telah mengalami proses pelapukan atau dekomposisi akibat adanya interaksi mikroorganisme yang bekerja didalamnya. Bahan – bahan organik yang biasa dipakai bisa berupa dedaunan, rumput, jerami, sisa ranting atau dahan pohon, kotoran hewan, kembang yang telah gugur, air kencing hewan, dan sampah dapur (Redaksi Agromedia, 2007). Sampah pasar sebagai bagian dari sampah kota diharapkan memiliki tingkat keamanan yang lebih tinggi daripada penggunaan kompos sampah kota yang selama ini digunakan. Namun untuk dapat bermanfaat bagi perbaikan tanah dan produksi tanaman maka sampah pasar harus mengalami proses pengomposan. Lamanya waktu pengomposan berpengaruh terhadap kualitas kompos yang dihasilkan. Sehubungan dengan upaya mendapatkan bahan baku kompos yang baik untuk produksi sayur organik, perlu dilakukan penelitian mengenai lama waktu pengomposan sampah pasar dan dibandingkan dengan penggunaan bahan organik lain yang bersumber dari
Universitas Sumatera Utara
hewan yang banyak digunakan dewasa ini (Redaksi Agromedia, 2007). Pemberian kompos dapat memperbaiki struktur tanah. Pada tanah pasiran, pemberian kompos dapat meningkatkan daya ikat partikel tanah. Sedangkan pada tanah yang berat dapat mengurangi ikatan partikel tanah sehingga strukturnya menjadi remah. Kompos dapat meningkatkan kapasitas menahan air, aktivitas mikroorganisme di dalam tanah dan ketersediaan unsur hara tanah. Tetapi penggunaan kompos yang mutunya rendah misalnya belum cukup matang dapat mengakibatkan kerusakan tanaman karena C/N yang terlalu tinggi atau amonia yang dihasilkannya. Jika C/N kompos yang diberikan ke dalam tanah terlalu tinggi mengakibatkan tanaman kekurangan nitrogen (Sutejo, 2004). Secara kimia, kompos dapat meningkatkan kapasitas kation (KTK), ketersedian unsur hara, dan ketersedian asam humat. Asam humat akan membantu meningkatkan proses pelapukan bahan mineral. Secara biologi, kompos yang tidak lain bahan organik ini merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme tanah. Dengan adanya kompos, fungi, bakteri serta mikroorganisme menguntungkan lainnya akan
berkembang
lebih
cepat.
Banyaknya
mikroorganisme
tanah
yang
menguntungkan dapat menambah kesuburan tanah (Razali, 2008). Pengomposan merupakan proses perombakan (dekomposisi) dan stabilisasi bahan organik oleh mikroorganisme dalam keadaan lingkungan terkendali dengan hasil akhir humus atau kompos. Hal ini bisa dilihat pada gambar dibawah :
Sumber :Nurhayati (2010)
Gambar 1. Proses Pengomposan Aerobik
Universitas Sumatera Utara
Ada dua mekanisme proses pengomposan yakni pengomposan secara aerobik dan pengomposan secara anerobik.
Dimana
pengomposan secara aerobik
membutuhkan oksigen dan air untuk merombak bahan organik Mikroba aerob Bahan organik
CO2 + H2O + unsur hara + humus + energi
Pengomposan secara anaerobik berjalan tanpa adanya oksigen, yang melibatkan mikroorganisme anaerob. Bahan baku yang dikomposkan secara anaerob biasanya berupa bahan organik yang berkadar air tinggi (Suhut dan Salundik, 2006). Faktor yang memepengaruhi proses pengomposan yaitu : ●
Rasio C/N Proses pengomposan akan berjalan baik jika rasio C/N bahan organik yang
dikomposkan sekitar 25 -35. Rasio C/N yang terlalu tinggi akan menyebabkan proses pengomposan berlangsung lambat. Dimana keadaan ini disebabkan mikroorganisme yang terlibat dalam proses kekurangan nitrogen. Sedangkan jika terlalu rendah akan menyebabkan kehilangan nitrogen dalam bentuk ammonia yang selanjutnya akan teroksidasi. ●
Suhu pengomposan Suhu optimum bagi pengomposan adalah 40 – 60oC dengan suhu maksimum
75 oC. Jika suhu pengomposan mencapai 40 oC, aktivitas mikroorganisme mesofil akan digantikan oleh mikroorganisme termifil. Jika suhu mencapai 60 oC, fungi akan berhenti bekerja dan proses pengomposan dilanjutkan oleh aktinomisetes serta strain bakteri pembentuk spora (spore forming bacteria). Suhu yang tinggi ini merupakan keadaan yang baik untuk menghasilkan kompos yang steril karena selama suhu pengomposan lebih dari 60 oC (dipertahankan selama tiga hari) mikroorganisme pathogen, parasit, dan benih gulma akan mati. ●
Tingkat keasaman (pH) Pengaturan pH selama proses pengomposan perlu dilakukan. Pada awal
pengomposan, reaksi cenderung agak asam karena bahan organik yang dirombak menghasilkan asam – asam organik sederhana. Namun akan mulai naik sejalan dengan waktu pengomposan dan akhirnya akan stabil pada pH sekitar netral. Jika
Universitas Sumatera Utara
bahan
yang dikomposkan terlalu asam, pH dapat dinaikkan dengan cara
menambahkan bahan yang bereaksi asam (mengandung nitrogen) seperti urea atau kotoran hewan. ●
Jenis mikroorganisme yang terlibat Mikroorganisme diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu psikrofil, mesofil, dan
termofil. Mikroorganisme mesofil dapat hidup pada suhu 25 - 40 oC, Mikroorganisme psikrofil dapat hidup pada suhu kurang dari 20 oC, Mikroorganisme termofil dapat hidup pada suhu 65 oC. Namun yang terlibat dalam proses pengomposan yaitu miroorganisme termofil dan mesofil. Proses pengomposan bisa dipercepat dengan menambahkan aktivator yang kandungan bahannya berupa mikroorganisme (kultur bakteri), enzim, dan asam humat. Mikroorganisme yang ada dalam aktivator ini akan merangsang aktivitas mikrooraganisme yang ada dalam bahan kompos sehingga cepat berkembang. Akibatnya, mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan semakin banyak dan proses dekomposisi akan semakin cepat. ●
Aerasi Aerasi (pengaturan udara) yang baik ke semua bagian tumpukan bahan kompos
sangat penting untuk menyediakan oksigen bagi mikroorganisme dan membebaskan CO2 yang dihasilkan. Karbondioksida yang dihasilkan harus dibuang agar tidak menimbulkan zat beracun yang merugikan mikroorganisme sehingga bisa menghambat aktivitasnya. Dimana pengaturan aerasi dilakukan dengan cara membalikkan tumpukan bahan kompos secara teratur. Selain itu, bisa juga dengan pergerakan udara secara alami kedalam tumpukan kompos melalui saluran aerasi yang dibuat dari batang bambu. ●
Kelembaban (RH) kelembaban opotimum untuk proses pengomposan aerobik sekitar 50 – 60 %
setelah bahan organic dicampur. Kelembapan campuran baha kompos yang rendah (kekurangan air) akan menghambat proses pengomposan dan akan menguapkan nitrogen ke udara. Namun jika kelembapannya tinggi (kelebihan air) proses pertukaran udara dalam campuran bahan kompos akan terganggu. Pori – pori udara
Universitas Sumatera Utara
dalam tumpukan bahan kompos akan terganggu. Pori – pori udara yang ada dalam tumpukan bahan kompos akan diisi air dan cenderung menimbulkan kondisi anaerobik. ●
Struktur bahan baku Sifat bahan organik juga tergantung dari sifat bahan yang akan dikomposkan.
Sifat bahan tanaman tersebut antara lain jenis tanaman, umur, dan komposisi kimia tanaman. Semakin muda umur tanaman, proses dekomposisi akan berlangsung lebih cepat. Hal ini disebabkan kadar airnya masih tinggi, kadar nitrogen tinggi, imbangan C/N yang sempit, serta kandungan lignin yang rendah. ●
Ukuran bahan baku Semakin kecil ukuran bahan (5-10 cm), proses pengomposan berlangsung
semakin cepat. Hal ini karena adanya peningkatan luas permukaan bahan untuk ”diserang” mikroorganisme. Ukuran bahan yang kurang dari 5 cm akan mengurangi pergerakan udara yang masuk ke dalam timbunan dan pergerakan CO2 yang keluar. Sebaliknya, ukuran bahan yang terlalu besar meyebabkan luas permukaan yang ”diserang” akan menurun sehingga proses dekomposisi berlangsung lambat bahkan bisa berhenti sama sekali. ●
Pengadukan (Homogenisasi) Bahan baku kompos terdiri dari campuran berbagai bahan organik yang memiliki
sifat terdekomposisi berbeda (ada yang mudah dan ada yang sukar terdekomposisi). Apabila campuran bahan ini tidak diaduk maka proses dekomposisi tidak berjalan secara merata. Akibatnya, kompos yang dihasilkan kurang bagus (Suhut dan Salundik, 2006). Standar kualitas kompos biasanya diidentikkan dengan kandungan unsur hara yang ada didalamnya, kadarnya sangat tergantung dari bahan baku atau proses pengomposan. Kompos dikatakan bagus dan siap diaplikasikan jika tingkat kematanganya
sempurna.
Kompos
yang
matang
biasa
dikenali
dengan
memperhatikan keadaan bentuk fisiknya sebagai berikut : 1. Jika diraba, suhu tumpukan bahan yang dikomposkan sudah dingin, mendekati suhu ruang.
Universitas Sumatera Utara
2. Tidak mengeluarkan bau busuk lagi. 3. Bentuk fisiknya sudah menyerupai tanah yang berwarna kehitaman. 4. Jika dilarutkan kedalam air, kompos yang sudah matang tidak akan larut. 5. Struktur remah, tidak menggumpal Jika dianalisi di Laboratorium, kompos yang sudah matang akan memiliki ciri sebagai berikut : 1. Tingkat kemasaman (pH) kompos agak asam sampai netral (6,5 -7,5). 2. Memiliki C/N sebesar 10-20. 3. Kapasitas tukar kation (KTK) tinggi, mencapai 110 me / 100gram. 4. Daya absorbsi (penyerapan) air tinggi 5. Mengandung unsure hara seperti yang tertera pada tabel 1. Tabel 1. Kandungan unsur hara dalam kompos yaitu : Unsur hara
Jumlah
Nitrogen (N)
1,33%
Fosfor (P2O5)
0,85%
Kalium (K2O)
0,36%
Kalsium (Ca)
5,61%
Zat besi (Fe)
2,1%
Seng (Zn)
285 ppm
Timah (Sn)
575 ppm
Tembaga (Cu)
65 ppm
Kadmium (Cd)
5 ppm
Humus
53,7%
Ph
7,2
Sumber : Nan Djuarni, Kristian dan Budi ( 2005) dalam Suhut dan Salundik,2006.
Kesuburan dan kegemburan tanah akan terjaga jika kita selalu menambahkan bahan organik, salah satunya. Pemakaian kompos sangat dianjurkan karena dapat memperbaiki produktivitas tanah, baik secara fisik, kimia ataupun biologi tanah. Secara fisik, kompos bisa menggemburkan tanah, memperbaiki aerasi dan drainase, meningkatkan pengikatan antar partikel dan kapasitas mengikat air sehingga dapat
Universitas Sumatera Utara
mencegah erosi dan longsor, mengurangi tercucinya nitrogen terlarut, serta memperbaki daya olah tanah (Suhut dan Salundik, 2006).
Botani Sengon Sengon yang dalam bahasa Latin disebut Albizia falcataria, termasuk famili Mimosaceae, keluarga petai – petaian. Kadang – kadang sengon disebut pula ” albisia” yang sesungguhnya berasal dari bahasa Latin tersebut. Di Indonesia, sengon memiliki beberapa nama daerah seperti berikut ini : ● Jawa
: jeunjing, jeunjing laut (sunda), kalbi, sengon landi, sengon laut atau
sengon sabrang (jawa) ● Maluku: seia (ambon), sikat (banda), tawa (Ternate) dan gosui (tidore) Tajuk tanaman sengon berbentuk menyerupai payung yang tidak rimbun daunnya. Kita ketahui daun sengon tersusun majemuk menyirip ganda sedangkan anak daunnya kecil – kecil dan mudah rontok ; daunnya yang rontok itu justru cepat meningkatkan kesuburan tanah. , Warna daun sengon hijau pupus, berfungsi untuk memasak makanan dan sekaligus sebagai penyerap nitrogen (N2) dan karbon dioksida (CO2) dari udara bebas. Bunga tanaman sengon tersusun dalam bentuk malai berukuran sekitar 0,5 – 1cm, berwarna putih kekuning-kuningan dan sedikit berbulu. Setiap kuntum bunga mekar terdiri dari bunga jantan dan bunga betina, dengan cara penyerbukan yang dibantu oleh angin atau serangga. Buah sengon berbentuk polong, pipih, tipis, dan panjangnya sekitar 6 – 12 cm. Setiap polong buah berisi 15 – 30 biji. Bentuk biji mirip perisai kecil dan jika sudah tua biji akan berwarna coklat kehitaman,agak keras, dan berlilin (Hieronymus, 1992).
Universitas Sumatera Utara
Habitat Sengon Tanaman Sengon dapat tumbuh baik pada tanah Regosol, Aluvial, dan Latosol yang bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dengan kemasaman tanah sekitar pH 6-7. Ketinggian tempat yang optimal untuk tanaman sengon antara 0 – 800 m dpl. Walapun demikian tanaman sengon ini masih dapat tumbuh sampai ketinggian 1500 m di atas permukaan laut. Sengon termasuk jenis tanaman tropis, sehingga untuk tumbuhnya memerlukan suhu sekitar 18 ° – 27 °C. Curah hujan mempunyai beberapa fungsi untuk tanaman, diantaranya sebagai pelarut zat nutrisi, pembentuk gula dan pati, sarana transpor hara dalam tanaman, pertumbuhan sel dan pembentukan enzim, dan menjaga stabilitas suhu. Tanaman sengon membutuhkan batas curah hujan minimum yang sesuai, yaitu 15 hari hujan dalam 4 bulan terkering, namun juga tidak terlalu basah, dan memiliki curah hujan tahunan yang berkisar antara 2000 – 4000 mm. Kelembaban juga mempengaruhi setiap tanaman. Reaksi setiap tanaman terhadap kelembaban tergantung pada jenis tanaman itu sendiri. Tanaman sengon membutuhkan kelembaban sekitar 50%-75% (Hieronymus, 1992).
Universitas Sumatera Utara