TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Infeksi Akibat Methicillin-Resistent Staphylococcus aureus
I Gede Nova Wirahjasa, Putu Agus Surya Panji
PENDAHULUAN
Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang diperoleh selama perawatan di rumah sakit. Umumnya biasanya infeksi nosokomial didapatkan penderita setelah 48 jam masa perawatan di rumah sakit. Sebagian besar infeksi nosokomial disebabkan oleh kuman-kuman yang resisten terhadap antibiotik. Pada suatu keadaan, infeksi ini disebabkan oleh kuman-kuman yang resisten terhadap banyak jenis antibiotik (multi drug resistant infection) atau bahkan oleh kuman yang telah resisten terhadap semua jenis antibiotik yang ada (pan-resistant infection). Kejadian infeksi jelas meningkatkan biaya perawatan di rumah sakit, akibat peningkatan morbiditas maupun mortalitas yang ditimbulkannya. Salah satu penyebab infeksi nosokomial yang saat ini telah tersebar luas di seluruh belahan dunia adalah infeksi yang disebabkan oleh kuman Staphylococcus aureus (S. aureus). Kuman ini dari sejak awal sejarah infeksi, telah menjadi bagian utama penyebab kesakitan dan kematian pasien. Dalam perjalanan pemakaian antibiotik, kuman ini telah berevolusi yang menjadikannya resisten terhadap antibiotik yang biasa dipakai untuk membunuh kuman ini. Terakhir golongan kuman ini telah resisten terhadap methicillin sehingga terkenal dengan namanya sebagai Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Methicillin - Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pertama kali dilaporkan tahun 1960. Lab SMF Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Jl. Kesehatan No. 1, Denpasar Korespondensi :
[email protected] Volume 2 Nomor 3 Juli 2012
Sejak itu semakin banyak kasus infeksi MRSA yang ditemukan hingga pada tahun 1970 terjadi penurunan kasus yang diduga karena pengawasan kasus infeksi dan penggunaan antibiotik yang baik. Namun kasus MRSA kembali banyak dilaporkan pada akhir dekade tersebut terutama di Australia, Irlandia dan Amerika Serikat.1,2 Epidemiologi
Saat ini diperkirakan sekitar 2-3% populasi umum telah terkolonisasi oleh MRSA. Jumlah ini akan meningkat lagi menjadi ±5% pada populasi yang berkelompok seperti militer dan penjara. Orang yang terkolonisasi akan mudah untuk terjadi infeksi, walaupun sebagian besar akan tetap asimtomatik. Antara tahun 1996-1999 dilaporkan bahwa 23 rumah sakit di Kanada terdapat 6% dari seluruh isolat S. aureus yang resisten terhadap methicillin, dengan rerata 4,14 kasus MRSA per 1000 pasien yang dirawat dari 35% pasien dengan infeksi. Sebagian besar isolat diperoleh dari MRSA yang berasal dari ruang perawatan akut (72,6%), 7,2% diperoleh dari bangsal perawatan, 4,6% diperoleh dari komunitas masyarakat, dan sisanya (15,6%) tidak diketahui asalnya.1 Di Amerika Serikat, selama 13 tahun (19932005) infeksi MRSA telah sangat berkembang. Pada tahun 2005 terdapat 368.600 kasus MRSA di rumah sakit seluruh AS. Keadaan ini menunjukkan adanya peningkatan sebesar 30% dibandingkan pada tahun 2004. Di Inggris sampai dengan tahun 2004 didapatkan data prevalensi bahwa: 1) MRSA menjadi masalah yang predominan pada usia lanjut (82% usia > 60 tahun; 2) strain MRSA yang ada 92% 135
Pengelolaan Infeksi Terhadap Methicillin-Resistent Staphylococcus aureus
resisten terhadap fluorouinolon dan 72% resisten terhadap makrolid; 3) sebagian besar isolat masih sensitif terhadap tetrasiklin, fusidic acid, rifampisin, dan gentamisin; 4) strain MRSA yang telah diuji 12% resisten terhadap mupirosin.2 Selama tahun 2006 di Laboratorium Patologi Klinik RSUP (Rumah Sakit Umum Pusat) Dr. Sardjito Yogyakarta diperoleh 3729 isolat kuman, yaitu 1128 dari spesimen darah, 825 dari spesimen urin, 957 dari spesimen sputum, dan 819 spesimen pus. Proporsi beberapa jenis kuman Gram (+) ternyata cukup signifikan. Spesies yang menonjol adalah S. epidermidis, S. aureus, dan S. viridians. Dari seluruh spesimen, diperoleh isolat S. epidermidis sebanyak 679 (18,2%), S. aureus 171 (4,6%), dan S. viridians 169 (4,5%). Sehingga ketiga kuman ini saja sudah mencapai 1019 isolat (27,3%). Untuk sediaan darah, S. epidermidis merupakan isolat yang terbanyak (34,5%). Dari sediaan sputum, S. viridians juga merupakan isolat yang terbanyak (17,7%), sedangkan S. aureus masuk dalam 5 besar isolat yang ditemukan di darah dan pus.3 Morfologi
S.aureus merupakan kuman gram positif berbentuk bulat dengan diameter 0,5-0,7 mm dan mempunyai dinding sel yang terdiri dari peptidoglikan, asam teikoik, fibronectin binding protein, clumping factors dan collagen binding protein. Komponen utama dinding sel adalah peptidoglikan yang menyusun hampir 50% dari berat dinding sel. Peptidoglikan tersusun dari polimer polisakarida (asam N-asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramik), polipeptida (L-Ala, D-Glu, L-Lys, D-Ala, D-ala) dan sebuah jembatan pentaglisin. Melalui katalisis transpeptidase oleh Penicillin-Binding Protein (PBP), setiap peptidoglikan akan saling berikatan dengan peptidoglikan lainnya dengan cara merubah rantai alanin agar berikatan dengan jembatan pentaglisin dari peptidoglikan lainnya. Proses menghasilkan suatu struktur dinding sel yang padat. Beberapa enzim juga dihasilkan oleh S.aureus, diantaranya koagulase, clumping factor, hialuronidase dan b-laktamase.4 S.aureus sudah dikenal sebagai penyebab infeksi sejak tahun 1882 oleh Ogston. Mikroorganisme ini merupakan flora yang juga ditemukan pada area perianal, inguinal, aksila dan hidung (nares anterior). Sekitar 11-32% individu sehat mempunyai mikroorganisme ini dan 25% ditemukan pada tenaga kesehatan rumah sakit. Persentase tersebut lebih tinggi lagi pada pengguna obat suntik, pasien 136
dengan masalah kulit dan pengguna infus. Individuindividu karier yang terpapar ini mempunyai makna klinis karena berresiko lebih tinggi terjadi infeksi dibandingkan bukan karier.2 Penatalaksanaan
Kontrol MRSA di Rumah Sakit Komunikasi merupakan hal yang penting untuk menekan penyebaran MRSA. Pemberitahuan adanya infeksi MRSA ini dapat dilakukan oleh pihak rumah sakit kepada unit-unit yang ada di masyarakat ataupun sebaliknya. Strategi “search and destroy” dilakukan di Belanda pada tahun 1989 berhasil menurunkan kejadian infeksi MRSA dibandingkan pada pertengahan 1980-an. Australia barat melakukan kebijakan penapisan dan kontrol infeksi yang agresif untuk menekan penyebaran MRSA dari luar negaranya. Denmark melakukan kebijakan mengontrol secara ketat peresepan antibiotik untuk infeksi, sehingga berhasil menurunkan kejadian MRSA dari 15% pada tahun 1971 menjadi hanya 0,2% pada tahun 1984. Pencarian dan pengobatan karier secara aktif dapat menurunkan jumlah infeksi MRSA pada saat kejadian wabah di Spanyol.5 Isolasi Walaupun tangan petugas kesehatan merupakan jalur utama penyebaran MRSA, infeksi silang di bangsal masih sulit untuk dicegah. Kuman stapilokokus dapat sangat mencemari lingkungan rumah sakit dan akan melepaskan partikel ke udara. Pasien yang terinfeksi dan jika memungkinkan karier, harus diisolasi dalam satu ruangan atau jika ada di unit isolasi dengan petugas khusus. Ruang isolasi harus selalu tertutup dan memiliki sistem ekstraksi yang membuang udara dari kamar ke ruang bebas. Hal ini akan mengurangi penyebaran antar ruang perawatan. Jika tidak ada unit isolasi khusus dan terbatasnya kamar pasien, maka semua pasien yang terinfeksi atau terkolonisasi MRSA dirawat dalam satu bangsal dengan petugas khusus untuk mengontrol outbreak secara efektif. Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam mengontrol infeksi jika tidak ada unit khusus isolasi adalah melakukan cuci tangan dengan benar, penggunaan sarung tangan, pakaian pelindung, dan pembuangan sampah. Penutupan Bangsal Penutupan bangsal atau unit perawatan perlu dilakukan jika isolasi pasien dan perawatan Majalah Kedokteran Terapi Intensif
I Gede Nova Wirahjasa, Putu Agus Surya Panji
khusus lainnya gagal mengontrol penyebaran dan diperkirakan akan menimbulkan risiko serius pada pasien baru yang masuk untuk perawatan di rumah sakit tersebut. Namun penutupan sebuah bangsal akan menimbulkan implikasi yang serius pada pelayanan kesehatan di rumah sakit yang bersangkutan sehingga perlu adanya faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penilaian risiko jika harus melakukan penutupan. Faktor-faktor tersebut adalah: 1) Jumlah kasus. Banyaknya pasien baru yang menjadi terinfeksi MRSA merupakan faktor yang paling penting dalam penilaian perkembangan suatu wabah. Pengumpulan data harus dilakukan secara cepat dan didiskusikan antara pihak manajemen rumah sakit dan petugas bangsal yang bersangkutan untuk menentukan keputusan yang rasional termasuk kemungkinan penutupan bangsal; 2) Strain MRSA. Strain yang resisten terhadap antibiotik akan menimbulkan kesulitan dalam terapinya dan di antaranya akan mudah menyebar. Adanya strain yang menyebabkan infeksi yang invasif merupakan indikasi relatif untuk penutupan suatu bangsal, khususnya pada bangsal yang berisi pasien dengan status imun yang rendah; 3) Aktivitas klinis. Ruang perawatan akut yang digunakan untuk area kritis seperti ICU, neonatologi, atau bedah kardiotorak merupakan area yang terakhir ditutup ketika terjadi suatu wabah. Ruang perawatan non-akut, seperti bedah elektif merupakan indikasi relatif untuk dilakukan penutupan lebih awal; dan 4) Jumlah petugas. Jumlah perawat dan petugas lainnya yang sedikit, rendahnya kemampuan, rendahnya hubungan antar profesi, atau jarangnya petugas senior yang terlibat dalam manajemen di bangsal akan membuat sia-sia penanganan infeksi. Penutupan bangsal disarankan jika terjadi hal seperti ini.1,5 Pengobatan pada karier MRSA Pasien dan petugas kesehatan di rumah sakit yang menjadi karier MRSA merupakan sumber dari penyebaran MRSA. Oleh karena itu diperlukan suatu usaha untuk mengeradikasi kolonisasi pada pasien dan petugas kesehatan tersebut. Pengobatan pada karier diberikan pada pasien yang berada di area dengan risiko klinik rendah, di mana situasinya mirip dengan situasi di masyarakat dan tidak ada interaksi dengan unit keakutan. Eradikasi diperlukan juga pada pasien yang akan dipindahkan ke unit khusus. Pasien usia lanjut dan lemah yang dalam masa perawatan sesudah operasi atau keadaan sakit berat mungkin tidak dapat menerima obat kombinasi seperti rifampisin dan asam fusidik untuk mengobati Volume 2 Nomor 3 Juli 2012
kolonisasi di mulut. Pemberian antiseptik topikal dapat juga menimbulkan kondisi ekserbasi dan iritasi di kulit. Sehingga pemberiannya harus hati-hati. Eradikasi pada hidung Pengobatan topikal yang paling efektif untuk eradikasi di hidung adalah mupirosin dengan dasar parafin (Bactroban Nasal®) yang dioleskan pada nares anterior 3 x/ hari selama 5 hari. Namun saat ini ditemukan adanya strain MRSA dengan level rendah (MIC 8-256 mg/1) dan level tinggi (>256 mg/1) yang resisten terhadap mupirosin. Strain MRSA level rendah masih dapat berespons terhadap mupirosin. Penggunaan mupirosin yang berulang-ulang dan lama dapat menyebabkan munculnya resistensi ini. Agen topikal lain seperti klorheksidin 1% dan Naseptin® (klorheksidine 1% + neomisin 0,5%) kurang efektif namun dapat mengurangi jumlah organisme di hidung. Agen topikal ini merupakan alternatif untuk strain yang resisten mupirocin, khususnya pada strain yang diketahui sensitif terhadap neomysin. Pemberian terapi sistemik dengan rifampisin dipertimbangkan pada keadaan jika keuntungannya lebih besar daripada efek sampingnya. Rifampisin harus selalu dikombinasikan dengan agen aktif lainnya untuk melawan MRSA seperti sodium fusidate, siprofloksacin, atau trimethroprim untuk mencegah timbulnya resistensi. Kejadian efek samping oleh karena rifampisin sangat tinggi, sehingga pasien ha rus diberitahu efek samping yang sering terjadi dan disarankan untuk menghentikan jika diperlukan. Eradikasi pada mulut
Pemberian topikal pada hidung sering kali tidak dapat membersihkan mulut atau sputum. Pemberian mupirosin lebih efektif dibanding dengan naseptin. Pemberian terapi sistemik seperti yang digambarkan diatas dipertimbangkan dapat diberikan. Dianjurkan untuk pemberian obat semprot mulut bersama-sama dengan mupirosin hidung untuk eradikasinya. Eradikasi pada kulit utuh
Perbatasan kulit pada tempat infeksi seringkali terkontaminasi oleh S. aureus yang dapat menyebar ke tempat lainnya. Jumlah S. aureus dapat berkurang dengan mencuci kulit dan rambut dengan sabun antiseptik. Reduksi yang progresif dari flora kulit dapat dilakukan dengan mandi setiap hari selama 3 hari berturut-turut dengan sabun yang mengandung klorheksidin, heksaklorofan, atau povidon-iodin. Pemberian emollient (Savlon®) disarankan pada pasien dengan problem kulit atau pada usia lanjut. Konsentrat ini dapat membunuh S. aureus yang ada di air mandi. Konsentrat ini kurang efektif dalam mereduksi kolonisasi kulit dibanding dengan 137
Pengelolaan Infeksi Terhadap Methicillin-Resistent Staphylococcus aureus
pemberian langsung sabun antiseptik. Sabun antiseptik penggunaannya harus hati-hati pada pasien dengan dermatitis, dan harus dihentikan jika terjadi iritasi kulit. Bubuk heksaklorofan (SterZac 0,33%®) merupakan agen anti- stapilokokus yang efektif digunakan pada neonatal dan dapat digunakan pada aksila dan genital orang dewasa jika ada kolonisasi. Namun jangan digunakan pada area kulit yang terluka. Eradikasi pada lesi kulit
Mupirosin dengan dasar polyethylene glycol (Bactroban®) merupakan agen antistafilokokal yang efektif untuk diberikan pada lesi kulit seperti eksim dan ulkus dekubitus superfisial kecil. Agen ini tidak boleh digunakan pada luka bakar yang luas atau area luka yang tidak beraturan dan banyak karena agen ini bersifat nefrotoksik. Penggunaan yang lama harus dihindari untuk mencegah timbulnya resistensi terhadap mupirosin. Eradikasi MRSA pada lesi kulit harus dilakukan bersama-sama dengan eradikasi pada tempat lainnya.6,7,8,9 CA-MRSA
Kolonisasi S. aureus di hidung telah diketahui sebagai salah satu faktor risiko untuk terjadinya infeksi MRSA. Kolonisasi MRSA terdapat juga di tempat lain, misalnya aksila, rektum, dan perineum yang juga penting dalam perkembangan dan penyebaran infeksi. Regimen yang digunakan untuk melakukan eradikasi kolonisasi yang ada di masyarakat sama seperti yang digunakan di rumah sakit. Strategi penatalaksanaan CA-MRSA MRSA harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding SSTI yang mungkin disebabkan oleh infeksi S. aureus. Adanya keluhan utama seperti “gigitan laba-laba” dari pasien menguatkan kecurigaan kita akan adanya infeksi S. aureus. MRSA juga perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada gejala-gejala lain yang disebabkan oleh infeksi S. aureus, termasuk sindrom sepsis, osteomielitis, artritis septik, dan pneumonia yang berat, serta pada sindrom berat yang tidak selalu dihubungkan dengan S. aureus, seperti necrotizing fascikulitis dan purpura yang fulminan. Para klinisi diharapkan mengumpulkan spesimen untuk dilakukan kutur pada semua pasien dengan abses atau lesi kulit yang purulen, khususnya pada keadaan infeksi lokal yang berat, adanya tanda-tanda infeksi sistemik. Walaupun antibiotik beta-lactam merupakan obat pilihan utama untuk SSTI, harus dipertimbangkan 138
adanya faktor risiko untuk terjadinya CA-MRSA (misalnya gelandangan dan angka kejadian setempat yang tinggi) selama proses terapi dilakukan. Dalam hal ini CA-MRSA harus menjadi salah satu diagnosis banding pada pasien dengan SSTI yang datang ke fasilitas kesehatan. Sebelum memulai terapi antibiotik jika ada indikasi harus dilakukan insisi dan drainase atau debridemen pada lesi kulit yang purulen, abses, atau lesi nekrotik. Perlu dipertimbangkan juga pemberian agen antibiotik yang melawan aktivitas streptokokus grup A dalam mengobati SSTI di mana ketika CA-MRSA sudah menjadi endemi. Saat ini streptokokus grup A sering ikut teridentifikasi pada endemi infeksi CA-MRSA.1 Terapi Sistemik Infeksi MRSA
Pengobatan pasien dengan infeksi MRSA tidak akan berpengaruh besar pada pencegahan penyebaran karena antibiotik sistemik yang digunakan hanya berpengaruh kecil pada status karier. Penggunaan antibiogram pada isolat pertama pada pasien sangat penting untuk memilih terapi yang sesuai. Apalagi jika pasien tidak melakukan respons klinis yang diharapkan. Diagnosis pasti dari infeksi yang invasif dapat ditegakkan jika kita dapat memperoleh spesimen yang tepat, seperti pus, jaringan, atau lavase bronkoalveolar untuk mengkonfirmasi diagnosis mikrobiologik dari infeksi.10,11 Fluorokuinolon Fluorokuinolon generasi terbaru seperti levofloksasin dan moksifloksasin memiliki kemampuan yang lebih baik sebagai antistafilokokal. Kedua obat ini dapat digunakan pada strain yang resisten terhadap siprofloksacin. Namun penggunaan kedua agen ini harus hati-hati dan terbatas karena kemungkinan untuk terjadinya resistensi. Levofloksasin terdapat dalam sediaan pemberian oral dan injeksi. Kedua rute pemberian ini memiliki kekuatan yang sama. Pada pemberian oral absorbsinya dipengaruhi adanya makanan yang akan memperpanjang waktu paruh dan kadar maksimalnya, sehingga pemberiannya harus dengan jarak 1-2 jam setelah atau sebelum makan. Obat ini akan berikatan dengan protein 24- 38%. Ekskresi terbanyak melalui urin. Dosis yang digunakan adalah 750mg/24 jam peroral/intravena selama 7-14 hari. Moksifloksasin terdapat dalam sediaan pemberian oral dan injeksi, berikatan protein sebanyak 30-50%. Dosis pemberiannya 400mg/24 jam peroral/intravena selama 7-21 hari.11 Majalah Kedokteran Terapi Intensif
I Gede Nova Wirahjasa, Putu Agus Surya Panji
Vankomicsin Vankomisin telah dan masih merupakan terapi utama untuk terapi infeksi Meticillin Resintant Staphylococus aureus (MRSA) lebih dari 50 tahun, tetapi kegagalan terapi telah sering dilaporkan. Vankomisin memiliki hasil klinis yang lebih buruk dibandingkan dengan obat beta laktam untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh kecurigaan strain.2,3,5,7,8 Kelemahan intrinsic dari vankomisin termasuk kemampuan penetrasinya ke jaringan yang sangat rendah, terutama di paru-paru, memiliki kemampuan membunuh bakteri yang rendah. Strain Vancomycin Resistant Staphylococcus aureus (VRSA) masih jarang terjadi. Strain-strain ini sejauh ini memiliki konsekuensi klinis yang terbatas, belum dihubungkan dengan penyakit klinis invasive. Strain ini telah diisolasi secara umum dari pasien yang terinfeksi atau terdapat koloni MRSA dan Vancomycin resistant enterococc, Strain Vancomycin intermediate S. aureus (VISA) awalnya dilaporkan di Jepang oleh Hiramatsu pada tahun 1996. Karena kemampuan penetrasi ke jaringan yang rendah, pasien yang terinfeksi oleh strain-strain ini memiliki respon yang buruk terhadap obat ini. Ketika hanya terdapat bagian dari strain S. aureus intermediate terhadap Vankomisin, strain jenis ini disebut strain hetero-VISA. Strain ini lebih sering dibandingkan dengan VISA, dan lebih sulit untuk ditangani dibandingkan dengan strain yang mudah diisolasi. Terdapat perhatian yang berkembang terhadap efek Vankomisin yang mampu menurunkan aktifitas infeksi MRSA yang disebut ‘vancomycin creep’ yang didefinisikan sebagai peningkatan progresif terhadap MICs untuk mengisolasi S. aureus, dengan strain masih mudah untuk diisolasi tetapi berada pada batas tertinggi pada rentang kemudahan oleh CLSI. Satu pendekatan alternatif adalah memberikan vankomisin dengan rifampin, praktik klinis umum pada beberapa institusi. Sehingga, data in vitro berkenaan superioritas kombinasi ini kontradiktif pada strain 25-27, dan informasi dari model binatang atau manusia tidak cukup bagi kami untuk menyimpulkan jika menambahkan rifampin pada vankomisin untuk penatalaksanaan MRSA selalu lebih baik dibandingkan dengan pemberian vankomisin sendiri. Beberapa hasil menyarankan pertimbangan terhadap hepatotoksisitas, interaksi obat dan pertimbangan hati-hati terhadap risk and benefit sebelum menambahkan rifampin pada antimikroba standar untuk pengobatan infeksi S. aureus berat. Menggunakan pendekatan yang berbeda, Volume 2 Nomor 3 Juli 2012
menggunakan dosis tunggal gentamisin yang ditambahkan pada vancomisin dapat memaksimalkan aktivitas sinergis dan bakterisidal dan meminimalisir toksisitas pada terapi S. aureus dengan Gentamisin MIC <500mg/L, tetapi tidak pada S.aureus yang telah terbukti resisten terhadap Gentamisin.10,12 Linezolid Linezolid merupakan generasi pertama Oksazolidinon, kelas terbaru dari agen antimikroba. Linezolid menghambat sintesis protein pada tingkat ribosom, dan mungkin memiliki efek bakterisida atau bakteriostatik, tergantung pada kebutuhannya Linezolid secara in vitro aktif melawan sebagian besar bakteri gram positif, termasuk methicillinsusceptible S aureus (MSSA) dan MRSA. Telah terdapat laporan yang tidak bisa dipercaya akan keberadaan resistensi MRSA terhadap linezolid. Bioavailablisitas linezolid jika diberikan melalui oral sangatlah baik (lebih dari 90%), dan dapat diberikan secara intravena. Volume distribusi kirakira 20 L, ikatan terhadap protein 31%, dan waktu paruh 6 jam. Linezolid tidak membutuhkan dosis penyesuaian meskipun pada pasien dengan kegagalan fungsi ginjal maupun fungsi hati. Linezolid secara umum ditoleransi dengan baik, tetapi myelotoksisitas dan neurotoksisitas merupakan efek samping yang utama. Myelotoksisitas secara umum ditandai dengan trombositopenia pada pasien dengan pemberian yang melebihi 14 hari, lebih sering muncul pada pasien dengan penyakit myelosupres atau yang sedang menerima obat yang juga bersifat myelotoksik. Asidosis laktat, neuropati perifer dan neuropati optikus jarang tetapi merupakan efek samping yang bersifat ireversibel. Komplikasi ini dapat muncul pada pasien dengan pemberian obat dalam jangka waktu lama, sehingga penggunaannya dibatasi secara ketat maksimal hingga 4 minggu. Linezolid telah disetujui untuk pengobatan pneumonia nosokomia dan komunitas, infeksi kulit dan jaringan lunak (SSTIs). Uji klinis termasuk kasus yang disebabkan oleh MRSA. Informasi berkenaan dengan penggunaan linezolid pada terapi bakteriemia, catheter-related blood stream infections (CR-BSIs) dan endokarditis infeksi masih terbatas. Linezolid mungkin merupakan obat pilihan untuk pengobatan pasien dengan pneumonia berhubungan dengan ventilator (VAP) yang disebabkan oleh MRSA. Masing-masing dari 3 studi komparatif menunjukkan tidak terdapat inferioritas linezolid terhadap vancomisin dalam pengobatan VAP. Pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan 139
Pengelolaan Infeksi Terhadap Methicillin-Resistent Staphylococcus aureus
pneumonia yang didapat dari komunitas (CAP), secara empiris linezolid lebih efektif daripada ceftriaksone/cefpodoksime, terhadap rata-rata perbandingannya dalam penanganan pneumonia oleh Streptococcus pneumonia dan pneumonia akibat komplikasi dari bakterimia. Linezolid juga dapat dipertimbangkan sebagai alternative pengganti vancomycin dalam penanganan infeksi yang serius yang disebabkan oleh kokus gram positif yang resisten terhadap antimikroba pada anak-anak. Linezolid juga terbukti dalam penanganan komplikasi SSTIs (cSSTIs). Secara random, buta ganda, percobaan multisenter, linezolid telah dibandingkan dengan oksacillin-dicloksacillin pada pasien dengan cSSTIs. Rata-rata penyembuhan klinis menunjukkan 69,8% dan 64,9% dan penyembuhan secara mikrobiologi adalah 88,1% dan 86,1%, pada grup linezolid dan oksacillin di rumah sakit yang lebih singkat dibandingkan dengan menggunakan vankomisin. Linezolid juga berguna untuk penanganan pasien dengan infeksi pada tulang dan persendian yang berkaitan dengan MRSA. Efek samping yang tidak diinginkan dapat terjadi sebagai akibat pemakaian dalam jangka waktu yang lama seperti supresi sumsum tulang dan neuropat perifer merupakan permasalahan utama. Linezolid telah digunakan sekali sekali untuk pengobatan infeksi sistem saraf pusat, termasuk meningitis dan abses otak. Pada percobaan dengan model binatang, obat ini menunjukkan penetrasi yang bagus didalam cairan serebrospinal. Linezolid telah sukses digunakan sebagai therapy penyelamat pada kasus meningitis bakteri, ventrikulitis dan juga abses otak. Secara keseluruhan, linezolid, pada prinsipnya tidaklah lebih inferior dibandingkan vankomisin untuk pengobatan infeksi MRSA.12,14 Ko-trimoksazole Antagonis folat yang poten, termasuk trimethoprim -sulphamethoxazole, dalam penanganan infeksi MRSA telah dipublikasikan oleh Proctor dkk, dan juga oleh Grim dkk. Sulfonamid merupakan bakteriostatik yang melawan S. aureus dengan cara menghambat sintesis dihidropteroat dan menghambat biosintesa folat. Langkah kedua dalam penghambatan biosintesis folat adalah dikeluarkan oleh trimethoprim, penghambat reductase tetrahydrofolate. Kemampuan thymidine eksogen dapat mengakibatkan inaktifnya trimethoprim-sulphametoxazole, sebagai jalan pintas terhadap dua hambatan biosintesis. 140
Proporsi yang tinggi terhadap isolasi MRSA dari penggunaan trimethoprim-sulphametoxazole telah dilaporkan. Pada studi di seluruh wilayah Negara Spanyol terhadap isolasi dari strain S. aureus, trimethoprim-sulphametoxazole disebutkan aktif secara in vitro melawan semua MRSA yang berhasil diisolasi hampir mencapai 98%. Antagonis folat telah digunakan untuk penanganan infeksi stafilokokus selama beberapa dekade. Walaupun telah diganti dengan agen beta laktam atau vankomisin, namun kemunculan CAMRSA telah memunculkan ketertarikan pada penggunaan antagonis folat untuk penanganan infeksi S. aureus. Kombinasi trimethropin dan sulfamethoxazole menghambat biosintesis folat, yang penting untuk biosintesis thymidine, dengan menghambat 2 enzim yang berbeda. Sulfaramide menghambat dihydropteroate synthase dan bersifat bakteriostatik; trimertroprin menghambat tetrahydrofotate reductase. Kombinasi trimethroprim dan sulfamethoxazole bersifat bakterisidal. Resistensi terhadap kotrimoksazol dapat terjadi jika ada mutasi pada enzim target dan dapat menyebar secara horizontal oleh encoding plasmid dari sel yang mengalami mutasi. Kepekaan CAMRSA terhadap kotrimoksazol masih tinggi sekitar 91,1% yang diambil dari sentra antimicrobial suvillance program. Meskipun kotrimoksazol secara luas dipergunakan untuk infeksi MRSA, namun hal itu belum diindikasikan oleh US FDA untuk penanganan infeksi S. aureus secara khusus. Hanya 1 penelitian yang bersifat random prospektif yang meneliti tentang efikasi kotrimoksazol telah dipublikasikan.11,13 Daptomisin Evaluasi pada kumpulan MRSA dalam jumlah besar mengindikasikan bahwa semua MRSA yang diuji peka terhadap daptomisin dimana 90% bakteri dihambat dengan pemberian 0,5 mcg/mL. Penurunan kepekaan terhadap daptomycin telah dilaporkan terjadi pada S. aureus yang diisolasi dari pasien dengan dan tanpa paparan daptomisin sebelumnya. Meskipun vankomisin dan daptomisin memiliki mekanikme kerja yang berbeda, di dua mekanikme tersebut secara langsung berhubungan terhadap dinding sel bakteri dan penebalan dinding mungkin menyediakan barier fisik yang membatasi ikatan obat serta aktivitasnya. Daptomisin telah terbukti untuk penanganan SSTI yang terkomplikasi (termasuk MRSA), S. aureus (MSSA dan MRSA) bakteriemia dan endokarditis Majalah Kedokteran Terapi Intensif
I Gede Nova Wirahjasa, Putu Agus Surya Panji
sisi kanan berdasarkan dari prospektif, randomized critical trial menggunakan vankomisin atau antistaphylococal penicillin sebagai pembanding. Pada percobaan SSTI dan bakteriemia, daptomisin telah ditemukan ternyata tidak lebih inferior daripada regimen pembanding. Pada percobaan bakteriemia, angka kesuksesan yang rendah ditemukan di antara pasien dengan endokarditis sisi kiri pada daptomisin dan grup terapi standar. Studi observasi telah menjelaskan efisiensi daptomisin untuk berbagai jenis infeksi termasuk osteomilitis, septic artritis dan infeksi sendi prostetik dengan berbagai tingkat kesuksesan. Saat ini, belum ada prospektif uji klinis yang dilakukan untuk mengevaluasi kefeektifan daptomisin secara menyeluruh untuk penanganan infeksi osteoartritis. Daptomisin tidak direkomendasikan untuk penanganan pneumonia. Pada fase III percobaan klinis untuk pengobatan CAP, daptomisin gagal mencapai ke non inferiority-nya terhadap ceftriaksone (efektifitas 97% VS 87%). Percobaan in-vitro telah menunjukkan bahwa surfaktan paru berinteraksi secara langsung dengan daptomisin dan menghambat aktivitas bakteriosidalnya. Daptomisin secara ireversibel masuk ke agregrat lipid surfaktan. Surfaktan tidak tersedia dalam jumlah yang dapat mempengaruhi aktivitas daptomisin pada abses pulmonal dan daptomisin tersebut mungkin tetep aktif pada pasien dengan tricuspid endocarditis yang memiliki komplikasi pulmonary absess.11 Quinupristin/Dalfopristin Quinupristin adalah agen kombinasi yang dibuktikan dalam pengobatan SSTI mengarah pada MSSA dan Streptokokus dan untuk pengobatan bakteriemia enterokokus faecium resisten vacomycin secara tersendiri, quinopristin (grup beta Streptogramin) dan dalfopristin (grup A streptogramin) adalah bakteriostatik. Quinupristin/dalfopristin telah diteliti untuk pengobatan infeksi MRSA pada open label, program penggunaan emergensi. Pasien yang didokumentasi terinfeksi MRSA dan yang tidak merespons atau intoleran terhadap MRSA lain yang antibakteria aktif dimasukkan dalam penelitian ini. Kesuksesan pengobatan keseluruhan dicatat sebanyak 66.7% dari pasien sesuai secara klinis dan SSTI. Efek samping penggunaan quipristin/dalfopristin terbatas termasuk nyeri lokasi pemasukan obat, atralgia dan mialgi, di mana dapat menjadi cukup berat sehingga mengarahkan ke tidak berkesinambungan terapi.11
Volume 2 Nomor 3 Juli 2012
Tigesiklin Tigesiklin adalah glisilkilin semisintetis yang memiliki spektrum antibakterial lebih luas dengan aktivitas melawan gram positif, gram negatif, anaerobik dan beberapa tipe patogen atipikal. Walaupun berasal dari minosiklin, tambahan rantai 9-t-butylglycylamido menambah spektrum aktivitasnya dan memungkinkan tigesiklin mengatasi resistensi tetrasiklin. Tigesiklin memiliki aktivitas in vitro terhadap beberapa pathogen resisten antara lain MRSA, VISA, enterococci resisten-vancomycin dan bakteri gram negatif spektrum B-laktamase lainnya. Tigesiklin memiliki keterbatasan atau tidak ada aktivitas melawan Pseudomonas spp. dan tidak terlalu melawan Proteus mirabilis. Sifat farmakokinetik dan farmakodinamik tigesiklin telah dilaporkan dengan jelas di literatur lain. Penting diketahui bahwa tigesiklin didistribusikan sangat luas pada jaringan dan terjadi penurunan cepat konsentrasi plasma pada 2 jam pertama setelah pemberian. Berdasarkan konsentrasi plasmanya yang relatif rendah, penggunaan tigesiklin harus hati-hati pada pasien dengan suspek bakteremia. Tigesiklin telah disahkan di US untuk terapi SSTI dengan komplikasi, meliputi MRSA, dan untuk infeksi intraabdominal dengan komplikasi. Tigesiklin tidak begitu buruk dibandingkan dengan vankomisin untuk mencegah SSTI dengan komplikasi berdasarkan penelitian fase III, studi double-blind. Mual dan muntah adalah salah satu efek samping yang dilaporkan dari uji klinis. Evaluasi terakhir strain MRSA dari semua uji regristrasional yang menemukan bahwa 76 dari 173 (44%) isolat memiliki satu. Evaluasi selanjutnya untuk MRSA dari semua rantai tigesiklin ditemukan 75 untuk 173 (44%) yang terisolasi dari salah satu gambaran genetik yang berhubungan dengan CA-MRSA.11,13,14,15 Seftobiprol Seftobiprol adalah suatu sefalosporin spectrum luas yang menghambat aktivitas terhadap MRSA dengan cara terikat kuat pada protein 2A Protein terikat penisilin, yaitu penentu utama resistensi metisilin pada stafilokoki. seftobiprol diberikan secara intravena tampaknya memiliki potensi rendah terhadap resitensi. Suatu uji tersamar ganda acak yang membandingkan seftobiprol dengan vankomisin ditambah seftazidim untuk terapi SSTI dengan komplikasi menunjukkan tidak banyak berbeda dengan monoterapi ceftobiprol. Infeksi karena MRSA ditemukan pada22% dan 18% pada lengan seftobiprol dan pembanding, dengan 141
Pengelolaan Infeksi Terhadap Methicillin-Resistent Staphylococcus aureus
sebagian besar infeksi lainnya disebabkan oleh MSSA, Enterobacteriaceae, P. aeruginosa dan streptococci. Seftobiprol telah disahkan untuk terapi SSTI dengan komplikasi termasuk infeksi kaki diabetik di Kanada dan Swiss, dan saat ini sedang ditinjau untuk disahkan oleh yang berwenang di US, EU, dan Australia.11,13,15 Seftaroline Seftarolin telah dikenal sebagai salah satu sefalosporin spektrum luas yang efekif terhadap patogen gram negatif dan gram positif. Aktivitas anti microbial dari Seftarolin serupa dengan aktivitas dari seftriakson tetapi yang membedakannya, ceftarolin juga sangat efektif melawan MRSA. Sebuah studi acak observer-blinded mengkaji keamanan dan khasiat dari seftarolin dibandingkan dengan terapi standar pada pasien dengan infeksi kulit komplikata, yang mana tingkat kesembuhan setelah diberi seftarolin adalah sebesar 96,7% dan untuk terapi standar adalah 88,9%. Tingkat kesuksesan mikrobiologis dari seftarolin adalah 95,2% sedangkan untuk terapi standar adalah 85,7%, sebagian besar reaksi adverse yang terjadi akibat seftarolin bersifat ringan dan tidak berhubungan dengan terapi yang diberikan.13,14 Karbemenem Karbemenem tampaknya juga memilki efektifitas sebagai terapi infeksi MRSA. Tomopenem (sebelumnya disebut CS-023) merupakan Iᵝmetilkarbapenem terbaru yang dapat meng-cover bakteri gram positif dan negatif yang mampu menghambat 90% patogen MRSA dan P.aeruginosa yang telah diisolasi yang mana 4 kali lipat lebih rendah daripada imipenem dan meropenem.11 Obat Baru Potensial Lainnya Iclaprim (yang sebelumnya dikenal sebagai AR100, Ro 48-2622) adalah golongan diaminopirimidin dhidrofolat reduktase inhibitor. Obat ini efektif melawan bakteri gram positif termasuk spesies Enterococus spp dan MRSA, VISA, VRSA dan bakteri resisten makrolide, strain resisten kuinolon dan strain resisten trimetoprim. Di samping itu iclaprim juga efektif terhadap beberapa strain Streptococcus pneumonia (resisten penisilin, resisten eritromisin, resisten levofloksasin, dan resisten trimetprim-sulfametoksazol). Selanjutnya iclaprim secara in vitro efektif terhadap bakteri Gram negatif dan bakteri atipik. Iclaprim bekerja sangat sinergis dengan 142
sulfametoksazol dan sulfadiazine namun tidak bersifat sinergis ataupun antagonis dengan makrolida, aminoglikosida, kuinolon, β-laktam, trimetoprim, tetrasiklin, dan glikopeptida. Iclaprim memiliki sediaan intravena dan oral dengan bioavailabilitas oral yang sangat baik. Iclaprim oral mengalami absorbsi cepat dan metabolism presistemik. Baik sediaan iclaprim intravena maupun oral mengalami biotransformasi komplit dan ekskresi metabolitnya terutama melalui urin. Uji klinis fase II Iclaprim menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk digunakan pada cSSTIs yang disebabkan oleh MRSA, dan uji klinis fase III untuk indikasi yang sama juga telah diselesaikan. Iclaprim telah berhasil mencapai endpoint primer yang disebut non-inferiority pada uji tingkat kesembuhan dibandingkan dengan linezold dan vacomycin. Sampai artikel ini disusun, iclaprim belum mendapat ijin edar dari FDA. Akhir-akhir ini iclaprim tengah diuji penggunaannya pada VAP, HAP dan jenis-jenis pneumonia nosokomial lainnya.13,14,15 KESIMPULAN
Program eradikasi MRSA yang meng-kolonisasi pasien-pasien sakit kritis di ICU, dikatakan bermanfaat untuk menghentikan risiko penyebaran kuman bersangkutan terhadap lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Namun program ini tidak spesifik karena belum tersedianya obat definitif baik dalam bentuk antimikrobial topikal maupun sistemik yang dapat membunuh kuman ini secara mapan, dan mencegah timbulnya kolonisasi ulangan.1 Infeksi serius oleh kuman MRSA sebagai halnya telah diuraikan di atas biasanya kerap terjadi pada pasien-pasien dengan imunodepresi dengan penyerta faktor-faktor risiko lainnya secara bersama-sama. Dalam hal ini meliputi pasien-pasien di rumah sakit terutama perawatan lama di ICU, pemakaian fasilitas penunjang medis berkepanjangan seperti hemodialisis, continuous renal replacement therapy (CRRT), alat-alat kardiovaskuler invasif (central venous catheter, artery line, intra-aortic balloon pump), dan pemakaian ventilator. Pneumonia akibat MRSA merupakan salah satu bentuk infeksi dengan mortalitas tinggi. Kasus-kasus ini ditentukan oleh tiga faktor seperti: faktor pasien, faktor yang berkaitan dengan tindakan medis, dan faktor-faktor yang berkaitan dengan lingkungan. Resistensinya terhadap golongan β-laktam telah memberi kesulitan dalam menangani infeksi MRSA Majalah Kedokteran Terapi Intensif
I Gede Nova Wirahjasa, Putu Agus Surya Panji
di klinik terutama di ICU. Sebagai obat standar yang dimanfaatkan saat ini adalah obat-obat golongan glikopeptid yakni vancomisin. Namun demikian akhir-akhir ini ternyata juga telah ditemukan munculnya resistensi terhadap obat bersangkutan, yang ke depan mengkhawatirkan prospek terapi menggunakan obat golongan ini. Resistensi terhadap golongan glikopeptid mengindikasikan perlunya dipertimbangkan pemakaian antibiotik alternatif lainnya.2 Daftar pustaka 1. Asensio A, Guerrero A, Quereda C, Lizan M, Martinez-Ferrer M. Colonization and infection with methicillin-resistant Staphylococcus aureus: associated factors and eradication. Infect Control Hosp Epidemiol. 1996; 17: 20–8. 2. Theaker C, Ormond-Walshe S, Azadian B, Soni N. MRSA in the critically ill. J Hosp Infect. 2001; 48: 98–102. 3. Wijisaksono. Pengelolaan infeksi nasokomial akibat MRSA di ICU, 2007 4. Law MR, Gill ON. Hospital acquired infection with methicillin-resistant and methicillin-sensitive staphylococci. Epidemiol Infect. 1988; 101: 623–9. 5. Hill DA, Herford T, Parratt D. Antibiotic usage and methicillin-resistant Staphylococcus aureus: an analysis. J Antimicrob Chemother. 1998; 42: 676–7. 6. Grundmann H, Hori S, Winter B, et al. Risk factors for the transmission of methicillin-resistant Staphylococcus aureus in an adult intensive care unit: fitting a model to the data. J Infect Dis. 2002; 185: 481-488. 7. Pittet D, Hugonnet S, Harbarth S, et al. Effectiveness of a hospital-wide programme to improve
Volume 2 Nomor 3 Juli 2012
compliance with hand hygiene. Lancet. 2000; 356: 1307–12. 8. Dupeyron C, Campillo B, Bordes M, et al. A clinical trial of mupirocin in the eradication of methicillin-resistant Staphylococcus aureus nasal carriage in a digestive disease unit. J Hosp Infect. 2002; 52: 281–7. 9. Miller MA, Dascal A, Portnoy J, Mendelson J. Development of mupirocin resistance among methicillin-resistant Staphylococcus aureus after widespread use of nasal mupirocin ointment. Infect Control Hosp Epidemiol. 1996; 17: 811–3. 10. Fridkin SK, Edwards JR, Pichette SC, et al. Determinants of vancomycin use in adult intensive care units in 41 United States hospitals. Clin Infect Dis. 1999; 28: 1119-25. 11. Hancock RE. Mechanisms of action of newer antibiotics for Gram-positive pathogens. Lancet Infect Dis. 2005; 5:209-218. 12. Rubinstein E, Cammarata SK, Oliphant TH, et al. Linezolid (PNU-100766) versus vancomycin in the treatment of hospitalized patients with nosocomial pneumonia: a randomized, double-blind, multicenter study. Clin Infect Dis. 2001; 32: 402-412. 13. Zurenko GE, Gibson JK, Shinabarger DL, Aristoff PA, Ford CW, Tarpley WG. Oxazolidinones: a new class of antibacterials. Curr Opin Pharmacol. 2001; 1: 470-6. 14. Kuter DJ, Tillotson GS. Hematologic effects of antimicrobials: focus on the oxazolidinone linezolid. Pharmacotherapy. 2001; 21: 1010-1013. 15. Petersen PJ, Bradford PA, Weiss WJ, et al. In vitro and in vivo activities of tigecycline (GAR-936), daptomycin, and comparative antimicrobial agents against glycopeptide-intermediate Staphylococcus aureus and other resistant gram-positive pathogens. Antimicrob Agents Chemother. 2002; 46: 2595–601
143