SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
PEMETAAN EKOLOGI BENTANGLAHAN SUMATERA UTARA BERDASARKAN CITRA SATELIT LANDSAT ENHANCED THEMATIC MAPPER PLUS (ETM+) Prapto Suharsono * Projo Danoedoro ∞ ABSTRAK Perencanaan lingkungan suatu wilayah memerlukan informasi akurat mengenai berbagai komponen lingkungan di wilayah tersebut, sehingga berdasarkan informasi itu dapat dilakukan proses modifikasi yang sesuai dengan karakteristik lingkungan yang ada. Perencanaan lingkungan secara regional juga memerlukan informasi lingkungan pada skala regional. Akan tetapi, apabila di suatu wilayah belum tersedia informasi spasial atau peta komponen-komponen lingkungan secara lengkap, diperlukan suatu survei awal yang bersifat komprehensif dan holistik, yang mampu memberikan gambaran lingkungan regional secara mendasar, dan selanjutnya dapat dijadikan basis bagi survei lanjutan yang lebih mendalam untuk perencanaan pada skala yang lebih rinci. Wilayah Provinsi Sumatera Utara merupakan contoh yang sesuai bagi kondisi ini. Penelitian ini merupakan survei awal untuk memberikan gambaran lingkungan secara spasial di provinsi tersebut pada skala regional (1:250.000). Pendekatan yang digunakan dalam survei ini ialah pendekatan ekologi bentanglahan, dengan memanfaatkan citra Landsat Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) sebagai basis ekstraksi informasi. Melalui pendekatan ini, wilayah penelitian dibagi ke dalam zona-zona berdasarkan tema komponen lingkungan, dimulai dari tema yang bersifat umum (atau dengan ukuran satuan pemetaan yang besar) ke tema yang lebih spesifik (atau dengan ukuran pemetaan yang relatif lebih kecil). Proses interpretasi memadukan kenampakan yang ada pada peta dan citra, dengan delineasi secara visual. Pengambilan batas antar-satuan pada peta diperhalus (refined) melalui interpretasi citra dengan on-screen digitisation, sehingga satuan-satuan baru dan batas pemetaan yang baru dapat dihasilkan. Di samping itu, dapat diturunkan juga peta-peta tematik per komponen dan peta bentanglahan secara digital. Berdasarkan interpretasi citra landsat ETM+ ini, dapat diturunkan 175 klas bentanglahan, di mana setiap satuan merupakan perpaduan aspek-aspek iklim (elevasi, curah hujan rerata tahunan, dan suhu rerata bulan terdingin), geomorfologi (litologi atau material induk, relief dan kemiringan lereng), tanah, serta penutup lahan (khususnya komposisi struktural vegetasi). Secara eksplisit, komponen-komponen lingkungan yang dipetakan secara terpisah adalah elevasi, litologi, relief, lereng, dan penutup lahan/struktur vegetasi, karena komponen-komponen itu secara langsung dapat dikenali dari citra. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa citra Landsat ETM+ pada resolusi spasial 30 meter secara umum mampu menyajikan informasi berbagai komponen bentanglahan, sehubungan dengan ketersediaan enam saluran spektral reflektifnya. Dukungan citra SPOT 3 multispektral khusus untuk wilayah Pulau Samosir telah mampu mengatasi kekurangan citra Landsat ETM+ sehubungan dengan persentase liputan awannya yang besar. Meskipun demikian, hasil intrepretasi citra Landsat ETM+ wilayah selatan secara kualitatif kurang akurat dibanding wilayah utara, sehubungan dengan persentase tutupan awannya yang besar dan ketiadaan kompensasi oleh citra lain. Kata kunci: ekologi bentanglahan, komponen lingkungan, skala regional, Landsat ETM+, Sumatera Utara *
∞
Staf pengajar Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh, dan Ketua PUSPICS Fakultas Geografi UGMBakosrutanal Staf pengajar Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi UGM 219
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemahaman mengenai kondisi lingkungan (state of environment) suatu wilayah merupakan salah satu kunci bagi keberhasilan dalam pembangunan wilayah tersebut. Kondisi lingkungan diharapkan dapat mencerminkan berbagai fakta mengenai wilayah tersebut: potensi dasar secara fisik, kendala atau keterbatasan dan risiko bencana yang ada, serta bentuk dan intensitas pemanfaatannya pada saat ini (Lein, 2003). Untuk dapat memperoleh informasi mengenai kondisi lingkungan seperti itu, diperlukan survei secara komprehensif yang memerlukan waktu lama serta biaya yang besar. Di samping itu, publikasi mengenai kondisi lingkungan perlu dilakukan secara periodik sehingga informasi mengenai perubahan yang terjadi pun dapat diikuti. Data mengenai kondisi lingkungan semacam ini perlu disajikan secara lengkap dalam bentuk peta-peta dan laporan tertulis. Dengan demikian, kegiatan terus menerus semacam ini memerlukan persiapan dan penanganan secara matang, terkoordinasi dan dalam jangka waktu yang panjang. Untuk wilayah yang ketersediaan data dasarnya belum memadai, dapat dilakukan survei lain yang bersifat ringkas namun lengkap, di mana berbagai informasi kunci mengenai kondisi lingkungan disajikan dalam bentuk satuan-satuan bentanglahan. Satuan bentanglahan biasanya memuat informasi mengenai aspek-aspek fisik lahan beserta aspek biotik dan atau sosial-ekonomi, yang diekspresikan dalam bentuk/tipe vegetasi, penutup lahan secara umum, ataupun penggunaan lahan. Sumatera Utara merupakan suatu wilayah di Indonesia yang memiliki dinamika lingkungan yang tinggi. Perubahan penggunaan lahan di wilayah ini berlangsung pesat dalam tiga dekade terakhir, di mana proses industrialisasi telah banyak mengubah berbagai kenampakan bentanglahan alami dan budidaya berbasis pertanian menjadi kenampakan bentanglahan yang berasosiasi dengan industri. Pengendalian pembangunan di wilayah ini dalam perspektif lingkungan kadangkala mengalami kesulitan berhubung adanya benturan kepentingan di dalamnya. Salah satu benturan itu ialah antara kepentingan pertumbuhan ekonomi berbasis industri dan pertanian di satu sisi, dan kepentingan konservasi sumberdaya serta keanekagaraman hayati di sisi lain, yang sebenarnya belum secara mendalam dipahami bentuk, ukuran, sifat dan distribusinya. Dengan mempertimbangkan faktor kelangkaan data lingkungan secara regional itulah maka pendekatan ekologi bentanglahan menjadi relevan. Pendekatan semacam ini dapat dijadikan titik tolak survei yang bersifat ringkas dan komprehensif untuk menggambarkan kondisi fisik lingkungan di wilayah Sumatera Utara secara umum, yaitu pada skala regional. Gambaran yang dihasilkan dari survei-pemetaan semacam ini diharapkan dapat memberikan deskripsi ringkas mengenai apa yang ada dan apa yang telah terjadi di Sumatera Utara, yang untuk selanjutnya dapat dilanjutkan denga survei yang lebihb rinci dan spesifik. 1.2. Tujuan, Sasaran dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini ialah memberikan gambaran regional secara ringkas berdasarkan analisis citra satelit Landsat ETM+ mengenai kondisi lingkungan di Provinsi Sumatera Utara bagian utara, khususnya dari aspek fisik lahan, liputan vegetasi dan penggunaan lahannya, sebagai basis perencanaan lingkungan secara regional. Sasaran 220
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
penelitian ini ialah tersedianya peta-peta kondisi lingkungan berupa peta relief, batuan, lereng dan penutup lahan, serta peta sintentik berupa ekologi bentanglahan, semuanya pada skala 1:250.000 yang meliput seluruh wilayah Sumatera Utara bagian utara. Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini terletak pada ketersediaan peta yang secara langsung dapat membantu proses perencanaan lingkungan pada tingkat provinsi, dan juga sebagai acuan bagi proses survei dan perencanaan lingkungan yang lebih rinci. Dari sisi akademis, penelitian ini diharapkan dapat mendemonstrasikan prosedur pemetaan lingkungan secara regional berbasis satelit resolusi sedang, untuk wilayah yang ketersediaan data spasialnya relatif terbatas.
2. TELAAH PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Telaah Pustaka Pemahaman mengenai struktur ekosistem terestrial merupakan salah satu kunci dalam identifikasi proses pengendalian perubahan global, misalnya aspek-aspek yang terkait dengan serapan karbon (carbon sink) dan iklim global (Cramer et al., 1999). Identifikasi satuan-satuan ekosistem juga merupakan langkah awal dalam pengelompokan fenomena bentanglahan (landscape) berdasarkan kesamaan karakteristik yang terkait dengan kepekaan setiap satuan bentanglahan terhadap perubahan yang ada (Zonneveld, 1979), di samping faktor potensi dan risiko bencananya. Konsep ekosistem telah ‘diimpor’ oleh para ahli ekologi bentanglahan dalam kajian mereka (Cousins, 1993). Hal ini diperkuat oleh batasan pengertian yang dibuat oleh Vink (1983), yaitu bahwa “…ekologi bentanglahan merupakan studi hubungan antara fenomena dan proses dalam bentanglahan atau geosfer, termasuk di dalamnya komunitas tumbuhan, hewan dan manusia.” Forman dan Gordon (1986) mempertegas gagasan mengenai ekosistem dalam kajian ekologi bentanglahan, yaitu dengan mendefinisikannya sebagai “…studi mengenai struktur, fungsi dan perubahan dalam suatu area lahan yang tersusun atas berbagai ekosistem yang saling berinteraksi.” Cramer et al. (1999) menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kajian ekosistem, baik dalam lingkup global, regional, maupun lokal. Beberapa aspek itu antara lain (1) kebutuhan data untuk pengembangan model dan evaluasinya, (2) sumber data, (3) karakteristik spasial dan temporal ekosistem yang meliputi pengambilan sampel spasial, temporal, serta interpolasinya dalam ruang dan waktu, (3) pendekatan dalam pemodelan, yaitu model keseimbangan (ekuilibrium) dan model dinamis. Khusus untuk ketersediaan data pada lingkup wilayah yang luas, informasi mengenai iklim, tanah, sifat-sifat ekosistem, penutup dan penggunaan lahan merupakan hal yang sangat penting. Dengan demikian jelas bahwa kajian ekosistem melalui perspektif ekologi bentanglahan merupakan kajian yang memperhatikan ruang dan waktu. Artinya, konsep ini secara langsung terkait dengan aspek skala (Haines-Young et al., 1993), struktur keruangan (Lavers dan Haines-Young, 1993; Forman dan Gordon, 1986; Green et al., 1993), dan perubahan dalam ruang dan waktu (Wood dan Foody, 1993). Kajian ekosistem pada skala regional dengan menggunakan perspektif ekologi bentanglahan memberikan keuntungan karena kajian ini secara pasti terdefinisikan lingkup spasial dan skalanya (Haines-Young et al. 1993; Harrison dan Dunn, 1993; Gullick et al., 1993). Di samping itu, ekologi bentanglahan pun menjadi fondasi yang tepat bagi kajian221
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
kajian evaluasi lahan (Zonneveld, 1979; van der Zee dan Zonneveld, 2001), yang pada akhirnya bermuara pada pemanfaatan praktis dalam kajian-kajian untuk perencanaan pengembangan wilayah, termasuk perencanaan penggunaan lahan. Pemetaan ekologi vegetasi dan penggunaan lahan melalui perspektif ekologi bentanglahan merupakan kegiatan yang banyak dilakukan dengan bantuan citra penginderaan jauh, baik foto udara maupun citra lain. Teknik-teknik pengambilan sampel untuk kajian ekologi vegetasi sendiri diuraikan mendalam oleh Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), sedangkan metode pemetaan untuk keperluan ini dijelaskan secara mendalam oleh Kűchler dan Zonneveld (1988), Kannegieter (1988), dan van Gils et al. (1990). Zonneveld (1979) dan van Gils et al. (1990) menjelaskan pendekatan satuan lahan sebagai satuan analisis dan pemetaan dalam interpretasi citra. Pada pendekatan ini, setiap satuan lahan yang didefinisikan merupakan satuan analisis unik, yang dipandang mempunyai homogentitas dalam berbagai karateristik biofisik lahannya, seperti iklim, batuan, tanah, hidrologi, struktur vegetasi, komposisi floristik, dan atau penggunaan lahannya. Pendekatan satuan lahan dapat dibentuk melalui pendekatan yang bersifat holistik, dan secara kontras hal ini kadangkala dipertentangkan dengan satuan lahan yang diperoleh melalui pendekatan reduksionistik. Skidmore (1997) membedakan pendekatan holistik yang menjadi ciri utama dalam penggunaan interpretasi citra penginderaan jauh, sedangkan pendekatan reduksionistik biasa diterapkan pada penelitian yang memanfaatkan sistem informasi geografis (SIG). Dengan kata lain, satuan lahan dalam pendekatan holistik merupakan satuan yang didefinisikan secara langsung, di mana karakteristik lahan dideduksi secara logis; sedangkan satuan lahan dalam pendekatan reduksionistik merupakan konsekuensi logis dari hasil pemodelan (terutama tumpangsusun peta) dalam lingkungan SIG. Kedua macam pendekatan ini dapat digunakan dengan memperhatikan konteks sumber dan ketersediaan data, kebutuhan pemodelan, karakteristik spasial dan temporal, serta pendekatan dalam pemodelan (dinamis atau ekuilibrium), seperti yang dijelaskan oleh Cramer et al. (1999). 2.2. Kerangka Pemikiran Wilayah Provinsi Sumatera Utara merupakan wilayah yang secara ekologis belum memiliki ketersediaan data spasial secara utuh, lengkap, dan saling kompatibel untuk mendukung terlaksananya proses perencanaan lingkungan pada skala regional (skala 1:250.000). Mengingat bahwa peta ekologi bentanglahan merupakan peta referensi penting ketika peta-peta tematik lain belum dapat disediakan, maka pembuatan peta semacam ini perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: (a) satuan-satuan ekologi bentanglahan yang dipetakan harus memuat informasi dari sisi aspek-aspek fisik lahan, meliputi batuan, tanah, air dan atmosfer; serta aspekaspek biotik dan kultural meliputi vegetasi alami/budidaya dan penggunaan lahan secara umum; (b) satuan-satuan ekologi bentanglahan ini dapat dipetakan dengan menggunakan citra Landsat Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) secara visual pada skala 1:250.000, yang merupakan skala yang sesuai bagi perencanaan lingkungan secara regional; (c) Mengingat keterbatasan data dasar pendukung kajian ini, maka pendefinisian satuan-satuan pemetaan ini dilakukan melalui pendekatan holistik, yang dimulai dari satuan-satuan dengan lingkup yang paling luas, dan diikuti dengan satuansatuan yang lingkupnya lebih sempit, yaitu: elevasi dan curah hujan untuk mewakili iklim, batuan atau material induk, kemiringan lereng, dan struktur 222
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
vegetasi/penggunaan lahan. Dasar pertimbangannya adalah, setiap variabel karakteristik lahan yang didefinisikan ini dapat diturunkan menjadi informasi lain melalui kombinasi informasi dengan variabel lainnya. Misalnya, karakteristik tanah pada skala 1:250.000 ini dapat diturunkan dengan memperhatikan elevasi, curah hujan, bahan induk dan ekspresi reliefnya. Dalam batas tertentu, informasi penggunaan lahan pun dapat membantu proses deduksi karakteristik lahan ini; (d) Peta-peta disedikan dalam penomeran lembar yang sesuai dengan peta dasar yang telah tersedia pada skala 1:250.000, keluaraan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), untuk mempermudah kompilasi peta dan penyusunan basis data spasial serta implementas perencanaan lingkungan pada tingkat provinsi.
3. BAHAN, ALAT DAN METODE PENELITIAN Studi ini merupakan penelitian terapan di bidang penginderaan jauh, yang menggunakan citra satelit sebagai basis ekstraksi informasi karakteristik biofisik lahan untuk membangun peta ekologi bentanglahan di Provinsi Sumatera Utara, yang dimulai dengan pemetaan bagian utara daerah peneltian terlebih dahulu. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan ekologi bentanglahan secara holistik. 3.1. Alat dan Bahan Alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah: (a) seperangkat komputer PC Pentium IV 1,6 GHz, RAM 128 MB dan harddisk 20 GB (b) Perangkat lunak ENVI versi 3.4 berbasis Windows dan ArcView 3.2 (c) Digitizer ukuran A3 dan printer warna Sedangkan bahan yang digunakan antara lain: (a) Citra Landsat ETM+ path/row129/57 (April 2000), 129/58 (April 2000)/57 (April 2000), 128/58 (November 1999) , 127/57 (Juni 2000), 127/58 (Juni 2000), dan SPOT XS (Agustus 1999) (b) Peta topografi/rupabumi Bakosurtanal skala 1:250.000 (c) Peta geologi skala 1:250.000 (d) Peta vegetasi internasional skala 1:1.000.000 (Blasco, 1990). 3.2. Metode Penelitian Penelitian ini memanfaatkan citra Landsat ETM+ sebagai sumber data utama, dengan dukungan peta topografi, peta geologi, dan peta vegetasi skala 1:1.000.000 sebagai data spasial bantu utama, serta kerja lapangan. Proses interpretasi dimulai dengan menarik batas zona elevasi (Tabel 1) berdasarkan peta kontur yang dikombinasikan dengan zona curah hujan sebagai basis zonasi dasar iklim di darah penelitian (Tabel 2). Parameter iklim juga mempertimbangkan suhu bulan terdingin yang berpengaruh terhadap keberadaan vegetasi alami dan budidaya, yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu suhu bulan terdingin antara 15-20˚C dan lebih besar dari 20˚C. Proses berikutnya adalah zonasi litologi (Tabel 3) berdasarkan kenampakan pada citra komposit warna semu dengan kombinasi saluran 4-5-3 (Inframerah Dekat - Inframerah tengah I – Merah, dengan susunan merahhijau-biru) skala 1:250.000 yang dipandu oleh peta geologi skala 1:500.000. Penarikan batasbatas satuan litologi terutama didasari oleh kenampakan pada citra, sedangkan isi atribut didukung oleh peta geologi dan survei lapangan. Tahap interpretasi berikutnya ialah zonasi relief (Tabel 3), yang diikuti dengan zonasi kemiringan lereng (Tabel 4). Pada tahap-tahap ini, penggunaan citra memainkan 223
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
peran penting. Meskipun demikian, citra berperan paling penting dalam interpretasi penutup lahan serta deduksi penggunaan lahannya. Klasifikasi penutup lahan dititikberatkan pada aspek komposisi struktural vegetasi (Tabel 5), mengingat pendefinisian satuan-satuan bentanglahan diakhiri dengan delineasi satuan-satuan penutup vegetasi di dalam satuan-satuan fisik lahan yang lebih besar. Dengan demikian, setiap satuan bentanglahan terdefinisi sebagai satuan pemetaan yang memuat informasi iklim (khususnya elevasi dan curah hujan), batuan induk, ekspresi relief, serta kemiringan lereng. Informasi lain dapat diturunkan dengan melakukan inferensi dan deduksi logis atas setiap kombinasi yang muncul. Tabel 1. Klasifikasi elevasi Klas
Elevasi (m)
A B C D E
0 – 300 m 300 – 500 m 500 – 1000 m 1000 – 1500 m > 1500 m
Tabel 2. Klasifikasi elevasi dan suhu bulan terdingin Klas
Klasifikasi curah hujan rerata tahunan (mm/th)
I II III IV V
1000 – 1500 mm 1500 – 2000 mm 2000 – 2500 mm 2500 – 3000 mm > 3000 mm Tabel 3. Klasifikasi Jenis Batuan
Simbol 1a 1b 2 3 4 5 6
Jenis (kelompok) batuan Batuan beku masif, asam Batuan beku masif, intermedier Piroklastik Batuan sedimen non gampingan Batuan sedimen gampingan Batuan metamorf Aluvium
Tabel 4. Klasifikasi relief Simbol F U R H M
Relief Datar hingga landai Berombak Bergelombang Berbukit Bergunung
Keterangan beda tinggi tidak nyata kecuali di lembah sungai beda tinggi lembah & punggung < 20 m beda tinggi lembah & punggung 20 - 50 m beda tinggi lembah & bukit 50 - 300 m beda tinggi lembah & bukit ≥ 300 m
Pemilihan variabel-variabel untuk zonasi itu dilandasi dengan pertimbangan bahwa kecuali elevasi dan curah hujan, semua informasi dapat diekstrak dari citra penginderaan 224
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
jauh. Variabel penting lain dalam ekologi bentanglahan, misalnya tanah, diasumsikan dapat diturunkan dari kombinasi variabel-variabel yang dipetakan ini, ditambah informasi lapangan. Dengan kata lain, penelitian ini menggunakan komponen biofisik pendukung informasi bentanglahan dalam bentuk variabel-variabel dasar yang dapat diekstrak secara langsung dari citra satelit, dan dapat dideduksi lebih lanjut untuk menurunkan informasi kompinen fisik lahan lainnya. Tabel 5. Klasifikasi kemiringan lereng Klas I II III IV V VI VII
Kemiringan (%) <2 2-8 8 - 15 15 - 25 25 - 40 40 - 60 > 60
Keterangan datar landai agak miring miring sangat miring terjal curam
Tabel 6. Klasifikasi Penutup Lahan Simbol a1 a2 a3 b c d e f g h
Jenis (kelompok) batuan Hutan kerapatan tinggi Hutan kerapatan sedang Hutan kerapatan rendah Semak belukar Padang rumput/paku-pakuan Ladang Sawah Perkebunan Permukiman desa Permukiman kota
Perpaduan antara aspek fisik lahan dan penutup/penggunaan lahan inilah yang merupakan satuan bentanglahan, yang selanjutnya disusun dalam basis data kewilayah an menggunakan SIG. Meskipun proses interpretasi dilakukan dalam satu lembar citra, namun pada dasarnya setiap komponen informasi yang diekstrai dapat dipilah kembali sebagai tema-tema yang terpisah. Dengan demikian, apabila diperlukan, data yang tersimpan di dalam SIG ini dapat diperbarui, atau digunakan sebagai bahan analisis dan sintesis untuk menghasilkan informasi baru. Berbagai kegiatan perencanaan wilayah dan penentuan kebijakan pada masa selanjutnya akan selalu memerlukan basis data ini sebagai dasar pertimbangannya.
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil dan pembahasan penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu (a) gambaran umum bentanglahan di daerah penelitian, (b) deskripsi satuan-satuan bentanglahan yang berhasil dipetakan, dan (c) catatan mengenai proses interpretasi citra dan interpretabilitasnya secara kualitatif. 4.1. Gambaran Umum Bentanglahan di Daerah Penelitian Berdasarkan synoptic overview yang diperoleh dari citra Landsat ETM+, wilayah
225
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
Propinsi Sumatera Utara bagian utara secara garis besar dapat dibedakan menjadi 6 bagian, yaitu : a. Dataran sepanjang pantai timur, b. Daerah berombak hingga bergelombang Rantauprapat, Pematang SiantarPancurbatu, c. Bukit Barisan Jalur Timur, d. Tanah Tinggi Tarutung - Sidikalang - Karo (depresi tengah), e. Bukit Barisan Jalur barat, f. Dataran pantai barat. 4.1.1. Dataran sepanjang pantai timur Sumatera Utara Lebar jalur ini antara 40 hingga 70 kilometer, membujur arah tenggara - barat laut, mulai dari dekat Labuhan Bilik di ujung timur wilayah Kabupaten Labuhan Batu, terus melalui Tanjung Balai, Kisaran, Tebing Tinggi, Medan, Binjai, hingga Langkat di dekat perbatasan dengan Propinsi Aceh. Wilayah ini memiliki topografi datar hingga landai dengan kemiringan lereng kurang dari 5 persen. Sebagian besar merupakan dataran aluvial hasil endapan sedimen yang terangkut melalui sungai-sungai Barumun, Bilah, Panai, Kualah, Asahan, Deli, Belawan dan lain-lain. Kebanyakan sungai-sungai tersebut bermata air di Bukit Barisan. Sesuai dengan genesa atau asal mula pembentukannya yang merupakan endapan fluvial, ada bagian-bagian dari wilayah ini yang sering terlanda banjir terutama yang memiliki relief ledok atau cekungan dan bantaran sungai. Dilihat dari batuan penyusunnya sebagaian besar dataran ini merupakan endapan aluvial, selebihnya merupakan endapan materi piroklastik hasil erupsi gunungapi Elevasi atau ketinggian tempat mulai dari permukaan laut hingga sekitar 100 meter sehingga secara umum memiliki suhu udara rerata relatif tinggi, cadangan air tanah dengan potensi besar, irigabilitas besar, dan sebagian berdrainase jelek. Jenis tanah bagian ini umumnya aluvial yang memiliki ciri berlapis-lapis yang menunjukkan bahwa setiap lapis terbentuk pada satu periode pengembangan. Solum tanah yang dapat menjadi media perakaran sangat tebal, tetapi pada bagian-bagian yang drainasenya jelek umumnya bersifat asam (pH rendah) dan mengalami gleisasi. Bagian dari dataran ini yang dekat dengan pantai, kebanyakan berair payau hingga asin dan menjadi habitat mangrove. Di beberapa bagian, lebar rawa payau ini hingga beberapa kilometer dan sekitar lima tahun terakhir ini banyak yang ditebang, berubah fungsi menjadi tambak. Lebih jauhke arah darat yang berair tawar umumnya merupakan hamparan sawah sangat luas dengan setempat-setempat terdapat permukiman perdesaan dan kota. Bagian lainnya banyak dimanfaatkan untuk perkebunan dengan jenis tanaman kelapa sawit dan karet, misalnya di sekitar Rantauprapat, Tebingtinggi, dan Kisaran. 4.1.2.. Daerah berombak hingga bergelombang Rantauprapat - Pematang Siantar Pancurbatu Zona ini memiliki relief berombak hingga bergelombang dengan beda tinggi antara dasar lembah dengan punggung tidak lebih dari 100 meter, kemiringan lereng antara 5 hingga 25 persen dan berada pada ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut. Batuan penyusun wilayah ini terutama adalah bahan piroklastik hasil erupsi gunungapi dan telah mengalami pelapukan lanjut disertai erosi (pengikisan) di bagian-bagian tertentu. Tanah yang terbentuk memiliki solum tebal, tekstur liat atau liat pasiran dengan drainase 226
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
baik. Kondisi alam yang demikian menjadikan zona ini merupakan lahan potensial bagi pertanian tanaman tahunan dan perkebunan sehingga semenjak awal abad ini banyak dibuka lahan perkebunan baru dengan jenis tanaman terutama karet, kakao, dan kelapa sawit. Bagian-bagian ledok dan lembah sungai yang besar potensi air dan irigabilitasnya banyak dimanfaatkan untuk sawah dan tanaman semusim lainnya terutama yang lokasinya berada dekat dengan kampung atau permukiman. Bentuk penggunaan lahan perkebunan paling dominan di zona ini berkaitan dengan karakter lahannya yang sesuai, pemeliharaan yang relatif tidak banyak menyita tenaga kerja, serta nilai ekonomi yang tinggi dari hasilnya. 4.1.3. Bukit Barisan Jalur Timur Membujur Pulau Sumetera di bagian tengah terdapat sederetan pegunungan yang dikenal dengan nama Bukit Barisan. Di Sumatera Utara deretan pegunungan ini dibedakan menjadi 2 (dua) jalur yaitu timur dan barat yang dipisahkan oleh depresi tengah. Danau Toba, tanah tinggi Balige - Sidikalang - Karo berada pada depresi tengah. Secara geologis, Bukit Barisan jalur timur merupakan deretan gunungapi berumur kuarter tua hingga kuarter terutama piroklastik, dan beku masif asam hingga intermedier. Relief medan bergunung-gunung dengan lereng curam. elevasi beberapa puncaknya hingga lebih dari 2500 meter di atas muka laut. Berkaitan dengan elevasi yang tinggi tersebut maka suhu udara sejuk sepanjang tahun sehingga proses pelapukan bantuan membentuk tanah berlangsung lambat, disertai oleh intensitas erosi yang relatif tinggi karena lerengnya terjal hingga curam. Sebagai akibatnya, solum tanah umumnya tipis, kelembaban tinggi, suhu sejuk, membentuk tanah litosol, dan andosol pada bagian yang tidak terlalu curam. Kearifan para pendahulu telah membiarkan lahan yang demikian ini untuk tetap menjadi hutan alam, dan generasi sekarangpun seharusnya melestarikannya. Deretan Bukit Barisan jalur timur ini membujur arah tenggara -barat laut melalui sebelah timur Danau Toba, terus ke utara di sebelah timur kota wisata Berastagi dan bersambung dengan Gunung Leuser jalur timur terus ke wilayah Propinsi Aceh. Beberapa puncak dengan nama Dolok Parimbaan, Dolok Batuloting, Gunung Merah dan beberapa lainnya berada pada jalur ini. Aktivitas volkanis yang membentuk deretan pengunungan tersebut nampaknya berlangsung melalui celah-celah sesar utama Pulau Sumatra yang sebelumnya berbatuan sedimen endapan marin. Adanya batugamping secara lokal seperti yang dijumpai di utara kota wisata Prapat ( di tepi Danau Toba ) serta batuan penyusun Pulau Samosir yang mengandung diatomae menjadi petunjuk yang mendasari pernyataan tersebut. Khusus bagi keberadaan batugamping di lokasi ± 4 kilometer utara Prapat, telah terjadi metamorfosa membentuk batu marmer yang disebabkan karena kontak dengan magma atau proses volkanis yang membentuk deretan pegunungan tersebut. Penutup lahan pada jalur pegunungan ini saat sekarang terutama hutan alam dan hutan tanaman dengan jenis tumbuhan terutama Pinus merkusii ( nama lokal tusam ) yang ditanam sekitar 40 tahun yang lalu. 4.1.4. Tanah Tinggi Tarutung - Sidikalang - Karo Jalur ini merupakan depresi diantara dua jalur Bukit Barisan yang melebar dengan bentangan sekitar 70 kilometer dan memanjang arah tenggara - barat laut sepanjang lebih dari 150 kilometer. Danau Toba yang terbentuk karena proses volkano-tektonik (Bemmelen, 1949) berada pada depresi ini. Di dekat Kutacane ( wilayah Propinsi Aceh ) lebar depresi yang kedua jalur pegunungan ini hanya sekitar 6 kilometer. Ketinggian tempat pada tanah tinggi ini berkisar antara 900 hingga 1600 meter di atas muka laut ( kecuali dasar Danau 227
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
Toba ), umumnya datar hingga berombak. Bahan pembentuk yang berupa piroklastik dan abu volkan di tanah tinggi yang suhunya sejuk sepanjang tahun berkembang membentuk tanah andosol yang sangat potensial bagi tanaman sayur mayur iklim sejuk seperti di tanah Karo, Tele, dan Dolok Sanggul. Pada medan datar di sekitar Balige - Porsea yang merupakan daerah pengendapan sedimen terbentuk tanah aluvial yang dimanfaatkan bagi padi sawah. Bentuk penggunaan lahan ini juga berada cukup luas di elevasi yang agak rendah misalnya di dekat Sidikalang, Dolok Sanggul, Lintongnihuta, dan sisi barat Pulau Samosir seperti di Simbolon, Mogang, hingga Nainggolan. Pemanfaatan lahan di tanah tinggi (depresi tengah) ini belum seluruhnya optimum. Di tanah Karo dan sekitar Balige sudah sangat intensif pengusahaannya, sementara di sisi barat danau Toba masih banyak lahan berupa semak belukar, rumput serta paku-pakuan di medan datar hingga bergelombang yang sebenarnya berpotensi besar. Masalah adat dan status kepemilikan tampaknya menjadi kendala dalam pengembangan pemanfaatan lahan ini bagi kesejahteraan masyarakatnya. Pulau Samosir yang berada di tengah Danau Toba merupakan bagian dari depresi tengah yang perlu mendapat perhatian tersendiri. Batuan penyusunnya yang berupa sedimen endapan marin mengandung diatome membentuk tanah bertekstur debu yang mudah tererosi sehingga membentuk ravine yang dalam dengan lereng-lereng curam. Kesan umum bagi pulau ini adalah gersang dan kering kecuali di bagian punggung tertinggi yang berelief hampir datar dan tertutup hutan sekunder. Hutan asli pulau ini tinggal tersisa sekitar 8 persen karena penebangan intensif sebelum tahun 1998. Dalam kaitan dan peranannya sebagai daerah tangkapan air Danau Toba, maka upaya rehabilitasi lahan di pulau Samosir merupakan hal yang sangat mendesak untuk dilaksanakan khususnya bagi lahan kosong dan rerumputan untuk diubah menjadi pepohonan agar fungsi hidrologisnya lebih baik. Dengan penanaman pepohonan diharapkan tanah akan menjadi berkembang dan terbentuk lebih cepat sehingga media perakaran lambat laun membaik dan kapasitas tahanan air (water holding capacity) meningkat yang berarti pula menahan air yang banyak di musim penghujan untuk dialirkan perlahan-lahan sehingga tertahan berupa aliran sungai yang cukup besar di musim kemarau. 4.1.5. Bukit Barisan Jalur barat Deretan perbukitan dan pegunungan di bagian barat yang membujur melalui sebelah barat Tarutung, terus ke barat Sisikalang, sebelah barat Tiga Binanga, dan bersambung hingga sebelah barat Kutacane di Aceh Selatan adalah deretan Bukit Barisan jalur barat. Di sisi timur, jalur ini dibatasi sepotong-potong oleh garis sesar utama Sumatera. Puncak-puncak tertinggi seperti Dolok Sigunaguna, Dolok Pinapan, Dolok Sopopae, Dolok Sibolangit, Deleng Parsahutan dan masih banyak lagi lainnya berada pada jalur barat ini. Relief maupun karakteristik lahan lainnya kondisinya mirip dengan Bukit Barisan jalur timur,hanya bentangan lebarnya yang lebih besar ukurannya. Batuan penyusun terutama beku masif dari lava intermedier dan bahan piroklastik. 4.1.6. Dataran Pantai Barat Liputan areal kegiatan penentuan batas-batas ekosistem pada tahap ini dilakukan sampai sebatas Barus ke utara sehingga jalur dataran pantai barat yang terpetakan masih sangat sedikit. Jalur dataran terliput hanyalah di utara Barus dengan lebar sekitar 7 kilometer dan memanjang sepanjang pantai kira-kira 20 kilometer hingga perbatasan Singkil yang termasuk Propinsi Aceh. Dataran pantai barat ini terbentuk dari akumulasi materi 228
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
aluvium dan koluvium yang terangkut aliran air dari pegunungan Bukit Barisan jalur barat yang berada di sisi timurnya. Pemanfaatan lahan belum berkembang baik mungkin karena lokasinya yang agak terisolasi dari kota-kota lain. 4.2. Satuan-satuan Bentanglahan di Provinsi Sumatera Utara pada skala 1:250.000 Penetapan batas-batas satuan ekosistem makro ini terbagi menjadi dua tahap kegiatan, yaitu (a) interpretasi komponen-komponen ekosistem utama meliputi zonasi elevasi, geologi (khususnya jenis) batuan, relief, dan pentutup penggunaan lahan; dan (b) pemodelan satuan-satuan ekosistem dalam bentuk peta, melalui tumpangsusun berbagai komponen-komponen yang telah dipetakan, disertai dengan tabel deskripsi masingmasing satuan eskosistemnya. 4.2.1. Pemetaan Komponen-komponen Bentanglahan Pemetaan komponen-komponen ekosistem mengikuti logika faktor yang paling berpengaruh terhadap terbentuknya suatu ekosistem daratan. Elevasi digunakan sebagai faktor utama yang pertama, karena di daerah tropika seperti lndonesia-- faktor ini menentukan zonasi temperatur. Semakin tinggi elevasi, semakin rendah pula temperatumya mengikuti Hukum Lapse, di mana setiap kenaikan 100 meter akan terjadi penurunan tempertur 0,6 °C. Di samping itu, pulau- pulau di Indonesia termasuk Sumatera menyajikan fenomena distribusi hujan yang sangat terkontrol oleh kehadiran pegunungan yang tinggi. Pegunungan barisan yang membujur hampir utara-selatan dengan ketingian mencapai lebih dari 2500 m di atas permukaan air laut merupakan faktor pengontrol penting pada zonasi iklim - khususnya yang merupakan kombinasi antara curah hujan rata-rata tahunan dan temperatur rata-rata bulan terdingin. Geologi merupakan faktor kedua yang sangat penting, karena geologi wilayah mencerminkan variasi material (batuan) induk yang sangat berpengaruh terhadap mamputidaknya bagian kulit bumi bagian atas menyimpan dan melepaskan air, melapuk menjadi tanah dengan karakteristik tertentu, serta tertoreh dan terlapukkan oleh gaya eksogen menjadi satuan-satuan kenampakan relief yang disebut dataran, perbukitan dan pegunungan. Kombinasi antara elevasi, curah hujan, temperatur, batuan induk dan kondisi relief yang tertentu akan membentuk jenis tanah tertentu dengan karakteristik yang tertentu pula, misalnya dara dukung terhadap tanaman atau penggunaan lahan. Dengan demikian, keempat faktor utama tadi : elevasi, batuan induk, relief, dan penutup pengunaan lahan, perlu ditonjolkan sebagai komponen-komponen ekosistem utama secara makro pada penelitian ini. Interpretasi citra satelit dilakukan berdasarkan data Landsat ETM+ yang telah dipertajam dengan kombinasi saluran 4-5-3 dan 4-5-7 (masing-masing urutan merepresentasikan paduan wama merah, hijau dan biru) dan SPOT XS dengan kombinasi saluran 2-3-1 (untuk kombinasi merah, hijau, dan biru). Kombinasi komposit wama 4-5-3 pada citra landsat TM mampu menonjolkan variasi kerapatan dan struktur vegetasi, sedangkan kombinasi 4-5-7 mampu menonjolkan variasi relief dan perbedaan jenis tanah batuan. Kombinasi 2-3-1 pada citra SPT XS, didukung oleh resolusi spasialnya yang tinggi, mampu menonjolkan vegetasi dalam wama hijau, tanah dalam wama kemerahan, dan variasi relief. Untuk zonasi relief, pemetaan ini banyak bertumpu pada peta rupabumi skala
229
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
1:250.000, sedangkan untuk pemetaan geologi, interpretasi citra satelit dibantu dengan peta geologi. a. Pemetaan Elevasi Pada lembar Sidikalang (0618), terlihat bahwa wilayah ini didominasi oleh ketinggian di atas 1000 meter di atas permukaan air laut. Wilayah dengan ketinggian di atas 1000 meter ini eliputi sisi barat jalur Pegunungan Barisan (dari Tarutung, hugga Deleng Bubun), jalur depresi tengah (termasuk Pulau Samosir), dan juga sisi timur jalur Pegunungan Barisan di sekitar Simalungun. Wilayah di sebelah barat, Danau Toba dan bagian tengah Pulau Samosir justru mencapai elevasi di atas 1500 meter. Kira-kira sepertiga dari wilayah pada Lembar Sidikalang ini mempunyai elevasi kurang dari 1000 meter, dan wilayah dengan ketinggian ini terutama terdapat di jalur barat Pegunungan barisan, melandai ke arah pantai barat Sumatera Utara. Kontras dengan lembar Sidikalang, lembar medan (0619) justru menonjolkan wilayah dengan elevasi kurang dari 300 meter. Wilayah berelevasi rendah ini meliputi kotakota Medan, Binjai, Belawan, hingga Tanjungpura. Wilayah berelevasi antara 300 hingga 500 dan dilanjutkan dengan 500 -1000 meter mendominasi wilayah di sebelah barat daya, yang merupakan kaki dari jalur timur Pegunungan Barisan. Lembar 620 (Langsa) dan 719 (hanya menyajikan potongan kecil lanjutan dari lembar Medan, yang hanya terdiri dari satu zona elevasi, yaitu <300 meter. Variasi elevasi serupa dengan lembar Medan (0619) juga dijumpai pada lembar Pematang Siantar (0718), di mana zona elevasi kurang dari 300 meter mendominasi wilayah bagian timur dan timur laut. b. Pemetaan Geologi (khususnya batuan induk) Pada lembar Sidikalang ini, batuan induk yang dominan adalah batuan volkanik (beku masif). Batuan volkanik terutama tersebar di bagian timur, tengah (danau Toba dan sekitamya), dan sisi barat danau Toba, membentang dari Siborong-borong di selatan hingga perbataasan dengan Propinsi Aceh di barat laut. Batuan volkanik juga merupakan fenomena dominan pada lembar medan (0619). Batuan beku utama yang dijumpai di sini adalah batuan piroklastik produk erupsi volkanik di masa lalu. Bahan volkanik lepas ini membentang dari Simalungun hingga Medan dan Bohorok. Bahan volkanik lepas ini masih merupakan satuan pemetaan dominan pada lembar Pematang Siantar (0718) dan Tebing Tinggi (1719). Hal ini menunjukkan bahwa wilayah penelitian memang didominasi oleh batuan piroklastik. Di samping piroklastik, batuan beku masif yang bersifat asam dan intermedier dapat dijumpai terutama di sekitar pusat-pusat erupsi volkanik ataupun wilayah-wilayah yang merupakan titik-titik terobosan (intrusi) magma. Batuan semacam ini banyak dijumpai di Surbakti, Deli Serdang, Sibolangit, Simpanglayang (Lembar Medan, 0619), dan juga secara setempat-setempat namun agak luas di sudut tenggara Danau Toba dan sebelah barat Rantau Prapat (lembar Pematang Siantar, 0718). Batuan sedimen non-gampingan, terutama batulempung, batupasir, dan konglomerat membentang dari sebelah selatan Tarutung hingga Deleng Lumut di utara (lembar sidikalang, 0619). Batuan ini juga dijumpai dalam bentangan yang agak luas di sebelah barat Tanjungpura, membentang keutara hingga Propinsi Aceh, serta di sebelah tenggara Danau Toba. Bila diperhatikan, melihat bahwa batuan sedimen non-gampingan ini tersebar membentuk jalur yang berada di tengah dan sedikit bagian barat dari deretan Pegunungan Barisan, segaris dengan danau Toba. Meskipun demikian, terlihat pula bahwa
230
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
pada deretan ini, sebelah menyebelah danau Toba arah tenggara-barat laut tetap didomulasi oleh batuan volkanik, khususnya batuan beku masif. Batuan sedimen gampigan terdapat dibagian perbukitan palung barat, yaitu di sebelah timur Barus. Batuan sedimen gampingan ini pada umumnya berupa batu gamping klastik, berselang-seling dengan batuan non-gampingan, misalnya batu lempung. Bentangan batuan sedimen gampingan di daerah penelitian tidaklah luas, hanya membentuk jalur-jalur perbukitan sempit membujur arah tenggara-barat laut, yang juga dapat djumpai di sekitar Lau Baleng, Kutasuluhpasar (Lembar Medan, 0619), dan juga di sekitar Bandar Durian di sebelah barat Labuhah Batu (lembar Pema tang Siantar, 0718). Batuan malihan (metamorf) tidak banyak dijumpai di daerah peneltian. Bentangan dalam ukuran yang cukup luas terdapat di sebelah utara Danau Toba membujur ke baratlaut hingga wilayah Propinsi Aceh (lembar Sidikalang, 0618), dan juga di kabupaten Langkat bagian barat yang berbatasan dengan Propinsi Aceh. Batuan metamorf yang banyak dijumpai ialah gneiss dan schist, sedangkan marmer secara setempat-setempat juga dijumpai di sepanjang perbatasan antara Kabupaten Karo dan Propinsi Aceh. Batuan aluvium atau bahan lepas berukuran butir kecil, tak terkonsolidasi, yang terangkut oleh proses fluvial ataupun gravitasi banyak dijumpai di sepanjang dataran pantai yang sempit membentang selebar sekitar 10 meter dari garis pantai di bagian barat (lembar Sidikalang, 0619), dan terutama di dataran aluvial di bagian timur, yang membentang dari sebelah utara Pangkalan Susu (Langkat) hingga ke tenggara sampai perbatasan dengan Propinsi Riau. Lebar dataran yang terisrs oleh bahan aluvium ini masuk ke arah daratan hingga sekitar 35 kilometer di sekitar Belawan -Tanjungpura dan Bagan Asahan, dan bahkan mencapai 120 kilometer di Labuhan Batu (Lembar Pematang Siantar, 0718). c. Pemetaan Relief Zonasi relief berkaitan erat dengan zonasi elevasi dan geologi batuan induk. Wilayah yang datar hingga landai terutama dijumpai di sepanjang pantai timur Sumatera Utara dengan elevasi kurang dari 300 meter, dan didominasi oleh bahan induk aluvium. Variasi terdapat di sekitar Medan -Binjai, di mana pada zona elevasi kurang dari 300 meter dan berelief datar-landai ini bahan induk penyusunnya ialah piroklastik. Relief datal yang sempit, dengan lebar rata-rata kurang dari 10 kilometer dari garis pantai ke arah dataran juga dijumpai pada pantai barat Sumatera Utara, di mana kota Baris dan Sibolga terletak. Relief berombak terutama terdapat di wilayah piedmont (lereng kaki terkikis) kompleks vokanik di bagian sisi timur jalur Perbukitan Barisan. Relief semacam ini dapat dijumpai di Deli Serdang (lembar Medan, 0619), Aek Kotabatu di sebelah barat daya Kisaran (lembar Pematang Siantar, 0718) dan kaki perbukitan di sebelah timur Barus (lembar Sidikalang, 0618). Relief bergelombang dapat dijumpai di sekitar Bandar Durian, Sipahutar, Balige dan Porsea di Tapanuli Utara (lembar pematang Siantar, 0718), Barusjahe, Tigabinanga (lembar Medan, 0619), dan juga bagian kecil dari Pulau Samosir, yaitu Rantubosi (lembar Sidikalang, 0618). Relief berbukit merupakan pemandangan dominan bersama dengan relief bergunung, khususnya untuk wilayah Sumatera Utara bagian tengah dan barat (lembar Sidikalang 0618; lembar Medan, 0619; lembar Pematang Siantar, 0718). Perbukitan dapat dijumpai secara luas di sebelah barat Rantauprapat ke arah barat laut hingga sekitar Asahan (lembar pematang Siantar, 0718), dilanjutkan ke arah Sidarraya dan Sibolangit 231
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
(lembar Medan, 0619). Hampir seluruh wilayah Pulau Samosir dapat dikategorikan ke dalam zona relief berbukit. Di samping itu, relief berbukit juga dapat dijumpai di sebelah timur pantai yang sempit bagian barat (lembar Sidikalang, 0618). Relief berbukit kebanyakan menempati elevasi di alas 300 meter dan beberapa bagian justru terdapat pada zona elevasi antara 1000 -1500 dan >1500 di alas permukaan laut, meskipun range (julat) elevasi antara titik terendah dan tertingginya masih berkisar antara 50 -300 meter. Relief berbukit terutama juga didominasi oleh batuan beku masif dan batuan sedimen. Relief bergunung terkonsentrasi di bagian tengah dari daerah penelitian, apabila dibuat irisan melintang dari barat daya ke arah timur laut. Relief semacam ini terutama dapat dijumpai di sekitar Danau Toba yang dulunya memang merupakan krater raksasa (lembar Pematang Siantar, 0718; lembar Medan, 0619), serta di sebalah barat Sidikalang, membentang dari Tarutung di tenggara hingga Propinsi Aceh di barat laut (lembar Sidikalang, 0618), serta dari ujung utara danau Toba ke arah barat laut hingga Propinsi Aceh (lembar Medan, 0619). Kedua zona relief begunung yang utama ini dipisahkan oleh jalur depresi memanjang bergelombang ke arah barat laut (Propinsi Aceh) sebagai daerah tangkapan air laut Renun, dan ke arah barat daya melalui Siborong-borong dan Tarutung. Sebagian besar wilayah dengan relief bergunung ini terisi oleh batuan induk beku masif, baik yang bersifat asam maupun yang intermedier, dan sisanya berupa batuan metamorf (khususnya di wilayah Kabupaten Langkat hingga perbatasan dengan Propinsi Aceh) maupun batuan sedimen gampingan/non-gampingan yang sangat peka erosi dan rawan longsor di bagian barat. d. Pemetaan Penutup/penggumaan lahan Pemetaan penutup/penggunaan lahan sepenuhnya dilakukan dengan citra satelit Landsat ETM+. Penutup lahan yang ada kemudian dikelompokkan menjadi 10 (sepuluh kategori), sebagai pengembangan atau modifikasi dari Tabel 6, yaitu : a. hutan kerapatan tinggi (tutupan kanopi pepohonan > 60%) b. hutan kerapatan sedang (tutupan kanopi pepohonan 40 -60%) c. hutan kerapatan rendah (tutupan kanopi pepohonan <40%) d. semak belukar e. padang rumput f. mosaik ladang dan permukiman g. mosaik sawah dan permukiman h. perkebunan i. permukiman kota j. mosaik permukiman dan kebun campuran Pemberian kategori hutan dengan berbagai tingkat kerapatan dimaksudkan untuk menonjolkan informasi tentang masih berfungsi-tidaknya tutupan vegetasi dalam menahan laju erosi maupun longsor; serta menunjukkan adanya tingkat gangguan oleh manusia berupa penebangan. Deskripsi 'mosaik' untuk menyatukan klas-klas permukiman dan penggunaan lain (sawah, ladang, ataupun kebun campuran) diterapkan mengingat abahwa pada skala 1:250.000 hampir tidak mungkin mendefinisikan secara individual bentuk penutupan/penggunaan lahan yang sangat kompleks, yang merupakan selang-seling antara lahan pertanian dan permukiman yang terpencar-pencar. Hutan kerapatan tinggi terutama dijumpai wilayah bergunung dibagian tengah daerah penelitian, membentang dari sebelah barat Pematang Siantar ke arah barat laut, ter'potong' oleh hamparan mosaik permukiman dan ladang hingga danau Toba (lembar Pematang Siantar, 0718). Hutan kerapatan tinggi ini juga dapat dijumpai membujur ke 232
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
arah barat laut, membentuk jalur-jalur yang sejajar terutama pada punggung-punggung perbukitan dan pegunungan yang curam hingga Propinsi Aceh (lembar Sidikalang, 0618; lembar Medan, 0619). Kontinuitas hutan kerapatan tinggi ini beberapa kali 'terpotong' oleh penutup lahan yang lain, atau hutan dengan tingkat kerapatan yang rendah. Hutan dengan kerapatan sedang lebih banyak dijumpai di bagian barat (yaitu di wilayah berbukit hingga bergunung dengan batuan sedimen gampingan dan bukan-gampingan (lembar Sidikalang, 0618). Hutan kerapatan sedang berupa formasi mangrove dijumpai terutama di bagian pantai timur (lembar Medan, 0619; dan lembar Langsa, 0620). Hutan dengan kerapatan rendah justru lebih banyak tedapat di sekitar Danau Toba, dan juga di wilayah yang menjadi daerah tangkapan air Lau Renun (lembar Sidikalang, 0618). Perkebunan dengan tanaman sawit merupakan fenomena dominan di wilayah bagian timur daerah penelitian, mulai datraan pantai hingga wilayah berbukit hingga elevasi di atas 500 meter. Tanaman perkebunan lain ialah kopi, yang banyak dijumpai pada elevasi tinggi, terutama antara 500 -1500 meter di atas permukaan air laut, di wilayah sebelah barat Danau Toba. Varietas kopi yang banyak ditanam ialah kopi sidikalang. Penutup lahan berupa semak-belukar terdapat pada berbagai kondisi medan, namun biasanya berasosiasi dengan wilayah perbatasan antara wilayah dengan relief berbukit dan bergunung dengan penutup utama hutan dan wilayah yang lebih landai dengan penutup utama permukiman dan ladang/sawah. Padang rumput yang tersusun atas rerumputan dan herba lainnya (terutama paku-pakuan) merupakan kenampakan yang lazim dijumpai pada lereng-lereng yang curam di sekitar Danau Toba. Mosaik ladang dan permukiman menempati bentangan yang sangta luas, terutama di wilayah yang berombak hingga bergunung. Pada elevasi rendah, tanaman pada ladang yang utama ialah palawija (termasuk jagung), sedangkan pada elevasi tinggi tanaman yang dominan ialah sayuran iklim sejuk. Mosaik sawah dan permukiman terutama terdapat pada elevasi rendah, yaitu di dataran aluvial dan piedmont yang cukup air. Meskipun demikian, secara setempat-setempat juga dapat dijumpai mosaik sawah dan permukiman di elevasi tinggi, dengan tanaman padi varietas lokal yang seusai dengan iklim setempat (temperatur agak rendah) dan dengan selingan sayur. Permukiman dengan kebun campur tidak terlalu banyak dijumpai, dibandingkan di wilayah perdesaan di Pulau Jawa, misalnya. Pekarangan tidak begitu banyak dimanfaatkan atau didayagunakan. Permukiman kota berikut segala kelengkapan fasilitas kotanya secara luas hanya dijumpai pad a kondisi medan yang relatif datar hingga landai. Kota-kota Medan, Binjai, Pematang Siantar berkembang di wilayah semacam ini. 4.2.2. Pemetaan Satuan-satuan Bentanglahan Provinsi Sumatera Utara Pemetaan satuan-satuan bentanglahan di daerah penelitian bertumpu pada petapeta tematik komponen ekosistem yang telah diuraikan sebelumnya. Untuk menghasilkan peta satuan ekosistem ini, dilakukan tumpangsusun peta-peta tematik, yaitu: a. peta elevasi b. peta geologi (khususnya batuan induk) c. peta relief d. peta penutup/penggunaan lahan 233
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
Isi atau atribut ekosistem pada setiap satuan bentanglahan yang dihasilkan di deskripsikan dengan menggabungkan setiap komponen utama yang ada, serta mendeduksi secara logis beberapa komponen turunan yang lain dengan bantuan peta tematik pendukung, yaitu: a. curah hujan rata-rata tahunan dan suhu rata-rata bulan terdingin b. kemiringan lereng c. jenis tanah secara garis besar d. jenis tanaman/penggunaan lahan yang lebih rinci/informasi pendukunglainnya
Gambar 1. Contoh peta-peta komponen bentang lahan untuk wilayah Sumatera Utara: (a) peta elevasi (b) peta litologi, (c) peta penutup lahan dengan tekanan pada vegetasi, dan (d) peta relief
Dari hasil analisis antar komponen ekosistem melalui bantuan sistem informasi geografis itu dihasilkan 175 satuan bentanglahan seperti yang tersaji pada Tabel 7, yang merupakan perpaduan unik dari iklim (elevasi, curah hujan, suhu rata-rata bulan terdingin), geomorfologi (batuan induk, relief, dan kemiringan lereng), tanah, serta penutup dan penggunaan lahan. Peta dan tabel samail-samail ekosistem tersebut juga mengu1dikasikan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pendayagunaan sumberdaya/pengelolaan wilayah, yaitu : (a) ekosistem budidaya, termasuk di dalamnya permukiman kota/desa dan lahan pertanian, (b) ekosistem alami/semi alami yang tidak banyak terganggu, dan (c) ekosistem alami/semi alami yang terganggu.
234
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL Peta Ekologi Bentanglahan Sumatera Utara
Gambar 2a. Contoh hasil pemetaan ekologi bentanglahan wilayah Provinsi Sumatera Utara untuk lembar yang berdampingan (bagian barat daya). 235
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL Peta Ekologi Bentanglahan Sumatera Utara
Gambar 2b. Contoh hasil pemetaan ekologi bentanglahan wilayah Provinsi Sumatera Utara untuk lembar yang berdampingan (bagian tenggara). 236
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
237
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
Tabel 7 (lanjutan)
238
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
Ekosistem budaya meliputi satuan-satuan yang merupakan permukiman kota, mosaik permukiman dan ladang, mosaik permukiman dan sawah, serta perkebunan. Ekosistem alami/semi alami yang tidak banyak terganggu biasanya berupa hutan kerapatan tinggi dengan banyak spesies asli, dan banyak dijumpai pada wilayah bergunung dengan kemiringan besar. Jalur-jalur akses melalui wilayah ini relatif terbatas. Ekosistem alami/semi alami yang mengalami banyak gangguan biasanya berupa hutan kerapatan sedang (40-60% kerapatan pepohonan) atau rendah (kurang dari 40% kerapatan pepohonan), dengan adanya sisa-sisa kegiatan penebangan. Pada tingkat yang lebih parah, ekosistem alami/semi- alami yang telah banyak terganggu juga terlihat dalam bentuk penutup lahan semak belukar dan sisa penebangan berupa satu-dua pohon dengan kerapatan kanopi yang sangat rendah. Ekosistem alami/semi alami yang telah terganggu cukup parah dapat dijumpai di wilayah berbukit hingga bergunung, terutama berbatuan sedimen gampingan/non-gampingan, di bagian barat daerah penelitian. Wilayah ini dilalui oleh jalur lalu-lintas dari Sidikalang-Sibolga melalui Barus. Di wilayah ini juga terdapat banyak penebangan liar yang memacu terjadinya longsor secara besar-besaran. Kombinasi antara curah hujan yang tinggi (sebagian lebih dari 3000 mm per tahun), kemiringan lereng yang curam (>25%), tanah yang tingkat erodibilitasnya tinggi, serta kualitas tutupan lahan yang buruk akibat penebangan menyebabkan ekosistem terancam rusak. Ekosistem semi alami yang berupa hutan tanaman sejenis, apabila tidak diperhatikan juga dapat memicu terjadinya kerusakan lingkungan. Tanaman hutan ekaliptus merupakan jenis yang mudah sekali terbakar, kualitas tutupan understorynya relatif kurang bagus, sehingga memerlukan perhatian dalam pengelolaan, dan seyogyanya juga tidak ditanam sebagai tanaman utama konservasi pada wilayah yang memerlukan konservasi. Secara lengkap satuan- satuan bentanglahan ini tersaji pada Tabel 7, yang memuat kolom-kolom nomer satuan bentanglahan, elevasi, zona curah hujan dan suhu ratarata bulan terdingin, zona batuan induk, zona relief, kemiringan lereng, jenis tanah, penutup lahan dan informasi pelengkapnya 4.3. Beberapa Catatan atas Pemanfaatan Citra Landsat ETM+ untuk Pemetaan Bentanglahan di Sumatera Utara Pemetaan berbasis citra satelit Landsat ETM+ ini mengalami kendala utama dalam hal liputan awan, yang kebetulan cukup besar persentasenya. Liputan awan ini mengelompok di wilayah sekitar Pulau Samosir, serta di bagian selatan dari daerah penelitian. Untuk wilayah Pulau Samosir, masalah ini telah dikompensasi dengan ketersediaan citra SPOT-3 yang relatif bersih dan mempunyai resolusi spasial lebih baik, yaitu 20 m. Untuk wilayah di bagian selatan, liputan awan yang tidak mengelompok melainkan sedikit menyebar justru telah menimbulkan efek awan dan sekaligus bayangan yang sangat mengganggu proses interpretasi. Untuk mengatasi masalah ini, survei lapangan yang lebih mendalam dan penggunaan peta yang telah tersedia secara maksimal untuk memperoleh informasi fenomena yang tertutup awan juga telah dilakukan. Lepas dari kekurangan dalam hal faktor liputan awan, citra Landsat ETM+ mempunyai keunggulan dalam hal penyajian fenomena yang diperlukan untuk pemetaan komponen-komponen bentanglahan di daerah penelitian. Penggunaan kombinasi saluran 4-5-7 mampu menonjolkan variasi jenis batuan dan reliefnya. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa saluran inframerah tengah II peka terhadap variasi jenis mineral batuan (Jensen, 2000; Lillesand et al., 2004). Kombinasi saluran 4-5-2 atau 4-5-3 mampu menonjolkan variasi pantulan tanah (lahan terbuka), bangunan perkotaan, dan vegetasi, sesuai dengan rencangan sistem sensornya. Kombinasi saluran 4-5-3 lebih sensitif pada 239
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
variasi kerapatan dan jenis vegetasi dibandingkan kombinasi 4-5-2, dan hal ini sesuai dengan penelitian Danoedoro (2001), Stibig (1997), dan Hartono dan Danoedoro (2004, pada buku ini). Proses interpretasi awal dilakukan dengan mengkombinasikan delineasi berbasis peta (topografi/rupabumi dan geologi) dengan delineasi berbasis citra. Dengan cara ini, hasil interpretasi berdasarkan peta menggunakan transparansi telah dipindahkan ke atas citra, yang diikuti dengan proses penghalusan (refinement) batas antar-satuan pemetaan serta pendefinisian kembali isi atributnya. Proses refinement dilanjutkan pada saat pembuatan peta digital dengan teknik on-screen digitisation. Pendefinisian satuan-satuan pemetaan baru untuk litologi dan relief yang tidak dapat dilakukan berdasarkan peta topografi/rupabumi pada skala yang sama dengan citra cukup sering dilakukan. Misalnya untuk relief yang berombak atau bergelombang pada bentanglahan yang sangat homogen (liputan vegetasinya berkerapatan relatif sama, atau justru berupa lahan terbuka sama sekali). Untuk pemetaan litologi, proses pendefinisian kembali satuan-satuan material induk lebih sering dilakukan, karena satuan-satuan yang ada pada peta geologi skala 1:250.000 sangat umum dan batasnya tidak sesuai dengan kenampakan yang ada pada citra Landsat ETM+ pada resolusi spasial 30 m. Penelitian ini merupakan penelitian terapan yang tidak memberikan evaluasi atau penilaian berupa uji akurasi citra secara kuantitatif. Meskipun demikian, secara kualitatif tetap dapat dinyatakan bahwa akurasi interpretasi dan pemetaan untuk bagian utara daerah penelitian dan secara khusus di Pulau Samosir lebih tinggi dibandingkan akurasi untuk bagian selatan daerah penelitian yang lebih banyak tertutup awan. Proses kerja lapangan yang lebih intensif untuk bagian selatan ini diharapkan mampu mengkompensasi kekurangan tersebut. 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tahun pertama ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : a. Sumatera Utara bagian utara mempunyai kondisi lingkungan yang cukup bervariasi, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim (terutama elevasi, curah hujan dan temperatur), geologi, geomorfologi-dan tanah, serta penutup/penggunaan lahan; b. Kehadiran suatu bentuk penutup/penggunaan lahan sangat dipengaruhil oleh dikontrol oleh faktor-faktor atau komponen-komponen ekosistem yang lain, dan di antara komponen-komponen tersebut, elevasi, batuan induk, dan relief merupakan faktor penentu yang mudah dikenal dan dipetakan sebagai batasbatas satuan ekosistem. Komponen-komponen lingkungan yang lain dapat dideduksi atau di analisis dengan menggunakan perpaduan keempat komponen yang pertama sebagai satuan pemetaan; c. Terdapat 175 satuan-satuan bentanglahan yang karakteristiknya bervariasi dan membutuhkan pengelolaan yang berbeda pula, dengan memperhatikan variasi komponen-komponen pembentuknya;
240
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
d. Citra Landsat ETM+ pada resolusi 30 meter dapat dimanfaatkan sebagai basis ekstraksi informasi komponen-komponen bentanglahan untuk skala 1:250.000 dengan baik, sejauh tutupan awannya tidak signifikan. Citra SPOT-3 multispektral untuk wilayah yang tertutup awan pada citra Landsat ETM+ dapat mengkompensasi kekosongan informasi tersebut. Lepas dari faktor tutupan awan, ketersediaan enam macam saluran spektral pada wilayah pantulan berkisar dari spektrum biru hingga inframerah dekat II mampu menonjolkan variasi berbagai kenampakan yang diperlukan sebagai indikator komponenkomponen bentanglahan di wilayah Sumatera Utara. 5.2. Rekomendasi Rencana pengelolaan lingkungan secara utuh pada tingkat regional di Provinsi Sumatera Utara dapat dimulai dari pemetaan satuan-satuan bentanglahan yang menyajikan gambaran holistik wilayah tersebut. Untuk perencanaan pada tingkat yang lebih rinci, diperlukan pemetaan seluruh komponen bentanglahan pada tingkat yang lebih rinci, dengan menggunakan citra berresolusi spasial lebih tinggi dan survei lapangan yang lebih mendalam. Citra SPOT-5 dengan resolusi spasial 10 meter dan dengan empat saluran spektral mulai spektrum hijau hingga inframerah tengah I (SWIR-I) dapat direkomendasikan, di samping citra sistem baru lain seperti ASTER dengan resolusi spasial 15 meter dan jumlah saluran yang lebih banyak. Penggunaan citra radar juga diperlukan untuk wilayah selatan dan barat yang lebih sering tertutup awan.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sigit Heru Murti, S.Si., M.Si. yang telah terlibat dalam kerja lapangan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Joko Purnomo, S.Si., Nur Wikan Kuswardani, S.Si., Bir’ah Hidayati, S.Si., serta Ichwan, S.Si. yang telah membantu proses penyiapan, interpretasi, dan digitisasi peta-peta, serta kepada Wirastuti Widyatmanti, S.Si. yang telah membantu dalam penulisan kembali naskah ini.
DAFTAR PUSTAKA Cousins, S. (1993). Hierarchy in Ecology: Its Relevance to Landscape Ecology and Geographic Information Systems. In: Haines-Young, R., Green, D.R., and Cousins, S. (eds). Landscape Ecology and GIS. New York: Taylor and Francis Cramer, W., Shugart, H.H., Noble., I.R., Woodward, F.I., Bugmann, H., Bondeau, A., Foley, J.A., Gadner, R.H., Lauenroth, W.K., Pitelka, L.F., Sutherst, R.W. (1999). Ecosystem Composition and Structure . In: Walker, B., Steffen, W., Canadell, J., and Ingram, J. (eds) The Terrestrial Biosphere and Global Change-Implication for Natural and Managed Ecosystems. Synthesis Volume. Cambridge: Cambridge University Press Cramer, W., Leemans, R., Schulze, E.-D, Bondeau, A., Scholes, R.J. (1999) data Needs and limitations for broadscale ecosystem modelling. In: Walker, B., Steffen, W., Canadell, J., and Ingram, J. (eds) The Terrestrial Biosphere and Global Change-Implication for Natural and Managed Ecosystems. Synthesis Volume. Cambridge: cambridge University Press
241
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
Danoedoro, P. (2001). Integration of Remote Sensing and Geographical Information Systems in Land use Mapping: An Indonesian Example. In I. S. Zonneveld & D. van der Zee (Eds.), Landscape Ecology Applied in Land Evaluation, Development and Conservation: Some Worldwide Examples. ITC Publication No 81/IALE Publication No. MM-1. Enschede: International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC)/IALE. Forman, R.T., and Gordon, M. (1986). Landscape Ecology. New York: John Wiley and Sons Green, D.R., Cummins, R., Wright, R., and Miles, J. (1993). A Methodology for Acquiring Information on Vegetation Succession from Remotely Sensed Imagery. In:HainesYoung, R., Green, D.R., and Cousins, S.H. (eds). Landscape Ecology and GIS. London: Taylor and Francis Gulinck, H., Walpot, O., and Janssens, P. (1993). Landscape Structural Analysis of Central Belgium using SPOT Data. In: Haines-Young, R., Green, D.R., and Cousins, S.H. (eds). Landscape Ecology and GIS. London: Taylor and Francis Haines-Young, R., Green, D.R., and Cousins, S. (1993). Landscape Ecology and Spatial Information Systems. In: Haines-Young, R., Green, D.R., and Cousins, S. (eds). Landscape Ecology and GIS. London: Taylor and Francis Harrison, A.R., and Dunn, R. (1993). Problems of Sampling the Landscape. Cousins, S. (1993). Hierarchy in Ecology: Its Relevance to Landscape Ecology and Geographic Information Systems. In: Haines-Young, R., Green, D.R., and Cousins, S. (eds). Landscape Ecology and GIS. London: Taylor and Francis Hartono dan Danoedoro, P. (2004). Land-use and Land –cover Change based on Image Interpretation. Danoedoro (ed). Sains Informasi Geografis: dari Perolehan dan Analisis Citra hingga Pemetaan dan Pemodelan Spasial. Yogyakarta: Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM Jensen, J. R. (2000). Remote Sensing of the Environment: An Earth Resource Perspective. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall. Kannegieter, A. (1988). Mapping Land Use. In A. W. Kuchler & I. S. Zonneveld (Eds.), Vegetation Mapping (Vol. 10). Dordrecht: Kluwer Academic Publisher. Kuchler and Zonneveld, I.S. (1988). Publisher
Vegetation Mapping. Dordrecht: Kluwer cademic
Lavers, C.J., and Haines-Young, R.H. (1993). Equilibirum Landscapes and Their Aftermath: Spatial Heterogeneity and the Role of the New Technology. In Haines-Young, R., Green, D.R., and Cousins, S. (eds). Landscape Ecology and GIS. London: Taylor and Francis Lein, J.K. (2003). Integrated Environmental Planning. Carlton, Victoria: Blackwell Publishing Lillesand, T. M., Kiefer, R. W., and Chipman, J. (2004). Remote Sensing and Image Interpretation (5 ed.). New York: John Wiley and Sons.
242
SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DARI PENGOLAHAN DAN ANALISIS CITRA HINGGA PEMETAAN DAN PEMODELAN SPASIAL
Mueller-Dombois, D., and Ellenberg, F. (1974). Aims and Methods in Vegetation Ecology. New York: John Wiley and Sons Skidmore, A.K. (2002). Environmental Modelling using Remote Sensing and GIS. London: Taylor and Francis Skidmore, A. K. (1997). The World Apart. ITC Journal(1), 17-20. Stibig, H-J. (1999). Remarks for interpretation of High Resolution Satellite Images for the TREES Sample Sites. Unpublished TREES Project Manual, Ispra, Italy van Gils, H., Zonneveld, I. S., van Wijngaarden, W., Kannegieter, A., & Huizing, H. (1990). Land Ecology and Land Use Survey, ITC Lecture Note. Unpublished manuscript, Enschede. Vink, A.P.A. (1983), in Davidson, D.A. (Ed). Landscape Ecology and Land Use. Longman
London:
Wood, T.F., and Foody, G.M. (1989). Remote Sensing of Structurally Complex Semi-natural Vegetation – An Example from Heathland. International Journal of Remote Sensing, 8, 31-42. Zonneveld, I. S. (2001). Introduction. In I. S. Zonneveld & D. van der Zee (Eds.), Landscape Ecology Applied in Land Evaluation, Development and Conservation: Some Worldwide Examples. ITC Publication No 81/IALE Publication No. MM-1. Enschede: International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC)/IALE.
243