Jumlah Kolonisasi Staphylococcus aureus dan IgE Spesifik terhadap Enterotoksin Staphylococcus aureus pada Dermatitis Atopik (Colonization of Staphylococcus aureus and Spesific IgE to Staphycoccus aureus Enterotoxin in Atopic Dermatitis) Nurul Fauzi, Sawitri, Saut Sahat Pohan Departemen/Staf Medik Fungsional Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya Abstrak Latar belakang: Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit keradangan kulit yang kronik, sering mengalami kekambuhan, keadaan ini juga berhubungan dengan kondisi atopi lain seperti rhinitis alergi dan asma. Sering didapatkan penurunan fungsi sawar kulit, sehingga mikroorganisme lebih mudah masuk pada epidermis. Salah satu mikroorganismenya adalah Staphylococcus aureus. Pada kulit orang DA paling banyak ditemukan kolonisasi Staphylococcus aureus. Pada DA Staphylococcus aureus juga memproduksi enterotoksin yang bersifat sebagai superantigen, yang juga berperan pada timbulnya keradangan dan kekambuhan DA. Tujuan: Menghitung jumlah koloni Staphylococcus aureus pada lesi DA, mengukur kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus dan mengetahui adanya korelasi antara keduanya. Metode: Dilakukan swab kulit pada lesi DA untuk mengetahui jumlah kolonisasi Staphylococcus aureus dan dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus. Kemudian data diolah dan dilakukan analisa statistik. Hasil: Dari 24 sampel pada penelitian ini, didapatkan pertumbuhan koloni Staphylococcus aureus pada 18 sampel, dan tidak didapatkan pertumbuhan koloni Staphylococcus aureus pada 6 sampel. Didapatkan kadar antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus terendah 7.696 IU/ml, dan tertinggi sebesar 26.514 IU/ml. Pada uji statistik tidak didapatkan korelasi antara jumlah kolonisasi Staphylococcus aureus dan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus pada penelitian ini. Kesimpulan: Dari penelitian ini masih belum bisa dijelaskan faktor yang lebih berperan terhadap kekambuhan DA, jumlah koloni Staphylococcus aureus ataukah IgE spesifik terhadap enterobakter Staphylococcus aureus. Kata kunci: dermatitis atopik, Staphylococcus aureus, kolonisasi, IgE spesifik enterotoksin ABTRACT Background: Atopic dermatitis s a common skin disease that is often associated with other atopic disorders such as allergic rhinitis and asthma. Atopic dermatitis is a chronic, relapsing form skin inflammation, and disturbance of epidermal-barier function. The skin of atopic dermatitis patient is susceptible to colonization with Staphylococcus aureus and Staphylococcus aureus secrete toxins, which maybe an important trigger factors in the inflammation reaction of the skin and caused exacerbation of the atopic dermatitis. Purpose: To account the colonizing features of Staphylococcus aureus in the atopic dermatitis skin lesions and to measure the IgE specific antibodies to Staphylococcus aureus enterotoksin, and to determine the correlation between both of them. Methods: Skin scrapping for bacterial colonization were taken from lesional skin, and IgE specific antibodies to enterotoksin Staphylococcus aureus taken from blood examination. Result: From 24 patient enrolled in this examination, Staphylococcus aureus colonization found in 18 patient, and not found Staphylococcus aureus colonization in 6 patient. The lowest level of IgE specific antibodies to Staphylococcus aureus enterotoksin is 7.696 IU/ml and the highest level is 26.514 IU/ml. In the statistical analysis there was no correlation between Staphylococcus aureus colonization and IgE specific antibodies to enterotoksin Staphylococcus aureus level. Conclusion: This study cannot confirm which factor has the greater role for atopic dermatitis recurrencies. Colonization of Staphylococcus aureus or Staphylococcus aureus enterotoxin specific IgE. Key words: atopic dermatitis, Staphylococcus aureus, colonization, IgE specific antibodies Alamat korespondensi: Nurul Fauzi, e-mail:
[email protected]
Pengarang Utama 5 SKP. Pengarang Pembantu 1 SKP (SK PB IDI No. 318/PB/A.7/06/1990)
180
Artikel Asli
Jumlah Kolonisasi Staphylococcus aureus dan IgE Spesifik terhadap Enterotoksin Staphylococcus aureus pada Dermatitis Atopik
PENDAHULUAN Dermatitis Atopik (DA) merupakan suatu penyakit keradangan kulit yang kronik, ditandai dengan rasa gatal, eritema, edema, vesikel, dan luka pada stadium akut, pada stadium kronik ditandai dengan penebalan kulit (likenifikasi) dan distribusi lesi spesifik sesuai fase DA, keadaan ini juga berhubungan dengan kondisi atopik lain pada penderita ataupun keluarganya.1,2,3,4 Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor intrinsik berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi/ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan, mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma.1,2 Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik yang berperan memberi kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis atopik. Mikroorganisme utamanya adalah Staphylococcus aureus (SA). Pada penderita DA didapatkan perbedaan yang nyata pada jumlah koloni Staphylococcus aureus dibandingkan orang tanpa atopik. Adanya kolonisasi Staphylococcus aureus pada kulit dengan lesi ataupun non lesi pada penderita dermatitis atopik, merupakan salah satu faktor pencetus yang penting pada terjadinya eksaserbasi, dan merupakan faktor yang dikatakan memengaruhi beratnya penyakit. Faktor lain dari mikroorganisme yang dapat menimbulkan kekambuhan dari DA adalah adanya toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang dihasilkan Staphylococcus aureus ini dapat menembus fungsi sawar kulit, sehingga dapat mencetuskan terjadinya inflamasi. Enterotoksin tersebut bersifat sebagai superantigen, yang secara kuat dapat menstimulasi aktifasi sel T dan makrofag. Enterotoxin Staphylococcus aureus menginduksi inflamasi pada dermatitis atopik dan memprovokasi pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus. Mekanisme ����������������������������������������� kedua faktor yakni peningkatan koloni Staphylococcus aureus pada DA dan antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus pada patogenesis DA masih belum jelas. Salah satu faktor saja, ataukah kedua faktor tersebut harus bersama-sama dalam memengaruhi kekambuhan pada DA masih belum diketahui secara pasti. Masih belum jelas juga, bahwa selalu ada korelasi antara jumlah koloni Staphylococcus aureus
dan tingginya level antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus pada DA, sebab ada kemungkinan walaupun jumlah koloni Staphylococcus aureus banyak, tetapi toksin yang dihasilkan kecil, ataupun sebaliknya. Maka untuk mengetahui korelasi antara jumlah koloni Staphylococcus aureus pada lesi kulit penderita DA dengan level antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus pada penderita DA perlu dilakukan penelitian ini, sehingga dapat diketahui apakah jumlah koloni Staphylococcus aureus ataukah IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus yang lebih berperan terhadap kekambuhan DA, ataukah kedua-duanya berperan pada kekambuhan pada DA sehingga dengan informasi tersebut, pengobatan terhadap DA lebih ditingkatkan. Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah koloni Staphylococcus aureus dan kadar antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus, dengan cara menghitung jumlah koloni Staphylococcus aureus pada lesi dermatitis atopik dan mengukur kadar antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus, serta menganalisis adanya korelasi antara jumlah koloni Staphylococcus aureus dan kadar antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus pada penderita dermatitis atopik. Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam memberikan informasi apakah jumlah koloni Staphylococcus aureus ataukah kadar antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus yang lebih berperan terhadap terjadinya keradangan dan kekambuhan pada DA, ataukah kedua-duanya berperan pada terjadinya keradangan dan kekambuhan pada DA sehingga dengan informasi tersebut, pengobatan terhadap DA lebih ditingkatkan. METODE Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah analitik observasional dengan bentuk cross sectional yang bertujuan ������������������ mengetahui jumlah koloni Staphylococcus aureus pada kulit yang terdapat lesi pada penderita dermatitis atopik, dan mengetahui kadar antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus pada penderita dermatitis atopik, dan mengetahui adanya korelasi antara jumlah koloni Staphylococcus aureus dengan antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus pada penderita dermatitis atopik.
181
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin
Populasi penelitian adalah semua penderita dermatitis atopik baru atau lama yang datang di Divisi Alergi Unit Rawat Jalan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Sampel penelitian adalah semua penderita dermatitis atopik yang terdapat lesi kulit yang memenuhi kriteria penerimaan sampel penelitian. Besar sampel adalah semua penderita yang memenuhi kriteria penerimaan sampel yang datang ke Divisi Alergi Unit Rawat Jalan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Berdasarkan penghitungan didapatkan besar sampel sebanyak 24 pasien dan dilakukan pengambilan pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling. Penelitian ini dilaksanakan di Divisi Alergi Unit Rawat Jalan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya mulai bulan April 2009 sampai jumlah sampel terpenuhi. Pemeriksaan ELISA dilakukan di Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Pemeriksaan jumlah koloni Staphylococcus aureus dilakukan di Instalasi Mikrobiologi Klinik RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Alur penelitian dimulai dengan pemilihan penderita berdasarkan kriteria penerimaan sampel, kemudian dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis, ditentukan apakah menderita DA sesuai dengan kriteria William atau tidak, jika bersedia ikut dalam penelitian dan memenuhi kriteria penerimaan sampel, dilakukan pemeriksaan kolonisasi Staphylococcus aureus diambil dari lesi kulit dan pemeriksaan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus dari pemeriksaan darah. Data dan hasil yang didapat dimasukkan dalam lembar pengumpul data dan dilakukan analisis statistik data. HASIL Pada penelitian ini didapatkan jumlah penderita dermatitis atopik laki-laki sebanyak 4 pasien dan wanita sebanyak 20 pasien. Tabel 1. Distribusi jenis kelamin penderita dermatitis atopik (n = 24) di Divisi Alergi Unit Rawat Jalan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Jenis kelamin Laki-laki Wanita Total
182
Jumlah (%) 4 (16,6%) 20 (83,4%) 24 (100%)
Vol. 22 No. 3 Desember 2010
Kelompok umur terbanyak pada penelitian ini adalah 5–14 tahun, sebanyak 9 orang (37,6%). Tabel 2. Distribusi umur penderita dermatitis atopik (n = 24) di Divisi Alergi Unit Rawat Jalan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Umur (tahun) <1 1–4 5–14 15–24 25–44 45–64 > 65 Total
Jumlah (%) 0 4 (16,6%) 9 (37,6%) 4 (16,6%) 3 (12,6%) 4 (16,6%) 0 24 (100%)
Pada penelitian ini dari 24 sampel yang diperiksa, tidak didapatkan pertumbuhan koloni Staphylococcus aureus sebanyak 6 sampel (25%), 1 sampel dengan jumlah koloni kurang dari 1000 CFU/cm2, ada 12 sampel dengan jumlah koloni antara 1000–100000 CFU/cm2, ada 5 sampel dengan jumlah koloni lebih dari 100000 CFU/cm2 (tabel 3). Tabel 3. Jumlah Koloni Staphylococcus aureus pada lesi penderita DA (n = 24) di Divisi Alergi Unit Rawat Jalan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Jumlah Koloni Staphylococcus aureus (CFU/cm2) Positif Negatif < 103 103–<105 >105
Total
Jumlah 6 (25%) 1 (4,2%) 12 (50%) 5 (20,8%) 24 (100%) sampel
Pada penelitian ini, dari 24 sampel yang diperiksa IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus, diperoleh hasil kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus yang terendah adalah 7.696 IU/ml, dan hasil kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus dengan kadar tertinggi adalah 26.514 IU/ml (tabel 4). Pada penelitian ini pada perubahan jumlah koloni dari 24 pasien didapatkan 6 sampel tidak didapatkan pertumbuhan koloni staphylococcus aureus pada lesi DA, dan pada 18 sampel tumbuh koloni Staphylococcus aureus pada lesi DA (tabel 5).
Artikel Asli
Jumlah Kolonisasi Staphylococcus aureus dan IgE Spesifik terhadap Enterotoksin Staphylococcus aureus pada Dermatitis Atopik
Tabel 4. Nilai Mean Kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus penderita dermatitis atopik (n = 24) di Divisi Alergi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo
Nilai mean Kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus (IU/ml)
Jumlah Koloni Staphylococcus aureus Positif Negatif < 103 103–< 105 14.0022 10.5470 19.0746
Tabel 5. Hubungan jumlah koloni Staphylococcus aureus dengan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus Jumlah Koloni Negatif Positif
Jumlah Sampel 6 18
Nilai Mean Kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus (IU/ml) 14.0022 17.4885
Disebutkan juga bahwa sebanyak 58% pasien DA dengan IgE total yang tinggi mengalami sensitisasi alergi terhadap minimal 1 superantigen Staphylococcus aureus, sedangkan pada pasien dengan IgE total yang rendah hanya sebanyak 23% yang mengalami sensitisasi, sedangkan sensitisasi alergi terhadap superantigen Staphylococcus aureus, khususnya SEA dan SED, ditemukan lebih banyak berhubungan dengan penderita DA dengan derajat keparahan sedang.8,9 Pada penelitian ini, derajat keparahan keradangan pada DA tidak diteliti. Setiap keradangan yang terdapat pada DA sering diinduksi oleh kolonisasi Staphylococcus aureus dan IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus diteliti pada penelitian ini. PEMBAHASAN Kulit dari pasien yang menderita dermatitis atopik memiliki kemungkinan yang besar untuk terinfeksi dan terkolonisasi oleh Staphylococcus aureus. Mekanisme yang mendukung meningkatnya kolonisasi Staphylococcus aureus pada kulit penderita DA adalah interaksi yang kompleks di antara beberapa faktor. Faktor-faktor yang berkontribusi ini termasuk disfungsi barier kulit, menurunnya kandungan lemak pada kulit, meningkatnya sistesis dari adhesion matriks ekstraseluler untuk SA, perubahan pada kadar pH permukaan kulit menjadi lebih basa, dan respon imun yang defek karena menurunnya produksi dari beberapa peptida antimikrobial endogen.5,6,7
(CFU/cm2) > 105 15.0702
Dari penelitian ini pertumbuhan koloni Staphylococcus aureus lebih banyak tumbuh pada lesi yang masih akut, sedangkan dari lesi yang kronis, koloni Staphylococcus aureus didapatkan dalam jumlah kecil bahkan tidak didapatkan pertumbuhan koloni Staphylococcus aureus. Hal ini kemungkinan pada lesi yang akut belum pernah mendapatkan pengobatan sama sekali sehingga masih didapatkan pertumbuhan koloni Staphylococcus aureus, sedangkan pada lesi yang kronis sudah pernah mendapat pengobatan, sehingga pertumbuhan koloni Staphylococcus aureus hanya sedikit bahkan tidak ada pertumbuhan koloni sama sekali. Menurut Lin YT, terdapat hubungan antara keberhasilan pengobatan dihubungkan dengan berkurangnya jumlah koloni Staphylococcus aureus di kulit.5,7,8,9 Staphylococcus aureus pada kulit dari pasien DA dapat memproduksi beberapa protein sebagai antigen, di samping itu juga mensekresikan berbagai enterotoksin. Enterotoksin Staphylococcus aureus ini merupakan superantigen. Superantigen Staphylococcus aureus berpenetrasi melalui barier kulit. Superantigen Staphylococcus aureus menginduksi eksaserbasi inflamasi kulit dan persisten pada kulit DA melalui beberapa mekanisme. Lebih dari 70% Staphylococcus aureus yang diisolasi adalah strain yang memproduksi enterotoksin, yang dapat mensekresikan berbagai eksotoksin termasuk enterotoksin staphylococcal A, B, C (SEA, SEB, SEC) dan Toxic Shock Syndrome Toxin-1 (TSST-1). Enterotoksin staphylococcal ini adalah superantigen. Beberapa penelitian mengindikasikan suatu korelasi positif antara tingkat keparahan klinis dari DA dan kolonisasi dari strain Staphylococcus aureus yang memproduksi superantigen.8,9 Dari uji statistik tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara jumlah koloni Staphylococcus aureus dengan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus. Pada penelitian ini, didapatkan bahwa pada lesi dengan jumlah koloni yang tinggi, tidak selalu didapatkan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus juga tinggi. Pada lesi dengan 183
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin
jumlah koloni yang rendah bahkan pada jumlah koloni yang negatif masih didapatkan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus yang positif. Hal ini kemungkinan pada koloni yang negatif sudah mendapatkan pengobatan, tetapi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus masih positif ��������������������������������������� karena IgE masih bisa bertahan setelah beberapa minggu.10,11,12 Kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin tergantung dari toksin yang dihasilkan Staphylococcus aureus sebagai antigen yang bersifat sebagai superantigen, di mana toksin yang dihasilkan akan menginduksi produksi dari antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus yang sesuai.5,10,11 Dari penelitian Peck Y Ong menyebutkan bahwa sensitisasi terhadap SEA dan TSST-1 merupakan sensitisasi terhadap superantigen Staphylococcus aureus yang paling umum pada populasi pasien dengan DA derajat keparahan ringan dan sedang. Leung menemukan bahwa pada pasien anakanak dengan DA 88% memiliki serum antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus. Pasien DA anak memiliki kadar serum antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus yang secara signifikan lebih tinggi daripada anak-anak atopik dengan alergi respiratorik tanpa DA dan pada anak yang sehat.8,9,13 Dari penelitian ini masih belum bisa dijelaskan faktor yang lebih berperan terhadap kekambuhan DA, jumlah koloni Staphylococcus aureus ataukah IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus. kepustakaan 1. Leung DYM, Eichenfield FL, Bogunie wicz M. Atopic Dermatitis. In: Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, et al, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 146–58.
184
Vol. 22 No. 3 Desember 2010
2. Leung DYM, Boguniewicz M, Howell MD. New Insight into Atopic Dermatitis. J. Clin. Invest 2004; 113: 651–7. 3. Holden CA, Parish WE. Atopic Dermatitis. In: Champion RH, Bourton JL, Burns DA, Breatnach SM, editors. Rook/Wilkinson/Ebling Textbook of Dermatology. 6th ed. London: Blackwell Science; 1998. p. 681–708. 4. Boediardja SA. Dermatitis Atopik Pada Anak. Dalam: Makalah Lengkap Temu Ilmiah Manifestasi Atopik Pada Kulit. Bandung: SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RS Dr. Hasan Sadikin; 1996. p. 65–86. 5. Lin YT, Wang CT, Chiang BL. Role of Bacterial Pathogens in Atopic Dermatitis. Journal Clinic Rev Allerg Immunol 2007; 33: 167–77. 6. Goh Chee L, Wong JS et al. Skin Colonization of Staphylococcus aureus in atopic dermatitis patients seen at the National Skin Centre, Singapore. Blackwell Science.1997 Antibodies to Staphylococcal Exotoxins on the Skin Of Patients with Atopic Dermatitis. J Clin Invest 1997; 92: 1374–80. 7. Huang JT, Abrams M et al. ������������� Treatment of Staphylococcus aureus Colonization in Atopic Dermatitis Decreases Disease Severity. Pediatrics 2009; 123; e808–e814. 8. Ong PY, Patel M, et al. Association ������������������������������ of Staphylococcal Superantigen-Specific Immunogobulin E with Mild and Moderate Atopic Dermatitis. The Journal of Pediatrics 2008; 153: 803–6. 9. Buikowski R, Mielke M et al.Atopic Dermatitis and Antibodies to Staph. American Academy of Pediatrics Grand Rounds 1999; 1: 30–31. 10. Ruzicka T. Atopic Eczema between Rationality and Irrationality. Arch Dermatol 1998; 134: 1462–69. 11. Novak N, Bieber T. Extrinsic and Intrinsic Atopic Eczema. ��������������������������������������������� In: Ring J, Przybilla B, Ruzicka C, editors. Handbook of Atopic Eczema. 2nd ed. Berlin ; SpringerVerlag; 2006; 296–302. 12. Kresno SB. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 56–57. 13. Novak N, Bieber T et al. Immune Mechanism Leading to Atopic Dermatitis.Journal Allergy Clin Immunol 2003; 112: S128–39.