6
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Komunikasi Organisasi Pace dan Faules (2006:31) mendefinisikan komunikasi organisasi sebagai pertunjukan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Sedangkan DeVito (1997:340) mengatakan bahwa komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan berbagai pesan di dalam kelompok formal maupun informal organisasi. Komunikasi
formal
adalah komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi pada organisasi. Isinya berupa cara-cara kerja di dalam organisasi, produktivitas dan berbagai pekerjaan yang harus dilakukan dalam organisasi: memo, kebijakan, pernyataan, jumpa pers, surat-surat resmi. Menurut Suranto (2005:39-40) bahwa komunikasi formal merupakan proses penyampaian informasi secara resmi, sehingga penanganannya juga dilakukan secara resmi, dan masing-masing pegawai yang terlibat proses komunikasi itu berperan sesuai dengan jabatan dan kewenangannya. Komunikasi informal adalah komunikasi yang disetujui secara sosial. Orientasinya tidak pada organisasinya sendiri, tetapi lebih pada para anggotanya secara individual. Menurut Suranto (2005:42) bahwa komunikasi informal adalah proses penyampaian informasi secara tidak resmi, sehingga penanganannya juga dilakukan secara tidak resmi, dan tidak terikat secara kaku dengan pertimbangan protokoler dan birokrasi. Mulyana (2002:175) mendefinisikan komunikasi organisasi (organization communication) sebagai komunikasi dalam suatu jaringan yang lebih besar dari pada komunikasi kelompok. Komunikasi organisasi seringkali melibatkan juga komunikasi diadik, komunikasi antar pribadi dan adakalanya komunikasi publik. Lebih lanjut dikatakan bahwa komunikasi formal adalah komunikasi menurut struktur organisasi, yakni komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas dan komunikasi horizontal. Sedangkan komunikasi informal tidak tergantung pada struktur organisasi, seperti komunikasi antar sejawat, juga termasuk gosip. Sedangkan Muhammad (2008a:65) dan Masmuh (2008:56) mengatakan bahwa komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang kompleks. Termasuk dalam bidang ini adalah komunikasi internal, hubungan manusia, hubungan persatuan pengelola, komunikasi
7
downward atau komunikasi dari atasan kepada bawahan, komunikasi upward atau komunikasi dari bawahan kepada atasan, komunikasi horizontal atau komunikasi dari orang-orang yang sama level atau tingkatnya dalam organisasi, keterampilan berkomunikasi dan berbicara, mendengarkan, menulis dan komunikasi evaluasi program. Menurut Suranto (2005:32) komunikasi perkantoran (office communication) adalah proses komunikasi yang terjadi dalam suatu kantor dan bertujuan untuk meningkatkan kinerja kantor tersebut. Dengan komunikasi maka akan mengantarkan terbentuknya kesatuan sistem dari bagian-bagian yang saling bergantung serta terciptanya pola hubungan tata kerja. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam kegiatan sehari-hari, hampir sebagian aktivitas karyawan dan pimpinan kantor adalah merupakan bentuk komunikasi seperti: bermusyawarah menyusun rencana, bersama-sama merumuskan prioritas kebijaksanaan, memberi dan menerima perintah, melaksanakan koordinasi, membuat atau menerima laporan, menyampaikan dan menerima pertanggung jawaban, pembagian kerja, meminta bantuan bagian organisasi lain, menyelesaikan krisis dan konflik, menyampaikan pendapat atau usul dan saran, serta membina hubungan dengan masyarakat dan sebagainya. Suranto (2005:43) mengemukakan bahwa komunikasi dalam perkantoran dikelompokan menjadi komunikasi primer dan sekunder. Komunikasi primer adalah proses penyampaian pikiran dan perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, isyarat yang secara langsung dipergunakan sebagai sarana mengungkapkan perasaan atau pikiran komunikator kepada komunikan. Sedangkan komunikasi sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Tujuan komunikasi organisasi antara lain untuk memberikan informasi baik kepada pihak luar maupun kedalam dengan memanfaatkan umpan balik dalam rangka proses pengendalian manajemen, mendapatkan pengaruh, alat untuk memecahkan persoalan dalam rangka pengambilan keputusan, mempermudah
8
pembentukan kelompok-kelompok kerja, serta dapat dijadikan dalam menjaga pintu ke luar masuk dengan pihak-pihak di luar organisasi. Dari beberapa bentuk arah komunikasi organisasi di atas, maka dapat dibuat empat model arah komunikasi organisasi sebagai berikut (Pace & Faules 2006:184):
Komunikasi ke bawah
Komunikasi horizontal
Komunikasi ke atas
Komunikasi lintas-saluran
Gambar 1 Empat Arah Komunikasi Organisasi Komunikasi vertikal (komunikasi ke atas dan ke bawah) ialah proses komunikasi dengan melibatkan pihak-pihak yang secara hirarkis memiliki jenjang kedudukan struktural yang berbeda. Misalnya komunikasi antara manajemen dengan staf, antara pimpinan dengan bawahan, antara kepala bagian dengan kepala sub bagian dan sebagainya. Komunikasi vertikal dapat dibedakan menjadi dua arah aliran informasi, yaitu (a) komunikasi ke bawah dan (b) komunikasi ke atas. Komunikasi ke bawah ialah penyampaian informasi dari atasan kepada bawahan, atau dari pimpinan kepada staf, atau dari pejabat kepada pejabat lain yang secara struktural organisatoris berada di bawahnya. Oleh karena itu dalam aliran informasi ke bawah ini, pesan komunikasi yang dapat disampaikan berupa: instruksi tentang pekerjaan, penjelasan, informasi, perintah, petunjuk, teguran, pujian dan pedoman tata kerja. Komunikasi ke atas ialah rangkaian kegiatan penyampaian informasi dari pejabat yang kedudukannya lebih rendah kepada pejabat yang berkedudukan lebih tinggi, dari staf kepada pimpinan. Bentuk komunikasi ke atas terdiri dari penyampaian usulan, reaksi atas kebijaksanaan
9
pimpinan, laporan pertanggung jawaban, kritik, meminta pertimbangan dan menyampaikan keluhan (Suranto 2005:90). Komunikasi horizontal disebut pula komunikasi ke samping, atau komunikasi mendatar atau komunikasi sejajar, yaitu proses penyampaian informasi yang melibatkan pegawai atau pimpinan yang masing-masing mempunyai level hierarki jabatan yang setingkat atau sejajar. Oleh karena itu pihak-pihak yang berkomunikasi itu berasal dari jenjang jabatan setara. Bentuk komunikasi perkantoran secara horizontal, antara lain: rapat terpadu untuk menetapkan
kebijaksanaan, bersama-sama merumuskan tujuan, meningkatkan
kerja sama lintas unit kerja, melakukan koordinasi, menyampaikan dan menerima pertimbangan, konsultasi pekerjaan, tukar-menukar informasi dan menghindari tumpang tindih pelaksanaan pekerjaan. Komunikasi
diagonal
(komunikasi
lintas
saluran)
adalah
proses
penyampaian dan penerimaan informasi atau alur informasi yang berlangsung antara pegawai pada tingkat kedudukan berbeda, pada tugas atau fungsi yang berbeda dan satu sama lainnya tidak mempunyai wewenang langsung. Bentuk komunikasi diagonal antara lain meminta pendapat, meminjam dokumen, menyampaikan pesan, mengundang pertemuan, cek silang kebenaran informasi, klarifikasi dan lain-lain (Suranto 2005:99). Karakteristik Komunikasi Pemerintahan Komunikasi pemerintahan merupakan penggabungan dua makna kata yaitu komunikasi dan pemerintahan. Menurut Hasan (2005:95) bahwa komunikasi pemerintahan adalah penyampaian ide, program, dan gagasan pemerintah kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan negara. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemerintah
diasumsikan
sebagai
komunikator
dan
masyarakat
sebagai
komunikan, namun dalam suasana tertentu bisa sebaliknya masyarakat berada pada posisi sebagai penyampai ide atau gagasan dan pemerintah berada pada posisi mencermati apa yang diinginkan masyarakat. Hasan (2005:95-96) menyatakan bahwa dalam hubungan kerja, termasuk di lingkungan pemerintahan dikenal adanya komunikasi informasi dan komunikasi hubungan kerja. Komunikasi informasi biasanya disampaikan oleh pimpinan kepada unit-unit kerja di bawahnya melalui kegiatan apel kerja atau dalam
10
suasana rapat. Dengan kata lain komunikasi informasi memiliki sifat agar terdapat kesesuaian pemahaman antara ide yang disampaikan oleh pihak pertama dengan pihak kedua sebagai penerima gagasan, agar tidak terjadi kesalapahaman terhadap ide yang muncul. Menurut Rudy (2005:15) bahwa informasi adalah bahan atau bentuk pemahaman yang disampaikan sebagai pesan kepada pihak-pihak lain untuk dipahami dan menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan (merumuskan kebijakan) maupun untuk sekedar diketahui. Dengan demikian disimpulkan bahwa komunikasi informasi adalah suatu pesan yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain atau sekelompok orang untuk diketahui, dipahami dan juga menjadi bahan pertimbangan pengambilan keputusan dalam merumuskan suatu kebijakan. Sedangkan komunikasi hubungan kerja adalah suatu cara dalam menyampaikan kegiatan yang harus dilaksanakan dengan tujuan agar kegiatan tersebut dapat berhasil secara efisien dan efektif. Menurut Suranto (2005:25) bahwa cara berkomunikasi terdiri dari komunikasi informatif, persuasif, instruktif atau koersif dan hubungan manusiawi. Komunikasi informatif adalah cara komunikasi dengan menyampaikan pesan secara berulang-ulang untuk memberikan atau menyebarkan informasi kepada komunikan. Komunkasi persuasif adalah komunikasi yang dilakukan dengan cara halus dan membujuk komunikan (atasan langsung/bawahan langsung/rekan kerja/sejajar). Komunikasi instruktif atau koesif adalah komunikasi yang dilakukan dengan cara pemaksaan dan sansi dari komunikator kepada komunikan (atasan kepada bawahan atau sebaliknya). Hubungan manusiawi adalah komunikasi yang dilakukan dengan cara memperhatikan nilai-nilai etis atau norma untuk menciptakan suasana atau iklim komunikasi yang manusiawi. Komunikasi informasi secara rutin di dalam lingkup pemerintahan dapat digambarkan sebagai berikut (Hasan 2005:97). Atasan Sesama/selevel Pejabat A Bawahan Gambar 2 Komunikasi Pemerintahan
Tingkat B
11
Sedangkan komunikasi dalam hubungan kerja menurut Hasan (2005:97) dapat digambarkan sebagai berikut: Kepala Bagian
Kasie
Kasie
Staf
Staf
Kasie
Staf
Gambar 3 Komunikasi Dalam Hubungan Kerja Profil Individu Aparatur Karakter individu aparatur adalah suatu ciri-ciri atau sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan sosial orang tersebut. Menurut Muhajir (1983), diacu dalam Mulyadi (2003:9) bahwa melalui pendekatan ciri-ciri pribadi atau karakter individu, orang berasumsi bahwa keberhasilan seseorang pemimpin berhubungan erat dengan dimiliki atau tidaknya pribadi tertentu seperti intelegensi, sifat dominan, percaya diri dan sebagainya. Karakteristik individu yang meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, bangsa dan agama
merupakan peubah
demografi yang dapat menjadi indikator dalam menerangkan perilaku seseorang. Teori sifat atau karakteristik kepribadian (trait theories) berasumsi bahwa seseorang dapat menjadi pimpinan apabila memiliki sifat-sifat atau karakteristik kepribadian yang dibutuhkan oleh seorang pimpinan, meskipun orang tua khususnya ayahnya bukan seorang pimpinan. Teori ini bertitik tolak dari pemikiran bahwa keberhasilan seorang pimpinan ditentukan oleh sifat-sifat atau karakteristik kepribadian yang dimiliki, baik secara fisik maupun psikologi. Dengan kata lain teori ini berasumsi bahwa keefektifan seorang pimpinan ditentukan oleh sifat, pengarai atau cita-cita kepribadian tertentu yang tidak saja bersumber dari bakat, tetapi juga yang diperoleh dari pengalaman dan hasil belajar (Nawawi 2003:75).
12
Tempe (1993:38), diacu dalam Nawawi (2003:76) berpendapat bahwa sifatsifat yang harus dimiliki pimpinan agar kepemimpinannya dapat mengefektifkan organisasi adalah (1) kelancaran berbicara, (2) kemampuan memecahkan masalah, (3) pandangan ke dalam masalah organisasi, (4) keluwesan, (5) kecerdasan, (6) kesediaan menerima tanggung jawab, (7) keterampilan sosial dan (8) kesadaran akan diri sendiri dan lingkungannya. Sedangkan menurut Benis, diacu dalam Nawawi (2003:76) bahwa ada empat sifat umum yang harus dimiliki oleh seorang pimpinan yaitu (1) kemampuan mengkomunikasikan tujuan dan arah yang dapat menarik perhatian anggota organisasi, (2) kemampuan menciptakan dan mengkomunikasikan makna tujuan
secara jelas dan dapat dipakai, (3)
kemampuan untuk dipercaya dan konsisten sehingga orang-orang akan memperhatikannya
dan
(4)
kemampuan
mengetahui,
menguasai
dan
mengendalikan diri sendiri dalam batas kekuatan dan kelemahan diri. Beberapa studi yang dilakukan berkaitan dengan karakter seseorang di antaranya adalah studi yang dilakukan Swastomo (2000:76) bahwa
terdapat
hubungan yang erat antara faktor individu dan iklim komunikasi organisasi terhadap kinerja organisasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa faktor individu ternyata mempengaruhi komunikasi organisasi. Faktor yang dipengaruhi menurut penelitian ini adalah (1) peran seseorang sebagai sumber inspirasi pembangunan yang dipengaruhi oleh pendidikan formal dan eselon, (2) faktor pesan pembangunan dipengaruhi oleh faktor jumlah anggota keluarga, (3) cara penyampaian pesan pembangunan dipengaruhi oleh eselon dan (4) faktor kemampuan lembaga menangkap aspirasi masyarakat dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, pangkat atau golongan dan eselon. Lebih lanjut dikatakan bahwa karakteristik individu yang menentukan perilaku seseorang meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai, kepribadian dan sikap berinteraksi satu sama lain. Iklim Komunikasi Organisasi Iklim komunikasi berbeda dengan iklim organisasi, dalam arti iklim komunikasi meliputi persepsi-persepsi mengenai pesan dan peristiwa yang berhubungan dengan pesan yang terjadi di dalam organisasi (Pace & Faules 2006:146). Iklim komunikasi merupakan gabungan dari persepsi-persepsi suatu
13
evaluasi makro, mengenai peristiwa komunikasi, perilaku manusia, respons pegawai
terhadap
pegawai
lainnya,
harapan-harapan,
konflik-konflik
antarpersona, dan kesempatan bagi pertumbuhan dalam organisasi tersebut. Iklim komunikasi sebuah organisasi mempengaruhi cara hidup pegawai organisasi seperti, kepada siapa mereka bicara, siapa yang disukai, bagaimana perasaan mereka, bagaimana kegiatan kerja mereka, bagaimana perkembangan mereka, apa yang ingin dicapai dan bagaimana cara mereka menyesuaikan diri dengan organisasi (Pace & Faules 2006:147-148). Muhammad (2008a:85) menyatakan bahwa tingkah laku komunikasi mengarahkan pada perkembangan iklim, di antaranya iklim organisasi. Iklim organisasi dipengaruhi oleh bermacam-macam cara anggota organisasi bertingkah laku dan berkomunikasi. Iklim komunikasi yang penuh persaudaraan mendorong para anggota organisasi berkomunikasi secara terbuka, rileks, ramah tamah dengan anggota lainnya. Sedangkan iklim yang kurang baik menjadikan anggota tidak berani berkomunikasi secara terbuka dan penuh rasa persaudaraan. Pace dan Faules (2006:159-160) menyatakan bahwa paling sedikit ada enam faktor besar yang mempengaruhi iklim komunikasi organisasi. Keenam faktor tersebut adalah: 1.
Kepercayaan Personel di semua tingkat harus berusaha keras untuk mengembangkan dan mempertahakan hubungan yang di dalamnya kepercayaan, keyakinan, dan kredibilitas didukung oleh pernyataan dan tindakan.
2.
Pembuatan keputusan bersama Para pegawai di semua tingkat dalam organisasi harus diajak berkomunikasi dan berkonsultasi mengenai semua masalah dalam semua wilayah kebijakan organisasi, yang relevan dengan kedudukan mereka. Para pegawai di semua tingkat harus diberi kesempatan berkomunikasi dan berkonsultasi dengan manajemen di atas mereka agar peran serta dalam proses pembuatan keputusan dan penentuan tujuan.
3.
Kejujuran Suasana umum yang diliputi kejujuran dan keterusterangan harus mewarnai hubungan-hubungan
dalam
organisasi,
dan
para
pegawai
mampu
14
mengatakan apa yang ada dalam pikiran mereka. Tanpa mengindahkan apakah mereka berbicara kepada teman sejawat, bawahan, atau atasan. 4.
Keterbukaan dalam komunikasi ke bawah Anggota organisasi harus dengan mudah memperoleh informasi rahasia, anggota organisasi harus relatif mudah memperoleh informasi yang berhubungan langsung dengan tugas mereka saat itu, yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengkoordinasikan pekerjaan mereka dengan orang-orang atau bagian-bagian lainnya.
5.
Mendengarkan dalam komunikasi ke atas Personel di setiap tingkatan dalam organisasi harus mendengarkan saransaran atau laporan-laporan masalah yang dikemukakan personel di setiap tingkat bawahan dalam organisasi, dengan pikiran terbuka. Informasi dari bawahan harus dipandang cukup penting untuk dilaksanakan, kecuali ada petunjuk yang berlawanan.
6.
Perhatian pada tujuan-tujuan berkinerja tinggi Personel di semua tingkat dalam organisasi harus menunjukan suatu komitmen terhadap tujuan-tujuan berkinerja tinggi, produktivitas tinggi, kualitas tinggi, biaya rendah, dan menunjukan perhatian besar pada anggota organisasi lainnya. Redding (1972), diacu dalam Goldhaber (1986:67) menyatakan bahwa
terdapat lima faktor dari iklim komunikasi yaitu: 1.
Supportiveness Bawahan mengamati hubungan komunikasi mereka dengan atasan dalam membantu membangun, menjaga perasaan dan harga diri mereka.
2.
Participation decision making (partisipasi membuat keputusan);
3.
Trust, confidence and credibility (kepercayaan, dapat dipercaya);
4.
Openness and candor (keterbukaan dan keterusterangan);
5.
High performance goals (kinerja yang tinggi, pada tingkat mana tujuan kinerja dikomunikasikan dengan jelas kepada anggota organisasi. Sementara iklim organisasi menurut Payne dan Pugh, diacu dalam Masmuh
(2008:44) adalah suatu konsep yang merefleksikan isi dan kekuatan dari nilai-nilai umum, norma, sikap, tingkah laku dan perasaan anggota terhadap suatu sistem
15
sosial. Iklim organisasi dapat dipelajari dengan mengobservasi jumlah otonomi secara individual, kebebasan yang dialami oleh individu, tingkat dan kejelasan struktur dan posisi yang dibebankan kepada pekerja, orientasi ganjaran dari organisasi dan banyaknya sokongan serta kehangatan yang diberikan kepada pekerja. Menurut Litwin dan Stringer (1968), diacu dalam Goldhaber (1986:65) bahwa lima dimensi dari iklim organisasi adalah: 1.
Responsibility (rasa tanggung jawab);
2.
Standards (harapan tentang kualitas pekerjaan);
3.
Reward (ganjaran);
4.
Friendly, team spirit (rasa persaudaraan dan semangat tim). Komunikasi dan Kepemimpinan Organisasi Kepemimpinan berasal dari kata dasar “pimpin” yang artinya bimbing atau
tuntun. Dari kata pimpin lahir kata kerja “memimpin” yang artinya membimbing atau menuntun dan kata benda “pemimpin” yaitu orang yang berfungsi memimpin, atau orang yang membimbing atau menuntun (Masmuh 2008:245). Lebih lanjut dikatakan bahwa istilah kepemimpinan (leadership) dan pimpinan (management) merupakan dua kata yang berbeda makna. Kepemimpinan mengarah kepada kemampuan individu, yaitu kemampuan dari seorang pimpinan. Sedangkan pimpinan (management) mengarah pada sistem dan mekanisme kerja seorang pimpinan. Menurut Kartono (2006:6) bahwa kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pimpinan dan yang dipimpin. Kepemimpinan muncul dan berkembang sebagai hasil
dari interaksi otamatis di antara pimpinan dan
individu-individu yang dipimpin (ada relasi interpersonal). Kepemimpinan bisa berfungsi atas dasar kekuasaan pimpinan untuk mengajak, mempengaruhi dan menggerakan orang lain guna melakukan sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Ada
banyak
definisi
tentang
kepemimpinan.
Kaitannya
dengan
kepemimpinan dalam hubungannya dengan komunikasi, maka kepemimpinan didefinisikan sebagai proses dimana sebuah agen membujuk bawahan untuk melakukan keinginannya. Dalam banyak hal, bentuk kontrol sosial dapat dilakukan dengan melakukan interaksi baik secara langsung maupun tidak
16
langsung antara pimpinan dan bawahan. Dalam organisasi, seorang atasan mempengaruhi bawahan untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan. Faktor yang menentukan keberhasilan dalam kepemimpinan ditentukan oleh penggunaan komunikasi yang tepat atau tidak tepat sebagai pembawa kepercayaan (persuasi). Menurut Masmuh (2008:279-280) bahwa komunikasi kepemimpinan menjadi syarat dalam menciptakan, membina dan mengembangkan hubungan baik antara pimpinan dengan publik di dalam atau di luar organisasi. Oleh sebab itu jika pimpinan ingin sukses dalam tugasnya, keterampilan komunikasi (communication skill) adalah salah satu aspek yang dapat dipergunakan pimpinan dalam organisasi manapun dan dalam bidang apapun. Lebih lanjut dikatakan bahwa bila komunikasi kepemimpinan berjalan baik, maka ia (pimpinan) akan disenangi, disegani dan dihormati, baik oleh orang-orang yang berada dalam organisasinya ataupun di luar. Ada lima hal penting dalam komunikasi pimpinan dan perlu mendapat perhatian pimpinan dalam rangka keberhasilan organisasinya yaitu; (1) apa tugas serta tujuan dari organisasi tersebut, (2) kapan tujuan itu harus dicapai, (3) bagaimana tujuan itu harus dicapai, (4) siapa saja yang bertanggung jawab pada setiap hierarki dan (5) apa sebab tujuan dari organisasi itu harus dicapai. Inti dari komunikasi kepemimpinan sesungguhnya adalah bagaimana memberikan instruksi atau tugas yang jelas dan muda dipahami oleh bawahan, bagaimana mengkomunikasikan kebijakan organisasi kepada semua unsur di dalamnya, bagaimana frekwensi komunikasi pimpinan dengan bawahan dan bagaimana memotivasi para bawahan, membangkitkan semangat bawahan atau karyawan, menggugah daya gerak mereka untuk bekerja lebih giat. Kepemimpinan yang cakap bukan hanya merupakan faktor yang penting dalam keberhasilan operasional, tetapi juga merupakan salah satu faktor penting dalam organisasi. Kepemimpinan yang efektif dapat membentuk sebuah organisasi yang agresif dan berhasil. Seorang manager merupakan bagian dari sistem pembuat keputusan dari sistem organisasi. Mereka berhubungan dengan sebuah tingkatan dalam manajemen dan fungsi dalam organisasi, manager tidak dapat merubah metode kepemimpinan mereka tanpa merubah atau mempengaruhi bagian lain dalam organisasi.
17
Suatu organisasi memiliki suatu motif atau tujuan yang hendak dicapai bagi suatu organisasi, baik ke luar maupun ke dalam organisasi. Untuk mencapai tujuan organisasi diperlukan adanya suatu proses interaksi yang melibatkan semua anggota dari level atas (pimpinan) hingga level bawah (karyawan) atau bawahan. Tujuan organisasi, akan tercapai dengan baik apabila adanya sistem komunikasi yang baik yang dapat menjembatani antara anggota dalam berinteraksi satu sama lain, sehingga tidak terjadi gap atau kelompok-kelompok yang merintangi alur komunikasi dari berbagai level. Ini dimaksudkan sebagai komunikasi yang tersendat
dan akan berpengaruh pada suatu kondisi yang tidak menunjang
(sebagai penghambat dalam pencapaian tujuan organisasi). Nawawi (2003:108) mengemukakan bahwa salah satu kriteria atau tolak ukur dalam mengevaluasi kepemimpinan dalam mengektifkan organisasi adalah (1) pencapaian kelompok atau organisasi, yakni berdasarkan keberhasilan atau kinerja kelompok atau organisasi, (2) kepuasan kerja anggota organisasi atau bawahan, (3) pertumbuhan atau perkembangan kelompok atau organisasi, (4) pengaruh pimpinan terhadap anggota organisasi. Menurut Stoner dan Freemen, diacu dalam Nawawi (2003:106) bahwa perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan hubungan dengan bawahan dapat dikelompokan menjadi empat yaitu (1) perilaku kepemimpinan dengan tugas tinggi dan hubungan tinggi, (2) perilaku kepemimpinan dengan tugas tinggi tetapi hubungan rendah, (3) perilaku kepemimpinan dengan tugas rendah tetapi hubungan tinggi dan (4) perilaku kepemimpinan dengan tugas rendah dan juga hubungan rendah. Komunikasi dan Kinerja Organisasi Pemerintahan Komunikasi dan keberhasilan organisasi berhubungan secara signifikan. Memperbaiki komunikasi berarti memperbaiki kinerja organisasi. Hubungan antara
komunikasi
dengan
kinerja
organisasi
secara
sederhana
dapat
dideskripsikan yaitu dengan melakukan komunikasi yang efektif dapat meningkatkan kinerja organisasi. Hal ini disebabkan karena semua perkerjaan di dalam organisasi pada kenyataannya saling berhubungan. Kurang baiknya sebuah bagian dalam organisasi akan berpengaruh negatif kepada bagian yang lain serta terhadap organisasi itu sendiri. Komunikasi meningkatkan keharmonisan kerja dalam organisasi. Sebaliknya apabila tidak ada komunikasi, maka koordinasi akan
18
terganggu. Akibatnya disharmonisasi yang akan mengganggu proses pencapaian target dan tujuan organisasi (Suranto 2005:57). Dengan melakukan komunikasi yang baik maka seluruh komponen dalam organisasi itu dapat secara sistematis bekerja dalam satu arah yang sama yaitu untuk meningkatkan produktivitas organisasi. Komunikasi adalah sarana untuk mengadakan koordinasi antara berbagai subsistem dalam organisasi. Menurut Kohler (1976), diacu dalam Suranto (2005:58) bahwa ada dua model komunikasi dalam rangka meningkatkan kinerja dan mencapai tujuan perkantoran yaitu (1) komunikasi koordinatif, yaitu proses komunikasi yang berfungsi untuk menyatukan bagian-bagian perkantoran dan (2) komunikasi interaktif, yaitu proses pertukaran informasi yang berjalan secara berkesinambungan, pertukaran pendapat dan sikap yang dipakai sebagai dasar penyesuaian di antara sub-sub sistem dalam organisasi, maupun antara organisasi dengan mitra kerja. Kinerja organisasi ialah gambaran mengenai bagaimana seorang (baik pimpinan maupun anggota) melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu pekerjaan, jabatan atau peranan dalam organisasi. Kinerja diartikan sebagai sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan atau kemampuan kerja perorangan atau kelompok organisasi dalam jangka waktu tertentu. Kinerja (performance) adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing
dalam
upaya
mencapai
tujuan
organisasi
bersangkutan
(Sedarmayanti 2003:146). Kinerja instansi pemerintah adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi, dan strategi instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan (LAN 2003:4-5). Lebih lanjut dikatakan bahwa kinerja adalah proses sistematis dan berkesinambungan untuk menilai kebehasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program, kebijakan, sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam mewujudkan visi, misi dan strategi instansi pemerintah. Proses ini dimaksudkan untuk menilai pencapaian setiap indikator kinerja guna memberikan gambaran tentang keberhasilan dan kegagalan pencapaian tujuan dan
19
sasaran. Selanjutnya dilakukan pula analisis akuntabilitas kinerja yang menggambarkan keterkaitan pencapaian kinerja kegiatan dengan program dan kebijakan dalam rangka mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi sebagaimana ditetapkan dalam rencana strategik. Penilaian kinerja patut mendapatkan perhatian yang serius pada instansi pemerintah. Oleh karena itu, berkaitan dengan tanggung jawab alokasi anggaran, instrumen kebijakan, pemberian pelayanan, dan proses monitoring dan evaluasi. Khusus untuk pemerintah daerah, penilaian kinerja menjadi sangat penting karena adanya
tuntutan akuntabilitas, pelaksanaan fungsi kontrol, dan kebutuhan
pengembangan organisasi pemerintah. Apalagi pada kenyataannya pemerintah cenderung boros, kaku, dan kurang berjiwa wirausaha, kurang memberdayakan para pemakai jasa, bekerja tidak efisien, dan tidak efektif, serta kurang responsif (Fenwick 1999:108, diacu dalam Muhammad 2008b:20). Pegukuran kinerja pemerintah sering bias pada beban kerja dan bukan pada hasil, serta difokuskan pada satu bidang saja. Sementara membiarkan bidang yang lain tidak diukur. Rendahnya kesadaran, pemahaman dan kemampuan melakukan penilaian kinerja menjadi hambatan utama bagi penilaian kinerja itu sendiri. Pemerintah daerah harus sadar akan pentingnya penilaian kinerja bagi perbaikan kinerja organisasi dan manajemen pada masa mendatang. Pengukuran kinerja di Indonesia masih cenderung dibuat pada tataran input dan output, sedangkan outcome belum sepenuhnya diperhatikan, meskipun penggunaan konsep New Public Management (NPM) sudah mulai populer. Manfaat pengukuran kinerja menurut Parker (1996:3), diacu dalam Sadjiarto (2000:5) terdiri dari lima manfaat yaitu: 1.
Pengukuran kinerja meningkatkan mutu pengambilan keputusan;
2.
Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas internal;
3.
Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas publik;
4.
Pengukuran kinerja mendukung perencanaan strategi dan penetapan tujuan;
5.
Pengukuran kinerja memungkingkan suatu entitas untuk menentukan penggunaan sumberdaya secara efektif.
20
Selanjutnya dikatakan bahwa manfaat pengukuran kinerja suatu entitas pemerintahan dapat digunakan sebagai bahan informasi mengenai kinerja pemerintah yang meliputi: 1.
Menetapkan sasaran dan tujuan program tertentu;
2.
Merencanakan program kegiatan untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut;
3.
Mengalokasikan sumberdaya untuk pelaksanaan program;
4.
Memonitor dan mengevaluasi results untuk menentukan apakah ada kemajuan yang diperoleh dalam mencapai sasaran dan tujuan tersebut;
5.
Memodifikasi perencanaan program untuk meningkatkan kinerja. Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) Berlangsungnya reformasi politik di Indonesia sekitar tahun 1996, beberapa
lembaga internasional seperti UNDP dan World Bank memperkenalkan terminologi baru yang disebut sebagai good public governance atau good governance. Good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) diartikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, efisien, dan efektif dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat (LAN 2003:7). Sementara menurut Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000, diacu dalam Sedarmayanti (2004:4) bahwa arti good governance sebagai kepemerintahan yang mengembang akan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalisme, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Kata good mengandung dua pengertian. Pertama, nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional, kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan (Sedarmayanti 2003:6). Dalam bahasa indonesia good governance diterjemahkan secara berbeda-beda, ada yang menerjemahkan good governance sebagai tata pemerintahan yang baik, ada juga yang menerjemahkan sebagai penyelenggaraan
21
pemerintahan yang baik, akan tetapi ada pula yang menerjemahkan good governance sebagai pemerintahan yang amanah. Pemeritahan merupakan serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai bidang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tesebut. Istilah governance tidak hanya berarti kepemerintahan sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan dan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan. Istilah Kepemerintahan yang baik (good governance) mengandung dua pemahaman: 1.
Nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan nilainilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan sosial;
2.
Aspek fungsional pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut UNDP (United Nation Development Program) good governance
memiliki delapan prinsip sebagai berikut: 1. Partisipasi 2. Transparansi 3. Akuntabel 4. Efektif dan efisien 5. Kepastian hukum 6. Responsif 7. Konsensus 8. Setara dan inklusif Sementara menurut Dwiyanto (2008:80) bahwa good governance terdiri dari sepuluh prinsip yaitu: 1.
Partisipasi: masyarakat memiliki hak (dan mempergunakannya) untuk menyampaikan pendapat, bersuara dalam proses perumusan kebijakan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2.
Penegakan hukum: hukum diberlakukan bagi siapapun tanpa pengecualian, hak asasi manusia dilindungi, sambil tetap memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
22
3.
Transparansi: penyediaan informasi tentang pemerintahan bagi publik dan dijaminnya kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
4.
Kesetaraan: adanya peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk beraktivitas atau berusaha.
5.
Daya tanggap: pekanya para pengelola instansi publik terhadap aspirasi masyarakat.
6.
Wawasan kedepan: pengelolaan masyarakat hendaknya dimulai dengan visi, misi dan strategi yang jelas.
7.
Akuntabilitas: pertanggungjawaban para penentu kebijakan kepada warga.
8.
Pengawasan
publik:
terlibatnya
warga
dalam
mengontrol
kegiatan
pemerintah, termasuk parlemen. 9.
Efektivitas dan efisien: terselenggaranya kegiatan instansi publik dengan menggunakan
sumberdaya
yang
tersedia
secara
optimal
dan
bertanggungjawab. Indikatornya antara lain: pelayanan mudah, cepat, tepat dan murah. 10. Profesionalisme: tingginya kemampuan dan moral para pegawai pemerintah, termasuk parlemen. Menurut Pohan (2000:2) bahwa good governance tidak sebatas pada bagaimana pemerintah menjalankan wewenangnya dengan baik, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol pemerintah untuk menjalankan wewenangnya tersebut dengan baik. Oleh karenanya seringkali tata pemerintahan yang baik dipandang sebagai sebuah bangunan dengan tiga tiang. Ketiga tiang penyanggah tersebut adalah transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. 1.
Transparansi berkepentingan
berarti
terbukanya
terhadap
setiap
akses
bagi
informasi
semua
terkait.
pihak
Artinya
yang bahwa
transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami (untuk kemudian) dapat dipantau. Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan
23
menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Pemerintah daerah perlu mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur, leaflet, pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal. 2.
Akuntabilitas
adalah
kapasitas
suatu
instansi
pemerintahan
untuk
bertanggung gugat atas keberhasilan maupun kegagalannya dalam melaksanakan misinya guna mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan secara periodik. Artinya setiap instansi pemerintah mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan sumberdaya yang dipercayakan kepadanya, mulai dari tahap perencanaan, implementasi, sampai pada pemantauan dan evaluasi. 3.
Partisipasi merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai peran masyarakat dalam pembangunan. Masyarakat bukanlah sekedar penerima manfaat atau objek belaka, melainkan agen pembangunan (subjek) yang mempunyai porsi yang penting. Partisipasi merupakan tindakan ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan di dalam organisasi. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan
secara
partisipatif
dan
mekanisme
konsultasi
untuk
menyelesaikan isu sektoral. Tinjauan Studi Komunikasi Organisasi Terdahulu Penelitian komunikasi organisasi sudah banyak dilakukan beberapa tahun terakhir ini. Seperti penelitian yang dilakukan Swastomo (2000:79-80) yang meneliti tentang aspek-aspek yang mempengaruhi komunikasi organisasi pemerintah Kabupaten Cianjur, mengemukakan bahwa faktor individu ternyata mempengaruhi komunikasi organisasi seperti pendidikan formal, eselon, jumlah keluarga, pangkat/golongan, kepemimpinan, bidang kerja, profesionalisme dan pembagian kerja, serta kinerja organisasi dipengaruhi secara singnifikan oleh faktor-faktor komunikasi organisasi kecuali pengaruh peran sebagai sumber inspirasi pembangunan yang ternyata kurang signifikan.
24
Sudarso (2002:55) yang meneliti tentang hubungan karakteristik biografis, iklim komunikasi dan efektivitas komunikasi interpersonal pimpinan dengan produktivitas kerja pegawai di Balai Penelitian Tanaman Buah Solok Sumatera Barat, mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara iklim komunikasi organisasi
dan
efektivitas
komunikasi
interpersonal
pimpinan
dengan
produktivitas kerja. Terdapat hubungan antara umur, jabatan dan diklat yang diikuti peneliti dengan jumlah publikasi. Demikian pula antara umur, masa kerja dan jabatan peneliti dengan jumlah penelitian yang dilaksanakan. Qondarsyah (2003:57-58) yang meneliti tentang hubungan komunikasi formal dengan perkembangan karier PNS di kota Bogor, menyatakan bahwa komunikasi formal PNS tidak berhubungan dengan perkembangan karier, hubungan hanya terjadi antara pendidikan formal dengan pencapaian syarat penjejangan. Kinerja aparat tidak berhubungan dengan perkembangan karier, hubungan nyata hanya terjadi antara pengalaman kerja, masa jabatan dan kepangkatan. Damayanti (2003:77-78) meneliti tentang hambatan-hambatan komunikasi organisasi pemerintah daerah kota Pagar Alam menyatakan bahwa Karakteristik responden tidak berhubungan nyata dengan hambatan-hambatan komunikasi organisasi, struktur organisasi berhubungan nyata dengan hambatan-hambatan komunikasi organisasi, iklim komunikasi organisasi berhubungan nyata dengan hambatan-hambatan komunikasi organisasi, hambatan-hambatan komunikasi organisasi berhubungan nyata dengan efektivitas komunikasi organisasi yaitu pada indikator sikap berhubungan
nyata negatif dengan hambatan-hambatan
komunikasi organisasi. Azainil (2003:81) meneliti tentang hambatan komunikasi organisasi pemerintah desa di kabupaten Bogor, menyatakan bahwa hambatan komunikasi aparat desa di Kabupaten Bogor termasuk dalam kategori rendah, dengan jenis hambatan yang dominan adalah kurangnya pengetahuan, kurang terampil, perbedaan persepsi, ketidaksamaan gaya komunikasi, bahasa dan kurang mampu mengendalikan diri (emosi) dalam berkomunikasi. Suprayitno (2004:104) yang meneliti tentang hubungan karakteristik individu dan iklim komunikasi organisasi dengan motivasi kerja pegawai di Balai
25
Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Makasar, menyatakan bahwa Iklim komunikasi BDK Makasar cenderung akan semakin baik apabila karakteristik individu pegawai semakin tinggi, semakin tinggi karakteristik individu, maka semakin kuat kebutuhan pada level yang lebih tinggi memotivasi pegawai bekerja, semakin baik iklim komunikasi organisasi BDK Makasar, maka terjadi kecendurungan meningkatnya kekuatan pada level yang lebih tinggi memotivasi pegawai bekerja. Irwandi (2004:77) meneliti tentang hubungan karakteristik tenaga fungsional dengan kepuasan kerja di BPTP Lampung, menyatakan bahwa terdapat hubungan antara iklim komunikasi organisasi dan kepuasan kerja seperti: kepercayaan, kejujuran dan parsitipasi pembuatan keputusan berkorelasi dengan diakui keberadaan di organisasi; keterbukaan dalam komunikasi ke bawah, sumber informasi dan penyampaian pesan berkorelasi dengan diakui keberadaan di organisasi dan senang dengan pimpinan. Dari hasil penelitian komunikasi organisasi yang dilakukan seperti yang dikemukakan di atas, ditemukan bahwa secara umum hasil penelitian mengungkapkan persoalan komunikasi yang dilakukan di internal organisasi. Artinya bahwa penelitian yang dilakukan selama ini hanya terfokus pada komunikasi internal organisasi (karyawan dalam organisasi), tanpa mengkaji bagaimana peran komunikasi organisasi yang dilakukan (terutama) pimpinan dalam mempengaruhi dan memotivasi bawahannya untuk melaksanakan tupoksi dari organisasi tersebut, dalam rangka memberikan pelayanan terbaik bagi berbagai pihak yang berkepentingan, terutama masyarakat. Kaitannya dengan komunikasi pembangunan, maka penelitian-penelitian komunikasi
organisasi
yang
dilakukan
di
atas,
secara
umum
belum
menggambarkan komunikasi yang partisipatif. Artinya bahwa fokus penelitianpenelitian yang dilakukan masih sebatas perilaku komunikasi internal organisasi.