4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekologi bentanglahan Vink (1983) dalam Samadikun (2009) menyatakan studi bentanglahan merupakan sebuah studi yang mengaitkan hubungan erat antara ruang dan waktu diantara fenomena dan proses-proses di bentanglahan atau geosfer, termasuk komunitas tanaman, hewan dan manusia. Istilah ekologi bentanglahan (landscape ecology) diperkenalkan pertama kali oleh ahli geografi Jerman bernama Carl Troll, yang kemudian digunakan istilah „geo-ekologi‟, merupakan gabungan antara geografi (bentanglahan) dan biologi (ekologi) yang secara keseluruhan membentuk satu kesatuan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi: iklim, geologi, geomorfologi, air, tanah, vegetasi dan manusia. Verstappen (1989) dalam Samadikun (2009) mengemukakan bahwa dalam mempelajari geomorfologi selalu ditekankan pada bentuklahan, proses dan asal mulanya (genesis) serta kaitannya dengan lingkungan sekitar, atau lebih dikenal dengan ekologi bentanglahan. Zonneveld (1989) mengemukakan bahwa konsep ekologi bentanglahan melibatkan sistem sumberdaya alam dan sistem sumberdaya manusia dalam suatu wilayah, kedua sistem sumberdaya tersebut membentuk sistem sumberdaya wilayah. Interaksi antara sistem sumberdaya alam dan sistem sumberdaya manusia tersebut dalam suatu wilayah/daerah/tempat tertentu menjadi suatu tipe penggunaan lahan (land utilization type) tertentu. Sinaga et al. (1994) mengemukakan bahwa salah satu hal yang dapat dipetik dari pengertian ekologi bentanglahan adalah kaitan antara bentanglahan dan kehidupan yang berada di atasnya yang saling ketergantungan. Kondisi bentanglahan dalam hal ini lebih ditekankan pada unit geomorfologi ataupun unit bentuklahan, sedang kehidupan dalam hal ini meliputi kehidupan manusia, tanaman dan hewan. Konsep ekologi bentanglahan dapat digunakan untuk menjelaskan setiap unit geomorfologi ataupun unit bentuklahan yang dikaitkan dengan semua kehidupan yang berada di atasnya, yang telah, sedang dan akan terjadi. Dalam konsep bentanglahan ini, kehidupan yang berupa tanaman dan aktivitas manusia di atas lahan dicerminkan dalam bentuk penggunaan lahan.
5
2.2 Bentuklahan (Landform) Bentuklahan adalah suatu bagian dari bentuk permukaan bumi yang mempunyai karakteristik tertentu dan dihasilkan dari satu atau gabungan beberapa proses geomorfik dalam kurun waktu tertentu (Asriningrum 2002). Geomorfologi merupakan salah satu cabang ilmu kebumian (earth sciences) yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi atau bentuklahan. Menurut van Zuidam (1985) geomorfologi adalah studi yang mendeskripsikan bentuklahan dan proses-proses geomorfik yang menghasilkan bentuklahan serta menyelidiki hubungan timbalbalik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam susunan keruangannya. Kajian geomorfologi merupakan suatu deskripsi dan penjelasan bentuklahan yang mencakup aspek-aspek morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis (proses endogen dan eksogen), morfokronologi (dalam ruang dan waktu) serta batuan (lithology) penyusunnya. Aspek morfologi mencakup dua aspek, yaitu morfografi dan morfometri. Morfografi mendeskripsikan bentuk permukaan bumi, baik yang berukuran besar seperti pegunungan, gunungapi, dataran maupun yang berukuran kecil seperti bukit, lembah, dan kipas aluvial. Morfometri membahas tentang ukuran-ukuran bentuklahan seperti kemiringan lereng, elevasi, arah lereng, dan yang lainnya. Aspek morfogenesis mencakup kajian terhadap proses geomorfik atau proses geomorfologis yang terjadi di masa lampau dan masa sekarang yang membentuk bentuklahan aktual. Aspek morfokronologi menyangkut kronologi waktu dan tahapan pembentukan berbagai bentuklahan dan proses yang terjadi di dalamnya, sedangkan
aspek
batuan
mengkaji
mengenai
struktur
geologi/material-
material/jenis batuan penyusun bentuk permukaan bumi (Dwiyanti 2009). Dalam mempelajari bentuklahan, proses geomorfik mempunyai peran penting karena melalui proses ini dapat menyingkap sejarah terbentuknya bentuklahan aktual. Proses geomorfik dipahami sebagai semua perubahan baik fisik maupun kimia yang mempengaruhi perubahan bentuk muka bumi. Adapun perubahan bentuk muka bumi itu sendiri tidak terlepas dari peran agen geomorfik, yaitu semua media alami yang mampu memantapkan dan mengangkut bahan bumi (Wiradisastra et al. 2002).
6
Analisis geomorfologi diperlukan untuk mengetahui sebaran bentuklahan (landform) dari suatu bentanglahan (landscape), seperti dataran, bukit, pegunungan, lembah, dan sebagainya sehingga dapat memberikan pemahaman mengenai karakteristik alam dan pembentukannya dari bentanglahan tersebut. Karakteristik bentuklahan umumnya banyak berkorelasi dengan tipe penggunaan lahan karena jenis penutup/penggunaan lahan umumnya menyesuaikan dengan karakteristik bentuklahan. Jika suatu penggunaan lahan dipaksakan untuk diterapkan padahal tidak sesuai dengan daya dukung dan karakteristik bentuklahannya, maka dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekologis yang dapat melahirkan bencana, seperti banjir, kekeringan, longsor, dan sebagainya. Dengan demikian, peranan geomorfologi untuk kajian potensi sumberdaya alam, termasuk sumberdaya air sangat penting, khususnya untuk mengkaji wilayah yang berpotensi dalam menyimpan air melalui karakteristik bentuklahannya.
2.2.1 Kelompok Utama Bentuklahan Jenis-jenis bentuklahan berdasarkan morfogenesisnya dapat dibagi menjadi 9 jenis (van Zuidam 1985), yakni: 1. Bentuklahan asal proses struktural (S) Bentuklahan yang terbentuk akibat dari adanya proses endogenetik (tenaga/gerakan dari dalam bumi). Contoh: patahan, pegunungan lipatan. 2. Bentuklahan asal proses vulkanik (V) Bentuklahan yang terbentuk akibat terjadinya proses endogenetik dan aktifitas hydrothermal. Contoh: kerucut gunungapi, kaldera. 3. Bentuklahan asal proses denudasional (D) Denudasi berasal dari kata dasar nude yang berarti telanjang, sehingga denudasi berarti proses penelanjangan permukaan bumi. Denudasi cenderung akan menurunkan bagian permukaan bumi yang positif hingga mencapai bentuk permukaan bumi yang hampir datar (peneplains). Bentuklahan ini terbentuk akibat oleh proses eksogenetik (pelapukan, erosi, dan sedimentasi). Contoh: plateau, pegunungan/perbukitan yang telah mengalami erosi. 4. Bentuklahan asal proses marin (M)
7
Bentuklahan yang terbentuk akibat pengaruh gelombang laut, arus sepanjang pantai, dan proses pasang-surut air laut. Contoh: laguna, teluk. 5. Bentuklahan asal proses fluvial (F) Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya aktifitas aliran air. Contoh: dataran banjir, kipas aluvial. 6. Bentuklahan asal proses gleitser (G) Bentuklahan yang terbentuk sebagai akibat dari aktifitas di puncak pegunungan atau es kontinental. 7. Bentuklahan asal proses aeolian (A) Bentuklahan yang terjadi akibat hembusan angin yang mengikis batuanbatuan dan memindahkan hasil kikisannya ke tempat lain. Contoh: sand dunes. 8. Bentuklahan asal proses pelarutan atau karst (K) Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya proses pelarutan oleh air terhadap batuan yang mudah larut. Contoh: sinkhole, conical karst. 9. Bentuklahan asal proses biologik (B) Bentuklahan yang terbentuk akibat proses biologis dan aktivitas organisme. Contoh: lahan gambut, koral.
2.3 Penutupan/Penggunaan Lahan Istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tersebut (Lillesand dan Kiefer 1990). Informasi tentang penutupan lahan pada umumnya dapat dikenali dengan mudah pada citra penginderaan jauh. Untuk menafsir penggunaan lahan pada citra penginderaan jauh dapat didasarkan pada informasi penutupan lahannya (Fakultas Geografi UGM-Bakosurtanal 2000). Contoh penutupan/penggunaan lahan adalah hutan, semak belukar, persawahan, permukiman, dan lain sebagainya. Klasifikasi penutupan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokkan penutupan/penggunaan lahan melalui citra penginderaan jauh untuk disajikan dalam bentuk spasial. Menurut Suharyadi (1996), secara teoritis klasifikasi penutupan/penggunaan lahan yang dibangun harus mempertimbangkan beberapa
8
kriteria, yaitu tujuan survei, skala peta, dan kualitas data penginderaan jauh yang digunakan sebagai sumber utama dalam pemetaannya.
2.4 Topographic Wetness Index (TWI) Sorensen dan Seibert (2007) mengemukakan bahwa Topographic Wetness Index (TWI) pertama kali diperkenalkan oleh Beven dan Kirkby pada tahun 1979 sebagai bagian dari model runoff „TOPMODEL‟ dan mungkin merupakan indeks topografi yang paling sering diterapkan. TWI diformulasikan sebagai ln (α/tan β), dimana tan β adalah lereng dari dasar permukaan dan α disebut specific upslope area yang dihitung dengan rumus α = A/L, dimana A [m2] adalah upslope area dan L [m] adalah panjang lereng. Dengan demikian, suatu lokasi yang mempunyai lereng yang curam akan mempunyai nilai indeks TWI yang rendah, sehingga mudah untuk meloloskan air dan potensinya rendah dalam menggenangkan air. Sebaliknya, suatu lokasi yang mempunyai lereng yang landai akan mempunyai nilai indeks TWI yang tinggi, sehingga berpotensi tinggi untuk menampung dan menyimpan air atau potensinya untuk menggenangkan air. TWI menghitung tingkat akumulasi air dalam sebuah area tangkapan (DAS). Area tangkapan (DAS) menghitung area dari lahan tangkapan air ke suatu tempat dimana kemiringan lereng mengindikasikan kemampuan dari tempat itu untuk menyimpan/menggenangkan air. Faktor lain yang mempengaruhi akumulasi air (penggunaan lahan dan tanah di area tangkapan) dan nilai simpanan/genangan air (transmisivitas tanah), sehingga indeks ini hanya mengukur komponen topografi dari variasi spasial dalam kebasahan. Nilai-nilai TWI umumnya berkisar mulai dari <5 pada bagian atas lereng sampai >20 pada bagian-bagian yang datar/cekungan (Yesilnacar and Suzen 2006). TWI dapat dipahami sebagai pengukuran relatif kondisi hidrologis pada suatu tempat dari suatu bentanglahan. Nilai TWI didasarkan pada beberapa asumsi, dimana lereng permukaan diasumsikan mewakili kemiringan muka air tanah, sementara konduktivitas hidrolik tanah dan presipitasi diasumsikan seragam dalam suatu bentanglahan. Nilai indeks TWI yang kecil biasanya ditemukan di bagian atas lereng, sedangkan nilai indeks TWI yang besar biasanya terdapat di
9
daerah cekungan yang berasosiasi dengan tanah yang mempunyai konduktivitas hidrolik rendah. Indeks topografi biasanya dihitung dari data grid elevasi dengan mempertimbangkan resolusi gridnya karena besarnya grid mempengaruhi hasil nilai indeks yang dihitung. Wolock dan Prince (1994) menyatakan bahwa ketika dua resolusi dibandingkan, antara grid 30 m dan grid 90 m, maka rata-rata dari upslope area terpengaruh. Ini disebabkan oleh perbedaan dalam ukuran grid dan isi informasi dalam DEM. Zhang dan Montgomery (1994) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa untuk bentanglahan dengan ukuran grid 10 m cukup baik untuk pemodelan hidrologi, namun demikian jika resolusi ditingkatkan misalnya menjadi 2-4 m, maka ternyata hasilnya tidak memberikan informasi tambahan yang berarti.
2.5 Digital Elevation Model (DEM) Digital Elevation Model (DEM) adalah data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut menggunakan himpunan koordinat. DEM khususnya digunakan untuk menggambarkan relief medan (terrain). DEM merupakan gambaran relief permukaan bumi tiga dimensi yang menyerupai keadaan sebenarnya di dunia nyata divisualisasikan dengan bantuan teknologi komputer grafis dan teknologi virtual reality. Sehingga DEM merupakan suatu sistem, model, metode, dan alat dalam mengumpulkan, memproses, dan menyajikan informasi suatu medan. Susunan nilai-nilai digital yang mewakili distribusi spasial dari karakteristik medan diwakili oleh nilai-nilai pada sistem koordinat horizontal XY, sedangkan karakteristik medan diwakili oleh ketinggian medan dalam sistem koordinat Z (Rosytha dan Taufik 2011).
2.6 Daerah Aliran Sungai (DAS) Secara umum, Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung (igir-igir) yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian
10
menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Faktor-faktor yang mempengaruhi DAS adalah iklim, jenis tanah, topografi, geologi, morfologi, dan tata guna lahan (Asdak 2010). DAS sebagai suatu sistem hidrologi dalam satuan wilayah dapat dikenali melalui bentuk dan ukuran luasnya secara geografis, sehingga bentuk dan ukuran DAS dapat berbeda antara DAS yang satu dengan DAS lainnya. Strahler mengklasifikasikan sungai berdasarkan tingkat percabangan anakanak sungainya (Gambar 1).
Gambar 1. Klasifikasi Order Sungai Menurut Strahler
Jaringan sungai yang tidak memiliki anak sungai disebut order 1, jaringan sungai yang menerima aliran dari dua sungai order 1 disebut order 2, jaringan sungai yang menerima aliran dari dua sungai order 2 disebut order 3, dan begitu seterusnya, sehingga setiap jaringan sungai yang memiliki order sama dan bertemu maka akan menghasilkan order baru untuk aliran di bawahnya dengan urutan angka setingkat di atas order yang lama. Dengan demikian, semakin besar urutan order sungai maka akan semakin luas wilayah tangkapannya (DAS) dan juga akan semakin banyak percabangan sungai di atasnya (Agustina 2007). Sub-DAS adalah bagian dari DAS yang berukuran lebih besar dimana air hujan yang diterima akan dialirkan melalui anak sungai menuju ke sungai utama, sehingga setiap DAS terbagi ke dalam masing-masing sub-DAS. Keterkaitan antara sub-DAS satu dengan lainnya akan membentuk sebuah sistem yang terdiri dari anak-anak sungai yang dapat dianggap sebagai sebuah kesatuan yang disebut ekosistem DAS (Manan 1979).