94
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.11
Pemanfaatan Wilayah Pesisir Pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management) merupakan
optimalisasi proses interaktif secara bertahap yang bertujuan mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan (Kay and Alder, 1999). Keterpaduan perlindungan dan pengelolaan wilayah pesisir memiliki keterkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya di dalamnya dan merupakan objek pengelolaan. Pemanfaatan sumber daya alam selalu dilakukan dengan mengkonversikan nilai ekologi menjadi nilai ekonomi. Konversi dilakukan oleh berbagai pihak yang berkepentingan, dalam arti kepemilikan bersama wilayah pesisir namun bukan tanggung jawab bersama dalam penanggulangan kerusakan (Dahuri et. al, 1996). Tarik menarik kepentingan dan tolak menolak tanggung jawab terhadap wilayah pesisir sebagai kawasan yang merupakan bagian dari daerah yang menjadi batas antara wilayah laut dengan daratan ini memiliki permasalahan yang sangat kompleks. Berbagai isu dan permasalahan memerlukan penanganan yang komprehensif dengan strategi khusus dan terpadu. Strategi pengelolaan wilayah pesisir akan difokuskan untuk menangani isu utama yaitu konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir, yang secara simultan juga berkaitan dengan penanganan isu yang lain. Strategi tersebut mengacu kepada visi pengelolaan pesisir terpadu yaitu terwujudnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang didukung oleh peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penataan dan penegakan hukum, serta penataan ruang untuk terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat (Cicin-Sain and Knecht, 1998). Rudyanto, 2004 menegaskan tentang kondisi sumberdaya pesisir dan laut yang bersifat milik bersama (common property) dengan akses yang bersifat terbuka. Istilah common property lebih mengarah pada kepemilikan yang berada di bawah kontrol pemerintah atau lebih mengarah pada sifat sumberdaya yang
Universitas Sumatera Utara
95
merupakan daerah umum. sehingga sifat sumberdaya tersebut bukanlah tidak ada pemiliknya. Ini berarti sumberdaya tersebut tidak terdefinisikan dalam hal kepemilikannya sehingga menimbulkan gejala yang disebut dengan dissipated resource rent, yaitu hilangnya rente sumberdaya yang semestinya diperoleh dari pengelolaan yang optimal. Dengan adanya sifat sumberdaya yang terbuka menyebabkan tindakan salah satu pihak yang merugikan pihak lain tidak dapat terkoreksi oleh pasar (market failure). Hal ini menimbulkan ketidak efisienan ekonomi karena semua pihak akan berusaha mengeksploitasi sumberdaya sebesarbesarnya, jika tidak maka pihak lain yang akan mendapat keuntungan. Salah satu strategi pengelolaan pesisir adalah penataan ruang. Rahardjo (2006) menyatakan bahwa kawasan pesisir pada prinsipnya merupakan suatu sistem
dari suatu tata ruang wilayah. Sedangkan ruang adalah wadah yang
meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya (Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2006). Mamuaya (2003) mengemukakan bahwa ruang pesisir merupakan bentang alam spesifik, sebagai percampuran pengaruh antara udara, lautan dan daratan. Beberapa pengertian yang dikemukakan untuk menerangkan tentang wilayah pesisir menunjukkan pentingnya wilayah tersebut untuk dapat dimanfaatan secara berkelanjutan Berdasarkan US commission on Marine Science, Engineering and Resources (1969), wilayah pesisir dapat didefinisikan sebagai: 1) Wilayah yang berupa daratan kering dan ruang laut yang berdekatan (air dan daratan) dimana ekologi daratan secara langsung berdampak pada ekologi ruang lautan, 2) Suatu wilayah yang mempunyai lebar area yang bervariasi yang dibatasi oleh benua dan dataran laut, 3) Secara fungsional, wilayah pesisir adalah suatu antarmuka yang luas lahan dan air, dimana produksi, konsumsi, dan proses pertukaran terjadi pada intensitas yang sangat tinggi, 4) Secara ekologi, wilayah pesisir adalah suatu area aktifitas biokimia yang dinamis akan tetapi kapasitasnya terbatas didalam mendukung berbagai bentuk kebutuhan manusia, 5) Secara geografis, batas daratan dari zona pesisir adalah sangat diperlukan karena belum jelas, 6) Laut mungkin berdampak jauh ke arah daratan.
Universitas Sumatera Utara
96
Namun pada daerah-daerah tertentu wilayah pesisir merupakan hilir dari sungai yang mengalir dari pegunungan. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.26 Tahun 2008 ditegaskan bahwa pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya nasional. Keseimbangan ekosistem pesisir merupakan titik optimal dari dari interaksi
komponen lingkungan wilayah pesisir. Interaksi faktor-faktor yang
berkaitan didalam sistem perairan pesisir dapat dilihat dari ditinjau dari faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan pesisir terpadu, yaitu: (1) tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir; (2) Proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang inklusif, partisipatif, transparan, akuntabel, dan didukung dengan informasi ilmiah sebagai prasarat untuk menciptakan parameter berkelanjutan Pengelolaan pesisir Terpadu; (3) Proses penutupan proyek secara tepat; (4) Kerangka hukum yang memadai; dan (5) Desain proyek yang fleksibel yang memenuhi prinsip-pinsip Pengelolaan pesisir terpadu (Wiyana, 2004). Keterpaduan
yang menjadi prinsip pengelolaan perairan pesisir
merupakan upaya pengelolaan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yg meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup No.32 Tahun 2009). Upaya terpadu fungsi pengelolaan memiliki tujuan membangun fungsi lingkungan hidup secara berkelanjutan. Siregar (2004) memperluas makna pembangunan berkelanjutan dengan slogan “think global, act local”untuk menyatakan bahwa dengan mengelola wilayah pesisir akan dapat memperlambat degradasi lingkungan global yang dapat mengganggu fungsi lingkungan hidup.
Universitas Sumatera Utara
97
2.12
Indeks Kualitas Lingkungan Menurut Merriem-Webster Dictionary (2007), indeks (kata benda) adalah
perangkat yang berfungsi untuk menunjukkan nilai atau kuantitas. Atau sesuatu yang mengarah kepada suatu fakta tertentu atau kesimpulan. Ott (1976) yang mengemukakan indeks kualitas lingkungan sebagai sumber informasi dan pengambilan keputusan dan mengevaluasi kondisi lingkungan. Demikian juga National Academy of Sciences (1975) mengutarakan bahwa indeks kualitas lingkungan memiliki peranan dalam penilaian dalam perumusan kebijakan, mengevaluasi efektif tidaknya suatu program pemeliharaan lingkungan, digunakan dalam perencanaan, dan sebagai fasilitas komunikasi antar masyarakat dan lingkungan. Indeks lingkungan merupakan alat ukur kinerja. Alat ukur kinerja telah banyak dikembangkan di bidang teknologi dan manajemen lingkungan serta telah digunakan pula untuk menilai efektivitas investasi program pengelolaan lingkungan. Satuan untuk mengukur tingkat kinerja pengelolaan lingkungan adalah skala indeks kualitas lingkungan. Indeks menggambarkan nilai komposit dari sejumlah variabel lingkungan yang dinilai berpengaruh terhadap perubahan kualitas lingkungan (Pamengkas, 2005). Ott (1976) mengungkapkan bahwa indeks kualitas lingkungan, I merupakan fungsi dari
sub indeksnya (I1,I2, I3,………In), dan sub indeks
merupakan fungsi dari nilai hasil pengamatan dari parameter i (x1,x2,x3,….xi) yang merupakan komponen sub indeks. Dituangkan dalam rumus: I = g ( I 1 , I 2 , I 3 , ...........................I n ) I
i
= fi ( xi)
(2.1) (2.2)
Tahapan proses penentuan indeks kualitas lingkungan diuraikan dalam skema berikut :
Universitas Sumatera Utara
98
Gambar 2.1. Tahapan Proses Penentuan Indeks Kualitas Lingkungan. Dalam penentuan sub indeks digunakan grafik sub indeks yang menghubungkan variabel sub indeks (y) dan nilai parameter (x). Nilai parameter diperoleh dengan cara penyebaran kuisioner dan wawancara terhadap para informan. Bentuk grafik bermacam-macam sesuai dengan range nilai dan karakteristik komponen indeks. Untuk mengetahui nilai indeks kualitas lingkungan diperlukan bobot dari pada sub indeks parameter yang diidentifikasi berdasarkan tingkat pengaruh parameter tersebut sebagai komponen indeks. Pembobotan (wi) diperoleh dengan cara penyebaran
kuesioner terhadap para panelis. Pembobotan merupakan
merupakan perkalian tiap sub indeks dari parameter kunci dengan koefisien yang sesuai, yaitu : n
I=
∑ wi . Ii
(2.3)
u =1
w1 + w2 = 1 dimana : wi
= Bobot parameter i
Ii
= Sub indeks komponen i
n
= jumlah data
Universitas Sumatera Utara
99 Pembobotan (wi) diperoleh dengan cara penyebaran kuesioner terhadap para peneliti. Metode di atas telah banyak digunakan oleh para peneliti sebelumnya, yakni:
2.2.1. Indeks Kualitas Air Horton Horton (1965) mengembangkan indeks kualitas air yang digunakan untuk menentukan air umum (air permukaan) dan kepentingan khusus (air minum, irigasi, perikanan, rekreasi dan habitat alami). Variabel yang digunakan adalah oksigen terlarut (Dissolve Oxygen), pH, Coliform dan Chloride dengan pembobotan 4, 4, 2 dan 1.
2.2.2. Indeks Kualitas Air NSF Indeks kualitas air yang dikembangkan oleh NSF (1970) memiliki variabel dengan pembobotan serta skala status yang diuraikan sebagai berikut : Tabel 2.1. Indeks Kualitas Air NSF. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Variabel Oksigen terkarut Coliform faecal pH BOD5 hari Nitrat Fosfat Suhu Kekeruhan Padatan total
Pembobotan 0,17 0,15 0,12 0,10 0,10 0,10 0,10 008 0,08
2.2.3. Indeks Pencemarn Prati’s Indeks Prat’s adalah indeks pencemaran yang menggunakan variabel dan kategori pencemaran seperti tertera pada Tabel 2.2.
Universitas Sumatera Utara
100
Tabel 2.2. Kategori Pencemaran Indeks Prat’s. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Variabel pH Oksigen terlarut, % BOD5 hari, ppm COD, ppm Permanganat, mg/l O2 Padatan Melayang (Suspended solid), ppm Amoniak, ppm Nitrat, ppm Khlorida, ppm Besi, ppm Mangan, ppm Alkil benzene sulfonat, ppm Carbon Chloroform Extract, ppm
Kategori pencemaran Excellent : 1 Acceptabel : 2 Slightly :4 Polluted :8 Heavily polluted : >8
2.2.4. Indeks Pencemaran Sungai Mc Duffi’s (1973) Mc Duffi (1973) menggunakan metode indeks untuk mengetahui tingkat pencemaran sungai dengan menggunakan variabel dan formulasi sub indeks seperti yang diuraikan pada Tabel 2.3. Tabel 2.3. Persamaan Sub Indeks Dari Mc Duffi. No 1 2 3 4 5
Variabel Persen deficit oksigen Bahan organik lapuk biologi (BOD5) Refractory Organic Matter Coliform Count (No/100 mL) Padatan melayang yang tidak menguap.
6
Average Nutrient Excess
7
Garam larut
8
Suhu 0C
Persamaan Sub Indeks I = 100 – X ………..X = DO I = 10 X I = 5 (X-Y) ………X = COD I = 10 (log X/log 3) I=X I = 5 (X/0,2 + Y/0,1) Y = total N X = total P I = 0,25 X …..X = specific conductivity I = 1/6 X2 - 65
2.2.5. Indeks O’Connors Indeks O’Connors digunakan untuk mengetahui kualitas air dengan pemanfaatan perikanan dan binatang liar (wild life) serta air minum. Variabel dan pembobotan diuraikan pada Tabel 2.4.
Universitas Sumatera Utara
101
Tabel 2.4. Variabel dan Pembobotan Indeks O’Connors. No
Variabel
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
DO Fecal coliform pH Nitrat Fosfat Suhu Kekeruhan Padatan terlarut Phenol Ammoniak Fluoride Kesadahan Khlorida Alkalinity Color Sulfat Jumlah
2.13
Pembobotan Perikanan dan binatang liar 0,206 0,142 0,064 0,169 0,088 0,074 0,099 0,084 0,054 0,050 1,00
Air minum 0,056 0,171 0,079 0,070 0,058 0,084 0,104 0,079 0,077 0,060 0,058 0,054 0,050 1,00
Parameter Kualitas Air Laut Parameter kualitas air laut yang digunakan mengacu kepada Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004. Dalam surat keputusan tersebut, parameter kualitas lingkungan diuraikan terdiri atas parameter kimia, fisika dan biologi yang dapat menyatakan kondisi perairan untuk mendukung kehidupan organisma perairan (komposisi, keragaman phyto plankton, benthic, perikanan, fauna dan flora akuatik). Hal ini relevan dengan parameter yang menunjukkan karakteristik perairan estuari dan perairan pesisir menurut Dahuri (2003) yaitu terdiri atas sirkulasi air, salinitas, partikel tersuspensi, bahan polutan. Dahuri menambahkan bahwa sirkulasi air sangat dipengaruhi oleh aliran air tawar yang bersumber dari badan sungai di atasnya dan air pasang yang berasal dari laut. Besar atau kecil debit kedua aliran massa air tersebut akan mempengaruhi stratifikasi massa air berdasarkan salinitas. Sedangkan salinitas merupakan kadar garam yang kadarnya
Universitas Sumatera Utara
102
<35 permil. Ekosistem mangrove memiliki adaptasi yang tinggi terhadap salinitas, namun beberapa organisme perairan tidak dapat beradaptasi dengan salinitas yang mencapai kondisi ekstrim. Salinitas juga mempengaruhi nutrien yang berada di perairan pesisir. Partikel tersuspensi yang khususnya dibawa oleh aliran sungai akan terakukumulasi di muaranya. Karena kondisi cenderung stagnan dari estuari maka partikel mengalami pengendapan di lapisan dasar akan bertambah dan terjadi pendangkalan sehingga menyebabkan terjadinya perubahan morfologi dasar perairan. Demikian juga dengan bahan polutan yang berasal dari pemukiman, transportasi air, maupun industri masuk ke badan air (sungai) dan langsung menuju perairan pesisir. Dahuri (2003) menyatakan bahwa indikator lingkungan perairan ditinjau dari keberlanjutan perairan dalam rangka mendukung peningkatan potensi perikanan, antara lain: a. Tersedianya kualitas air perairan pesisir dengan parameter kualitas air yang tidak melewati nilai ambang batas baku mutu yang ditetapkan, ataupun toleransi organisma perairan. b. Tidak terakumulasinya logam berat pada sedimen yang mengandung nutrisi untuk kebutuhan biota yang hidup didasar perairan. Nilai ambang batas parameter kualitas air merupakan nilai yang tercantum pada baku mutu. Baku mutu merupakan peraturan pemerintah yang harus dilaksanakan yang berisi spesifikasi dari jumlah bahan pencemar yang boleh dibuang atau jumlah kandungan yang boleh berada
dalam
media ambient.
Parameter kualitas air laut diuraikan pada Tabel 2.5.
Universitas Sumatera Utara
103 Tabel 2.5.
No
Parameter Kualitas Air Laut Yang Berdasarkan Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004.
1 2 3 4 5
Parameter I. Fisika Kekeruhan Kebauan Padatan Tersuspensi Suhu Lapisan Minyak
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
II. Kimia pH Salinitas Amoniak Total Sulfida (H2S) Total Fenol Detergen (MBAS) Minyak dan lemak Air Raksa (Hg) Timbal (Pb) Cadmium (Cd) Tembaga (Cu) Seng (Zn)
Satuan
Baku Mutu
Metode
NTU mg/l °C -
30 Tidak berbau 50
Turbidimetri Visual SNI 06 – 2413 - 1991 Potensiometri Visual
‰ mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
6 -8,5 35 (-) 0,002 1 200 1000 0,002 0,03 0,01 0,02 0,05
Potensiometri Potensiometri Salicylate Method Metylene Blue 4-Aminoantipyrine Crystal Violet Method JIS K– 0102 – 24.2 AAS AAS AAS AAS AAS
Namun dalam penelitian ini hanya beberapa parameter kunci saja yang dipergunakan. Hal ini berdasarkan pengaruhnya terhadap biota perairan dan hasil pemantauan yang dilakukan terhadap parameter kualitas air laut di Perairan Belawan {PT.(Persero) Pelabuhan Indonesia I, 2004-2008} yang memperlihatkan fluktuasi dan beberapa diantaranya melebihi nilai ambang batas. 2.3.1. pH pH air laut yang ditentukan dalam baku mutu Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004 tentang kualitas air laut dengan peruntukan perairan bagi kehidupan biota perairan adalah 6,5 – 8,5. Effendi (2003) mengklasifikasikan nilai pH berdasarkan pengaruhnya terhadap biota perairan seperti yang dijelaskan pada Tabel 2.6.
Universitas Sumatera Utara
104
Tabel 2.6. Nilai pH dan Pengaruhnya Terhadap Biota Perairan. Nilai pH Pengaruh Umum 6,0 – 6,5 1. Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun. 2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktiktivitas tidak mengalami perubahan. 5,5 – 6,0 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos semakin tampak. 2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti. 3. Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral. 5,0 – 5,5 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton, dan bentos semakin besar. 2. Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankto dan bentos. 3. Algae hijau berfilamen semakin banyak 4. Proses nitrifikasi terhambat. 4,5 – 5,0 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton, dan bentos semakin besar 2. Penurunan kelimpahan total dan biomassa, zooplankton dan bentos 3. Algae hijau berfilamen semakin banyak 4. Proses nitrifikasi terhambat. 4,5 – 5,0 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton, dan bentos semakin besar 2. Penurunan kelimpahan total dan biomassa, zooplankton dan bentos 3. Algae hijau berfilamen semakin banyak 4. Proses nitrifikasi terhambat. Sumber: Telaah Kualitas Air oleh Hefni Effendi, 2003. Effendi juga menjelaskan bahwa pada umumnya pH air laut nilainya relatif stabil, namun perubahan nilainya sangat berpengaruh terhadap proses kimia maupun biologis dari jasad hidup yang berada dalam perairan tersebut. pH juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Pada pH <4,5, sebahagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah. Selain itu kelarutan logam dalam air dikontrol oleh pH air. Kenaikan pH menurunkan kelarutan logam dalam air, karena kenaikan pH mengubah kestabilan dari bentuk karbonat menjadi hidroksida yang membentuk ikatan dengan partikel pada badan air, sehingga akan mengendap membentuk lumpur (Palar, 1994).
Universitas Sumatera Utara
105
2.3.2. Suhu Efendi (2003) mengemukakan kenaikan suhu air akan menimbulkan beberapa akibat yaitu: (a) Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun; (b) Kecepatan reaksi kimia meningkat; (c) Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan hewan air lainnya akan mati. Perubahan suhu suatu badan air perairan pesisir berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi perairan. Alga akan tumbuh dengan baik pada suhu 30°C - 35°C serta fitoplankton pada suhu 20°C - 30°C. Sedangkan air sungai memiliki titik beku (-1,90C). Suhu alami air sungai adalah suhu normal dimana organisma dapat hidup sesuai dengan oksigen yang dibutuhkan. Besaran suhu (temperatur) air laut yang terdapat pada bakumutu adalah alami dengan deviasi 3. 2.3.3. Oksigen Terlarut (Dissolve Oxygen, DO) Mc.Neelyet al. (1979) menuliskan bahwa besarnya kelarutan oksigen dalam air laut cukup untuk membuat ikan dan biota hidup di dalamnya. Permasalahan akan timbul bilamana kadarnya berubah sampai batas di luar angka normal dalam suatu perairan. Konsentrasi oksigen dalam air laut bervariasi, di perairan laut kadar oksigen mencapai 11 mg/l pada 0°C dan 7 mg/l pada 25°C. Pada penelitian lainnya Zottoli (1972) mengukur oksigen terlarut dengan kadar 9,9 mg/l dalam keadaan jenuh. Di wilayah pesisir konsentrasinya akan semakin berkurang tergantung kepada kondisi lingkungan sekitarnya. Konsentrasi oksigen di permukaan air laut dipengaruhi oleh suhu, semakin tinggi suhu maka kelarutan gas akan semakin rendah. 2.3.4. Kekeruhan (Turbidity) Nilai Ambang Batas kekeruhan (Turbibity) pada Baku Mutu (Kep51/MENLH/2004) yaitu <30 NTU. Kekeruhan yang tinggi dapat mengganggu sistem osmoregulasi, yaitu pernafasan dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air. Tingginya nilai kekeruhan juga dapat mempersulit usaha penyaringan dan mengurangi efektivitas desinfeksi pada proses penjernihan air.
Universitas Sumatera Utara
106
2.3.5. Total Suspended Solid (TSS) TSS adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air yang terdiri atas bahan-bahan organik, sel-sel mikroorganisme, tanah liat, pasir halus, dan lainlain. Selain mengurangi penetrasi cahaya kedalam air, TSS juga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosintesis. Baku mutu menentukan kadar TSS maksimal adalah 80 mg/l. Tabel 2.7.
Kesesuaian Perairan Untuk Kepentingan Perikanan Berdasarkan Nilai Padatan Tersuspensi (TSS).
Nilai TSS (mg/l) Pengaruh Terhadap Kepentingan Perikanan <25 Tidak berpengaruh 25 – 80 Sedikit berpengaruh 81 – 400 Kurang baik bagi kepentingan perikanan >400 Tidak baik bagi kepentingan perikanan Sumber : Alabaster dan Lloyd, 1982
2.3.6. Amoniak Bentuk senyawa nitrogen yaitu nitrogen-amonia, dapat memberikan pengaruh berupa penurunan kualitas air perairan pesisir. Senyawa amoniak yang terdapat dalam air laut merupakan hasil reduksi senyawa nitrat (NO3) atau senyawa nitrit (NO2) oleh mikroorganisme. Selain itu juga berasal dari hasil ekskreasi fitoplankton. Kadar amoniak dalam air laut sangat bervariatif dan dapat berubah dengan cepat. Dalam batas-batas tertentu konsentrasi amonia dapat berakibat negatif terhadap kehidupan biota dalam perairan sekitarnya sebagai akibat dari sifat racun yang ditimbulkan oleh amonia tersebut. Penelitian Singbal et al. (1976) di Perairan Teluk Velsao menunjukkan bahwa konsentrasi senyawa nitrogen-amonia yang mencapai 2,451 mg/l merupakan salah satu penyebab bagi kematian biota perairan.
2.3.7. Nitrat Nitrat adalah unsur nitrogen yang juga merupakan unsur hara yang tidak kalah pentingnya, berperan dalam proses pembentukan protoplasma. Secara alamiah keberadaan unsur nitrogen dalam air laut adalah sebagai hasil
Universitas Sumatera Utara
107
dekomposisi tumbuh-tumbuhan dan hewan, serta fiksasi udara dengan adanya gerakan massa air dan curah hujan. Konsentrasi salah satu bentuk senyawa nitrogen yang tinggi dapat dijadikan sebagai patokan terjadinya suatu reaksi kimia tertentu yang akhir dari biota. Konsentrasi masing-masing yang bervariasi antara 0,006–0,021 mg/l dan 0,001–0,011 mg/l mengindikasikan suatu keadaan yang normal. Berdasarkan variasi konsentrasi senyawa nitrogen yang disusun oleh Sharp (1983) untuk kategori beberapa wilayah perairan, maka variasi kadar senyawa nitrogen (nitrat, nitrit dan amonia) di Teluk Lada ini masih berada dalam batas yang aman untuk perairan laut. Variasi konsentrasi nitrat dan nitrit dipengaruhi pula oleh faktor lingkungan sekitarnya. Contoh kasus adalah penelitian Susana (2004) di Sungai Cisadane yang mendapatkan konsentrasi nitrat sebesar 0,492 mg/l, sedangkan di luar Sungai Cisadane konsentrasinya lebih rendah yaitu 0,013 mg/l dan 0,005 mg/l.
2.3.8. Logam Terlarut Cu, Hg, Cd Hefni Effendi (2003) mengemukakan bahwa logam berat yang terlarut dalam air akan berpindah ke dalam sedimen jika berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang melapisi permukaan sedimen, dan penyerapan langsung oleh permukaan partikel sedimen. Dalam lingkungan perairan, bentuk logam antara lain berupa ion-ion bebas, pasangan ion organik, dan ion kompleks. Pikir (1991) memaparkan pencemaran merkuri di Teluk Minamata Jepang pada tahun 1953 dan 1961 menunjukkan bahwa pembuangan limbah yang mengandung merkuri (Hg) dapat menyebabkan pencemaran yang membahayakan kesehatan manusia karena terjadi bioakumulasi di dalam organisme dan biomagnifikasi melalui rantai makanan, sehingga keluarga nelayan yang mengkonsumsi ikan menderita keracunan hebat. Pengaruh tingkat bahaya jenis metal di dalam air laut berdasarkan bioassay pada (LC50) untuk ikan dewasa adalah Hg 2+ >Cd 2+ >Cu 2+ >Ag 2+ >Ni2+ >Pb 2+ >As 2+ >Cr 2+ >Sn 2+ >Zn 2+. Dalam bukunya, Mukhtasor (2002) berpendapat toksisitas logam berat bagi makhluk hidup bergantung pada jenis logam, bentuknya dan organisme target yang terkena. Jenis dan bentuk logam yang paling toksik adalah logam
Universitas Sumatera Utara
108
timbal (Pb), kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) yang berikatan dengan senyawa organik. Pencemaran Logam Berat di Pantai Timur Surabaya diberitakan telah tercemar oleh merkuri (Hg) dan tembaga (Cu).
2.14
Indeks Kesejahteraan Nelayan Kesejahteraan secara harfiah mengandung makna yang luas dan mencakup
berbagai segi pandangan atau ukuran-ukuran tertentu tentang suatu hal yang menjadi ciri utama dari kata tersebut. Kesejahteraan bermula dari kata “sejahtera”, yang berarti aman, sentosa, makmur atau selamat artinya lepas dari segala macam gangguan dan kesukaran (Sumarnonugroho,1991:27). Kemudian istilah kesejahteraan ini sering dikaitkan dengan kesejahteraan sosial, yaitu suatu sistem yang terorganisasi di bidang pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga, yang bertujuan menjamin kebutuhan ekonomi manusia, standar kesehatan dan kondisi kehidupan yang layak, mendapatkan kesempatan yang sama dengan warga negara lainnya, peningkatan derajat harga diri, kebebasan berpikir dan melakukan kegiatan tanpa gangguan sesuai dengan hakhak asasi seperti yang dimiliki sesamanya. Pasal 2 Undang-Undang No.6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, yang berbunyi : kesejahteraan sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhankebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila. Ustriyana (2006) mengatakan kesejahteraan nelayan merupakan refleksi dari nilai tukar nelayan yang merupakan formulasi paling tepat dalam mengukur kondisi sosial ekonomi nelayan yaitu mempertimbangkan seluruh penerimaan (revenue) dan seluruh pengeluaran (expenditure) keluarga nelayan.
Universitas Sumatera Utara
109
Kesejahteraan nelayan dimaksudkan merupakan ukuran kesejahteraan masyarakat yang dengan komponen
subsistem rumah tangga nelayan yang
diklasifikasikan sebagai: (a) konsumsi harian makanan dan minimum; (b) konsumsi harian non makanan dan minuman; (c) pendidikan; (d) kesehatan; (e) perumahan; (f) pakaian; (g) rekreasi (BPS,1992). Indikator tersebut dijabarkan: (1) Pendidikan: angka melek huruf, tingkat pendidikan yang ditamatkan, ketersediaan sarana pendidikan, dan partisipasi penduduk usia sekolah; (2) Kesehatan: sarana kesehatan, tenaga kesehatan, angka kematian bayi dan penyebab kematian, angka harapan hidup, angka kesakitan, penyakit menular, dan cara pengobatan; (3) Gizi: penyediaan zat gizi dan asal bahan makanan, konsumsi energi dan protein, status gizi balita; (4) Konsumsi dan pengeluaran rumah tangga: pengeluaran rata-rata perkapita, pengeluaran untuk makanan, pengeluaran untuk bukan makanan, distribusi pengeluaran; (5) Ketenagakerjaan: angka beban tanggungan angkatan kerja, status pekerjaan dan lapangan pekerjaan, jam kerja dan upah buruh, profil tingkat pendidikan angkatan kerja; (6) Perumahan dan lingkungan: fasilitas perumahan dan lingkungan, jenis penerangan, air minum, bahan bakar, dan keadaaan tempat tinggal. Lain halnya dengan indikator yang digunakan oleh BKKBN (2002) dalam menentukan tingkat kesejahteraan mencakup tiga belas variabel, yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, agama, keluarga berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dalam lingkungan, transportasi, tabungan, informasi, dan peran dalam masyarakat.
2.15
Sumber Daya Hayati di Wilayah Pesisir
2.15.1 Hutan Mangrove Bengen (2000) berpendapat hutan bakau (mangrove) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.
Universitas Sumatera Utara
110
Secara lebih spesifik Dahuri, et.al (2001) memaparkan bahwa hutan mangrove merupakan suatu persekutuan hidup alam hayati dan lingkungannya yang terdapat di daerah pantai-laut kawasan tropika. Hutan mangrove memiliki fungsi yang tidak sedikit bagi kehidupan di wilayah pesisir. Masyarakat melihat hutan mangrove sebagai mata pencaharian sehingga keberadaannya dimanfaatkan dengan menebang dan menjualnya sebagai bahan baku ataupun sebagai produk yang memiliki nilai ekonomi. Padahal hutan mangrove juga memiliki nilai ekologis bagi wilayah pesisir, yaitu sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan amukan angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah, dan pencegah intrusi air laut. Secara garis besar jenis mangrove terdiri atas famili: (1) Rhizophoraceae, yaitu Bakau (R.stylosa), Tanjang Lanang (R. mucronata), Tanjang Wedok (R.apiculata), Lindur (B.gymnorrhiza); (2) Avicinniaceae: Api-api (A.marina), Api-api (A.alba & A.officinalis); (3) Sonneratiaceae: Susup (S.alba), Bogem (S.caseolaris), (4) Myrsinaceae: Kacangan (Aegiceras corniculatum), (5) Meliaceae: Jombok Gading (Xylocarpus granatum), Jombok (X.moluccensis), (6) Lainnya: Taruntun (L.racemosa), Nipah (Nypa fruticans), Lawang (Heritiera littoralis), Daruju (Acanthus ebracteatus).
Universitas Sumatera Utara
111
Gambar 2.2. Beberapa Fungsi Ekosistem Mangrove Yang Memiliki Hubungan Dengan Sumberdaya Perikanan.
Mangrove dapat diidentifikasi berdasarkan jenis arus dan gelombang yang memberikan sifat pasang surut perairan, yaitu untuk perairan yang dipengaruhi oleh perairan surut, akan hidup jenis mangrove R.apiculata, R.mucronata, S.alba (zona proksimal), pada daerah pasang akan hidup S.alba, B.gymnorrhiza, A.marina, A.Officinalis, C.gatal (zona tengah), sedangkan untuk perairan yang
Universitas Sumatera Utara
112
jauh dari laut yaitu dipengaruhi oleh badai akan ditumbuhi oleh Heritiera littoralis, Pongamia pinnata, Pandanus spp., Hibiscus tiliaceus. 2.15.2 Perikanan Menurut Subade dan Nik (1993) perikanan adalah sumberdaya bebas milik semua orang (open access resources) yang memungkinkan untuk semua orang dapat memanfaatkan secara tak terbatas sehingga membuka peluang kepada overfishing atau over eksploitasi dan penggunaan sumberdaya yang tidak efisien. Pemanfatan perairan menunjang perikanan, menjadikan perikanan memiliki nilai ekonomi yang
dapat dijadikan basis untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat Indonesia (Ivon Iskandar Mahi, 2006). Beberapa faktor yang mendukung sektor perikanan sebagai prime mover ekonomi nasional adalah komoditi perikanan merupakan komoditi ekspor dimana kebutuhan ikan dunia meningkat rata-rata 5% per tahun. Dalam tahun 2004, kebutuhan ikan dunia mencapai 140 juta ton. Disamping itu, sekarang ini sedang terjadi perubahan trend konsumsi dunia dari protein hewani ke protein ikan. Dahuri (2003) mengungkapkan
hingga saat ini produksi perikanan
Indonesia didominasi oleh perikanan tangkap yang mencapai 85% dari produksi ikan pada tahun 1987. Namun disarankan agar melakukan pendekatan keberlanjutan dalam sumberdaya ikan secara seimbang antara pendapatan nelayan dan kualitas lingkungan yang mendukung sumberdaya tersebut. Soepanto
(2001)
menggambarkan
model
ekonometrika
perikanan
Indonesia dengan keseimbangan bionomik dalam laju pertumbuhan ikan dan laju penangkapannya.
Tujuan
penangkapan
ikan
berkelanjutan
adalah
memaksimumkan pendapatan dengan mempertahankan hasil maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield = MSY) dari perikanan. Pemahaman penangkapan ikan berkelanjutan dipengaruhi dengan faktor utama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu 4 (empat) faktor utama dalam parameter populasi ikan yang meliputi : laju pertumbuhan ikan, mortalitas, pola rekruitmen, dan hasil tangkapan nelayan (Kartamihardja, 2000).
Universitas Sumatera Utara
113
2.16
Karakteristik Perairan Pesisir Odum (1971) berpendapat perairan pesisir secara fungsional terdiri atas
perairan estuaria (estuaria regime), perairan pantai (nearshore regime), dan perairan samudera (oceanic regime). Perairan pesisir adalah perairan laut teritorial yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, lagoon, dan daerah lainnya. Perairan estuaria adalah suatu perairan pesisir yang semi tertutup, yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga dengan demikian estuaria dipengaruhi oleh pasang surut, dan terjadi pula percampuran yang masih dapat diukur antara air laut dengan air tawar yang bersal dari drainase daratan. Perairan pantai meliputi laut mulai dari batas estuaria kearah laut sampai batas paparan benua atau batas territorial. Sedangkan perairan samudera, semua perairan ke arah laut terbuka dari batas paparan benua atau batas territorial. Pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut. Sifatnya yang yang cukup kompleks, yaitu menggambarkan dinamika perairan pesisir, seperti sirkulasi air atau arus, pasang surut, gelombang/ombak, angin, sedimentasi, serta parameter cuaca lainnya, selain itu juga menggambarkan sifat kimia dan fisika perairan (air laut) yang merupakan syarat kehidupan organisma perairan. Estuari adalah bahagian dari perairan pesisir. Estuari merupakan perairan dangkal
tak terlepas dari pengaruh dari parameter-parameter hidrodinamika.
Salah satu klasifikasi estuaria yang paling efektif digunakan untuk memudahkan pendugaan penyebaran zat-zat dalam estuaria. Tipe dari estuari dapat mengalami perubahan fisik yang mengakibatkan rasio lebar dan kedalaman estuari juga berubah. Peristiwa ini dapat ditemui pada estuari yang mengalami pengerukan dan pelebaran. Perubahan juga dapat terjadi jika perubahan volume limpasan air sungai di daerah aliran sungai (DAS).
Universitas Sumatera Utara
114
Untuk menjelaskan model perairan estuari dapat dijelaskan dengan dengan model bathimetri, model pasang surut, model arus, temperatur dan salinitas serta model partikulat (Hardisty, 2007).
Universitas Sumatera Utara
115
2.17
Pola Penyebaran Polutan Polutan merupakan zat atau benda yang masuk ke dalam suatu badan
penerima sehingga memberikan suatu perubahan sifat atau
terhadap badan
penerima tersebut. Pada daerah perairan, dampak polutan dapat memberikan dampak pada pola ataupun karakteristik perairan. Berdasarkan dari sumber polutan maka mekanisme penyebaran polutan tersebut juga dapat dibedakan atas penyebaran mengapung, melayang bersama aliran, dan terseret diatas dasar perairan (Mukhtasor, 2002). Ditinjau dari jenisnya polutan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu : (1) Polutan konservatif, yaitu jenis polutan yang menyangkut pada konservasi masa polutan dan (2) Polutan non konservatip, yaitu jenis polutan yang terkonsentrasi pada reaksi dan interaksi masa dengan alam. Namun pada prinsipnya penyebaran polutan dianalisa dengan menggunakan model matematika. Namun aliran hidraulik yang didasarkan pada persamaan matematik yang dipengaruhi oleh prinsip hidraulik harus didukung dengan pengetahuan yang kuat tentang proses fisik hidraulik. Pola transportasi polutan mempengaruhi penyebaran polutan. Penyebaran polutan di perairan pesisir sangat dipengaruhi oleh arus. Arus merupakan gerakan mengalir massa air yang disebabkan oleh hembusan angin, perbedaan dalam densitas air laut serta dapat disebabkaan oleh gerakan bergelombang panjang (gerakan pasang dan surut air laut). Polutan berpindah atau bergerak dalam fluida karena dua peristiwa yaitu : (1) Adveksi yaitu peristiwa bergeraknya material polutan akibat terbawa oleh gerakan air; (2) Difusi adalah peristiwa bergeraknya material polutan akibat peristiwa gerakan brownian dari molekul polutan dalam fluida yang menyebabkan tersebarnya polutan tersebut. Secara umum pola transportasi difusi polutan secara matematik dapat ditulis yaitu : ∂C ∂ 2C = D 2 (Persamaan 1 Dimensi) ∂t ∂x
(2.4)
∂C ∂ 2C ∂ 2C = D 2 + D 2 (Persamaan 2 Dimensi) ∂t ∂x ∂y
(2.5)
Universitas Sumatera Utara
116
Berbagai pendekatan telah digunakan dalam melakukan permodelan penyebaran polutan. Analisa terhadap perilaku penyebaran polutan dapat dilakukan dengan pendekatan model matematik, dengan mempertimbangkan berbagai fenomena yang berpengaruh kepada penyebaran polutan dan dibantu dengan permodelan numerik. Thomas dan Mc.Anally (1991) mengungkapkan model matematik yang akan digunakan untuk kajian model arus di adalah RMA2 (Resource Management Associates) dari Waterways Experiment Station. RMA2 merupakan program aliran dua dimensi rerata kedalaman, permukaan aliran bebas (free surface) dan menggunakan
metode
elemen
hingga
dalam
menyelesaikan
masalah
hidrodinamik. RMA2 dapat digunakan utuk menghitung elevasi permukaan air dan kecepatan aliran pada masalah aliran air dangkal (shallow water problems). RMA2 pertama kali dikembangkan oleh Norton, dkk (1973) di Resource Management Asssociates, Inc. of Davis California, kemudian dimodifikasi oleh sejumlah peneliti Waterways Experiment Station. RMA adalah software untuk permodelan hidrodinamika (1-D dan 2-D) untuk sungai, danau, muara dan daerah pantai. Software ini mempunyai paket analisis elemen hingga.
2.18
Indeks Kualitas Perairan Pesisir di Negara Lain
2.18.1 Status Perairan Transisi dan Perairan Pesisir oleh Water Framework Directive (WFD) di Uni Eropa Negara-negara yang tergabung di Uni Eropa melalui sebuah wadah yang disebut Water Frame Directive (WFD) membahas tentang pengelolaan air berkelanjutan (jangka panjang) dalam melindungi lingkungan perairan di Uni Eropa. WFD mendefinisikan air permukaan (Surface water) sebagai air sungai, perairan transisi (estuari) dan perairan pesisir. Pengertian tentang perairan transisi dan perairan pesisir menurut WFD diuraikan dalam Gambar 2.3.
Universitas Sumatera Utara
117
Gambar 2.3. Kategori Air Permukaan di Uni Eropa. Status air permukaan ditentukan dalam beberapa kategori. Pembahasan tersebut diuraikan dalam Artikel 4 berisikan tentang tujuan umum utk mencapai status perairan yang baik sampai 2015 dan memperkenalkan prinsip pencegahan penurunan status. Metode penilaian status air pada WFD menggunakan 5 (lima) kategori status yaitu : high, good, moderate, poor, bad. Status kualitas air ditinjau dari aspek ekologi. Ecological Quality Status (EQS) merupakan penilaian terhadap kualitas biologi di perairan pesisir. Parameternya adalah komposisi phytoplankton,
kerapatan dan biomass
juga
terhadap flora dan perikanan, pembahasan dilengkapi dengan spesies yang dapat mentoleransi natural stressors pada daerah estuari dan pesisir. Sebagai parameter dari komponen ekologi diuraikan pada tabel berikut:
Universitas Sumatera Utara
118
Tabel 2.8. Parameter dari Komponen Ekologi. Transitional Waters Coastal Waters Biological elements • Composition, abundance and biomass • Composition, abundance and of phytoplankton biomass of phytoplankton • Composition and abundance of other • Composition and abundance of aquatic flora other aquatic flora • Composition and abundance of • Composition and abundance of benthic invertebrate fauna benthic invertebrate fauna • Composition and abundance of fish fauna Hydromorphological Morphological conditions: • depth variation • quantity, structure and substrate of the bed • structure of the inter-tidal zone Tidal regime: • freshwater flow • wave exposure
Morphological conditions: • depth variation • structure and substrate of the coastal bed • structure of the inter-tidal zone Tidal regime: • direction of dominant currents • wave exposur
Chemical and physio-chemical General: • Transparency • Thermal conditions • Salinity • Oxygenation conditions • Nutrient conditions Specific Pollutants: • Pollution by all priority substances identified as being discharged into the body of water • Pollution of other substances identified as being discharged in significant quantities into the b ody of water.
General: • Transparency • Thermal conditions • Salinity • Oxygenation conditions • Nutrient conditions Specific Pollutants: • Pollution by all priority substances identified as being discharged into the body of water • Pollution of other substances identified as being discharged in significant quantities into thebody of water.
Universitas Sumatera Utara
119
Pembagian status dilakukan dengan sistem berikut:
Gambar 2.4. Bagan Sistem Pembagian Status Perairan Permukaan di Eropa. Namun dalam penentuan status yang menyeluruh dalam pembangunan berkelanjutan di Eropa memiliki Environmental Performance Index (EPI) yang merupakan alat dalam pengukuran kinerja lingkungan. Indikatornya adalah kesehatan lingkungan, sumber daya air, kualitas udara dan sumber daya alam. Pembahasan kebijakan dihubungkan dengan pendapatan perkapita yang bervariasi.
Universitas Sumatera Utara
120
2.18.2 Coastal Water Quality Index di Thailand The Marine Water Quality Index telah dikembangkan di Thailand sekaligus dengan coastal water quality index. Index tersebut terdiri atas 5 (lima) tingkatan yaitu : excellent, very good, good, fair, deteriorated, and extremely deteriorated. Selanjutnya di Thailand juga menggunakan Beach Index sebagai penilaian terhadap status pantai guna tujuan pariwisata. Selama tahun 2003 “Protection Coastal Department “di Thailand telah dilakukan pemantauan pada 240 stasiun dalam 23 propinsi sepanjang 2,600 km garis pantai. Dari penggunaan indeks diperoleh informasi 68% perairan pesisir dalam status “very good” and “good”, 30% dengan status “fair” dan hanya 3% dalam status “poor”.
2.8.3. National Coastal Vulneability Index di Malaysia Untuk kualitas air laut dan pesisir, negara Malaysia mengacu kepada National Coastal Vulneability Index (NCVI). Index ini digunakan untuk mengidentifikasi dampak kenaikan permukaan laut di wilayah pesisir. Indeks ini merupakan indikator percepatan kenaikan permukaan laut di daerah pantai. Indikator tersebut meliputi kerentanan terhadap dampak terhadap biogeophysical, ekonomi, kelembagaan dan faktor sosial budaya.
2.8.4. Shrimp Index (SI) di California Indikator yang digunakan adalah indikator pembangunan pertanian udang berkelanjutan di daerah semi tropikal. Indikator yang digunakan adalah iklim dan kondisi marginal. Namun dipadukan dengan indikator sosial, indikator ekonomi dan sumber daya alam. SI menghasilkan nilai yang berbeda-beda dari setiap kondisi. Peningkatan nilai indeks dilakukan dengan mengurangi dampak lingkungan yang mempengaruhi pertanian udang. Dampak lingkungan dimaksud antara lain menurunkan pencemaran air, intensitas kebudayaan, integrasi komunitas masyarakat dengan industri dan peningkatan kapasitas pekerjanya. Tujuannya adalah untuk mengukur derajat pembangunan berkeberlanjutan dari pertanian udang.
Universitas Sumatera Utara
121
2.8.5. Indikator Konservasi Pulau di Eropa Indikator konservasi pulau di Eropa ditunjukkan dengan nilai Indeks yang terdiri atas: Coastal Index, digunakan untuk pengukuran kondisi sepanjang pantail, resiko kenaikan permukaan laut dan evaluasi terhadap perubahan iklim. Isolation Index, merupakan indeks yang digunakan pengukuran dampak dari jarak pulau ke pulau lainnya, ancaman dan resiko bencana alam (badai, gempa, tsunami, dan lain-lain) terhadap kesejahteraan manusia. Natural Protection, yaitu perlindungan terhadap alam baik kondisinya atau situasi yang alam di suatu pulau serta perlindungan terhadap spesies yang perlu dilindungi. Urbanization (UR) adalah indikator yang menerangkan penduduk pulau yang hidup di area urban (skala: 0-9). Human Threat (HT) adalah indikator tekanan terhadap tanah dan sumber daya alam. Economic
Pressure
(EP)
adalah
pengukuran
terhadap
tingkat
pembangunan ekonomi dan dampaknya terhadap pembangunan. Indikator yang digunakan adalah berdasarkan Gross Domestic Product (GNP) atatu pendapatan perkapita (dalam US$), skala 0 - 9. Human Impact Indeks (HI Index) adalah Indeks Dampak Manusia yang diukur terhadap seluruh tekanan dari kegiatan manusia terhadap pulau dan perubahan-perubahannya. Terrestrial Conservation Importance Index adalah evaluasi terhadap konservasi yang dilakukan. Elemen-elemennya adalah: Ecosystem Richness (ER) dan Species Richness (SR).
2.19
Kebijakan Perlindungan dan Pengelolaan Perairan Pesisir Definisi dan pengertian kebijakan perlindungan dan pengelolaan perairan
pesisir sebelum adanya Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 didefinisikan sebagai:
Universitas Sumatera Utara
122
Definsi (1) “Proses Pengelolaan yang mempertimbangkan hubungan timbal balik antara kegiatan pembangunan (manusia) yang terdapat diwilayah pesisir dan lingkungan alam (ekosistem) yang secara potensial terkena dampak kegiatan-kegiatan tersebut. Definisi ke (2) “adalah suatu proses penyusunan dan pengambilan keputusan secara rasional tentang pemanfaatan wilayah pesisir beserta segenap sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya secara berkelanjutan”. Definisi ke (3) “Suatu proses kontinu dan dinamis dalam penyusunan dan pengambilan keputusan tentang pemanfaatan berkelanjutan dari wilayah pesisir beserta segenap sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya”. Definisi ke (4) “Suatu proses kontinu dan dinamis yang mempersatukan/ mengharmoniskan kepentingan antara berbagai stakeholders (pemerintah, swasta, masyarakat lokal dan LSM); dan kepentingan ilmiah dengan pengelolaan pembangunan dalam menyusun dan mengimplementasikan suatu rencana terpadu untuk membangun (memanfaatkan) dan melindungi ekosistem pesisir beserta segenap sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya, bagi kemakmuran/ kesejahteraan umat manusia secara adil dan berkelanjutan.”. Dari definisi-definisi tersebut, kebijakan perlindungan dan pengelolaan perairan pesisir memiliki arah kepada kesejahteraan nelayan. Kebijakan merupakan kesepakatan bersama dari masyarakat untuk mengatasi dari berbagai persoalan yang timbul dan sudah disahkan oleh masyarakat itu sendiri melalui lembaga yang berwenang untuk dilaksanakan. Namun pemanfaatan potensi yang ada belum mampu memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi nelayan Menurut Masykur (2006) sumberdaya perikanan laut yang tersedia mempunyai potensi yang sangat besar tetapi belum tergarap secara optimal. Walaupun sumberdaya manusia yang terlibat atau yang bekerja di sektor perikanan dan kelautan sangat banyak bahkan cenderung mengalami peningkatan setiap tahun, seiring dengan potensi pasar yang sangat besar baik pasar domestik dan pasar luar negeri.
Universitas Sumatera Utara
123
Pentingnya kebijakan pengelolaan pesisir ditegaskan oleh Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah (2003) mengatakan bahwa terdapat potensi konflik kewenangan (jurisdictional conflict) dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Dalam Pasal 3 Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa kewenangan provinsi terdiri atas darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Sementara kewenangan kabupaten/kota (Pasal 10, UU 22/1999) adalah terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh sepertiga dari batas laut propinsi atau sejauh 4 (empat) mil laut. Di satu sisi, kejelasan
pembagian
kewenangan
ini
diharapkan
dapat
meningkatkan
keberlanjutan dari pemanfaatan sumberdaya pesisir. Di sisi lain, justru hal ini berpotensi menimbulkan persoalan konflik antar wilayah dan potensi disintegrasi ketika kualitas pengelolaan sumberdaya kelautan dan pantai di daerah otonom tersebut sangat dipengaruhi oleh kegiatan yang berada di wilayah kabupaten/kota otonom. Mengacu kepada Keputusan Menteri Perikanan dan Kelautan (2004) yang mengarahkan pembuatan visi yang merupakan harapan masyarakat tentang masa depan sumberdaya pesisir, dan dijabarkan dalam bentuk empat kategori tujuan, maka kebijakan pengelolaan perairan pesisir memiliki tujuan: a. Tujuan Ekologi, menitik beratkan pada pelestarian dan konservasi sumberdaya pesisir. b. Tujuan Ekonomi, difokuskan pada eksploitasi sumberdaya pesisir untuk menghasilkan komoditi yang dapat dipasarkan. Kepentingan ekonomi ini sering lebih kuat untuk mengeksploitasi daripada mengkonservasi. c. Tujuan Sosial Budaya, difokuskan pada revitalisasi nilai-nilai budaya masyarakat pesisir dalam memanfaatkan sumberdaya dan nilai-nilai masyarakat terhadap sumberdaya. d. Tujuan Kelembagaan, pada aturan-aturan pengelolaan (management rules) dalam meregulasi pemanfaatan sumberdaya pesisir serta institusi yang yang melaksanakannya.
Universitas Sumatera Utara
124
Undang-undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengandung kebijakan pengelolaan dengan berasaskan pada
keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan,
pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi, akuntabilitas, dan keadilan. Disini juga dijelaskan bahwa wilayah pesisir adalah daerah yang memiliki akses terbuka (open access) setiap elemen masyarakat dan intitusi memiliki kepentingan. Pada Bab II Pasal 4 Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tersebut ditetapkan tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu: (a). melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan; (b). menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil; (c). memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan; dan (d). meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Menilik hal tersebut pengelolaan pengelolaan pesisir lebih tepat diimplementasikan dengan pendekatan kebijakan publik. Menurut Abdul Razak Manan (2002) komponen kebijakan publik dapat merupakan hasil dari proses politik melalui advokasi kebijakan (policy advocacy), tetapi juga merupakan umpan balik dari analisis kebijakan (policy analysis), yaitu analisis pelaksanaan, hasil dan dampak kebijakan. Anderson dalam Widodo (2001) mengungkapkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu. Lebih lanjut dikatakan Anderson ada elemenelemen penting yang terkandung dalam kebijakan publik antara lain mencakup: (1) Kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu; (2) Kebijakan berisi tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah; (3) Kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, dan bukan apa
Universitas Sumatera Utara
125
yang bermaksud akan dilakukan; (4) Kebijakan publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu) dan bersifat negatif (keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu); (5) Kebijakan publik (positif) selalu berdasarkan pada peraturan perundangan tertentu yang bersifat memaksa (otoritatif).
2.20
Ruang Lingkup Studi Kebijakan Publik Secara tradisional, ruang lingkup kebijakan publik hanya dilihat dari
tindakan atau aktivitas yang dilakukan pemerintah (Budi Winarno, 2002). Namun studi kebijakan publik semakin meluas. Studi ini meliputi Analisis kebijakan, kebijaksanaan publik dan anjuran kebijakan (Publik advocacy). Ketiganya saling berkaitan
dan sangat bergunan berguna bagi para perumus kebijakan untuk
memperbaiki kebijakan dimasa datang. Pihak-pihak yang memiliki perhatian terhadap studi kebijakan publik terdiri atas 3 kelompok, yaitu: (1) kelompok yang terlibat dalam perumusan kebijakan, (2) Para perumus kebijakan, (2) Kelompok ilmuwan yang bermiat dalam masalah kebijakan (Budi Winarno, 2002). Anjuran kebijakan merupakan saran yang harus dilakukan pemerintah dengan menganjurkan kebijakan-kebijakan tertentu melalui diskusi, persuasi atau aktivitas politik. Anjuran kebijakan berdasarkan permasalahan dan analisis kebijakan yang telah dimplementasikan dan tahapan evaluasi kebijakan yang ada. Kebijakan publik dapat juga berarti serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Studi implementasi kebijakan memiliki arah kepada kegiatan-kegiatan untuk melaksanakan keputusan kebijakan sehingga mampu menjelaskan dampak kebijakan (Budi Winarno, 2002). Menurut Bambang Sunggono (1994), implementasi kebijakan mempunyai beberapa faktor penghambat, yaitu: a. Isi kebijakan Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih samarnya isi kebijakan, maksudnya apa yang menjadi tujuan tidak cukup terperinci, sarana-sarana dan penerapan prioritas, atau programprogram kebijakan terlalu umum atau sama
Universitas Sumatera Utara
126
sekali tidak ada. Kedua, karena kurangnya ketetapan intern maupun ekstern dari kebijakan yang akan dilaksanakan. Ketiga, kebijakan yang akan diimplementasikan dapat juga menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan yang sangat berarti. Keempat, penyebab lain dari timbulnya kegagalan implementasi suatu kebijakan publik dapat terjadi karena kekurangankekurangan yang menyangkut sumber daya-sumber daya pembantu, misalnya yang menyangkut waktu, biaya/dana dan tenaga manusia. b. Informasi Implementasi kebijakan publik mengasumsikan bahwa para pemegang peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang perlu atau sangat berkaitan untuk dapat memainkan perannya dengan baik. Informasi ini justru tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan komunikasi. c. Dukungan Pelaksanaan suatu kebijakan publik akan sangat sulit apabila pada pengimlementasiannya tidak cukup dukungan untuk pelaksanaan kebijakan tersebut. d. Pembagian potensi Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya implementasi suatu kebijakan publik juga ditentukan aspek pembagian potensi diantara para pelaku yang terlibat dalam implementasi. Dalam hal ini berkaitan dengan diferensiasi tugas dan wewenang organisasi pelaksana. Struktur organisasi pelaksanaan dapat menimbulkan masalah-masalah apabila pembagian wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan pembagian tugas atau ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan yang kurang jelas (Bambang Sunggono,1994). Anjuran kebijakan diperkaya dengan faktor penghambat diatas. Selain itu evaluasi yang berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan dapat mengukur kesesuaian antara rencana dan pelaksanaan, dan mengukur seberapa jauh telah terjadi penyimpangan dan ketidakpastian.
Universitas Sumatera Utara