6
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus adalah bakteri koki Gram positif dan jika diamati di bawah mikroskop akan tampak dalam bentuk bulat tunggal atau berpasangan, atau berkelompok seperti buah anggur seperti yang terlihat pada Gambar 1. Staphylococcus aureus termasuk dalam famili Staphylococcaceae, berukuran diameter 0.5-1.5 µm dan membentuk pigmen kuning keemasan. Bakteri ini tidak membentuk spora, bersifat aerob atau anaerob fakultatif, non-motil, koagulase dan katalase positif, mampu memfermentasi mannitol serta mampu menjalankan dua macam metabolisme yaitu respirasi maupun fermentasi.
Gambar 1 Morfologi S. aureus perbesaran 5000x (Todar, 2008) S. aureus mampu memanfaatkan berbagai komponen organik sebagai nutrisi untuk pertumbuhannya. Asam-asam amino dibutuhkan sebagai sumber nitrogen, sedangkan tiamin dan asam nikotinat paling dibutuhkan diantara vitamin B lainnya. Apabila S. aureus ditumbuhkan pada kondisi cenderung anaerob, maka urasil sangat dibutuhkan. Sedangkan untuk kondisi aerob dan produksi enterotoksin, maka monosodium glutamat berperan sebagai sumber C, N dan energi. Arginin merupakan asam amino esensial yang dibutuhkan untuk produksi enterotoksin B (Bennet dan Monday dalam Militois dan Bier, 2003; Jay, 2000). S. aureus termasuk ke dalam kelompok bakteri mesofilik, namun terdapat beberapa galur S. aureus yang mampu tumbuh pada suhu rendah 6-7oC. Pada umumnya, S. aureus tumbuh pada kisaran suhu 7-48.5oC dengan suhu optimum
7
pertumbuhan 30-37oC. Kisaran pH pertumbuhan antara 4.5 hingga 9.3, dengan pH optimum 7.0-7.5 (Bennet dan Monday, 2003). Berdasarkan aktivitas air (aw), stafilokoki mampu tumbuh pada kadar aw yang lebih rendah dibandingkan dengan bakteri nonhalofilik lainnya. Pertumbuhan stafilokoki tetap terjadi pada aw 0.83 yang merupakan kondisi di bawah ideal untuk pertumbuhan kebanyakan bakteri. Kebanyakan galur-galur S. aureus mempunyai toleransi tinggi terhadap konsentrasi garam dan gula. Bakteri ini masih dapat bertahan hidup pada konsentrasi natrium klorida lebih dari 15% dan memiliki toleransi tinggi terhadap komponen-komponen seperti telurit, merkuri klorida, neomycin, polymixin dan sodium azida, yang semuanya dapat digunakan sebagai media selektif S. aureus (Le Loir et al., 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus Pertumbuhan Faktor Pengaruh Optimum
Kisaran
37°C
4 –48°C
pH
6.0-7.0
4.0-9.8
aw
0.98≥0.99
0.83≥0.99
Atmosfer
Aerobik
Anaerobik hingga aerobik
Natrium Klorida
0.5-0.4%
0-20%
Suhu
Adam dan Moss (1995) S. aureus mampu memproduksi sejumlah besar enzim-enzim ekstraseluler, toksin dan komponen kimia lainnya. Beberapa metabolit ekstraseluler ini sangat bermanfaat untuk identifikasi S. aureus dan membedakannya dari spesies stafilokoki lainnya. Karakteristik S. aureus dan beberapa spesies stafilokoki lainnya ditampilkan pada Tabel 2. Dua metabolit yang umum dimanfaatkan untuk identifikasi S. aureus adalah aktivitas koagulase (enzim yang mengkoagulasi plasma) dan termonuklease (TNase), enzim fosfodiesterase tahan panas yang
8
dapat
memecah
DNA
maupun
RNA
untuk
menghasilkan
produk
fosfomononukleotida.
Tabel 2 Karakteristik spesies stafilokoki Sifat S. aureus S. intermedius S. hyicus a Pigmen + − − Koagulase + + ± Dnase + + ± Hemolisis + + − Mannitol (an) + − − Acetoin + − − Gumpalan + + + Hyaluronidase + − ± Lysostaphyn ST ST ST a >90%. an:kondisi anaerobik; ST: sensitivitas tinggi; SR: sensitivitas rendah
S. epidermidis − − − ± − + − − SR
Bennet dan Monday (2003) Staphylococcus aureus tidak membentuk spora sehingga pertumbuhan oleh S. aureus di dalam makanan dapat segera dihambat dengan perlakuan panas. Namun, kontaminasi S. aureus tetap menjadi salah satu penyebab utama foodborne disease (FBD) karena S. aureus dapat mengkontaminasi produk makanan selama persiapan dan pengolahan. Bakteri ini sendiri ditemukan di dalam saluran pernapasan, permukaan kulit dan rambut hewan berdarah panas termasuk manusia, Lebih dari 30-50% populasi manusia adalah “carrier” S. aureus (Le Loir et al., 2003). Umumnya S. aureus tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi baik dengan mikroflora normal kebanyakan pada makanan. Telah banyak penelitian yang menunjukkan ketidakmampuan S. aureus untuk bersaing pada makanan segar dan makanan beku. Pada suhu yang mendukung pertumbuhan S. aureus, mikroorganisme lain pada makanan melakukan perlindungan untuk melawan pertumbuhan S. aureus lewat mekanisme antagonis, kompetisi terhadap nutrisi dan modifikasi kondisi lingkungan agar tidak mendukung pertumbuhan S. aureus. Bakteri yang diketahui bersifat antagonis terhadap S. aureus adalah Acinetobacter,
9
Aeromonas, Bacillus, Pseudomonas, S. epidermidis, kelompok Enterobactericeae, Lactobacillaceae, kelompok Enterococci dan Streptococcus (Jay, 1996). Staphylococcus aureus memliki beberapa jenis faktor virulensi yang mendukung terjadinya penyakit pada tubuh manusia, salah satunya adalah protein permukaan yang membantu kolonisasi pada jaringan inang. Untuk mendukung penyebarannya pada jaringan, bakteri ini menghasilkan invasin, seperti leukosidin, kinase dan hyaluronidase. Leukosidin adalah sitotoksin yang dapat membunuh leukosit, sedangkan hyaluronidase adalah enzim yang dapat mendegradasi asam hyaluronat sehingga meningkatkan permeabilitas jaringan (Todar, 2008). Pada tubuh manusia terdapat faktor virulensi S. aureus yang mampu menghambat fagositosis, yaitu protein A dan kapsul. Protein A adalah protein permukaan yang mengikat molekul IgG. Bakteri ini juga menghasilkan senyawa biokimia yang menjadi pertahanannya terhadap fagosit, yaitu karotenoid dan katalase (Todar, 2008).
Kontaminasi S. aureus dalam Pangan Stafilokoki dapat ditemukan di udara, debu, limbah, air, susu, makanan, atau peralatan makan, permukaan lingkungan, manusia, dan hewan. Manusia dan hewan adalah reservoir utama. Stafilokoki juga dapat ditemukan lebih dari 50% di saluran pernapasan, tenggorokan dan di permukaan rambut dan kulit seseorang yang sehat sekalipun. Keberadaan S. aureus dalam bahan pangan erat kaitannya dengan sanitasi pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan (Stewart et al., 2002). Pangan yang dilaporkan dalam berbagai kejadian luar biasa S. aureus umumnya diolah dengan proses pemotongan, pemarutan, dan pengilingan yang melibatkan pekerja yang terkontaminasi. S. aureus terdapat luas di alam dan pada bahan baku pangan sehingga penanganan yang kurang tepat dapat meningkatkan risiko keracunan pangan akibat S. aureus (Robinson et al., 2000). Pangan yang memiliki resiko tinggi terhadap bahaya keracunan akibat Staphylococcus adalah pangan yang normal flora di dalamnya telah mengalami kerusakan akibat proses pengolahan (misalnya daging yang telah dimasak) atau dihambat pertumbuhannya (misalnya ikan asin dengan konsentrasi garam yang
10
tinggi). Hal ini berkaitan dengan sifat S. aureus yang merupakan kompetitor lemah dalam ekosistem mikrobial yang kompleks sehingga adanya bakteri patogen dan pembusuk lain dapat menghambat pertumbuhannya. Bakteri psikrotropik sebagai contohnya dapat menghambat pertumbuhan S. aureus pada penyimpanan suhu rendah (refrigerasi). Selain itu pada proses fermentasi, bakteri asam laktat dapat memproduksi beberapa senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan
S. aureus seperti asam laktat, hidrogen peroksida dan bakteriosin
(Ash, 2000). US FDA (1999) menyatakan keberadaan S. aureus dalam pangan dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti proses pengolahan pangan yang tidak tepat dari segi suhu dan waktu, suhu penyimpanan pangan yang salah yaitu kurang panas (60°C atau 140°F) atau kurang dingin (7.2°C atau 45°F), dan adanya kontaminasi silang dari bahan baku mentah maupun pekerja. Penjelasan mengenai konsekuensi yang ditimbulkan apabila proses pengolahan dan penanganan pangan tidak dilakukan dengan tepat dapat dilihat pada Tabel 3. Jalur masuknya S. aureus kedalam bahan pangan biasanya melalui jaringan kulit atau selaput lendir yang terluka seperti terpotong benda tajam, luka bakar, gigitan serangga, pengelupasan kulit, atau penyakit kulit lain. Oleh sebab itu, pekerja dengan luka pada kulit tidak diperbolehkan mengolah makanan terlebih disertai dengan praktik sanitasi yang buruk yang dapat memperbanyak jumlah S. aureus (Schaechter et al., 1993). Apabila S. aureus terkontaminasi ke dalam bahan pangan yang mengandung nutrisi yang menunjang bagi pertumbuhannya, jumlah S. aureus akan bertambah dengan laju pertumbuhan yang cepat. Bahan pangan yang menyediakan nutrisi yang menunjang pertumbuhan S. aureus adalah bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi seperti daging dan produk olahannya, unggas dan produk olahannya, telur dan produk olahannya, salad yang mengandung telur, tuna, ayam, kentang dan makaroni, produk bakery, serta susu dan produk olahannya (US FDA, 1999). Hal ini disebabkan adanya 11 asam amino yaitu valin, leusin, threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin dan arginin pada produk-produk berprotein tinggi yang mendukung optimasi pertumbuhan S. aureus (Supardi dan Sukamto, 1999).
11
Tabel 3 Sumber, faktor resiko, dan konsekuensi keberadaan S. aureus dalam rantai pangan Sumber
Resiko
Lingkungan Luas Hewan Manusia Udara, air, dan tumbuhan Lingkungan Pengolahan Makanan Bahan Baku Karkas hewan Produk olahan hewan Bumbu Proses Pengolahan
Penyajian
Lingkungan Makanan
Permukaan kontak dengan makanan Udara, air Pengolah makanan Produk Pangan
Konsekuensi jika resiko tidak terkontrol
Lemahnya sanitasi Meningkatnya infeksi peternakan dan higiene S. aureus pada manusia perorangan dan hewan
S. aureus dalam jumlah S. aureus bertahan yang tinggi selama proses pengolahan dan terjadi kontaminasi silang dari bahan baku pangan terhadap makanan olahan Proses Pengolahan tidak S. aureus bertahan mencukupi, pembersihan selama proses dan desinfeksi tidak pengolahan dan terjadi memadai, sumber air kontaminasi postburuk dan lemahnya process terhadap produk sanitasi dan higiene pangan perorangan Ketidaktepatan suhu S. aureus penyimpanan, faktor berkembangbiak dan pertumbuhan intrinsik memproduksi tidak dikendalikan staphylococcal enterotoxins (SE)
Penyajian
Hewan Manusia Permukaan kontak dengan makanan Udara dan air Robinson et al. (2000)
Kontaminasi dari enterotoksigenik S. aureus terhadap makanan yang telah diolah. Ketidak tepatan suhu lingkungan penyajian makanan
S. aureus berkembangbiak dan memproduksi enterotoksin stafilokoki (SE)
Pangan dengan konsentrasi garam yang tinggi (ham) atau konsentrasi gula yang tinggi (fla) tidak terlepas dari bahaya konsentrasi S. aureus. Hal ini berkaitan dengan sifat S. aureus yang tahan terhadap kadar gula dan garam yang tinggi
12
(hingga 20%). Cara yang dianjurkan untuk mengontrol atau mencegah adanya S. aureus pada pangan yang sudah diolah adalah mendinginkannya hingga suhu 20°C, melarang orang sakit untuk menangani makanan, menggunakan sarung tangan disposable dalam proses penanganan makanan, melakukan refrigerasi atau pendinginan pada makanan hingga <10°C dan meminimalkan terjadinya kontaminasi silang dari bahan mentah ke makanan matang ataupun dari lingkungan kerja yang kotor serta peralatan yang kotor ke makanan matang (Jay, 2000). Harmayani et al., (1996) mengevaluasi total bakteri dan S. aureus pada beberapa sampel pangan menggunakan media Baird-Parker Agar (BPA) yang dilanjutkan dengan uji koagulase. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa karkas ayam mentah yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan ayam panggang bumbu sate memiliki total bakteri sebanyak 6.5 x 107 CFU/g dan total S. aureus 7.3 x 105 CFU/g. Karkas ayam mentah diproses melalui tahap pencucian dan perebusan. Pada akhir tahap perebusan, ternyata total bakteri menurun menjadi 1.7 x 106 CFU/g dan total S. aureus <103 CFU/g. Setelah pembakaran, total S. aureus berkurang lagi menjadi 5.0 x 102 CFU/g. Namun populasi S. aureus menjadi 1.5 x 104 CFU/g selama proses pengangkutan dan penyimpanan pada suhu ruang selama 7.5 jam. Jumlah ini telah melewati batas maksimum cemaran S. aureus yang telah ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yaitu 0-5 x 103 sel/g. Harmayani et al., (1996) juga menyebutkan bahwa karkas ayam mentah yang digunakan untuk membuat bakso dan sup ayam sudah tercemar S. aureus sebanyak 1.4 x 105 CFU/g dengan total bakteri 1.9 x 107 CFU/g. Namun dengan proses pemanasan pada pengolahan bakso maupun sup, total S. aureus mengalami penurunan menjadi 4.3 x 103 CFU/g dan total bakteri menjadi 6.4 x 105 CFU/g hingga dihidangkan. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Hartini (2001) dan Ruslan (2003) menunjukkan bahwa beberapa produk pangan tradisional siap santap telah tercemar bakteri S. aureus, seperti yang terlihat pada Tabel 4.
13
Tabel 4 Data cemaran S. aureus pada beberapa pangan Jenis Pangan Jumlah S. aureus (CFU/g) Sumber Data Bakso 1.74 a (Hartini, 2001)* Gado-gado 3.72 a Mie ayam 1,78 a Nasi rames 3.21 a Siomay 2.43 a Soto ayam 1.65 a Tauge goreng 5.10 a Gado-gado 5.81 b Ruslan (2003)** Kacang panjang rebus 5.61 b Kol rebus 5.15 b Wortel rebus 5.23 b Tauge rebus 4.74 b Karkas Ayam 5.15 c Harmayani et al., (1996) Ayam Goreng 2.64 d Sari (2010) Ayam Kecap 3.22 d Ayam Opor 3.66 d Ayam Balado 2.36 d * Dengan media Vogel-Johnson Agar (VJA), sampel diambil jam 11 siang ** Dengan media Baird-Parker Agar (BPA), sampel diambil 2-3 jam sejak penjaja mulai berjualan
Perilaku S. aureus dalam Pangan Bakteri S. aureus yang tidak membentuk spora adalah termasuk bakteri yang mudah diinaktivasi oleh panas. Ketahanan panas lebih tinggi terutama pada pangan dengan aktivitas air tinggi (Stewart, 2003). Jika dibandingkan dengan bakteri lainnya S. aureus memiliki ketahanan panas yang cukup tinggi pada suhu 62.8°C. S. aureus lebih tahan terhadap pemanasan pada heating menstruum susu dengan suhu 62.8°C jika dibandingkan dengan bakteri nonspora lainnya seperti, E. coli, Campylobacter jejuni, Streptococcus. faecalis, dan Lactobacillus lactis. Akan tetapi, S. aureus tidak lebih tahan panas dibandingkan dengan spora bakteri seperti spora Bacillus cereus, dan Clostridium botulinum. Thomas et al., (1966) meneliti ketahanan panas dua isolat S. aureus yaitu isolat MS 149 dan isolat 196E dengan heating menstruum susu skim yang telah dipasteurisasi. Perlakuan panas yang diberikan berkisar antara 60-68.3°C dengan jumlah mikroba awal 1.0 x 107- 1.0 x 108 CFU/ml. Dari penelitian ini diketahui bahwa S. aureus MS 149 memiliki D60 sebesar 3.28 menit dan D65.6 sebesar
14
0.39 menit. Nilai Z yang dihasilkan sebesar 6.04°C. Sedangkan S. aureus 196E mempunyai D60 sebesar 3.44 menit dan D65.6 sebesar 0.28 menit. Nilai Z yang diperoleh sebesar 5.10°C. Dari percobaan ini, diketahui bahwa bakteri ini bisa direduksi dengan pasteurisasi pada suhu 63°C selama 15 menit. Walker dan Harmon (1966) juga menyelidiki ketahanan panas strain S. aureus pada susu murni, susu skim, whey keju ceddar, dan fosfat buffer. Strain yang diujikan dalam penelitian ini meliputi isolat 161-C, S-1, B-120, dan S-18. Isolat B-120, dan S-18 hanya diujikan pada heating menstruum fosfat dan susu murni. Suhu perlakuan dalam percobaan berkisar antara 52-62°C. Nilai D hasil percobaan Walker dan Harmon berkisar antara 0.20-3.50 menit untuk isolat 161-C. Kisaran D-value untuk isolat S-1, B-120, dan S-18 berturut-turut sebesar 0.15-3.0 menit, 0.40-1.50 menit, dan 0.50-2.55 menit. Eden et al., (1977) mempelajari ketahanan panas strain Staphylococcus aureus yang diisolasi dari susu mentah dengan metode tabung kapiler. Heating menstruum yang digunakan adalah susu skim dengan jumlah mikroba awal 1.0 x 109 CFU/ml. Pemanasan dilakukan pada kisaran suhu 50-75oC. Nilai Z S. aureus sebesar 9.4oC. Nilai D yang dihasilkan dari percobaan Eden et al., (1977) berkisar antara 0.02-9.96 menit. Ketahanan S. aureus dalam susu kambing dipelajari oleh Parente dan Mazzatura (1991). Dalam percobaan ini digunakan isolat BP3 dan isolat 237. Metode percobaan menggunakan metode tabung kapiler dengan jumlah mikroba awal >1.0 x 109 CFU/ml. Suhu yang digunakan berkisar antara 55-68 oC. Nilai D isolat BP3 berkisar antara 0.03-3.30 menit sedangkan isolat 237 memiliki D-value sekitar 0.01-10.60 menit. Nilai Z sebesar 4.83 ± 0.06 untuk isolat BP3 dan 4.50 ± 0.05 untuk isolat 237. El-Banna et al., (1983) menunjukkan bahwa strain S. aureus yang tumbuh di bawah kondisi stress memilki ketahanan panas lebih tinggi dibandingkan dengan yang tumbuh pada lingkungan yang mendukung pertumbuhannya. Nilai D kultur S. aureus yang tumbuh pada suhu 37oC memiliki D60 sebesar 2.73 menit, sebaliknya yang tumbuh pada suhu 45 oC memiliki D60 sebesar 12.6 menit. Kennedy et al., (2005) selanjutnya menyelidiki tentang ketahanan panas S. aureus yang diisolasi dari refrigerator. Percobaan ini bertujuan untuk
15
mengetahui pengaruh pembekuan terhadap ketahanan panas S. aureus. Isolat S. aureus positif koagulase diujikan pada media pemanas TSB kemudian dicawankan pada media Baird Parker Agar (BPA), dan media campuran antara Trypticase Soy Agar (TSA) dengan media BPA. Dua perlakuan diujikan pada isolat. Perlakuan pertama, isolat diuji ketahanan panasnya secara langsung. Perlakuan kedua, isolat terlebih dahulu diberi perlakuan pendinginan kemudian dipanaskan. Hasil dari dua perlakuan kemudian dibandingkan untuk mengetahuai pengaruh perlakuan pendinginan awal terhadap ketahanan panas. Berdasarkan percobaan Kennedy diperoleh kesimpulan bahwa perlakuan pembekuan pendahuluan tidak menghasilkan nilai yang berbeda secara signifikan.
Penyakit karena S. aureus Kontaminasi S. aureus pada makanan dapat menyebabkan keracunan (intoksikasi). Hal ini disebabkan karena bakteri tersebut mampu menghasilkan toksin yang berupa enterotoksin di dalam saluran pencernaan. Enterotoksin dapat diproduksi apabila kondisi lingkungan mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan bakteri tersebut, seperti pH dan suhu (Miliotis dan Bier, 2003). Gejala awal dari keracunan makanan akibat enterotoksin stafilokoki umumnya berlangsung selama 2-6 jam atau pada masa inkubasi 30 menit sampai 7 jam setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung enterotoksin (atau ratarata terjadi pada 2-4 jam), tergantung dari ketahanan individu masing-masing. Gejala keracunan ditandai dengan mual, muntah, kram perut dan prostrasi. Pada kasus yang lebih serius ditandai dengan pusing, kram otot dan perubahan transient pada tekanan darah. Pemulihan umumnya terjadi selama 2-3 hari atau lebih. Kematian akibat enterotoksin stafilokoki jarang terjadi (Miliotis dan Bier, 2003). Akibat keracunan stafilokoki, rata-rata korban yang masuk rumah sakit mencapai 18% dengan nilai fatalitas 0.02%. Kerentanan terhadap keracunan ini bisa terjadi pada setiap orang, namun biasanya menyerang anak-anak dan orangtua. Namun intensitas timbulnya gejala pada masing-masing individu
16
berbeda tergantung dari jumlah makanan yang dimakan dan kerentanan terhadap toksin.
Dosis Infeksi S. aureus Staphylococcus aureus menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan gastroenteritis. Jumlah sel yang diperlukan oleh Staphylococcus aureus untuk menghasilkan racun yang cukup sehingga bersifat meracuni adalah 106 CFU/g (Buckle et al., 1987; Jay, 2000). Namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Harmayani et al., (1996), enterotoksin belum dapat terdeteksi pada total populasi S. aureus mencapai >106 CFU/g. Pada kasus-kasus keracunan makanan, biasanya jumlah S. aureus mencapai 108 CFU/g atau lebih. Shapton dan Shapton (1993) menyatakan bahwa populasi Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk menghasilkan toksin adalah 5 x 106 CFU/g, dimana toksin yang dihasilkan bersifat tahan panas. Oleh karena itu, walaupun bakterinya sudah mati karena pemanasan kemungkinan toksinnya masih tetap dapat bertahan. Menurut Ray dan Bhunia (2008) keracunan Staphylococcus aureus disebakan karena terkonsumsinya toksin dalam jumlah 100-200 ng yang dihasilkan oleh 106-107 CFU/ml atau CFU/g dalam 30 g/ml makanan. Pada individu yang memiliki sensitivitas tinggi, dosis 100-200 ng sudah dapat menyebabkan penyakit (Miliotis dan Bier, 2003). US FDA (2001) menyatakan bahwa jumlah toksin Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk menyebabkan keracunan pangan sebesar 1.0 μg. Pada level ini dicapai jumlah bakteri sebanyak 1.0 x 105 CFU/g atau CFU/ml.
Keracunan Makanan oleh Stafilokoki Keracunan pangan karena Staphylococcus aureus terjadi melalui intoksikasi. Intoksikasi adalah tertelannya toksin yang dihasilkan oleh bakteri patogen pada pangan ke dalam saluran pencernaan. Dalam hal ini tidak diperlukan sel vegetatif selama konsumsi untuk terjadinya keracuanan. Keracunan pada manusia disebabkan oleh konsumsi enterotoksin yang dihasilkan oleh beberapa strain Staphylococcus aureus di dalam makanan, biasanya karena makanan tersebut tidak disimpan pada suhu yang cukup tinggi (>60°C) atau cukup dingin (<7.2°C)
17
(Ray dan Bhunia, 2008). Kemampuan galur Staphylococcus aureus untuk tumbuh dan memproduksi enterotoksin pada kisaran kondisi lingkungan yang luas, ketahanan panas toksin, dan penanganan yang salah menjadi penyebab utama kasus keracunan pangan di berbagai dunia (Ray dan Bhunia, 2008).
Tabel 5 Faktor-faktor yang berkontribusi pada kasus keracunan pangan Faktor Faktor yang berhubungan dengan pertumbuhan mikroba Penyimpanan makanan pada suhu ruang Suhu pembekuan yang tidak tepat Penyiapan makanan yang terlalu lama saat penyajian Holding pada suhu panas yang tidak cukup Thawing yang tidak tepat Penyajian makanan dalam jumlah yang terlalu banyak Faktor yang berhubungan dengan ketahanan mikroba Pemanasan ulang yang tidak tepat Pemanasan yang tidak cukup Faktor yang berhubungan dengan kontaminasi Pekerja/ karyawan Kontaminasi pangan olahan nonkaleng Kontaminasi bahan pangan mentah Kontaminasi silang Pembersihan Peralatan pengolahan yang tidak tepat Sumber yang tidak aman Kontaminasi makanan kaleng Forsythe (2000)
Persentase
43 32 41 12 4 22 17 13 12 19 7 11 7 5 2
Pada tahun 1989 di Starkville, Mississippi, terjadi kasus keracunan pangan S. aureus yang disebabkan karena konsumsi jamur kaleng (CDC, 1989). Sebanyak 22 orang mengalami gastroenteris selama beberapa jam setelah memakan makanan di kafetaria kampus. Gejala keracunan yang terjadi meliputi mual-mual, muntah, diare, dan kejang perut. Sebanyak sembilan orang korbannya dilarikan ke rumah sakit. Setelah diidentifikasi, ditemukan adanya enterotoksin stafilokoki A pada sampel jamur dalam omlet bar. Ham juga terlibat pada kasus keracunan di sebuah rumah sakit di Puerto Rico. Sebanyak 25% dokter, perawat, dan pegawai sakit setelah makan siang di rumah sakit tersebut. Ham disiapkan oleh sebuah jasa katering pada hari yang
18
sama. Pada ham yang tersisa, muntahan pasien, serta hidung dan tenggorokan pasien ditemukan S. aureus (Bergdoll, 1992) Pada bulan September 1997, terjadi kasus keracunan pangan di Florida (USA) karena konsumsi ham yang terkontaminasi toksin S. aureus. Sebanyak 31 orang dari 125 orang yang mengikuti pesta mengalami keracunan. Gejala keracunan yang terlihat meliputi mual (94%), muntah (89%), diare (72%), berkeringat (61 %), menggigil (44 %), lesu (39 %), kram otot (28 %), pusing kepala (11%) dan demam (11 %). Gejala keracunan berlangsung selama 3-6 jam setelah mengkonsumsi ham dan berakhir setelah 24 jam. Ternyata, sehari sebelum pesta, sebanyak 8 kg ham mentah dan packed ham dipanggang selama 1.5 jam pada suhu 204°C. Setelah dipanggang, ham diiris dengan slicer yang tidak bersih. Ham yang telah dipotong ditempatkan di wadah plastik yang dilapisi alumunium foil, dan disimpan selama 6 jam dalam lemari pendingin. Di hari selanjutnya ham disajikan dalam keadaan dingin. Kemungkinan ham terkontaminasi S. aureus selama pemotongan dengan slicer (Bergdoll, 1992). Pada tahun 1996, di Institut Robert Koch, Wernigerode, Jerman dilaporkan terjadi kasus keracunan pangan yang disebabkan oleh konsumsi Schwarzwalder Schinken. Produk ham (sekurang-kurangnya pada 6 batch berbeda) diketahui terkontaminasi oleh enterotoksin S. aureus. Investigasi lebih lanjut memberikan beberapa kesimpulan bahwa kontaminasi terjadi karena rendahnya praktik higiene pada area produksi; produk ham terkontaminasi S. aureus dalam jumlah yang cukup tinggi dan hampir semua isolat yang diuji menghasilkan enterotoksin (Bergdoll, 1992). Akhir Juni tahun 2000, konsumen minuman susu di Jepang mengalami keracunan akibat S. aureus . Pada 30 Juni 2000, sebanyak 1,152 pasien dilaporkan mengalami muntah-muntah, mual, dan diare. Pada tanggal 6 Juli jumlah pasien meningkat sampai 10,780 dan 159 diantaranya dilarikan ke rumah sakit. Setelah 7 Juli, laporan jumlah pasien mengalami peningkatan kembali menjadi 12.929 dan tanggal 11 Juli pasien mencapai 14,000 pasien. Total, sebanyak 14,555 orang dilaporkan sakit. Badan Penelitian Epidemiologi Jepang menyatakan bahwa susu dari Snow Brand Food Co Ltd, perusahaan olahan susu terbesar di Jepang, terkontaminasi enterotoksin S. aureus. Kontaminasi terjadi karena perusahaan
19
tersebut tidak menggunakan sistem pembersih dan disinfeksi otomatis. S. aureus dalam jumlah besar terdeteksi di bagian pipa pengolahan. Hal ini terjadi karena pipa pengolahan tidak dibersihkan selama 3 minggu (Bergdoll, 1992). Bulan Maret dan April tahun 2002, kasus keracunan pangan akibat S. aureus terjadi di Australia. Kasus ini mengakibatkan sebanyak 250 orang menjadi korban. Sekitar 600 orang berpartisipasi dalam kegiatan di Imam Ali Islamic Centre, Victoria. Pada tempat tersebut disajikan makanan yang terdiri atas nasi, kentang, dan daging. Beberapa orang langsung mengkonsumsi makanan tersebut dan sebagian lainnya membawa makanannya ke rumah. Beberapa orang yang memakan makanannya di rumah mengalami keracunan. Lebih dari 100 pasien dilarikan ke rumah sakit (Bergdoll, 1992). Sementara di Indonesia tidak semua kasus keracunan pangan dilaporkan. Menurut Kusumaningrum (2009), nasi bungkus pernah beberapa kali dilaporkan, seperti kasus keracunan di Tasikmalaya tahun 2009 yang memakan korban sebanyak 148 orang. Pada nasi bungkus tersebut ditemukan S. aureus. Pada tahun 2005, sebanyak siswa di Sanggau, Kalimantan Barat juga keracunan setelah mengonsumsi nasi bungkus yang kemudian ditemukan mengandung S. aureus dan Streptococcus faecalis. Pada tahun 2007 terjadi keracunan makanan pada 36 orang setelah mengonsumsi camilan yang terbuat dari beras ketan di sebuah hotel di Kota Padang. Hasil uji klinis di laboratorium menunjukkan positif S. aureus (Gentina et al., 2008).
Metode Deteksi S. aureus Tahapan dalam mendeteksi suatu patogen terdiri dari 5 tahap yaitu : prapengkayaan untuk menyembuhkan kembali sel-sel bakteri yang luka; pengkayaan untuk meningkatkan proporsi patogen terhadap mikrobiota ; isolasi untuk mengisolasi atau mengidentifikasi patogen presumtif pada media agar; identifikasi untuk mengkonfirmasi secara biokimiawi patogen presumtif dan konfirmasi untuk mengkonfirmasi keberadaan patogen secara serologi atau dengan metode molekular (US FDA, 2001).
20
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mendiagnosis keberadaan S. aureus meliputi metode seleksi media, platting secara langsung dan isolasi pada media pengayaan. Metode isolasi pada media pengayaan dan platting langsung merupakan metode yang sering digunakan untuk mendeteksi dan menghitung S. aureus di dalam makanan. Prosedur pengayaan ada yang selektif dan non selektif. Pengayaan non selektif bertujuan untuk menunjukkan adanya pertumbuhan sel yang luka (injured) dan dihambat oleh adanya komponen toksik yang terdapat pada media pengayaan selektif. Penghitungan dengan metode isolasi pada media pengayaan atau khususnya media selektif, dapat dilakukan dengan menggunakan metode Most Probable Number (MPN) atau Angka Paling Mungkin. Metode MPN dapat digunakan sebagai analisis rutin pada produk yang jumlah S. aureus-nya rendah dan pada makanan yang mengandung populasi kompetitor tinggi. Metode platting secara langsung cocok digunakan untuk analisis makanan yang mengharapkan jumlah S. aureus mencapai lebih dari 100 sel/g. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan metode ini adalah peralatan, media, reagen, persiapan sampel dan prosedur isolasi serta penghitungan S. aureus (US FDA, 2001). Media diagnosis yang digunakan untuk mendeteksi dan menghitung Staphylococcus aureus harus memperhatikan beberapa sifat dari bakteri tersebut antara lain yaitu kemampuannya untuk tumbuh pada konsentrasi NaCl sebesar 7.5 atau 10%, lithium klorida sebesar 0.01-0.05% dan glisin sebesar 0.12 - 1.26% atau 40 ng/mL polimiksin; kemampuannya mereduksi potasium telurit dan membentuk koloni hitam secara aerobik maupun anaerobik; bentuk, ukuran dan pigmen koloni;
aktivitas
koagulase
dan
produksi
asam
pada
medium
padat;
kemampuannya menghidrolisis kuning telur; produksi termonuklease, aseton, β-galaktosidase, fosfatase dan toksin α (hemolisin) dan dapat tumbuh pada suhu 42-430C di atas agar selektif (Bergdoll, 1990). Media yang digunakan untuk melihat pertumbuhan S. aureus dan produksi enterotoksinnya yaitu Trypticase Soya Agar (TSA) yang diinkubasi pada 37oC selama 24 jam. Media yang digunakan sebagai uji penduga keberadaan S. aureus yaitu Baird Parker Agar (BPA) sebagai media selektif dengan kandungan kuning telur (egg yolk) dan telurit. Media yang digunakan untuk pemeliharaan isolat dan
21
mengkonfirmasi koloni tunggal Staphylococcus aureus yaitu agar darah dan Brain Heart Infusion (BHI) yang diinkubasi pada suhu 370C dengan shaking (US FDA, 2001). Studi tentang karakterisasi molekular S. aureus telah banyak dilakukan, baik untuk deteksi dan untuk identifikasi klaster S. aureus, mempelajari hubungan genetika isolat-isolat yang berasal dari kasus klinis ataupun dari pangan, menjelaskan keragaman filogenetiknya maupun untuk membuat primer PCR yang tepat untuk mendeteksi keberadaan bakteri ini. Shehata (2008) melakukan isolasi S. aureus yang bersumber dari kasus klinis seperti urin dan pangan seperti daging masak, susu sapi serta susu kacang kedelai. Isolat kemudian diidentifikasi secara molekular dengan metode Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)-PCR menggunakan jumlah DNA primer sebanyak 11 buah, yang terdiri dari 105 buah pita, dimana 59 pita penandanya bersifat polimorfik dengan ukuran 200-2500 pasang basa. Hasilnya adalah bahwa isolat yang diuji memiliki 70% koefisien persamaan. Metode ini umumnya digunakan untuk jumlah sampel yang relatif besar, dan menggunakan DNA primer yang spesifik serta bervariasi dengan sekuen oligonukleotida acak. Staphylococcus
aureus
memiliki
beberapa
faktor
virulensi
yang
menyebabkan terjadinya penyakit. Hal ini dapat dideteksi dan diidentifikasi secara molekular juga, yaitu dengan cara mengamplifikasi gen yang diinginkan melalui teknik Polimerase Chain Reaction (PCR). Rall et al., (2008) mendeteksi gen penghasil enterotoksin stafilokoki yang berasal dari susu sapi mentah dan susu sapi pasteurisasi. Berdasarkan penelitian tersebut, 57 galur S. aureus hasil isolasi, sebesar 39 isolat (68.4%) positif mengandung satu atau lebih gen SE. Enterotoksin stafilakoki yang paling ditemukan yaitu SEA (41%) dan SEA (20.5%). Identifikasi galur S. aureus dan hubungan filogenetiknya dapat dilihat berdasarkan gen 16S rRNA. Nilai kesamaan untuk sekuen gen 16S rRNA terhadap 29 spesies isolat Staphylococcus spp berkisar antara 92 sampai 99% (Kwok et al., 1999). Selain dengan 16S rRNA, identifikasi S. aureus dan hubungan filogenetiknya juga dapat dilakukan secara lebih spesifik, yaitu dengan melakukan amplifikasi gen nuc, yang merupakan gen penyandi enzim nuklease
22
stabil terhadap panas dan gen hsp60 (heat shock protein 60 kDa). Hasilnya menunjukkan bahwa kedua gen tersebut lebih dapat membedakn secara efektif genus dan spesies bakteri Staphylococcus (Stackebrandt dan Goebel, 1994).
Enterotoksin Stafilokoki (SE) Enterotoksin stafilokoki (SE) adalah kelompok protein dengan rantai tunggal dan bersifat antigenik dengan berat molekul sekitar 26,000-29,000 yang diproduksi oleh beberapa jenis stafilokoki terutama oleh S. aureus, tetapi bisa juga oleh S. intermedius, S. hyicus, S. xylosus dan S. epidermis. Enterotoksin termasuk protein netral dengan nilai isoelektrik sebesar 7 – 8.6. Zat ini resisten terhadap enzim-enzim proteolitik, seperti tripsin dan pepsin, hal inilah yang memungkinkan bagi enterotoksin untuk dapat masuk ke dalam saluran pencernaan menuju sisi aksinya. Toksin ini sangat stabil dalam pemanasan, dan membuat enterotoksin menjadi titik potensial bahaya kesehatan dalam pembuatan makanan kaleng (Monday dan Bennet, 2003). Ada sekitar 14 jenis enterotoksin stafilokoki berbeda yang telah diidentifikasi sampai saat ini. Keempat belas jenis SE (SEA hingga SEO) diidentifikasi berdasarkan antigenisitasnya dan mereka dinamakan dengan huruf abjad secara berurutan berdasarkan waktu penemuannnya. Tidak ada enterotoksin F karena huruf ini telah dialokasikan sebagai sebuah protein yang bukan enterotoksin, yaitu toxic shock syndrome toxin (TSST) (Monday dan Bennet, 2003). Enterotoksin stafilokoki merupakan suatu protein pendek yang dapat disekresikan di dalam medium larut air dan larutan-larutan garam. Beberapa karakteristik biokimia SE ditampilkan pada Tabel 6.
23
Tabel 6 Karakteristik utama SE
Jenis SE A B C1 C2 C3 C(Bovine) C(Domba) C(kambing) D
Panjang ORF (bp)
Panjang Prekursor (aa)
774 801 801 801 801
257 266 266 266 266
Panjang SE Matang (aa) 233 239 239 239 239
Berat Molekul (kDa) 27100 28336 27531 27531 27563 27618 27517 27600 26360
pI
Referensi
7.3 8.6 8.6 7.8 8.1 7.6 7.6 7.0 7.4
Betley dan Mekalanos, 1985, 1988 Johns dan Khan, 1988 Bohach dan Sclievert, 1987 Bohach dan Scilievert, 1989 Hovde et al., 1990 Marr et al., 1993 Marr et al., 1993 Marr et al., 1993 777 258 228 Chang dan Bergdoll, 1979 Bayles dan Landolo, 1989 E 774 257 230 26425 7.0 Couch et al., 1988 G 777 258 233 27043 5.7 Munson et al., 1998 H 726 241 218 25210 Td Su dan Wong, 1995 I 729 242 218 24928 Td Munson et al., 1998 J 806 268 2452 285652 8.652 Zhang et al., 1998 K 729 242 219 25539 6.5 Orwin et al., 2001 1 1 1 2 2 L 723 240 215 24593 8.66 Fitzgerald et al., 2001 M 7221 2391 2171 244822 6.242 Jarraud et al., 2001 N* 7201 2581 2271 260672 6.972 Jarraud et al., 2001 O* 7831 2601 2321 267772 6.552 Jarraud et al., 2001 *Sebelumnya bernama SEK dan SEL di dalam Jarraud et al., 2001, dinamakan kembali berturut-turut menjadi SEM dan SEO, di dalam catatan koreksi dipublikasi di dalam J. immunol 166 : 4260 (2001) 1 Panjang SE matang ditentukan oleh penulis setelah Henrik Nielson, Jacob Engelbrecht, Seren Branak dan Gunnar von Heijne : Identification of prokayotic and eukaryotic signal peptides and prediction of their cleavage sites. Protein Eng 10 :1-6 (1997) 2 Berat molekul dan titik isoelektrik SE matang ditentukan oleh penulis menggunakan software MWCALC, Infobiogen, http://www.infobiogen.fr/service/analyseq/cgi-bin/mwcalc_in.pI Td, tidak ditentukan Le Loir et al. (2003)
Enterotoksin stafilokoki disandikan oleh gen-gen yang berlokasi di plasmid, bakteriofag, atau elemen genetik heterolog (phatogenicity islands). Proses translasi akan menghasilkan sebuah protein prekursor yang mengandung sekuen utama dengan N-terminal yang dibelah selama pemindahan dari sel untuk membentuk protein enterotoksin matang. Adanya sedikit variasi di dalam proses modifikasi pasca translasi sangat mungkin terjadi, sebagai bukti yaitu keberadaan tiga iso-form SEA dengan tiga titik isoelektrik yang berbeda. Enterotoksin stafilokoki kaya akan residu amino lisin, asam aspartat, asam glutamat dan tirosin. Secara keseluruhan, 15% residu asam amino akan tetap terpelihara di dalam SE
24
dan ini terjadi pada empat bentangan sekuen utama yang berlokasi baik di tengah maupun di C terminal. Tabel 7 menampilkan persentase identitas asam amino dari beberapa jenis enterotoksin stafilokoki yang menunjukkan seberapa besar kemiripan antar mereka.
Tabel 7 Persentase identitas asam amino pada SE yang berbeda
f
Toksin
SEA
SEB
SEC1
SED
SEE
SEG
SEH
SEI
SEJ
SEM
SEN
SEA
100
33
30
50
83
27
37
39
64
35
39
37
100
68
35
32
43
33
31
33
29
32
36
100
31
29
41
27
26
30
26
29
33
100
52
27
35
33
51
41
38
39
100
27
35
35
63
37
39
37
100
34
28
29
28
31
30
100
33
35
38
34
31
100
34
31
31
57
100
38
42
33
100
28
31
100
42
SEB SEB SEC1 SEC1 SED SEE SEE SEG SEG SHE SEH SEI SEI SEJ SEJ SEM SEM SE
SEN
SEO
100
SEO SEO
Setelah Jarraud et al., 2001. Penamaan dikoreksi oleh penulis setelah catatan koreksi dipublikasi di dalam J. Immunol. 166:4260. Amino acid sequences of the precursors were compared using Blast2 sequence (open gap of 11 and extension gap penalties of 1)
Le Loir et al. (2003)
Gen yang menyandi setiap SE mempunyai support genetiknya masingmasing, namun kebanyakan berupa elemen-elemen genetik yang bersifat mobil. Sebagai contoh, sea dibawa oleh famili faga sederhana. Berdasarkan kromosomnya, seb berlokasi pada beberapa isolat klinis, dimana seb ditemukan pada plasmid ukuran 750 kb pada galur-galur S. aureus lainya. Enterotoksin SECbovine disandikan oleh gen yang berlokasi pada phatogenicity island dan see dibawa oleh faga yang tidak sempurna. Sistem regulator utama yang mengatur ekspresi gen faktor virulensi S. aureus adalah aksesori gen regulator (agr) yang beraksi dengan bergabung dengan aksesori regulator staphylococcal (sar). Beberapa gen SE diatur oleh sistem agr. Gen seb, sec, dan sed menunjukkan
25
ketergantungan pada gen agr, sedangkan sea dan sej tidak bergantung pada gen agr. Penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al. (1998) menunjukan bahwa SEB yang menyerupai toxic shock syndrome toxins (TSST) tidak mempunyai regulator untuk transkripsi gen eksoprotein dan karenanya SEB bergantung pada sistem agr. Ekspresi gen agr sangat berkaitan dengan quorum sensing, produksi SE yang bergantung pada agr di dalam komponen makanan bergantung pada kemampuan S. aureus untuk meningkatkan densitas sel yang tinggi (diperkirakan 106 CFU/g) di dalam makanan, dan faktor lingkungan memainkan peran penting di dalam ekspresi gen SE (Betley dan Mekalanos, 1985). Tabel 8 menampilkan support genetik pada beberapa gen enterotoksin stafilokoki. Ada dua sifat enterotoksin stafilokoki, yaitu aktivitas mitogenitas dan emetik yang berlokasi pada bagian protein yang berbeda. Aktivitas mitogenitas toksin dipostulatkan pada segmen N-terminal (BM sekitar 6,000), sedangkan segmen
C-terminal
dan
molekul
bagian
tengah
sebagai
sisi
yang
bertanggungjawab terhadap aktivitas emetik. Kebanyakan SE mempunyai ikatan sistin yang dibutuhkan untuk pembentukan konformasi yang tepat dan yang kemungkinan besar terlibat dalam aktivitas emetik. SE bersifat sangat stabil, tahan enzim-enzim proteolitik seperti pepsin atau tripsin sehingga mereka tetap dapat beraktivitas di dalam saluran pencernaan meskipun ada kerja enzim proteolitik. SE juga tahan terhadap kerja enzim kemotripsin, renin, dan papain. Namun, ikatan sistin pada SEB dan SEC1 dapat dipecah oleh kerja enzim tripsin. SEB dapat dihancurkan oleh kerja enzim pepsin pada pH 2, tetapi akan resisten terhadap pepsin pada pH lebih tinggi dimana merupakan kondisi normal di dalam perut setelah proses pencernaan makanan. Enterotoksin stafilokoki sangat tahan panas; toksin diketahui lebih tahan panas di dalam produk makanan dibandingkan jika dikulturkan pada suatu media, tetapi mereka tetap dapat diinaktivasi dengan perlakuan panas seperti sterilisasi makanan kaleng apabila jumlahnya rendah (Bergdoll, 1983).
26
Tabel 8 Support genetika pada beberapa gen penyandi SE Gen sea seb sec1 secbov sed see seg
Lokasi Genetika Profaga
Referensi Betley dan Mekalanos, 1985; Borst dan Betley, 1994 Kromosom, plasmid, Shafer dan Landolo, 1978; Shalita et al., transposon 1977; Altboum et al., 1985 Plasmid Altboum et al., 1985 Phatogenicity island Fitzgerald et al., 2001 plasmid (pIB485) Bayles dan Iandolo, 1989 fage cacat Couch et al., 1988 Enterotoxin gene cluster Jarraud et al., 2001 (egc), kromosom egc, kromosom Jarraud et al., 2001 plasmid (pIB485) Zhang et al., 1998 Phatogenicity island Orwin et al., 2001 Phatogenicity island Fitzgerald et al., 2001 egc, kromosom Jarraud et al., 2001 egc, kromosom Jarraud et al., 2001 egc, kromosom Jarraud et al., 2001
sei sej sek sel sem sen* seo* * Le Loir et al., (2003)
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi SE Enterotoksin stafilokoki merupakan salah satu faktor virulensi yang dimiliki oleh S. aureus. Faktor virulensi inilah yang menyebabkan bakteri tersebut bersifat patogen, terutama jika sudah mengontaminasi produk pangan. Dampaknya tidak lain adalah keracunan pangan. Banyak variabel yang mempengaruhi jumlah produksi enterotoksin, oleh karena itu tidak ada hal dapat memprediksi dengan tepat jumlah dari S. aureus dalam masakan yang dibutuhkan untuk menyebabkan SFP (Staphylococcal food poisoning) ini. Faktor yang berkontribusi terhadap tingkat konsentrasi enterotoksin telah secara luas dipelajari, antara lain komposisi masakan, temperatur, dan keberadaan dari inhibitor (Doyle et al., 1997). Enterotoksin diproduksi pada kisaran suhu yang lebih rendah daripada suhu pertumbuhan normal S. aureus, suhu mempengaruhi baik jumlah maupun tingkat
27
produksinya. Suhu optimum untuk produksi enterotoksin sama dengan suhu optimum pertumbuhan dari bakteri S. aureus tersebut, sedangkan batas suhu untuk produksi enterotoksin sekitar 10ºC. Pada suhu ini produksi enterotoksin sangat lambat dan dalam satu penelitian dibutuhkan empat minggu untuk memproduksi enterotoksin (SEB) dari inokulasi sebanyak 106/g pada daging babi. Enterotoksin stafilokoki sangat resisten terhadap pembekuan dan pemanasan. Enterotoksin dapat bertahan pada semua jenis proses pasteurisasi komersial dan kadangkala dapat bertahan pula dalam proses sterilisasi pada makanan kaleng (Lund, 2000). Enterotoksin Staphylococcus diproduksi pada kisaran pH yang lebih rendah dari pada nilai kisaran pH pertumbuhan bakterinya, dan batas pH untuk dapat memproduksi enterotoksin pada makanan asam adalah 5. Nilai pH optimum untuk produksi enterotoksin berada pada kisaran 7 - 8. Sementara itu, secara umum nilai aw optimum untuk produksi enterotoksin lebih tinggi dari pada batas aw pertumbuhan bakteri S. aureus tersebut (Lund, 2000). Sumber lain yang menyajikan data mengenai faktor-faktor atau kondisi yang dapat mempengaruhi produksi enterotoksin dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Faktor-faktor yang mampengaruhi produksi enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus Faktor Pengaruh
Produksi Toksin Optimum
Kisaran
Suhu (ºC)
35-40
10-45
pH
5,3-7,0
4,8-9,0
aw
≥0,9
0,86-0,99
Atmosfer
5-20% 02
Anaerobik sampai aerobik
NaCl %
0,5
0-20
Adam dan Moss (1995)
Dalam bahan masakan tidak ada faktor tunggal yang dapat mengontrol pertumbuhan, daya tahan atau produksi enterotoksin oleh bakteri S. aureus, melainkan kombinasi dari beberapa faktor seperti aw, pH, Eh, dan suhu. Interaksi faktor-faktor tersebut terjadi dalam bahan pangan yang diolah secara berbeda,
28
diformulasikan dengan cara yang berbeda, dan disimpan dalam kondisi tertentu. (Lund, 2000). Sistem regulator utama yang mengatur ekspresi gen faktor virulensi S. aureus adalah berupa aksesori gen regulator (agr) yang beraksi dengan bergabung dengan aksesori regulator staphylococcal (sar). Staphylococcus aureus dalam memproduksi enterotoksin stafilokoki membutuhkan beberapa kondisi lingkungan yang mendukung seperti asam amino pada kebutuhan nutrisinya, konsentrasi garam dan tingkat keasaman. Staphylococcus aureus membutuhkan asam amino valin untuk pertumbuhannya dan arginin serta sistein untuk pertumbuhan sekaligus produksi enterotoksin stafilokoki. Untuk beberapa jenis enterotoksin stafilokoki seperti SEB dan SEC, keberadaan glukosa justru dapat menghambat produksi enterotoksi stafilokoki. Kondisi ini merupakan dampak dari proses metabolisme glukosa yang dapat mempengaruhi tingkat keasaman di lingkungan sekitarnya atau menurunkan pH . Hal ini juga sangat berpengaruh terhadap ekspresi gen agr, sebagai gen regulator utama yang mengatur ekspresi gen faktor virulensi (Le Loir et al., 2003). Produksi
enterotoksin
stafilokoki
akan
optimal
jika
kondisi
pH
lingkungannya netral dan menurun pada kondisi pH yang terlalu asam (di bawah 5). Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada pH 8,0 produksi SE sangat terhambat. Sedangkan pada pH 6,0 produksi SE akan berkurang sebanyak 50% dibandingkan dengan pH 7,0 (Supardi dan Sukamto, 1999). Pada umumnya produksi SEA kurang sensitif terhadap pH daripada SEB. Kultur medium yang dipertahankan pH-nya pada pH 7 menghasilkan lebih banyak SEB daripada kultur medium yang tidak dipertahankan pH-nya atau yang dipertahankan pH-nya pada kondisi asam. Menurut ICMSF (1996), SEA dapat dihasilkan pada aw yang lebih rendah daripada SEB. SEA dan SED umumnya dihasilkan pada kisaran kondisi pertumbuhan yang lebih luas daripada SEB. Produksi enterotoksin dapat dihambat dengan etil-4-hidroksibenzoat. Selain itu penambahan asam dengan menggunakan beberapa jenis larutan seperti asam asetat dan asam laktat juga dapat mempengaruhi produksi enterotoksin stafilokoki. Asam asetat memilki efek penghambatan yang kuat dibandingkan dengan asam laktat dalam produksi enterotoksin stafilokoki.
29
Penambahan sodium klorida yang cukup tinggi meningkatkan efek penghambatan tingkat keasaman. Enterotoksin stafilokoki tidak diproduksi pada konsentrasi garam di atas 12%. Pada SEB, SEC dan SED, pH yang tinggi atau bersifat basa juga mampu menurunkan produksi enterotoksin stafilokoki jenis tersebut sehingga ekspresi gen agr juga terhambat (Le Loir et al., 2003). Staphylococcus aureus merupakan salah satu jenis bakteri yang tidak mampu untuk berkompetisi dengan bakteri lainnya. Kompetisi bakteri yang terjadi di dalam produk susu menunjukkan bahwa pertumbuhan S. aureus yang bertahan cukup sedikit dan enterotoksi stafilokoki yang diproduksi pun juga sedikit jumlahnya. Bakteri asam laktat (BAL) yang umumnya terdapat di dalam susu pertumbuhannya lebih bersifat dominan karena bakteri ini memproduksi beberapa senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan S. aureus seperti asam laktat yang mampu menurunkan pH, oksigen peroksida dan substansi antimikrobial lainnya (bakteriosin) (Le Loir et al., 2003). Beberapa penelitian melaporkan bahwa spesies tertentu dari bakteri asam laktat dapat menghambat pertumbuhan S. aureus dan produksi enterotoksinnya, terutama golongan streptokoki dan pediokoki misalnya Pediococcus cerevisiae. Sedangkan Lactobasili dan Leuconostoc tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan hanya sedikit mempengaruhi
produksi
toksin.
Bakteri-bakteri
lain
misalnya
Serratia
marcescens, E. coli, dan Streptococcus faecalis tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan sel S. aureus, tetapi menghambat produksi enterotoksin (Ikeda, et al., 2005).
Mekanisme Aksi SE Pada mekanisme aksinya, enterotoksin stafilokoki yang dihasilkan oleh bakteri S. aureus memiliki sifat yang berbeda dalam memicu terjadinya kasus keracunan pangan. Enterotoksin tersebut ada yang bersifat memicu terjadinya muntah atau emetic activity dan ada yang bersifat superantigen. Namun mekanisme superantigen activity sudah jauh lebih baik karakterisasinya dibandingkan dengan emetic activity. Keberadaan cystine loop pada struktur enterotoksin stafilokoki menjadikan hal penting dalam terjadinya emetic activity. Hal ini tidak sama dengan
30
enterotoksin stafilokoki tipe I (SEI), yang meskipun memiliki struktur cystine loop tetapi SEI bersifat superantigen dan emetic (Le Loir et al., 2003; Pinchuk et al., 2009). Antigen sebagai sesuatu yang asing bagi tubuh, akan direspon oleh sistem imun yang ada, dalam hal ini adalah sel T. Sebagai senyawa asing, antigen akan berinteraksi dengan reseptor antigen sel T atau T-Cell Antigen Receptors (TCR) dan Major Histocompability (MHC) pada permukaan Antigen-Presenting Cells (APC) (Le Loir et al., 2003 dan Pinchuk et al., 2009). TCR akan mengalami proses glikosilasi heterodimer membentuk rantai α dan β serta rantai δ dan γ. Hal ini merupakan bagian dari tahap awal respon imun selular dan sebagai hal utama yang berperan dalam meningkatkan spesifisitas respon imun tubuh. Namun untuk kasus keracunan pangan yang disebabkan oleh enterototoksin stafilokoki, SE sebagai superantigen akan berinteraksi dengan reseptor antigen sel T (TCR) yang memiliki rantai spesifik ν dan β. Dari proses tersebut akan membentuk ikatan silang antara TCR dengan MHC kelas II pada permukaan APC. Ikatan silang ini yang menyebabkan terjadinya aktivitas nonspesifik dan proliferasi sel T serta produksi sitokin yang berlebih seperti interleukin-1 (IL-1), IL-2, interferon gamma (IFN-γ) dan Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α), sehingga terjadi efek toksisitas SE. Toksisitas SE mampu mengaktivasi terjadinya Toxic Shock Syndrome (Le Loir et al., 2003 dan Pinchuk et al., 2009). Mekanisme aksi enterotoksin stafilokoki seperti yang terlihat pada Gambar 2.
31
Gambar 2 Mekanisme aksi SE (Pinchuk et al., 2009)
Konstruksi Pustaka Gen 16S rRNA Keragaman mikroba mudah dimengerti melalui sistem klasifikasi. Metode molekuler untuk klasifikasi dan identifikasi berdasarkan filogenetik menggunakan parameter yang tidak bergantung pada kondisi pertumbuhan dan media yang digunakan. Pendekatan yang umumnya digunakan saat ini adalah melalui analisis sekuen gen 16S rRNA atau 23S rRNA. 16S rRNA merupakan gen yang bersifat spesifik terhadap spesies prokariot (Amann et al. 1994). RNA bekerja membawa informasi genetik dari DNA menjadi protein di dalam ribosom, dan RNA ribosom (rRNA) merupakan komponen utama penyusun berat ribosom, yaitu mencapai 65%. 16S dan 23S rRNA merupakan bagian dari subunit 30S dan 50S pada ribosom. Apabila 16S rRNA diisolasi dalam bentuk murni kemudian dicampur dalam urutan spesifik yang benar pada suhu yang sesuai, maka molekul ini secara spontan dapat menyusun diri kembali membentuk subunit 30S yang identik dalam struktur dan aktivitasnya dengan subunit 30S yang asli (Lehninger, 1982).
32
Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR atau polimerisasi berantai adalah teknik amplifikasi (perbanyakan) DNA spesifik dengan melakukan proses pemanjangan nukleotida dari primer yang merupakan pasangan komplementer dari utas DNA secara simultan. Proses pemanjangan nukleotida dilakukan oleh DNA polimerase berdasarkan cetakan DNA (Muladno, 2002; Yusuf, 2001). Menurut Muladno (2002), tahap-tahap PCR meliputi tahap denaturasi, penempelan primer pada cetakan DNA (annealing) dan tahap pemanjangan primer melalui reaksi polimerisasi nukelotida (extention). 1. Denaturasi Tahap ini merupakan tahap pengudaran DNA utas ganda menjadi DNA utas tunggal,
dimana
masing-masing
untai
dapat
mencetak
pasangannya
(komplementer). Denaturasi berlangsung pada suhu 90-95oC. 2. Penempelan primer pada cetakan DNA (annealing) Tahap ini merupakan tahap penempelan primer pada utas DNA cetakan yang telah terdenaturasi menjadi utas tunggal akibat kecocokan pasangan basa. Umumnya penempelan terjadi pada suhu 55-57oC untuk primer 20 mer dan 34-40oC untuk primer 10 mer. Suhu penempelan primer yang ideal umumnya adalah 5oC di bawah suhu leleh (Tm) dari tiap primer (Sambrook et a., 1989) 3. Pemanjangan primer DNA Setelah primer menempel pada utas tunggal DNA cetakan, maka DNA polimerase akan mensintesis utas DNA yang baru berdasarkan utas DNA cetakan. DNA polimerase mulai mensintesis DNA dengan mengikatkan deoksinukleotida pada ujung 3’-OH dari primer, sehingga arah pertumbuhan utas DNA yang baru adalah 5’-P ke 3’-OH. Síntesis DNA atau pemanjangan primer ini dilakukan pada suhu cukup tinggi, yaitu sekitar 72oC supaya tahap berikutnya (denaturasi protein) relatif lebih mudah dan enzim Taq DNA polimerase dapat bekerja optimal. Ketiga tahap di atas akan berulang beberapa kali sehingga proses amplifikasi DNA dapat terjadi. Untuk memudahkan proses reaksi berantai ini, maka reaksi dilakukan oleh mesin PCR. Mesin PCR terdiri dari suatu alat pemanas dan pendingin yang dapat diprogram sehingga dapat memanaskan pada
33
suhu dan selang waktu yang dikehendaki untuk setiap siklus pada suatu reaksi. Banyaknya pengulangan sangat tergantung dari kemampuan DNA polimerase untuk mensintesis DNA dan biasanya berkisar antara 25 dan 40 siklus. Reaksi polimerisasi ini berantai atau berulang, maka dibutuhkan primer dalam jumlah realtif banyak. Efisiensi reaksi dapat dilakukan dengan perlakuan pra-PCR pada suhu 95oC selama 5 menit untuk mendenaturasi DNA cetakan yang ukurannya relatif besar. Setelah reaksi selesai, biasanya ditambahkan perlakuan pasca-PCR pada suhu 72oC selama 5 menit. Hasil amplifikasi dapat dilihat dengan melakukan migrasi di dalam gel (elektroforesis). Menurut Sambrook et al., (1989) Kegagalan reaksi PCR selain karena tidak sempurnanya denaturasi atau suhu annealing yang terlalu tinggi, juga disebabkan oleh beberapa faktor lain diantaranya : 1. Konsentrasi DNA cetakan Proses PCR tidak memerlukan DNA dengan tingkat kemurnian tinggi, namun amplifikasi akan terganggu apabila DNA cetakan masih banyak yang terkontaminasi dengan deterjen, EDTA maupun fenol. Konsentrasi DNA yang dibutuhkan adalah 10-100 ng untuk setiap reaksi. 2. Pemicu reaksi Primer adalah rantai utas tunggal DNA yang pendek dan terdiri dari beberapa nukleotida. Umumnya terdiri atas 10-25 nukleotida (oligonukleotida). Primer yang biasa digunakan dalam percobaan adalah primer acak dan primer spesifik. Primer acak adalah primer yang susunan basa nukleotida seimbang sehingga dapat digunakan untuk analisis DNA dengan sampel yang belum diketahui susunan basa nukleotidanya. Primer spesifik adalah primer yang susunan basa nukleotidanya telah diketahui dan merupakan komponen dari utas DNA yang akan dianalisis. 3. Enzim Taq DNA Polimerase Pada proses replikasi DNA diperlukan adanya enzim untuk polimerisasi jalinan DNA. Enzim yang mampu mengkatalis replikasi DNA disebut DNA polimerase dan jenis yang biasa digunakan adalah Taq. Enzim ini bersifat termostabil, yang berasal daribakteri termofilik Thermus aquaticus yang dapat bertahan hidup pada suhu 94oC. Taq DNA polimerase bekerja secara optimum
34
pada suhu 75-80oC dan digunakan untuk membantu amplifikasi potongan primer dan proses pemanjangan DNA. Aktivitas enzim ini akan terhambat oleh adanya bufer fosfat, tetapi akan aktif apabila ditambahkan 10 mM tris dalam bufer pada suhu ruang dengan pH 8.3 (Sambrook et al. 1989). Taq DNA polimerase mulai aktif pada pH 8.2 - 9.0 dan suhu 65 - 72oC. 4. dNTP dNTP yang digunakan berupa campuran dari keempat macam nukleotida yaitu dATP, dGTP, dTTP dan dCTP. Larutan stok dNTP bersifat netral pada pH sekitar 7.0. Konsentrasi dNTP yang digunakan berkisar antara 0.1 - 1.6 mM untuk setiap reaksi. dNTP masih bersifat stabil sampai proses siklus berulang 50 kali hanya berkurang 50% (Newton, 1995). 5. Mg2+ Mg2+ mempengaruhi aktivitas enzim Taq DNA polimerase karena ion Mg2+ berfungsi sebagai kofaktor yang dapat membentuk kelat dengan larutan EDTA. Ion ini berperan dalam kestabilan primer pada tahap penempelan primer. 6. Bufer Bufer PCR terdiri atas larutan Tris-HCl dengan konsentrasi 10-50 mM dan pH 8.3 - 8,8 serta berperan dalam keberhasilan proses amplifikasi (Innis dan Gelfand, 1990). Proses penempelan primer pada bufer PCR dapat ditambahkan KCl dengan konsentrasi 50 mM.
Perunutan Basa Nukleotida (Sekuensing) Sekuensing DNA adalah suatu proses penentuan urutan basa suatu DNA. Proses ini menggunakan prinsip reaksi polimerisasi DNA secara enzimatis. Reaksi yang dilakukan secara in vitro ini dikembangkan oleh Sanger dengan cara memasukkan satu nukleotida ddNTP (dideoksi nukleosidatrifosfat) yang berbeda ke dalam masing-masing 4 reaksi untuk menghentikan reaksi polimerisasi. Teknik dideoksi sekuensing hanya mampu membaca dengan teliti urutan basa sepanjang 400 sampai dengan 500 bp (Brown, 1992). Sekuen DNA adalah informasi penting untuk mengetahui identitas, fungsi dan modifikasi suatu fragmen DNA atau gen dalam rekayasa genetik atau
35
bioteknologi secara umum. Berikut adalah tahap-tahap yang dilakukan dalam sekuensing : (i) Disiapkan empat macam reaksi polimerisasi DNA yang masing-masing mengandung primer DNA, dATP, dCTP, dGTP, dTTP, enzim DNA polimerase. (ii) Selanjutnya ke dalam masing-masing tabung ditambahkan satu ddNTP yang berbeda dan reaksi dijalankan. (iii) Hasil reaksi difraksionasi (dielektroforesis dengan gel poliakrilamida). (iv) Fragmen DNA hasil pemisahan kemudian divisualiasaikan secara otomatis atau manual (Brown, 1992).
Analisis Keragaman Genetika Keragaman mikroorganisme mudah dimengerti melalui sistem klasifikasi dan identifikasi berdasarkan filogenetik. Pendekatan yang umum digunakan dewasa ini adalah melalui analisis sekuen gen 16S rRNA. Gen 16S rRNA merupakan gen bagian dari DNA yang bersifat spesifik terhadap organisme prokariot, sehingga dapat dikatakan bahwa gen 16S rRNA juga dibentuk oleh gen 16S rDNA (Amann et al. 1994). Sekuen gen 16S rRNA memiliki ukuran sekitar 1550 bp dan terdiri dari dua daerah, yaitu variable region dan conserved region. Conserved region umumnya menggunakan primer yang bersifat universal dengan ukuran sekitar 540 bp. Variable region merupakan daerah sekuen yang digunakan untuk membandingkan tingkat genus, spesies dan subspesies dalam taksonomi. Sekuen gen 16S rRNA dapat membandingkan pada tingkat genus, spesies dan bahkan subspesies. Jika dibandingkan dengan 16S-23S rRNA, 16S rRNA lebih mudah digunakan dalam analisis filogenetik. Hal ini menyebabkan 16S-23S rRNA tidak dapat dipergunakan secara luas (Clarridge, 2004). Metode konvensional untuk melakukan identifikasi bakteri seperti karakterisasi fenotipik (morfologi dan reaksi biokimiawi) ternyata tidak cukup sensitif untuk membedakan antar galur bakteri. Hal ini disebabkan karena metode konvensional umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor fisiologis. Oleh karena itu pada tahun 1980-an, mulai dikembangkan standar baru untuk identifikasi bakteri berdasarkan
36
bagian yang stabil dari kode genetik. Beberapa kandidat bagian yang stabil untuk area genetik bakteri antara lain 5S, 16S, 23S rRNA dan ruang-ruang antar gen-gen tersebut. Bagian DNA yang sekarang banyak digunakan untuk tujuan taksonomi bakteri adalah gen 16S rRNA. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu : (i) gen 16S rRNA terdapat pada semua galur bakteri, (ii) gen 16S rRNA memiliki fungsi yang tidak berubah sepanjang waktu dan (iii) gen 16S rRNA memiliki ukuran panjang yang cukup untuk tujuan informatika (1500 bp). Metode lain seperti hibridisasi DNA sebenarnya memberikan resolusi yang lebih baik dibandingkan dengan sekuensing 16S rDNA, hanya saja metode ini sulit (memerlukan penggunaan isotop dan ketidakmudahan dalam membuat database sentral) dan membutuhkan banyak tenaga (Claridge, 2004). Metode identifikasi bakteri secara molekular bermanfaat untuk menganalisis keragaman genetik suatu spesies bakteri. Pengetahuan ini sangat berguna dalam melakukan evaluasi epidemiologi, sehingga sejarah alami suatu penyakit dan karakterisasi faktor-faktor risiko suatu penyakit dapat lebih mudah dimengerti, serta dapat meningkatkan perawatan medis yang lebih efektif dan tepat sasaran. Analisis keragaman genetik dapat diuji berdasarkan organisasi genom, ekspresi gen, struktur dan fungsi seluruh protein yang dimiliki oleh suatu organisme, salah satunya menggunakan bioinformatika. Bioinformatika adalah cabang komputasi dari ilmu biologi molekuler, yang mencakup teknologi pengumpulan, penyimpanan, analisis, intepretasi, distribusi dan aplikasi dari informasi biologi, sehingga untuk menggunakannya diperlukan internet dan server world wide web (www). Aplikasi bioinformatika menggunakan program komputer untuk analisis data biologi dan penyimpanan sejumlah data biologi yang dihasilkan genome project. Bioinformatika banyak berhubungan dengan sekuen, struktur, fungsi dan perbandingan seluruh genom, struktur 3 dimensi protein serta manajemen data (Claverie & Notredame, 2007). Beberapa program komputer dan database untuk bioinformatika yang dapat digunakan melalui internet antara lain: GeneMArk, NCBI (National Center for Biotechnology Information) dan Expasy. Akses NCBI dapat melalui program PubMed, Entrz, BLAST, Blankit, Taxonomy dan OMIM. Salah satu program yang umum digunakan adalah BLAST (Basic Local Alignment Search Tool), yang
37
merupakan
program
untuk
mencari
kesamaan
yang
didesain
dalam
mengeksplorasi permintaan semua database sekuen, baik berupa DNA maupun protein. Selain itu, BLAST juga dapat digunakan untuk mendeteksi hubungan antar sekuen yang hanya berbagi daerah tertentu dan yang memiliki kesamaan (Claverie dan Notredame, 2007). Terdapat beberapa variasi BLAST yang masing-masing dibedakan berdasarkan tipe sekuen (DNA atau protein) yang dicari dengan sekuen pada database. Menurut Claverie dan Notredame (2007) beberapa jenis program BLAST adalah sebagai berikut : BLAST untuk membandingkan sekuen asam amino dengan sekuen protein dalam database, BLASTN untuk membandingkan sekuen nukleotida dengan sekuen nukleotida dalam database dan BLASTX untuk membandingkan sekuen nukleotida yang ditranslasi pada seluruh ORF (Open Reading Frame) dengan sekuen protein database. Pada umumnya, bioinformatika dapat digunakan melalui beberapa tahap, diantaranya PubMed untuk mencari pengetahuan tentang subjek biologi secara cepat, mendapatkan sekuen protein maupun DNA yang relevan, membandingkan sekuen protein maupun DNA yang tersedia di database menggunakan BLAST dan melakukan analisis multiple alignment sekuen protein maupun DNA dengan Clustal W serta membangun pohon filogenetik (Claverie dan Notredame, 2007). BLAST merupakan alat pembanding suatu sekuen yang dicari dengan sekuen yang telah diketahui dengan cepat, yang dapat menjelaskan apakah sekuen yang ada memiliki kesamaan cukup signifikan atau tidak. Informasi ini dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan yaitu meliputi perkiraan fungsi protein, struktur 3 dimensi dan organisasi domain atau identifikasi homologi dengan organisme lain. Sekuen yang serupa berasal dari nenek moyang yang sama (Claverie dan Notredame, 2007). Hasil BLAST terdiri dari tiga bagian yang berbeda, yaitu grafik yang menunjukkan bagaimana porsi kesamaan sekuen yang dibandingkan, daftar hits yang berisi nama sekuen yang serupa dengan yang dicari urut berdsarkan kesamaan dan penjajaran (alignment) antara sekuen yang dicari dengan sekuen yang ada pada database (Claverie dan Notredane, 2007).
38
Multiple alignment digunakan untuk mengidentifikasi protein sekuen dimana sesungguhnya asam amino spesifik terdapat, yang dapat memberikan integritas struktural atau fungsi protein, menentukan tanda sekuen spesifik untuk famili protein serta mengklasifikasi sekuen dan membangun pohon filogenetik. Filogenetik adalah filogeni yang sesungguhnya membandingkan gen-gen yang ekivalen yang datang dari beberapa spesies untuk merekonstruksi pohon kehidupan (genealogic tree) dari spesies-spesies ini dan mengetahui siapa yang relatif berkerabat dekat dengan yang lain. Tujuan filogeni adalah merekonstruksi sejarah kehidupan dan menjelaskan adanya keragaman makhluk hidup. Prinsip filogeni adalah mencoba mengelompokkan makhluk hidup menurut tingkat similaritas (Claverie dan Notredame, 2007).