BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lansia Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (1998) ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial. Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat Dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara barat, penduduk lansia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputusan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun.
Universitas Sumatera Utara
Depkes RI (2004) membuat pengelompokan lansia menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu kelompok pertengahan umur adalah kelompok usia dalam masa virilitas, yaitu masa persiapan
lansia, yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa
(45–54 tahun), kelompok lansia dini ialah kelompok dalam masa prasenium, yaitu kelompok yang mulai memasuki lansia (55–64 tahun) dan kelompok lansia dengan resiko tinggi, ialah kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun, atau kelompok lansia yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit berat, atau cacat. 2.1.1. Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia Nugroho (2008) menyatakan adapun perubahan yang terjadi pada lanisa tersebut terbagi atas perubahan fisik yang meliputi perubahan pada sel, sistem persarafan, sistem pendengaran, sistem penglihatan dan sistem muskuloskletal. Perubahan yang terjadi pada sel adalah lebih sedikit jumlahnya, lebih besar ukurannya, berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot, darah, dan hati, jumlah sel otak menurun, terganggunya mekanisme perbaikan sel, otak menjadi atrofi, beratnya berkurang
5-
10%. Pada sistem persarafan terjadi berat otak menurun 10-20% (setiap orang berkurang sel otaknya dalam setiap harinya), lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya dengan stres, mengecilnya saraf panca indra, yaitu berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya saraf pencium dan perasa, lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin dan kurang sensitif terhadap sentuhan
Universitas Sumatera Utara
Pada sistem pendengaran terjadi gangguan pada pendengaran
yaitu
hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi dan nada yang rendah, suara yang tidak jelas, sulit dimengerti kata-kata yang diucapkan, membran timpani menjadi mengecil menyebabkan terjadinya kerapuhan pada membran tersebut, terjadi pengumpulan serumen dan mengeras karena meningkatnya keratin dan pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa/ stres. Sedangkan pada sistem penglihatan terjadi pada pupil yaitu timbul kekakuan dan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih berbentuk bulat (bola), lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa) hingga menjadi katarak, menyebabkan gangguan penglihatan, meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, dan susah melihat dalam cahaya gelap, hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapangan pandang; berkurang luas pandangannya dan berkurangnya daya membedakan warna biru atau hijau pada skala ukur. Pada sistem muskuloskeletal terjadi tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh, kifosis, discus intervertebralis menipis dan menjadi pendek, persendian membesar dan menjadi pendek dan tendon mengerut serta mengalami skelerosis. Sementara perubahan mental yang terjadi pada lansia lebih disebabkan oleh adanya perubahan fisik, organ perasa, kesehatan secara umum, tingkat pendidikan, keturunan, lingkungan, memori jangka panjang dan jangka pendek, intelegency dan kemampuan komunikasi verbal dan berkurangnya keterampilan psikomotor serta perubahan psikososial pada lansia (Nugroho 2008).
Universitas Sumatera Utara
Perubahan status gizi pada lansia lebih disebabkan pada perubahan lingkungan maupun faali tubuh dan status kesehatan lansia. Perubahan tersebut semakin nyata pada kurun usia 70-an. Faktor lingkungan meliputi perubahan kondisi ekonomi akibat pensiun, isolasi sosial karena hidup sendiri setelah pasangan meninggal dunia dan rendahnya pemahaman gizi akan memperburuk keadaan gizi lansia. Faktor kesehatan yang mempengaruhi status gizi adalah timbulnya penyakit degeneratif dan non generatif yang berakibat pada perubahan dalam asupan makanan dan perubahan penyerapan zat gizi (Darmojo, 2004). 2.1.2. Permasalahan Gizi pada Lansia Selain permasalahan tersebut diatas akibat dari terjadinya perubahan– perubahan pada seluruh sistem, lansia juga mengalami masalah gizi. Perubahan fisik dan penurunan fungsi organ tubuh akan mempengaruhi konsumsi dan penyerapan zat makanan oleh tubuh. Hal ini akan akan berakibat pada terjadinya masalah gizi lebih atau terjadi gizi kurang. Gizi lebih pada lansia lebih banyak terdapat di perkotaan daripada pedesaan. Kebiasaan mengkonsumsi makan yang berlebih pada waktu muda menyebabkan berat badan berlebih dan juga karena kurangnya aktivitas fisik. Kebiasaan mengkonsumsi makan berlebih tersebut sulit untuk diubah walaupun lanjut usia menyadari dan berusaha untuk mengurangi makan. Kegemukkan merupakan salah satu pencetus berbagai penyakit, misalnya penyakit jantung, diabetes mellitus, penyempitan pembuluh darah dan tekanan darah tinggi (Nugroho 2008). Menurut Darmojo &
Universitas Sumatera Utara
Martono (2004), kelebihan gizi pada lansia biasanya berhubungan dengan gaya hidup pada usia sekitar 50 tahun. Kondisi ekonomi yang membaik dan tersedianya berbagai makanan siap saji yang enak dan kaya energi menjadikan asupan makanan dan zat-zat gizi melebihi kebutuhan tubuh. Adapun gizi kurang yang terjadi pada lansia sering disebabkan oleh masalah sosial-ekonomi dan gangguan penyakit. Apabila konsumsi kalori terlalu rendah dari yang dibutuhkan, akan menyebabkan berat badan kurang dari normal. Hal ini akan diperparah apabila disertai dengan kekurangan protein, akibatnya adalah kerusakkan sel yang tidak dapat diperbaiki. Akhirnya daya tahan tubuh akan menurun dan akan mudah terkena penyakit infeksi pada organ tubuh vital. Maryam (2008) menyatakan faktor–faktor yang menyebabkan terjadinya gizi kurang pada lansia adalah keterbatasan ekonomi keluarga, menderita penyakit kronis, pengaruh psikologis, hilangnya gigi, kesalahan dalam pola makan, kurangnya pengetahuan tentang gizi dan cara pengolahan bahan makanan. Menurut Darmojo & Martono (2004), terjadinya kurang gizi pada lansia oleh karena sebab-sebab yang bersifat primer dan skunder. Sebab primer meliputi ketidaktahuan, ketidakmampuan, isolasi sosial, hidup sendiri, kehilangan pasangan, gangguan fisik, gangguan penginderaan, gangguan mental dan kemiskinan, sehingga asupan makanan seharihari kurang. Sebab sekunder meliputi mal absorbsi, penggunaan obat-obatan, peningkatan kebutuhan gizi, pola makan yang salah serta alkoholisme. 2.1.3. Kebutuhan Gizi Lansia
Universitas Sumatera Utara
Kebutuhan kalori pada lansia diperoleh dari lemak 9,4 kal, karbohidrat 4 kal, dan protein 4 kal per gramnya. Bagi lansia komposisi energi sebaiknya 20-25% berasal dari protein, 20% dari lemak, dan sisanya dari karbohidrat. Kebutuhan kalori untuk lansia laki-laki sebanyak 1960 kal, sedangkan untuk lansia wanita 1700 kal. Bila jumlah kalori yang dikonsumsi berlebihan, maka sebagian energi akan disimpan berupa lemak, sehingga akan timbul obesitas (Maryam, 2008). Indra (2011) menyatakan angka kecukupan energi dan zat gizi yang dianjurkan untuk manula dalam sehari didapat dengan menciptakan pola makan yang baik, menciptakan suasana yang menyenangkan. Memperkuat daya tahan tubuh dengan makanan yang mengandung zat gizi yang penting untuk kekebalan tubuh dari penyakit, seperti : biji-bijian, sayuran berdaun hijau, makanan laut. Mencegah tulang agar tidak menjadi keropos dan mengerut yaitu dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin D. Pada usia diatas 60 tahun kemampuan penyerapan kalsium menurun, mengkonsumsi vitamin D membantu penyerapan kalsium dalam tubuh, contoh makanan sumber vitamin D adalah susu. Selanjutnya adalah memastikan agar saluran pencernaan tetap sehat, aktif dan teratur. Karena itu harus makan sedikitnya 20 gram makanan yang mengandung serat, seperti biji-bijian, jeruk dan sayuran yang berdaun hijau tua. Menyelamatkan penglihatan dan mencegah terjadinya katarak. Santaplah makanan yang mengandung vitamin C, E dan B karoten (antioksidan), seperti : sayuran berwarna kuning dan hijau, jeruk sitrun dan buah lain.
Universitas Sumatera Utara
Mengurangi resiko penyakit jantung yaitu dengan membatasi makanan berlemak yang banyak mengandung kolesterol dan natrium dan harus banyak makan makanan yang kaya vitamin B6, B12, asam folat, serat yang larut, kalsium dan aklium, seperti biji-bijian utuh, susu tanpa lemak, kacang kering daging tidak berlemak, buah, termasuk nanas dan sayuran. Agar ingatan tetap baik dan sistem syaraf tetap bagus, harus banyak makan vitamin B6, B 12 dan asam folat 2.2. Pola Makan Lansia Pola makan berarti suatu cara atau usaha untuk melakukan kegiatan makan yang sehat. Kegiatan makan yang sehat meliputi pengaturan jumlah kecukupan makanan,
jenis
makanan
dan
jadwal
makan,
didalam
fungsinya
untuk
mempertahankan kesehatan. 2.2.1. Jumlah Asupan Makanan Pola makan pada lansia dalam pengaturan jumlah makanan sebagai sumber energi hendaknya harus mengandung semua unsur gizi, seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, air dan serat dalam jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan lansia serta harus seimbang dalam komposisinya (Maryam, 2008). Jumlah kebutuhan energi per hari disesuaikan dengan berat badan dan tingkat aktivitas fisik yang dilakukan. Dalam keadaan sakit kebutuhan energi semakin meningkat sesuai dengan keadaan sakit. Kebutuhan energi tersusun atas karbohidrat 60-70% yang terbagi atas karbohidrat sederhana 10-15% berupa gula serta karbohidrat kompleks berupa nasi, kacang, buah dan sayur. Protein 15-20% dari total
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan energi tersusun atas protein lengkap berupa protein hewani sebaiknya dari daging tanpa lemak, ikan dan putih telur atau kombinasi antara nasi dan kacangkacangan (Maryam, 2008). Jumlah lemak dalam makanan adalah 15-20% dari total energi, kurang dari 10% berasal dari lemak hewani. Jumlah asupan kolesterol <300mg/hari, harus dihindari makanan dengan kolesterol tinggi yang bersumber dari kuning telur, jeroan, otak, kulit, udang, keju, sop buntut dan sop kaki. Dianjurkan untuk makan makanan yang mengandung serat yang larut dalam air seperti apel, jeruk, pir, kacang merah dan kedelai. Karena selain sebagai sumber serat, buah dan sayur juga sebagai sumber vitamin dan mineral serta air. Kebutuhan lansia akan air adalah 2-3 liter/ hari (10-15 gelas) (Maryam, 2008). Pemberian makanan pada lansia menurut Nugroho (2008) adalah makanan yang hendak disajikan harus memenuhi kebutuhan gizi, makanan yang disajikan diberikan pada waktu yang teratur dan dalam porsi yang kecil saja, berikan makanan secara bertahap dan bervariasi, sesuaikan makanan dengan diet yang dianjurkan oleh dokter dan berikan makanan yang lunak untuk menghindari konstipasi serta memudahkan mengunyah, seperti nasi tim atau bubur.
2.2.2. Jenis Menu Makanan Menu adalah susunan hidangan yang dipersiapkan atau disajikan pada waktu makan. Menu seimbang bagi lansia adalah susunan makanan yang mengandung
Universitas Sumatera Utara
cukup semua unsur zat gizi dibutuhkan lansia. Pedoman untuk makanan bagi lansia adalah makan makanan yang beraneka ragam dan mengandung zat gizi yang cukup, makanan mudah dicerna dan dikunyah, sumber protein yang berkualitas seperti susu, telur, daging dan ikan. Sebaiknya mengkonsumsi sumber karbohidrat kompleks, makanan sumber lemak harus berasal dari lemak nabati, mengkonsumsi makanan sumber zat besi seperti bayam, kacang-kacangan dan sayuran hijau (Maryam, 2008). Dalam menu seimbang bagi lansia juga harus membatasi makanan yang diawetkan dan anjurkan pada lansia untuk minum air putih 6-8 gelas sehari karena kebutuhan cairan meningkat dan untuk memperlancar proses metabolisme serta makanan sehari disajikan dalam keadaan masih panas (hangat), segar dan porsi kecil (Maryam, 2008). 2.2.3. Jadwal Makan Maryam (2008) menyatakan menu yang disusun untuk lansia dalam pemberiannya sebaiknya terbagi atas 7-8 kali pemberian, yang terdiri dari 3 kali makanan utama (pagi, siang dan malam) serta 4-5 kali makanan selingan. Sebagai contoh pukul 05.00 minum susu atau jus, pukul 07.00 makanan utama, pukul 09.30 makan minum selingan, pukul 12.00 makanan utama, pukul 15.00 makan minum selingan, pukul 18.30 makanan utama dan sebelum tidur makan minum selingan. 2.2.4. Faktor –Faktor yang Memengaruhi Pola Makan secara Umum Pola makan pada individu dipengaruhi oleh faktor - faktor antara lain budaya, agama/ kepercayaan, psikososial, status ekonomi, kesukaan terhadap makanan, rasa
Universitas Sumatera Utara
lapar/ nafsu makan dan rasa kenyang serta kesehatan individu. Faktor budaya merupakan kemampuan individu dalam
menentukan jenis makanan yang sering
dikonsumsi dan letak geografis juga mempengaruhi makanan yang dikonsumsi. Faktor budaya merupakan faktor yang diturunkan dari para pendahulu atau bersifat turun temurun, yang akhirnya akan menjadi kebiasaan pada individu. Faktor agama/ kepercayaan pada diri individu juga mempengaruhi makanan yang dikonsumsi sehari–hari. Dalam agama/ kepercayaan terdapat yang disebut pantangan atau larangan. Makanan mana yang boleh dikonsumsi dan mana makanan yang tidak boleh dikonsumsi. Walaupun terkadang makanan tersebut merupakan sumber gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, akan tetapi karena agama/ kepercayaan melarangnya, sehingga jenis makanan tersebut tidak dapat dikonsumsi. Adapun status ekonomi sangat mempengaruhi terhadap jenis dan kualitas makanan yang akan dikonsumsi oleh individu. Pemilihan dan pembelian bahan makanan akan menjadi mudah apabila pendapatan atau ketersedianan keuangan mencukupi. Psikososial yang sering dijumpai pada lansia menambah berat beban keluarga dan masyarakat. Dari segi sosial, lansia mengalami penurunan interaksi antara diri lansia dengan lingkungan. Hal tersebut bisa terjadi karena lansia mulai menarik diri dari kehidupan sosial, status kesehatannya menurun, penghasilan berkurang, dan terbatasnya program untuk memberi kesempatan lansia untuk tetap berinteraksi dan beraktifitas. Hal tersebut berpengaruh kepada kepercayaan diri, motivasi, perasaan dan emosi, lansia memilih untuk berdiam diri dirumah. Menurunnya keinginan beraktifitas dengan lingkungan berpengaruh terhadap keinginan mengkonsumsi
Universitas Sumatera Utara
makanan/ pola makan, karena kebutuhan yang kalori yang terbatas. Apabila dibiarkan berlanjut tentunya akan mempengaruhi keadaan status gizi lansia. Personal preference (kesukaan individu terhadap makanan), hal-hal yang disukai dan tidak disukai sangat berpengaruh terhadap pola makan seseorang. Perasaan suka dan tidak suka dimulai sejak dari masa kanak–kanak hingga dewasa. Perasaan tersebut terhadap makanan tergantung penilaian individu terhadap makanan yang disediakan. Sedangkan rasa lapar, nafsu makan dan rasa kenyang merupakan sensasi yang berhubungan dengan terpenuhinya makanan dalam diri seseorang. Hal tersebut berhubungan terhadap perasaan senang dan tidak senang dalam menerima makanan yang disediakan. Kesehatan merupakan faktor penting dalam pemenuhan kebutuhan akan makan pada diri individu. Adanya penyakit seperti sakit gigi atau sariawan yang diderita akan mempengaruhi penerimaan individu tersebut terhadap makanan yang ada. Sehingga kesehatan merupakan faktor yang terpenting dalam pola makan.
2.3. Faktor yang Memengaruhi Pola Makan pada Lansia Lansia dengan berbagai kemunduran yang dialami, dapat mempengaruhi derajat kesehatan lansia tersebut. Derajat kesehatan yang baik salah satunya dapat diperoleh dengan menjaga status gizinya dengan mempertahankan kecukupan gizi melalui pola makan baik pula. Maryam (2008) mengatakan bahwa keseimbangan motivasi, perasaan dan emosi mencakup rasa marah, cemas, takut, kehilangan, sedih dan
Universitas Sumatera Utara
kecewa akan berdampak pada berbicara sembarangan, sikap berbicara yang buruk pada orang lain, menolak makan minum, menolak ketergantungan dengan orang lain, melemparkan makanan dan lain-lain serta tak kalah penting adalah dukungan sosial dari lingkungan seperti dukungan keluarga, kelompok maupun masyarakat. Faktor yang mempengaruhi pola makan lansia diantaranya adalah motivasi diri, perasaan dan emosi serta dukungan keluarga 2.3.1. Motivasi Diri Sunaryo (2004) mengatakan motif atau motivasi diri merupakan suatu pengertian yang mencakup penggerak, keinginan, rangsangan, hasrat, pembangkit tenaga, alasan dan dorongan dari dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Sementara Gerungan (1960) dalam Sunaryo (2004) motif merupakan suatu proses pengertian yang melengkapi semua penggerak, alasan atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu yang berkaitan dengan perilaku kesehatan individu. Menurut Sarwono (2000) dalam Sunaryo (2004) menyatakan bahwa motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerninkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang, dan motivasi sebagai proses psikologis timbul diakibatkan oleh faktor di dalam diri (faktor intrinsik) dan faktor di luar dirinya (faktor ekstrinsik). Faktor didalam diri seseorang dapat berupa kepribadian, sikap, pengalaman dan pendidikan atau bebagai harapan, cita-cita yang menjangkau kemasa depan. Faktor luar diri dapat ditimbulkan oleh berbagai sumber dari lingkungan atau faktor lain yang sangat kompleks sifatnya.
Universitas Sumatera Utara
Sarwono (2000) dalam Sunaryo (2004) juga mengatakan motivasi menunjukan pada proses gerakan, termasuk situasi yang yang mendorong sehingga timbul dalam diri individu, tingkah laku yang ditimbulkan oleh situasi tersebut dan tujuan akhir dari gerakan atau perbuatan. Individu yang melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, atas dasar motivasi masing-masing. Pada prinsipnya motivasi didasari pada pemenuhan kebutuhan yang dibagi atas kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer mempunyai aspek vital, biologis dan fisiologis, sedangkan kebutuhan sekunder mempunyai aspek sosial, non vital dan psikologis (Sunaryo, 2004). 2.3.2. Perasaan dan Emosi Perasaan menurut Sunaryo (2004) adalah gejala psikis yang memiliki sifat khas subjektif yang berhubungan dengan persepsi dan dialami sebagai rasa senangtidak senang, sedih-gembira dalam berbagai derajat dan tingkatannya. Maramis (1999) dalam Sunaryo (2004), menyatakan perasaan adalah nada menyenangkan atau tidak, yang menyertai suatu pikiran dan biasanya berlangsung lama serta kurang disertai oleh komponen fisiologik. Sementara itu emosi menurut Maramis (1990) merupakan manifestasi perasaan atau afek keluar dan disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak lama, sementara emosi adalah suatu keadaan perasaan yang telah melampaui batas sehingga untuk mengadakan hubungan dengan sekitarnya mungkin terganggu. Dalam Sunaryo (2004) menyatakan perasaan memiliki ciri-ciri yaitu selalu
Universitas Sumatera Utara
terkait dengan gejala kejiwaan yang lain khususnya persepsi, bersifat individual atau subjective dan perasaan dialami oleh individu sebagai perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan. Perasaan menyenangkan dapat dibagi atas rasa senang, bangga, kasih sayang, gembira, enak, lezat, indah dan tenang, sementara perasaan tidak menyenangkan terbagi atas sedih, kecewa, sakit, gelisah, kacau dan galau (Sunaryo, 2004). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya perasaan yaitu keadaan jasmani atau fisik individu, struktur kepribadian dan keadaan temporer. Keadaan jasmani atau fisik individu dicontohkan seperti perasaan individu yang sedang sakit, lebih sensitif daripada orang sehat. Struktur kepribadian yang mempengaruhi timbulnya perasaan digambarkan seperti individu yang berkepribadian introvert memiliki perasaan yang sensitif sedangkan keadaan temporer pada diri individu atau tergantung pada suasana hati, individu yang sedang sedih sangat peka perasaannya dibanding individu yang normal (Sunaryo, 2004). Emosi adalah manifestasi perasaan afek keluar dan disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak tidak lama (Maramis, 1990). Bimo W (1989) dalam Sunaryo (2004) menyatakan emosi adalah suatu keadaan perasaan yang telah melampaui batas sehingga untuk mengadakan hubungan dengan sekitarnya mungkin terganggu. Emosi merupakan perasaan yang mendasar, dapat mengarahkan perilaku individu, baik perilaku positif atau perilaku negatif. 2.3.3. Dukungan Keluarga
Universitas Sumatera Utara
Perubahan yang terjadi pada lansia erat kaitannya dengan perilaku kesehatan individu yaitu adanya interaksi sosial dalam bentuk dukungan baik dukungan keluarga/ kelompok maupun dukungan secara sosial. Menurut Depkes RI (1998) keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Menurut Darmojo (2000), pada umumnya lansia berkeinginan menikmati hari tuanya di lingkungan keluarga, namun dalam keadaan dan sebab tertentu mereka tidak tinggal bersama keluarganya. Oleh karena itu, lansia yang berada di lingkungan keluarga atau tinggal bersama keluarga serta mendapat dukungan dari keluarga akan membuat lansia merasa lebih sejahtera. Friedman dalam Sudiharto (2007), menyatakan bahwa fungsi dasar keluarga antara lain adalah fungsi efektif, yaitu fungsi internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan psikososial, saling mengasuh dan memberikan cinta kasih, serta saling menerima dan mendukung satu sama lain. Peran anggota keluarga terhadap lansia seperti melakukan pembicaraan terarah, mempertahankan kehangatan keluarga, membantu dalam hal sumber keuangan dan transportasi, memberikan kasih sayang, menghormati dan menghargai, bersikap sabar dan bijaksana, mengajak dalam acara tertentu, memeriksakan kesehatan lansia secara
Universitas Sumatera Utara
teratur, memberi dorongan untuk tetap hidup bersih dan sehat dan lain–lain (Maryam, 2008). 2.4. Pengaruh Motivasi, Perasaan dan Emosi serta Dukungan Keluarga terhadap Pola Makan Lansia Secara epidemiologi faktor resiko terhadap terjadinya gangguan pola makan pada lansia antara lain karakteristik individu dan perilaku yang berkaitan dengan pola makan dan gaya hidup, karakteristik adalah segala sesuatu yang merupakan ciri-ciri biologis dan sosial yang terdapat pada lansia. Karakteristik tersebut seperti karakteristik sosiodemografi misalnya umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir, jenis pekerjaan, sosial ekonomi, dan perilaku (pengetahuan dan sikap) serta sosial budaya (Nugroho, 2008). Menurut Maramis (2006) perubahan psikologis seseorang dapat dilihat dengan
memperhatikan
masalah
emosionalnya
dengan
maksud
menghilangkan, mengubah gejala yang ada dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian yang positif. Perubahan tersebut tentunya berdampak pada perilaku seseorang dalam beraktifitas dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar, seperti dalam mengkonsumsi makanan yang tentunya juga dipengaruhi oleh keadaann emosi. Pada penelitian Rusilanti (2006), lansia yang memiliki dukungan sosial yang baik akan memperbaiki kondisi psikososialnya. Dengan semakin majunya komunikasi antar individu dan teknologi, pola hidup masyarakat mengalami perubahan. Pola hidup keluarga semakin kehilangan fungsinya dan beralih menjadi pola hidup keluarga inti. Kebiasaan untuk memberikan bantuan sosial antar keluarga
Universitas Sumatera Utara
berkurang dan pola hidup individual semakin menonjol. Dalam hal ini berpengaruh terhadap kondisi psikososial lansia. Dalam penelitiannya, konsumsi makan lansia memiliki hubungan positif (r=0,25) dengan kondisi psikososialnya, namun kondisi psikososial juga berkorelasi positif dengan kepuasan hidup (r=0,12) dan berkorelasi negatif dengan depresi (r=-0,07). Salah satu indikator kepuasan hidup adalah terpenuhinya semua kebutuhan termasuk kebutuhan akan makanan yang dikonsumsinya. Sebaliknya semakin baik kondisi psikososial semakin baik pula konsumsi makanan lansia. Faktor fisiologi dan psikologi dapat mempengaruhi pemilihan terhadap makanan, di samping itu pula pengetahuan tentang makanan juga dapat mempengaruhi asupan. Faktor sosial juga memiliki pengaruh besar terhadap pemilihan makanan. Budaya, geografi, dan ketersediaan makanan menentukan peningkatan atau pembatasan dalam memilih makanan. Pada sebagian besar orang, hubungan keluarga dan persahabatan seringkali mempengaruhi pembelian, perbaikan dan konsumsi makanan. Status sosial ekonomi, perubahan ekonomi dan dukungan sosial memiliki pengaruh penting dalam membentuk pola makan yang sangat erat kaitannya dengan status gizi dan penyakit. Kondisi psikososial dapat diukur dari tingkat kepuasan hidup. Dalam penelitian tersebut tampak adanya korelasi positif tingkat kepuasan terhadap kondisi psikososial lansia (r=0,12). Semakin tinggi tingkat kepuasan lansia semakin baik kondisi psikososial lansia. Perasaan bahagia yang dimiliki lansia dapat meningkatkan kepuasan diri pada lansia. Menurut penelitian yang dilakukan Jauhari (2003) disebutkan bahwa hal yang membuat sebagian besar lansia bahagia adalah
Universitas Sumatera Utara
terjaminnya kebutuhan hidup. Terjaminnya kebutuhan hidup bisa didapat bila ada dukungan sosial bagi lansia baik dari keluarga, masyarakat maupun dari pemerintah. Kondisi psikososial dan fisik secara keseluruhan berpengaruh positif terhadap status gizi. Semakin baik kondisi psikososial, diharapkan semakin baik pula status gizi. Beberapa faktor risiko potensial yang telah diidentifikasi dapat menyebabkan terjadinya masalah gizi pada lansia di antaranya adalah kebingungan mental dan depresi serta ketidakmampuan fisik. Aspek psikososial dan fisik secara keseluruhan memiliki hubungan positif dengan status gizi. Hal itu menunjukkan bahwa untuk mendapatkan status gizi yang baik diperlukan perhatian yang lebih menyeluruh terhadap aspek psikososial dan fisik baik dari keluarga, masyarakat, maupun pemerintah. Lansia dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi sangat membutuhkan bantuan dari lingkungannya, hal ini karena keadaan lansia yang sudah terbatas dalam melakukan segala sesuatunya sendiri, agar dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi tersebut dapat terpenuhi sesuai dengan keadaannya. 2.5. Penilaian Pola Makan Lansia Pola makan merupakan serangkaian kegiatan makan pada lansia dalam memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lain dari bahan pangan yang di konsumsi. Penilaian pola makan dapat dilihat dengan melakukan pengukuran jumlah kecukupan energi yang dibutuhkan, jenis makanan dan jadwal makan sehari, sehingga diperoleh data konsumsi sehari pada lansia.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode secara kuantitatif untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi kemudian dibandingkan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan (Supariasa, 2002). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penimbangan makanan (food weighing method). Prinsip dari metode penimbangan makanan adalah pengukuran dilakukan secara langsung sehingga berat dari makanan yang dikonsumsi dapat diketahui dengan benar. Adapun langkah–langkah yang dilakukan pada metode ini adalah peneliti menimbang dan mencatat makanan yang akan dikonsumsi dalam gram. Selanjutnya setelah makanan dikonsumsi, sisa dari makan ditimbang juga. Jumlah makanan yag dikonsumsi sehari, kemudian di analisis dengan menggunakan DKBM. Kemudian dibandingkan hasilnya dengan kecukupan gizi yang dianjurkan dalam angka kecukupan gizi (AKG). Metode penimbangan makanan mempunyai ketelitian paling tinggi dibanding metode lainnya, dapat mencatat secara pasti mengenai jumlah dan jenis bahan makanan asupan atau sisa makanan dan mempunyai validitas yang tinggi. Namun kelemahannya membebani responden, tidak praktis, memerlukan tempat dan peralatan khusus, membutuhkan waktu dan mahal karena
Universitas Sumatera Utara
membutuhkan peralatan, tenaga pengumpul harus terlatih dan terampil serta memerlukan kerjasama yang baik dengan responden (Supariasa, 2002). 2.6. Landasan Teori Lanjut usia merupakan tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Berbagai permasalahan yang timbul akibat proses penuaan sangat berpengaruh terhadap kehidupan lansia di masyarakat. Salahsatu permasalahannya adalah status gizi kurang ataupun gizi lebih, penyebab terjadinya permasalahan gizi tersebut adalah diduga karena pola makan yang salah atau tidak tepat hal ini karena dipengaruhi oleh budaya, agama/ kepercayaan, status ekonomi, psikososial dan rasa suka terhadap jenis makanan serta yang paling terpenting adalah kesehatan lansia itu sendiri (Darmojo, 2004). Perubahan status gizi pada lansia lebih disebabkan pada perubahan lingkungan maupun faali dan status kesehatan lansia. Perubahan tersebut semakin nyata pada kurun usia 70-an. Factor lingkungan meliputi perubahan kondisi ekonomi akibat pensiun, isolasi sosial karena hidup sendiri setelah pasangan meninggal dunia,dan rendahnya pemahaman gizi akan memperburuk keadaan gizi lansia. Faktor kesehatan yang mempengaruhi status gizi adalah timbulnya penyakit degeneratif dan non generatif yang berakibat pada perubahan dalam asupan makanan, perubahan penyerapan zat gizi (Darmojo, 2004) Maryam (2008) menyatakan faktor–faktor yang menyebabkan terjadinya gizi kurang pada lansia adalah keterbatasan ekonomi keluarga, menderita penyakit kronis,
Universitas Sumatera Utara
pengaruh psikologis, hilangnya gigi, kesalahan dalam pola makan, kurangnya pengetahuan tentang gizi dan pengolahan bahan makanan. Hal lainnya seperti keseimbangan motivasi, perasaan dan emosi mencakup rasa marah, cemas, takut, kehilangan, sedih dan kecewa akan berdampak pada berbicara sembarangan, sikap berbicara yang buruk pada orang lain, menolak makan minum, melemparkan makanan dan lain-lain. Menurut Smet (1994), psikososial merupakan hubungan yang dinamis antara psikologis dan kehidupan sosial dimasyarakat dan keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. Terganggunya psikososial terjadi apabila ada ketidakseimbangan antara hal tersebut, sehingga lansia harus bisa dan mampu untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut. Selain hal tersebut pola makan lansia juga dipengaruhi oleh karakteristik lansia seperti umur, pendidikan terakhir, pekerjaan terakhir, agama/ kepercayaan, jenis dan lama sakit dan status perkawinan. Pengaruh lain yang tak kalah penting dalam mempengaruhi pola makan lansia adalah akibat dari proses penuaan seperti adanya gangguan motorik, pikun, pension, gigi kurang, hilangnya fungsi pengecapan, mengkonsumsi obat–obatan dalam jangka waktu yang lama serta minum minuman beralkohol. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa status gizi lansia dipengaruhi oleh pola makan. Berdasarkan uraian landasan teori diatas, maka diperoleh model skema kerangka teori sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Fungsi Budaya - Adat Istiadat - Geografis Agama/ Kepercayaan - Pantangan / larangan Status ekonomi - Pemilihan makanan - Pembelian makanan Psikososial - Menarik diri - Kepercayaan diri - Motivasi diri - Perasaan dan emosi - Dukungan Keluarga Personal preference - Perasaan suka terhadap makanan - Perasaan tidak suka terhadap makanan Kesehatan
-
Karakteristik Lansia Umur Pendidikan akhir Pekerjaan akhir Agama Status perkawinan
Pola Makan
2.7. Kerangka Konsep Penelitian
Status gizi
- Penggunaan obat dan alkohol - Gangguan motorik - Perubahan psikologis (kesepian) - Pensiun - Pikun - Kurang aktifitas - Gigi berkurang - Hilang fungsi pengecap
Gambar 2.1 Skema Kerangka Teori Berdasarkan teori diatasRI,dapat dibuat kerangka konsepsumber penelitian sebagai Sumber : Depkes dan modifikasi dari beberapa berikut : Motivasi diri
Pola makan lansia - Jumlah Makanan - Jadwal Makan
Perasaan dan Emosi
Asupan
Kondisi Lansia Penggunaan obat dan alkohol, Gangguan motorik, Perubahan psikologis (kesepian), Pensiun, Pikun, Kurang aktifitas, Gigi berkurang, Hilang fungsi pengecapan
Universitas Sumatera Utara
Keterangan :
: diteliti : tidak diteliti Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan gambar 2.2 diketahui bahwa variabel independen dalam penelitian ini adalah variabel psikososial yang terdiri dari motivasi diri, perasaan dan emosi, kepribadian dan dukungan keluarga. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah variabel pola makan lansia.
Universitas Sumatera Utara